Sesuai jam kesepakatan dengan dealer kemarin, sekitar jam empat sore sepeda motor baruku akan di kirim ke rumah. Sengaja, agar bersamaan dengan jam pulang kerjanya mas Arya. Tin ... !! Tin ... !!Sebuah mobil pick up memasuki halaman rumahku. Ya, itulah mobil yang mengirimkan sepeda motor baru dari dealer. Aku yang berada di balik jendela depan bergegas keluar rumah untuk menyambutnya. "Motor siapa Lis? " tanya ibu menghampiriku. "Punyakulah Bu. ""Apa?! aku nggak salah denger nih? Mbak Lisa beli motor baru? " ucap Neli yang berdiri di depan pintu. "Iyaa! " balasku sedikit berteriak. Dari kejauhan mas Arya yang baru turun dari angkot, lalu berjalan menuju kami. Dia terlihat terheran-heran dengan adanya motor di depan rumahku. "Terimakasih Pak. "Mobil pick up itu pun berlalu, berpapasan dengan mas Arya yang semakin dekat dengan kami. Mas Arya mengendorkan dasi yang melingkari kerah bajunya, mendekati sepeda motor yang terpakirkan di depan kami. Mas Arya mengamati secara detai
"Baik, laporan saudari kami terima, kami akan segera memprosesnya, " ucap pak polisi. "Terimakasih Pak, permisi. "Kasus korupsi yang dilakukan mas Arya bersama istri sirinya sudah beres. Tinggal menunggu kabar dari polisi. Dan, ini akan menjadi kejutan untuk mereka. Sekarang saatnya untuk pergi ke pengadilan agama. Lokasinya yang lumayan jauh dari kantor polisi, membuatku harus cepat bergegas sebelum kesiangan. Panas. Meskipun harus naik sepeda motor berjam-jam, ditambah terik matahari yang mulai meninggi, tak menghalangi semangatku untuk mendaftarkan gugatan ceraiku. Semangat! #"Alisa Hartawan?! ""Ya. "Aku berdiri dari tempat dudukku, lalu menghampiri petugas pendaftaran. Ku serahkan berkas-berkas sebagai syarat gugatan. "Terimakasih, " ucapku setelah menyelesaikan pendaftaran. Lega, akhirnya aku akan benar-benar berpisah dengan keluarga benalu itu. Tinggal menunggu hasil.Saat aku akan menaiki motorku, tidak sengaja aku melihat mas Arya bersama Risa memasuki pengadilan aga
Waktu yang ditunggu akhirnya tiba. Sebelumnya aku sudah komunikasi dengan pihak polisi untuk memberitahukan jam kedatangannya. Setelah Dela bersama keluarganya datang, kami pun langsung menuju ke meja makan. Tanpa banyak basa-basi, seperti biasa dari anggota keluarga benalu itu pun mengambil makan tanpa di persilakan. "Sebenarnya ada kejutan apa Mbak buat mas Arya? " tanya Dela membuka suara. Sepertinya Dela begitu penasaran hingga tak sabar ingin tahu kejuatan apa yang akan kuberikan pada kakaknya. "Nanti juga tahu, kita makan dulu. "Hampir setengah jam kami menghabiskan waktu hanya untuk makan dan mengobrol. Ku lihat jam di tanganku, tepat jam satu siang. Seharusnya sebentar lagi pihak polisi akan datang. Bi Inah menghampiri kami di meja makan. "Mbak Lisa, ada yang nyari. ""Iya Bi, terimakasih. " Aku meneguk segelas air putih di depanku. "Kejutan datang Mas. "Terlihat wajah bahagia terpancar pada mas Arya. Diikuti dengan ekspresi penasaran dari keluarga benalu itu. Aku berja
Aku kembali melihat jam tanganku. Sudah hampir jam dua siang namun pihak kepolisian belum ada tanda kedatangannya. Ku buka ponselku, tak ada pesan masuk sama sekali. Aku mulai harap-harap cemas. Bagaimana jika polisi tak jadi datang? Apa yang akan ku lakukan. "Lis? Lisa? " Mas Arya membuyarkan lamunanku. "Ekh, iya Mas? Kenapa? ""Kamu yang kenapa? Kok tiba-tiba diam. ""Nggak papa kok. " Aku tersenyum kearahnya. Mas Arya menyentuh jari tanganku yang berada diatas meja. "Terimakasih sudah menyiapkan ini semua. " Mas Arya tersenyum padaku. Aku terpaksa membalas senyumannya seraya melepaskan sentuhan tangannya. Risih. Bi Inah datang lagi, kini dengan mengendong Putra. "Mbak Lisa, ada ... ." Bi Inah tak melanjutkan ucapannya. Aku mengerti, karena sebelumnya bi Inah juga ku beritahu soal rencanaku. "Aku akan kesana. " Balasku cepat agar bi Inah tak mengatakannya. Agar tetap menjadi kejutan. "Kali ini aku yakin itu orangnya Mas, " ucapku seraya bangkit dari dudukku. Aku bergegas
Aku tidak menyangka Risa berani membentak ibunya sendiri. Entah itu karena kekesalannya karena bu Karsiyem membeberkan kejahatannya atau memang sudah tabiatnya.Bu Karsiyem meneteskan air matanya. "Maafkan Ibu Nak, tapi memang ini yang terbaik, " ucap bu Karsiyem mulai terisak-isak. "Terbaik Ibu bilang?! Dengan aku di penjara?! Hah! " Risa meronta-ronta, namun tetap ditahan polisi. "Cukup Ris! Jangan salahkan Ibu, karena memang seharusnya kamu di penjara! " Kali ini Doni membuka suaranya. 'Ibu? ' batinku. Tak hanya aku, keluarga benalu itu terlebih Dela pun kaget melihat Doni membentak Risa hanya untuk membela bu Karsiyem. "Mas Doni .... " ucap Dela pada suaminya. Aku melihat kearah Doni dengan mata menyelidik. Sebenarnya apa hubungannya dengan Risa. "Sudah Doni, memang Ibu yang salah, " ucap bu Karsiyem kearah Doni. "Nggak Bu, Risa dan mas Aryalah yang salah, mereka pantas di penjara. ""Sebenarnya ada apa ini? Arya, jelaskan pada ibu, jangan buat ibu merasa seperti orang bod
Setelah penangkapan mas Arya dan Risa tadi siang, ibu mertuaku dan Neli masih tinggal di rumahku. Sementara Dela beserta keluarganya sudah kembali pulang. Begitu juga Putra, bayi mungil itu dibawa pulang oleh neneknya, bu Karsiyem. Karena ibunya mas Arya tidak sanggup mengurusnya, katanya. Berkurangnya dua orang di rumah ini, menjadikan makan malam kali ini terasa sangat berbeda. Sepi. Ku selesaikan makanku. Mengambil segelas air putih di depanku, lalu ku letakkan kembali ke posisi semula. "Bu, ini malam terakhir Ibu dan Neli di rumah ini. " Bu Tini, ibu mertuaku menghentikan makannya. "Loh, kenapa? Lis, bagaimana pun kan Arya masih suamimu, jadi Ibu masih ada hak dong buat tinggal di sini. ""Bu, aku nggak bisa nampung keluarga pengkhianat. " Aku masih berusaha sesopan mungkin untuk berbicara. Semata-mata hanya tak ingin ada keributan di rumah ini. "Tapi Lis? ""Iya Mbak, jangan gitu dong, kasihan kami, " Neli memelas. Aku berdiri dari dudukku. "Keputusanku sudah bulat, pergi at
Tepat sudah jam enam pagi. Aku kembali ke kamar ibu mertuaku, memastikan bahwa barang-barangnya dan juga anak bungsunya sudah siap dikemasi. Rasanya rumah ini semakin sumpek karena masih ada anggota benalu di dalamnya. "Sudah belum Bu? " tanyaku sesampainya di kamar ibu mertuaku yang pintunya terbuka lebar. "Sudah, bisa lihat kan? " balasnya seraya menutup kopernya yang berada di atas kasur. "Bagus. ""Nel?! " teriakku seraya berjalan kearah kamar Neli. Kamar yang terletak di ujung ruangan arah teras belakang. Pintu kamar Neli terbuka lebar. Terlihat ia yang sedang duduk bersandar di atas kasurnya seraya memainkan ponselnya. Membuat hatiku rasanya panas melihatnya, bisa-bisanya dia bersantai-santai sementara aku tak melihat satu pun kopernya. "Mana kopermu?! " tanyaku di abang pintu. "Koper? Untuk apa? Aku nggak akan pernah tinggalin rumah ini! " balasnya seraya menghampiriku. "Maksudmu apa Nel? " timpal ibu mertuaku. "Bu, mas Arya masih suami sah mbak Lisa, nggak seharusnya
"Maksud kamu apa Lis? " Ku hiraukan pertanyaan ibu mertuaku, lalu meninggalkannya di meja makan. Aku berjalan ke arah pintu depan, menemui orang yang sudah Lila carikan. "Pagi Bu, saya Bambang dan ini Budi," sapa salah seorangnya memperkenalkan diri. "Pagi. "Tak banyak basa-basi obrolan kami, karena mereka harus segera melaksanakan tugasnya. Belum sempat kami memasuki rumah, terdengar suara sepeda motor memasuki halaman rumahku. Siapa lagi kalau bukan Dela bersama suaminya. Doni memarkirkan motornya tepat di depan teras. Lalu berjalan menghampiri kami yang masih berdiri di ambang pintu. "Kenapa Mbak? Ibu sama Neli baik-baik aja kan? " tanya Dela setelah turun dari motornya. "Baik. "Aku pun masuk ke dalam, diikuti Lila, dua bodyguard sewaan, dan Dela juga suaminya. Kami langsung menuju kamar Neli. "Dela, Doni, " ucap ibu mertuaku ketika kami melewati ruang tengah. Aku tetap berjalan. "Sebenarnya ada apa Bu? " terdengar pelan suara Dela yang juga melanjutkan langkahnya mengiku
5 tahun berlalu Bugh!"Mamaa ... Hiks hiks ... "Aku dikejutkan dengan panggilan Faiz, anakku dengan mas Abimanyu. Bocah kecil berusia hampir tiga tahun itu berlari kearahku yang duduk di kursi taman tak jauh dari tempat ia bermain.Hap!Faiz langsung menghambur ke pelukanku. "Kenapa sayang?" tanyaku lembut ketika kudapati ia menangis."Bola ... Hiks hiks," ucapnya seraya menunjuk bola di tempatnya ia bermain tadi."Kena bola?" Faiz hanya bisa mengangguk seraya tetap sesengukkan karena tangisannya.Aku tersenyum. "Ayo kesana!" ajakku pada Faiz untuk mengambil bola mainan tersebut.Saat akan mengambil bola tersebut, alangkah terkejutnya aku ketika tiba-tiba bola itu diserobot duluan oleh seorang bocah berusia sekitaran lima tahun."Maaf Tante, Putra nggak sengaja," ucapnya meminta maaf. Ia pun melongos pergi begitu saja. Mungkin takut aku akan memarahinya. "Putra?" gumamku, tiba-tiba aku teringat akan anak itu. Saat penglihatanku mengikuti arah perginya bocah itu, aku pun dibuatnya
#Kedatangan Mantan MertuaTok!! Tok!! Tok!! "Lis? Ada tamu untukmu, " ucap Ibuku dari balik pintu kamar. Aku yang sedang selesai mandi sore pun langsung memakai jilbabku dan bergegas keluar. Siapa tamu yang datang sore begini? Seingatku hampir semua teman-teman yang ku undang ke pernikahan sudah datang saat resepsi tadi pagi. Saat hendak sampai di ruang tamu, betapa terkejutnya aku ketika melihat siapa yang datang. Keluarga mas Arya. Bu Tini, mantan mertuaku, Dela dan Neli. Sedangkan Doni, suamu Dela ia tak nampak. Mungkin tak ikut. "Siapa Lis? " tanya mas Abimanyu ketika mengetahui aku menghentikan langkahku. "Mereka, " balasku tanpa memalingkan wajahku. Mantan ibu mertuaku melihatku. "Lisa, sini Nak duduk bersama kami. " Manis sekali ucapannya. Aku pun melanjutkan langkahku. Duduk bersama mereka namun di kursi yang berbeda. Sementara mas Abimanyu duduk di sebelahku. "Kami bawakan ini Mbak, hadiah atas pernikahanmu hari ini, " Dela meletakkan sebuah bingkisan di atas meja.
#Sah! Seketika kami yang berada di ruang tamu langsung melihat kearah ayah. Entah apalagi yang akan ayahku sampaikan. Aish, membuatku deg-degan saja. "Tanggal pernikahan sebaiknya jangan melebihi satu bulan," kata ayah. Aku terkejut, seakan tak menerima, bagaimana bisa jarak lamaran begitu dekat dengan hari pernikahan. Kami kan perlu mempersiapkan segalanya. Dan itu tidaklah mudah. "Kenapa, Yah? ""Lebih baik lebih cepat. Lagipula, ingat umur."Aku mengelus keningku. "Astagfirullah. Iya Ayah." Hampir saja suudzon pada ayah karena ucapannya. Lagian kenapa juga harus bawa-bawa umur. Huh. "Sederhana saja. Gak usah mewah-mewah," peringat ayah yang lantas aku mas Abimayu mengiyakannya. Karena di rasa perbincangan selesi, mas Abimanyu (ciiee 😆) berpamitan untuk pulang. Diikuti Lila yang akan diantarnya pulang terlebih dahulu. Aku beserta ayah dan ibu pun mengantar mas Abimanyu dan Lila sampai di teras. Mas Abimanyu membunyikan klakson mobil yang ia kendarai kepada kami. Setelah kepe
"Bagaimana Mbak Lisa, diterima nggak? " tanya Lila yang duduk di sampingku. Aku diam. Sejenak aku dibuat dilema. Ingin menolak tapi tak enak, apalagi dalam acara begini. Ingin menerima tapi nanti dikira aku gimana. Kan baru beberapa hari bercerai. Haduh.Aku melihat kearah ayah dan ibu, mereka hanya tersenyum membalasnya. Membuatku semakin dilema. "Haruskan aku jawab sekarang? " tanyaku melihat kearah Abimanyu. "Tidak. Tapi saya harap tidak lebih dari tiga hari. ""InsyaaAllah, " aku tersenyum. "Ayo dilanjut makannya, " ucap ibuku menawarkan beberapa makanan ringan penutup di makan malam kali ini. Canggung. Kami yang berada di meja makan merasakan kecanggungan setelah Abimanyu menyatakan maksudnya. Kecuali beberapa karyawanku yang sedari tadi ikut menyimak, mereka tetap asyik melahap makanan yang aku sediakan. "Lis, ikut ibu ke belakang yuk, " ucap ibu mengajakku. Tanpa banyak berpikir aku mengikuti langkah ibu kearah dapur. Aku mengerti, pasti ibu akan menegurku tentang jawaban
#Lima Bulan BerlaluWaktu menunjukkan pukul 19.30, tamu undangan mulai berdatangan. Tak terkecuali Lila, orang yang sangat berjasa bagiku. Kali ini ia tak datang sendiri, namun bersama Bejo. Ya, aku juga mengundangnya dalam acara makan malam yang sengaja ku buat untuk semua karyawanku. Melihat penampilan Bejo semakin kesini semakin enak di pandang. Aku seperti terhipnotis dibuatnya. Mempesona, sangat mempesona. Dengan stelan hem yang ia kenakan membuat aura anak muda terpancar namun tetap terlihat berwibawa. "Assalamualaikum Mbak Lisa, " sapa Lila setelah memasuki rumah dan menghampiriku yang berdiri di dekat kursi tamu. "Wa'alaikumussalam, " aku tersenyum kearahnya. "Mbak, " Lila membisikkan sesuatu kepadaku. Aku sedikit tercengang mendengarnya. Ia memintaku untuk memberikan waktu di tengah-tengah acara pada Bejo. Untuk apa? Entahlah. Aku tersenyum, mengacungkan jempolku, memberi tanda bahwa aku mengiyakan permintaannya. "Ini Bu, " ucap bi Inah seraya membawa beberapa toples m
Sah Bercerai Tak sabar ingin melihat mas Arya mengenakan baju tahanan. Dan bagaimana reaksinya setelah ku tunjukkan surat perceraian ini. Tak hanya itu, aku pun akan memberitahukannya bahwa selama ini aku sudah mengetahui kebus*kkan kelurganya. Dan pada akhirnya dia dan istri sirinya sampai di penjara pun karena rencanaku. Meskipun di tengah jalan begitu banyak fakta baru yang ku ketahui. Aku duduk bersebelahan dengan Lila, dan dihadapanku duduk Dela bersebelahan dengan ibunya. Kami saling diam sejak awal bertemu tadi. "Urusan apalagi kamu ngajakin kami ketemu di sini? " akhirnya mantan mertuaku membuka suaranya, meskipun dengan nada ketus. Mungkin masih kesal karena sudah ku usir dengan tidak terhormat. "Tunggu mas Arya, Ibu pasti tahu alasannya. "Mas Arya memasuki ruang tunggu dengan seorang polisi di belakangnya. "Li-Lisa, " ucapnya sesaat melihatku. Mas Arya berjalan menghampiriku. "Ekh, sana-sana! " usirku ketika mas Arya akan duduk di sebelahku. "Kok gitu sih Lis? "Aku
Tiga hari berlalu setelah aku berhasil mengusir ibu mertuaku dan anak bungsunya. Aku duduk terdiam di ruang tengah. Menatap ke selembar kertas di atas meja di depanku. Dengan judul yang lumayan besar bertuliskan 'Akta cerai', memperjelas arti dari kertas tersebut. Ya, kini aku sah menyandang status sebagai janda. Bercerai dari mas Arya adalah impianku semenjak aku mengetahui kejadian di rumah sakit kala itu. Masih dengan perasaan tak menyangka. Suami dan keluarganya yang dulu sangat aku sayangi, bahkan setiap kebutuhan dari ibu dan adik-adiknya aku selalu siap membantu, namun pada akhirnya mereka bersekongkol untuk merusak rumah tanggaku. Tak hanya itu, ternyata Risa yang merupakan istri siri mas Arya pun menyimpan dendam padaku dan kedua orangku. Dendam yang nyatanya karena ulah dari ibunya sendiri. "Tehnya Bu. " Bi Inah meletakkan secangkir teh di samping surat ceraiku. Membuyarkan lamunanku. "Ekh, makasi ya Bi. ""Selamat ya Bu, akhirnya Bu Lisa sudah lepas dari kelurga pak A
"Maksud kamu apa Lis? " Ku hiraukan pertanyaan ibu mertuaku, lalu meninggalkannya di meja makan. Aku berjalan ke arah pintu depan, menemui orang yang sudah Lila carikan. "Pagi Bu, saya Bambang dan ini Budi," sapa salah seorangnya memperkenalkan diri. "Pagi. "Tak banyak basa-basi obrolan kami, karena mereka harus segera melaksanakan tugasnya. Belum sempat kami memasuki rumah, terdengar suara sepeda motor memasuki halaman rumahku. Siapa lagi kalau bukan Dela bersama suaminya. Doni memarkirkan motornya tepat di depan teras. Lalu berjalan menghampiri kami yang masih berdiri di ambang pintu. "Kenapa Mbak? Ibu sama Neli baik-baik aja kan? " tanya Dela setelah turun dari motornya. "Baik. "Aku pun masuk ke dalam, diikuti Lila, dua bodyguard sewaan, dan Dela juga suaminya. Kami langsung menuju kamar Neli. "Dela, Doni, " ucap ibu mertuaku ketika kami melewati ruang tengah. Aku tetap berjalan. "Sebenarnya ada apa Bu? " terdengar pelan suara Dela yang juga melanjutkan langkahnya mengiku
Tepat sudah jam enam pagi. Aku kembali ke kamar ibu mertuaku, memastikan bahwa barang-barangnya dan juga anak bungsunya sudah siap dikemasi. Rasanya rumah ini semakin sumpek karena masih ada anggota benalu di dalamnya. "Sudah belum Bu? " tanyaku sesampainya di kamar ibu mertuaku yang pintunya terbuka lebar. "Sudah, bisa lihat kan? " balasnya seraya menutup kopernya yang berada di atas kasur. "Bagus. ""Nel?! " teriakku seraya berjalan kearah kamar Neli. Kamar yang terletak di ujung ruangan arah teras belakang. Pintu kamar Neli terbuka lebar. Terlihat ia yang sedang duduk bersandar di atas kasurnya seraya memainkan ponselnya. Membuat hatiku rasanya panas melihatnya, bisa-bisanya dia bersantai-santai sementara aku tak melihat satu pun kopernya. "Mana kopermu?! " tanyaku di abang pintu. "Koper? Untuk apa? Aku nggak akan pernah tinggalin rumah ini! " balasnya seraya menghampiriku. "Maksudmu apa Nel? " timpal ibu mertuaku. "Bu, mas Arya masih suami sah mbak Lisa, nggak seharusnya