Tadinya mas Arya yang sudah siap untuk ke restoran memutuskan untuk libur di rumah. Sudah pasti karena mas Arya menunggu kedatangan Risa."Assalamualaikum Bu Tini, " ucap Risa sesampainya di rumahku. "Waalaikumussalam, " balas ibu. "Terimakasih ya Mbak sudah mau memberi tumpangan, " ucap Risa kearahku. "Nggak papa Ris, anggap saja keluarga sendiri, " ucap Ibu. 'Memang dia sudah jadi keluargamu sendiri, ' batinku. Risa yang mengendong bayinya mengikuti langkah kami memasuki rumah. Begitu juga Doni yang membantu membawakannya. Sebenarnya aku penasaran, seberapa dekat Risa dan Doni, sampai-sampai Dela tidak merasa cemburu jika Doni bersama Risa. Tapi, aku mencoba membuang jauh rasa penasaranku itu, karena bagiku hubungan mereka bukan urusanku. Aku menunjukkan kamar tamu yang sebelumnya sudah di bersihkan bi Inah. Kamarnya bersebelahan dengan kamar ibu. Tetapi lumayan jauh jika harus ke kamarku, karena melewati ruang tengah. Aku mempersilakan Risa untuk beristirahat, sekalian meni
Waktu berlalu, tak terasa sudah pukul sebelas malam. Aku sengaja untuk tidak tidur cepat, karena aku ingin beraksi malam ini. Aku keluar kamar, menuju ruang tamu tapi tak kudapati mas Arya tidur di sofa. Seperti dugaanku, pasti dia tidur di kamar Risa. Saat aku akan menuju kamar Risa, tiba-tiba mas Arya keluar dari kamar ibu. "Lis? ngapain? " tanya mas Arya. Aku tersenyum lebar. "A-aku mau ke ... dapur! ya dapur! ""Dapur kan di sana, " menunjuk arah dapur yang lebih dekat dengan kamar ibu. Huuuah. Aku pura-pura menguap. "Gara-gara masih ngantuk Mas, jadi nyasar deh, " meninggalkan mas Arya. Gara-gara ketahuan mas Arya, aku jadi harus ke depur beneran. Tapi kenapa mas Arya keluar dari kamar ibu? Apa dugaanku salah? Saat mas Arya tak kutemui lagi, aku menuju kotak obat yang berada di dekat dapur. Ku ambil obat tidur milik ibu mertuaku. Ya, Ibu mertuaku sering mengonsumsi obat tidur, katanya biar lebih nyenyak tidurnya. Padahal itu hanya alasannya saja agar terlambat bangun dan t
"Loh, mana sarapannya? " tanya ibu mertuaku menghampiriku di meja makan. "Ini, " balasku seraya menunjuk beberapa roti tawar dan beberapa macam selai di atas meja. "Ibu mana kenyang beginian? ""Lah, kan sudah kesepakatan selama Risa tinggal di sini, ibu, Neli, dan Risa yang menggantikan tugas bi Inah, jadi terserah siapa yang jatah masak. "Ibu pergi meninggalkanku, berjalan menuju kamar Neli. Tak lama setelah itu, ibu kembali ke meja makan. Aku tahu, ibu pasti tidak menemukan Neli, karena Neli sudah pergi pagi-pagi tadi, aku tahu pun dari bi Inah. Ibu duduk di depan meja makan, hanya memandangi beberapa roti tawar dihadapannya dengan wajah cemberut. Ibu memang tak biasa sarapan dengan roti tawar, karena baginya selain tak enak juga tak bikin kenyang. Aku menyelesaikan sarapanku, dan terlihat Risa keluar dari kamarnya berjalan menuju meja makan. Dengan baju tidur kimino pendek yang memperlihatkan pahanya. 'Begini tampilan maduku kalau bangun tidur, ' batinku. "Kamu nggak ada ba
#BDPSPart 15 Rumah DesaSetelah sampai di rumah orang tuaku, aku menceritakan semuanya tentang perbuatan mas Arya dan keluarganya. Orang tuaku kaget mendengar ceritaku, karena selama ini mereka selalu mengira rumah tanggaku baik-baik saja, terlebih ibu mertuaku yang tak pernah memarahiku sama sekali. Aku pun mengatakan tujuanku perihal kedatanganku dan menanyai tentang pak Rudi, teman baik mereka."Papah akan bantu, orang macam mereka harus di beri pelajaran, " ucap papa. "Kalau perlu, singkirkan sekalian dari muka bumi ini, " sahut mamaku. "Terimakasih ya Pa, Ma, kalian sudah mau membantuku, " balasku. Mereka tersenyum melihatku. Papa pun langsung menelpon pak Rudi memberitahukan perihal maksudku untuk menemuinya. "Baik pak, terimakasih, " ucap papa menutup teleponnya. Beberapa hari yang lalu, aku mendengar kabar dari Erna karyawanku di minimarket, bahwa pak Rudi sedang mencari tanah untuk dibangunnya sebuah toko kelontong. Dan, inilah alasannya kenapa aku mencari pak Rudi. Ak
Pertemuanku dengan Bejo pun selesai. Bejo masih ku beri tugas untuk terus mengawasi dan mencari info tentang bu Karsiyem. Terlebih, jika ini ada hubungannya dengan keluarga mas Arya. #Singkat cerita, aku mendapatkan kabar dari papa bahwa pak Rudi menyetujui kerjasama yang aku tawarkan perihal jual beli tanah tersebut. Dengan modal teman baik diantara orang tuaku dan pak Rudi, inilah yang menjadi alasan kenapa pak Rudi menerima tawaranku tanpa basa-basi, tanpa perhitungan, dan memberikan kepercayaan penuh padaku. Dengan ini, aku bisa melancarakan pembelian tanah Risa tanpa harus mengeluarkan uang. #Aku melaju kearah restoran, sengaja ingin memberitahukan kepada mas Arya bahwa aku siap membeli tanahnya Risa. Saat ini akan ku beri dia angin surga, namun pada akhirnya dia akan mengetahui bahwa tak akan ada restoran baru untuknya dan keluarganya. "Risa mana Mas? " tanyaku sesaat sampai di restoran. "Mana ku tahu, kenapa? ""Surat tanahnya sudah belum? keburu aku berubah pikiran nih.
[Anak ibu di kota, sudah menikah, namanya ... ]Belum sempat aku selesai mendengarkannya, ponselku tiba-tiba mati, ternyata aku kehabisan baterai. Huh. Aku bergegas mengambil charger ponselku yang terletak di laci meja dekat tempat tidurku. Aku harus menunggu beberapa saat, agar bateri di ponselku benar-benar terisi. Mulai ku hidupkan ponselku dan cepat-cepat aku membuka aplikasi berwarna hijau. Begitu banyak pesan masuk, padahal baru beberapa menit ponselku mati, dan karena ini membuat chat dari Bejo tenggelam. Aku panik, rasanya begitu tak sabar ingin mendengarkan kelanjutan voice note dari Bejo. Aku menarik nafas panjang, mencoba menenangkan diriku, lalu pelan-pelan aku mencari chat Bejo dan membukanya. [Anak ibu di kota, sudah menikah, namanya Risa. Dan laki-laki yang datang kemarin adalah suaminya, suami sahnya.]'Suami sah? ' batinku. "Lisa? " Terdengar mas Arya memanggilku dari luar. Aku berdiri, lalu membuka setengah pintu. "Ada apa Mas? ""Sini dulu, ibu mau bicara, "
"Ini uangnya Mbak, " ucap Lila seraya meletakkan sebuah amplop coklat yang lumayan tebal di atas meja. Pagi ini, aku meminta Lila untuk menyerahkan penjualan mobil mas Arya. Sengaja aku menyuruhnya datang ke rumah, sekalian pamer ke mertua dan menantu sirinya. Karena saat pagi, mereka masih di rumah. Sepulang dari rumahku bersama orang suruhannya kemarin, Lila ku suruh untuk langsung menjual mobil mas Arya, sementara mobilku dia kembalikan ke rumah orang tuaku. "Terimakasih ya Lila, kerjamu bagus. ""Itu uang Lis? " tanya ibu yang sedari tadi duduk bersamaku di ruang tengah. "Iyalah Bu, masa batu bata. "Lila tertawa kecil kearah ibu mertuaku. "Loh, katanya mau di transfer? tanya mas Arya yang tiba-tiba muncul, lalu ikut duduk bersama seraya meletakkan secangkir kopinya di atas meja. Aku mengulurkan tanganku. "Awas Mas! nanti mengenai uangnya! "Mas Arya mengeser kopinya. "Gitu amat sih. ""Ini duit Mas, bukan koran, " ucapku. Aku mengambil amplop itu, membuka dan pura-pura men
Ku simpan uang penjualan mobil mas Arya di brangkas, sekaligus aku ganti nomor pinnya, agar mas Arya tidak bisa mengambil seenaknya. Karena sebelumnya, selain aku mas Arya pun tahu nomor pin brangkas. Derrt ... Sebuah pesan masuk dari aplikasi berwarna hijau, dari Bejo.[Saya ada informasi terbaru, tapi saya nggak bisa katakan lewat pesan, bisakan kita bertemu sekarang?] [Bisa, kita ke warung makan waktu itu] Tanpa pikir panjang, aku mengambil tas dan bergegas keluar rumah. Berlari menuju minimarketku, meminjam motor dari salah satu pekerja minimarket, karena mobilku baru kemarin dibawa Lila, sementara aku belum membeli motor baru sebagai ganti alat transportasiku. Sesampainya aku di warung makan, terlihat Bejo sudaj sampai duluan. Aku menghampirinya, dan duduk berhadapan dengannya. "Info apa Jo? " tanyaku tanpa basa-basi. "Suami sah yang dimaksud ibu Karsiyem itu memang ... memang pak Arya, suami Bu Lisa.""APA?! kamu yakin? ""Bu Karsiyem sendiri yang mengatakannya. Jadi, set
5 tahun berlalu Bugh!"Mamaa ... Hiks hiks ... "Aku dikejutkan dengan panggilan Faiz, anakku dengan mas Abimanyu. Bocah kecil berusia hampir tiga tahun itu berlari kearahku yang duduk di kursi taman tak jauh dari tempat ia bermain.Hap!Faiz langsung menghambur ke pelukanku. "Kenapa sayang?" tanyaku lembut ketika kudapati ia menangis."Bola ... Hiks hiks," ucapnya seraya menunjuk bola di tempatnya ia bermain tadi."Kena bola?" Faiz hanya bisa mengangguk seraya tetap sesengukkan karena tangisannya.Aku tersenyum. "Ayo kesana!" ajakku pada Faiz untuk mengambil bola mainan tersebut.Saat akan mengambil bola tersebut, alangkah terkejutnya aku ketika tiba-tiba bola itu diserobot duluan oleh seorang bocah berusia sekitaran lima tahun."Maaf Tante, Putra nggak sengaja," ucapnya meminta maaf. Ia pun melongos pergi begitu saja. Mungkin takut aku akan memarahinya. "Putra?" gumamku, tiba-tiba aku teringat akan anak itu. Saat penglihatanku mengikuti arah perginya bocah itu, aku pun dibuatnya
#Kedatangan Mantan MertuaTok!! Tok!! Tok!! "Lis? Ada tamu untukmu, " ucap Ibuku dari balik pintu kamar. Aku yang sedang selesai mandi sore pun langsung memakai jilbabku dan bergegas keluar. Siapa tamu yang datang sore begini? Seingatku hampir semua teman-teman yang ku undang ke pernikahan sudah datang saat resepsi tadi pagi. Saat hendak sampai di ruang tamu, betapa terkejutnya aku ketika melihat siapa yang datang. Keluarga mas Arya. Bu Tini, mantan mertuaku, Dela dan Neli. Sedangkan Doni, suamu Dela ia tak nampak. Mungkin tak ikut. "Siapa Lis? " tanya mas Abimanyu ketika mengetahui aku menghentikan langkahku. "Mereka, " balasku tanpa memalingkan wajahku. Mantan ibu mertuaku melihatku. "Lisa, sini Nak duduk bersama kami. " Manis sekali ucapannya. Aku pun melanjutkan langkahku. Duduk bersama mereka namun di kursi yang berbeda. Sementara mas Abimanyu duduk di sebelahku. "Kami bawakan ini Mbak, hadiah atas pernikahanmu hari ini, " Dela meletakkan sebuah bingkisan di atas meja.
#Sah! Seketika kami yang berada di ruang tamu langsung melihat kearah ayah. Entah apalagi yang akan ayahku sampaikan. Aish, membuatku deg-degan saja. "Tanggal pernikahan sebaiknya jangan melebihi satu bulan," kata ayah. Aku terkejut, seakan tak menerima, bagaimana bisa jarak lamaran begitu dekat dengan hari pernikahan. Kami kan perlu mempersiapkan segalanya. Dan itu tidaklah mudah. "Kenapa, Yah? ""Lebih baik lebih cepat. Lagipula, ingat umur."Aku mengelus keningku. "Astagfirullah. Iya Ayah." Hampir saja suudzon pada ayah karena ucapannya. Lagian kenapa juga harus bawa-bawa umur. Huh. "Sederhana saja. Gak usah mewah-mewah," peringat ayah yang lantas aku mas Abimayu mengiyakannya. Karena di rasa perbincangan selesi, mas Abimanyu (ciiee 😆) berpamitan untuk pulang. Diikuti Lila yang akan diantarnya pulang terlebih dahulu. Aku beserta ayah dan ibu pun mengantar mas Abimanyu dan Lila sampai di teras. Mas Abimanyu membunyikan klakson mobil yang ia kendarai kepada kami. Setelah kepe
"Bagaimana Mbak Lisa, diterima nggak? " tanya Lila yang duduk di sampingku. Aku diam. Sejenak aku dibuat dilema. Ingin menolak tapi tak enak, apalagi dalam acara begini. Ingin menerima tapi nanti dikira aku gimana. Kan baru beberapa hari bercerai. Haduh.Aku melihat kearah ayah dan ibu, mereka hanya tersenyum membalasnya. Membuatku semakin dilema. "Haruskan aku jawab sekarang? " tanyaku melihat kearah Abimanyu. "Tidak. Tapi saya harap tidak lebih dari tiga hari. ""InsyaaAllah, " aku tersenyum. "Ayo dilanjut makannya, " ucap ibuku menawarkan beberapa makanan ringan penutup di makan malam kali ini. Canggung. Kami yang berada di meja makan merasakan kecanggungan setelah Abimanyu menyatakan maksudnya. Kecuali beberapa karyawanku yang sedari tadi ikut menyimak, mereka tetap asyik melahap makanan yang aku sediakan. "Lis, ikut ibu ke belakang yuk, " ucap ibu mengajakku. Tanpa banyak berpikir aku mengikuti langkah ibu kearah dapur. Aku mengerti, pasti ibu akan menegurku tentang jawaban
#Lima Bulan BerlaluWaktu menunjukkan pukul 19.30, tamu undangan mulai berdatangan. Tak terkecuali Lila, orang yang sangat berjasa bagiku. Kali ini ia tak datang sendiri, namun bersama Bejo. Ya, aku juga mengundangnya dalam acara makan malam yang sengaja ku buat untuk semua karyawanku. Melihat penampilan Bejo semakin kesini semakin enak di pandang. Aku seperti terhipnotis dibuatnya. Mempesona, sangat mempesona. Dengan stelan hem yang ia kenakan membuat aura anak muda terpancar namun tetap terlihat berwibawa. "Assalamualaikum Mbak Lisa, " sapa Lila setelah memasuki rumah dan menghampiriku yang berdiri di dekat kursi tamu. "Wa'alaikumussalam, " aku tersenyum kearahnya. "Mbak, " Lila membisikkan sesuatu kepadaku. Aku sedikit tercengang mendengarnya. Ia memintaku untuk memberikan waktu di tengah-tengah acara pada Bejo. Untuk apa? Entahlah. Aku tersenyum, mengacungkan jempolku, memberi tanda bahwa aku mengiyakan permintaannya. "Ini Bu, " ucap bi Inah seraya membawa beberapa toples m
Sah Bercerai Tak sabar ingin melihat mas Arya mengenakan baju tahanan. Dan bagaimana reaksinya setelah ku tunjukkan surat perceraian ini. Tak hanya itu, aku pun akan memberitahukannya bahwa selama ini aku sudah mengetahui kebus*kkan kelurganya. Dan pada akhirnya dia dan istri sirinya sampai di penjara pun karena rencanaku. Meskipun di tengah jalan begitu banyak fakta baru yang ku ketahui. Aku duduk bersebelahan dengan Lila, dan dihadapanku duduk Dela bersebelahan dengan ibunya. Kami saling diam sejak awal bertemu tadi. "Urusan apalagi kamu ngajakin kami ketemu di sini? " akhirnya mantan mertuaku membuka suaranya, meskipun dengan nada ketus. Mungkin masih kesal karena sudah ku usir dengan tidak terhormat. "Tunggu mas Arya, Ibu pasti tahu alasannya. "Mas Arya memasuki ruang tunggu dengan seorang polisi di belakangnya. "Li-Lisa, " ucapnya sesaat melihatku. Mas Arya berjalan menghampiriku. "Ekh, sana-sana! " usirku ketika mas Arya akan duduk di sebelahku. "Kok gitu sih Lis? "Aku
Tiga hari berlalu setelah aku berhasil mengusir ibu mertuaku dan anak bungsunya. Aku duduk terdiam di ruang tengah. Menatap ke selembar kertas di atas meja di depanku. Dengan judul yang lumayan besar bertuliskan 'Akta cerai', memperjelas arti dari kertas tersebut. Ya, kini aku sah menyandang status sebagai janda. Bercerai dari mas Arya adalah impianku semenjak aku mengetahui kejadian di rumah sakit kala itu. Masih dengan perasaan tak menyangka. Suami dan keluarganya yang dulu sangat aku sayangi, bahkan setiap kebutuhan dari ibu dan adik-adiknya aku selalu siap membantu, namun pada akhirnya mereka bersekongkol untuk merusak rumah tanggaku. Tak hanya itu, ternyata Risa yang merupakan istri siri mas Arya pun menyimpan dendam padaku dan kedua orangku. Dendam yang nyatanya karena ulah dari ibunya sendiri. "Tehnya Bu. " Bi Inah meletakkan secangkir teh di samping surat ceraiku. Membuyarkan lamunanku. "Ekh, makasi ya Bi. ""Selamat ya Bu, akhirnya Bu Lisa sudah lepas dari kelurga pak A
"Maksud kamu apa Lis? " Ku hiraukan pertanyaan ibu mertuaku, lalu meninggalkannya di meja makan. Aku berjalan ke arah pintu depan, menemui orang yang sudah Lila carikan. "Pagi Bu, saya Bambang dan ini Budi," sapa salah seorangnya memperkenalkan diri. "Pagi. "Tak banyak basa-basi obrolan kami, karena mereka harus segera melaksanakan tugasnya. Belum sempat kami memasuki rumah, terdengar suara sepeda motor memasuki halaman rumahku. Siapa lagi kalau bukan Dela bersama suaminya. Doni memarkirkan motornya tepat di depan teras. Lalu berjalan menghampiri kami yang masih berdiri di ambang pintu. "Kenapa Mbak? Ibu sama Neli baik-baik aja kan? " tanya Dela setelah turun dari motornya. "Baik. "Aku pun masuk ke dalam, diikuti Lila, dua bodyguard sewaan, dan Dela juga suaminya. Kami langsung menuju kamar Neli. "Dela, Doni, " ucap ibu mertuaku ketika kami melewati ruang tengah. Aku tetap berjalan. "Sebenarnya ada apa Bu? " terdengar pelan suara Dela yang juga melanjutkan langkahnya mengiku
Tepat sudah jam enam pagi. Aku kembali ke kamar ibu mertuaku, memastikan bahwa barang-barangnya dan juga anak bungsunya sudah siap dikemasi. Rasanya rumah ini semakin sumpek karena masih ada anggota benalu di dalamnya. "Sudah belum Bu? " tanyaku sesampainya di kamar ibu mertuaku yang pintunya terbuka lebar. "Sudah, bisa lihat kan? " balasnya seraya menutup kopernya yang berada di atas kasur. "Bagus. ""Nel?! " teriakku seraya berjalan kearah kamar Neli. Kamar yang terletak di ujung ruangan arah teras belakang. Pintu kamar Neli terbuka lebar. Terlihat ia yang sedang duduk bersandar di atas kasurnya seraya memainkan ponselnya. Membuat hatiku rasanya panas melihatnya, bisa-bisanya dia bersantai-santai sementara aku tak melihat satu pun kopernya. "Mana kopermu?! " tanyaku di abang pintu. "Koper? Untuk apa? Aku nggak akan pernah tinggalin rumah ini! " balasnya seraya menghampiriku. "Maksudmu apa Nel? " timpal ibu mertuaku. "Bu, mas Arya masih suami sah mbak Lisa, nggak seharusnya