"Ah! Jadi benar soal Adinata," gumam Luca yang menerima anggukan kepala dari Visha, berulang kali. Luca mengambil sejumlah kudapan dan mencicipi beberapa makanan yang terlihat unik bentuknya, sementara pikirannya sibuk menimbang ini dan itu, terkait keputusan Visha.Ia tidak mungkin meninggalkan Italia terlalu lama. Tentu saja, jika Visha berencana untuk melancarkan rencananya itu, ia tidak mungkin tinggal hanya sebentar di Indonesia.‘Paling cepat selesai dalam 6 bulan. Tapi aku tidak bisa meninggalkan Cavallo terlalu lama. Aku tidak bisa ikut dengan Visha,’ batin Luca sambil menatap dalam-dalam netra biru Visha, dengan diam.Tak lama kemudian, Luca bertanya, "Kau yakin sudah siap, Navisha? Kau tahu, kan, Ayah tidak bisa meninggalkan Italia terlalu lama. Kau akan bergerak sendiri. Bagaimana?" tanya Luca setelah menelan salah satu kudapan yang beruntung dicicipinya.Visha terdiam sambil mengepalkan tangannya. Tapi dengan tegas ia berkata, "Aku tidak siap, Ayah, tapi aku merasa kalau
“Sudah, Bos.”Luca mengangguk. “Kalau Ernesto bilang dia tak ingat sudah menyetujui ini besok, kita sudah punya buktinya,” ujar Luca sambil tergelak.Sementara itu, Ernesto sudah benar-benar tak sadarkan diri, karena ia menghabiskan 2 botol wine dengan cepatnya.Yang selalu disayangkan oleh Luca dari Ernesto adalah anak itu takkan pernah bisa menemaninya minum hingga larut. Sebentar saja, ia pasti sudah mabuk. Dan itu cukup menyulitkan di dunia mafia.“Damian, minta Celez membawanya ke kamar,” perintah Luca dengan nada mengeluh.Ia mengeluhkan lemahnya Ernesto terhadap minuman keras, padahal ia menyimpan begitu banyak minuman keras di kamarnya.“Baik, Bos. Sekalian saya dan Javier pamit.”Luca mengangguk menerima pamitnya.Dan segera, ruangan itu sunyi kembali, sebelum Luca berkata, “Visha, Nak. Tidurlah di sini malam ini. Kurasa Dante sudah ada di kamar lamamu.”Visha sedikit kaget mendapat undangan itu. Tapi tidak mungkin ia menolaknya.“Ah, ya. Tapi … uhm, apa Mama tidak masalah?”
“Saya butuh foto terbaru Nona dan Tuan muda. Siang nanti sebaiknya kita ke studio foto.” Damian menjelaskan jadwal tambahan yang harus dilakukan Visha hari ini.Setelah kemarin mereka berdiskusi panjang lebar mengenai persiapan Visha untuk berangkat ke Indonesia, Damian mulai bergerak.Saat ini, Ernesto yang tengah panik, karena ia benar-benar tak menyangka kalau dirinya mengiyakan permintaan Visha untuk mengurus perusahaan Viensha Ltd. ini selama keabsenannya.“Kau diam dulu, Damian! Jelaskan padaku bagaimana pembicaraan ini bisa sampai pada keputusan bahwa aku akan mengurus perusahaan sementara waktu!” tuntut Ernesto lagi.Padahal ia sudah mendengarkan rekaman yang diambil Damian kemarin dan sudah jelas alur pembicaraannya.“Seperti yang sudah Tuan muda lihat di video rekaman tersebut, Tuan muda Ernesto. Beberapa tanggung jawab yang perlu dipindahtangankan kepada Anda, sudah diatur oleh bagian legal perusahaan. Tinggal menunggu suratnya saja.” Damian menjawab dengan santai.Melihat
“Kau yakin sudah tidak ada lagi yang tertinggal, Visha?”tanya sang ayah—Luca Cavallo.Pria tua itu sengaja berlama-lama. Ia masih tidak bisa merelakan putrinya untuk pergi, setelah sekian lama bersama.Sekali lagi Visha terkekeh mendengar pertanyaan yang sudah 3 kali diulangnya. Dan dengan sabar ia menjawab, “Sudah, Ayah. Tenang saja. Kalau ada yang ketinggalan aku akan minta Damian mengirimnya.”Acara foto keluarga yang mendadak 2 minggu lalu itu berakhir manis. Bahkan Bianca yang dibebaskan sementara karena harus ikut berfoto juga turut mendoakan Visha yang akan menjalankan misinya.Apa yang sudah dilakukan keluarga Adinata bukan lagi sekedar masalah pribadi per pribadi. Menghancurkan mereka, sudah menjadi sebuah misi yang diemban Visha untuk membersihkan nama Cavallo. Terutama namanya.Sekitar 2 jam kemudian, Visha sudah berada di dalam pesawat. Dante masih belum bisa duduk tenang di kursinya. Ia dan Madoka tengah mengamati interior pesawat terbang.Ini kali pertama putranya itu na
"Ah ….” desahan pelan lolos dari bibir Visha ketika ia mulai memasuki area rumah orangtuanya dahulu.Sementara Dante masih terlelap di dalam mobil, ditemani oleh Madoka, Visha masuk ke rumah itu dan menatap sekitarnya.Semua pigura foto di dinding rumah itu, entah kenapa membuat Visha merasakan déjà vu.Ia tak bisa berkata-kata lagi. Hanya ‘ah’ dan ‘oh’ yang keluar dari mulutnya dengan nada penuh keterpesonaan dan juga keterkejutan yang tak terkira.‘Aku akhirnya bisa menapakkan kakiku di rumah ini. Di mana keberadaan ibuku dulu.’ Visha membatin haru.Air mata pun mulai menyeruak dari pelupuk netra, membasahi pipinya. Terharu dan rindu. Ia bisa menatap wajah sang ibu dengan puas di sini.“Semua foto Nyonya adalah hasil jepretan Bos Luca. tak ada satupun dari kami yang boleh melakukannya,” ungkap Javier sambil terkekeh.Visha pun ikut terkekeh. Ia bisa membayangkan betapa sang ibu pasti begitu dijagai oleh ayahnya. Menjadi satu-satunya wanita kesayangan seorang pemimpin klan mafia, pas
Drap! Drap! Drap!“Nona?! Ada apa?!”Mendengar seruan Visha tadi, Javier langsung masuk kembali ke kamar dengan wajah panik. Tapi ia malah mendapati Visha terduduk di lantai dengan bahu terguncang.‘Nangis?! Atau—’“Ha! Ha! Ha! Javier! Lihat ini! Siapa yang akan menyimpan begitu banyak emas batangan di dalam lemari seperti ini, hm?!” Visha tergelak saking bahagianya melihat kilauan emas batangan yang tertumpuk rapi di dalam lemari pakaiannya itu.Melihat kondisi Visha yang ternyata baik-baik saja, Javier pun menghela napas lega. “Kau mengejutkanku, Nona. Kurasa ini semua hadiah dari Bos Luca setiap kali beliau kembali dari Italia,” tebak Javier sambil mencoba mengambil salah satu emas itu.Javier mendengus geli, sepertinya mengingat sesuatu.“Ada apa?” tanya Visha yang penasaran dengan senyum geli di wajah Javier.Cengiran Javier mengawali cerita yang diingatnya. Ia pun menjelaskan, “Bos Luca sempat mengira kalau Nyonya memberikan semua emasnya pada orang lain. Hari itu, mereka sempat
“Ah … itu suara Febriella.”“Mereka sepertinya sedang berkunjung, Nona.”“Yea—”Ucapan VIsha terpotong ketika ia mendengar suara perempuan yang belum pernah didengarnya. Belum juga ia mencoba menebak, suara tangisan bayi terdengar di latar belakangnya.Visha langsung melepas alat penghantar suara yang melintang di atas kepalanya. Tak ingin mendengarkan lagi.Javier sendiri jadi tegang ketika Visha langsung meletakkan headphone di atas meja dengan sedikit kasar.‘Ah … baru punya bayi ternyata,’ batin Visha. Ia tak menyangka kalau semua yang didengarnya saat ini membuatnya sakit hati.‘Seandainya hari itu Raffael tidak memilih warisan keluarganya, mungkin saat ini Dante masih punya papa kandung,’ rintih Visha dalam hati.“Jav, kabari aku kalau ada yang penting. Aku akan menjemput Dante ke sekolah. Kalau kau sudah dapat ide untuk masuk ke kantor Adinata, langsung saja kerjakan. Tak perlu menjagaku terus.”Tanpa menunggu respon Javier, Visha langsung keluar dari ruang kantornya, menuju ke
"Roger, Bos!" Shadow pun segera menghubungi seseorang yang juga bekerja menjadi mata-mata di divisi IT, perusahaan Adinata tersebut. Nama anak muda itu adalah Gallendra.Anak sekolah yang sudah beberapa minggu, masuk menjadi anak magang di divisi IT."Len, persiapan sudah selesai. Besok giliranmu menjual namaku," ujar Shadow sambil mengepak barang-barangnya. Ia tengah singgah sejenak di Singapura dan saat ini harus segera berangkat ke Indonesia. Memenuhi jadwal yang tertera di tiket pesawatnya."Siap Kak. aku sudah terima juga email penerimaanku di kampus Italia! Sampai ketemu di sana setelah ini selesai!" ujarnya dengan suara penuh bahagia dan kebanggan.Gallendra adalah satu dari sekian banyak anak jenius yang tidak mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi. Shadow menemukannya di dunia maya, saat tengah berselancar dengan kegemarannya. Meretas data.Menilai kemampuan Gallendra ia pun langsung mencari tahu siapa anak laki-laki itu. Ia malah jatuh kasihan meli