"Roger, Bos!" Shadow pun segera menghubungi seseorang yang juga bekerja menjadi mata-mata di divisi IT, perusahaan Adinata tersebut. Nama anak muda itu adalah Gallendra.Anak sekolah yang sudah beberapa minggu, masuk menjadi anak magang di divisi IT."Len, persiapan sudah selesai. Besok giliranmu menjual namaku," ujar Shadow sambil mengepak barang-barangnya. Ia tengah singgah sejenak di Singapura dan saat ini harus segera berangkat ke Indonesia. Memenuhi jadwal yang tertera di tiket pesawatnya."Siap Kak. aku sudah terima juga email penerimaanku di kampus Italia! Sampai ketemu di sana setelah ini selesai!" ujarnya dengan suara penuh bahagia dan kebanggan.Gallendra adalah satu dari sekian banyak anak jenius yang tidak mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi. Shadow menemukannya di dunia maya, saat tengah berselancar dengan kegemarannya. Meretas data.Menilai kemampuan Gallendra ia pun langsung mencari tahu siapa anak laki-laki itu. Ia malah jatuh kasihan meli
“Apa ada masalah dengan orang Jepang?” tanya Shadow aka Tomoya, dengan wajah kesal. Ia kini sedang berperan sebagai hacker baperan. “Kau bisa lewatkan aku. Aku tak—”“Sabar Tomoya. Bosku hanya bertanya, tidak menghinamu. Oke?” Gallendra segera memotong rajukan Shadow, sesuai skenario.Shadow menolehkan kepalanya sambil bergumam, “Yea. Sure.”Ketua tim IT perusahaan Adinata itu hanya memutar bola mata. Ia jelas menganggap Shadow seperti salah satu anak magang di kantornya itu. Anak-anak SMP atau SMA yang masih culun dan lugu.Kemudian ia kembali menatap layar, seolah tak ada masalah, ia berkata, “Katakan saja apa yang kau mau, Fatso. Aku sedang akan pergi cari sarapan.”Mereka sudah sepakat kalau akan menggunakan nama panggilan supaya terlihat akrab.“Eh … di mana kau menginap?” Gallendra bertanya lagi.Shadow pun menjawab cepat, seolah tak sabaran, “Hotel Maroinette. Kau kirim saja deh detailnya di chat—”“Tunggu! Kau datang saja ke kantor. Kujemput. Bagaimana?” potong Gallendra, bert
“Nona, Shadow sudah membereskan komputer di ruang kerja Gregorry. Anak itu sudah kembali ke Italia,” lapor Javier pada Visha yang tengah menikmati makan siang dengan Dante.“Wow! Cepat juga kerjanya anak itu. Thanks. Berarti tinggal menunggu Shadow mengumpulkan bukti-bukti yang bisa memberatkannya.” Visha tersenyum penuh kemenangan.Sementara Dante yang tidak paham pembicaraan dua orang itu, sibuk menikmati makan siangnya dengan Madoka.“Orang sekaya Gregorry dengan sifat seperti itu, pasti tersangkut urusan keuangan perusahaan dan juga pajak, Nona. Aku tahu itu,” kekeh Madoka sambil menyuapi Dante dengan sesendok macaroni mac and cheese.“Kau benar Madoka. Sebenarnya aku mencurigai hal itu karena aku pernah tak sengaja membersihkan dokumen yang mengacu pada penggunaan uang perusahaan untuk kepentingan dirinya sendiri.” Visha melipat kedua tangannya, mendekap erat sambil mengingat-ingat dokumen yang saat itu ia temukan.“Dokumen? Rekening koran kah?!” tanya Madoka lagi. “Wow! Anda men
“Ya, Nona.”Jawaban singkat Javier pun mengawali pelukan pria itu yang menghangatkan tubuh Visha.‘Lucu. Kenapa aku jadi mengingat saat aku memintanya menciumku malam itu? Dia melakukannya pasti hanya karena kuminta. Seperti sekarang,’ batin Visha dalam hatinya.Tak lama kemudian, sang pembawa acara pun mulai mengundang para tamu untuk bisa bersalaman, memberikan ucapan selamat pada pasangan tua yang sudah mengarungi 50 tahun pernikahannya itu.Javier dan Visha akhirnya memutuskan untuk duduk di salah satu kursi yang ditinggalkan orang sebelumnya untuk bersalaman.Dalam diam mereka mengamati jalannya acara. Visha menyandarkan kepalanya di bahu Javier, masih merasa tak nyaman berada di ruangan terbuka bersama dengan Raffael dan kedua orangtuanya yang sudah berniat membunuhnya dulu.Dari kursinya, Visha bisa melihat senyum lebar Febriella menghiasi wajah tua perempuan itu. Sampai tiba-tiba ia mendengar suara anak kecil dari speaker yang sedang memanggil ibunya.Ia memandang ke arah pang
Penyidik?! Kenapa mereka datang ke sini?! Usir saja!” raung Gregorry yang belum bisa meredakan amarahnya.Kini ia harus mendengarkan informasi menggelikan bahwa ada seorang penyidik datang ke rumahnya.“Ba—baik, Tu—Astaga!" Satpam itu terkejut ketika tiga penyidik tersebut sudah mengikutinya masuk ke dalam rumah.Salah satu penyidik mengangkat sebuah amplop coklat dengan kop kepolisian, sambil berkata, “Kami memiliki surat izin penggeledahan kediaman Anda, Tuan Gregorry.”Gregorry meruncingkan pandangannya dengan kesal. Ia mempertanyakan kembali pilihan kata mereka, “Penggeledahan?! Atas tuduhan apa aku digeledah?”Penyidik yang terlihat paling tua itu pun menaikkan salah satu alisnya sambil menjawab dengan lelucon, “Hmm … sepertinya kepolisian hanya kepo saja dengan kehidupan Anda, Tuan Gregorry. Terutama perpajakan.”Cengiran lebar ketiga penyidik itu membuat Gregorry mulai panik. Ia punya banyak dokumen kepemilihan harta yang tidak ia laporkan sama sekali.“Apa kau sedang sibuk men
“Apa yang akan kita lakukan dengan rekamannya, Nona?” tanya Madoka sambil ikut berpikir.Cengiran Visha mengawali penjelasannya, “Aku akan mengirimkan salinannya dalam bentuk flashdisk, ke rumah Adinata.”“Kenapa tidak kita perdengarkan saja di ruang kerja Gregorry?” Madoka memberi usulan.Tapi Visha menggeleng. Ia berkata, “Setelah kita menemukan siapa direktur yang berselingkuh dengan Febriella, aku punya rencana yang lebih bagus lagi, Madoka.”Madoka pun mengangguk. Ia akan mendengarkan rencananya nanti.Tak lama kemudian, salinan rekaman sudah bisa diunduh. Madoka pun segera menyiapkan paket tersebut dan mengirimnya sesuai arahan Visha.Tok! Tok!Cklak!Javier masuk ke dalam ruang kantor itu dengan wajah lemas. Membuat Visha dan Madoka mengerutkan dahinya.“Bagaimana di kantor Adinata?” tanya Madoka pada Javier yang sudah beberapa hari mengintai kantor tersebut.Pria yang baru saja masuk ke dalam ruangan itu pun langsung melemparkan tubuhnya ke atas sofa, sambil menjelaskan lapora
Beberapa hari kemudian, di kediaman Adinata. Febriella tengah pusing dengan apa yang terjadi beberapa hari belakangan ini. Ia mengurung diri di ruang riasnya sambil menggigiti kuku ibu jarinya.‘Sepertinya ada yang menyusup, sampai tahu semua kelakuan Gregorry,’ batin Febriella panik. Sudah berhari-hari wanita tua itu tidak bisa tidur nyenyak.Ia tengah mengetik pesan pada sahabatnya ketika pintu ruang rias itu diketuk.“Ya!” serunya dengan jengkel. Padahal ia sudah memberitahu para ART-nya kalau ia sedang tak ingin diganggu.‘Ugh! Apa lagi sih yang mereka mau?!’ keluh Febriella sambil menatap ke arah pintu yang sudah bergerak terbuka.Seorang ART yang belum pernah dilihat, menghampiri Febriella dengan takut-takut.ART itu membawa sebuah paket berupa kotak yang terbungkus rapat dengan isolasi coklat. Tapi sepertinya Febriella tidak menyadarinya.“Ada apa?!” tukas wanita tua itu dengan kesal.“A—anu … Nyo-nyonya … ini ada paket ditujukan untuk Anda.” ART tersebut menunjukkan tulisan y
Dua hari berlalu sejak Febriella menerima flashdisk tersebut. Istri Gregorry Adinata itu sudah mengetahui, bahwa isi flashdisk yang diterimanya adalah rekaman pembicaraannya dengan pria yang menjadi ayah kandung Raffael.Saat ini, Madoka maupun Javier belum tahu siapa ayah kandung Raffael itu, tapi mereka sudah mulai bergerak untuk membuat Raffael dan Gregorry mabuk, supaya Dokter Armeyn bisa mengambil sampel yang akan digunakan dalam tes DNA.“Mi-chan akan bertemu dengan Raffael di Bar Solomon, sementara Chie-chan bertemu Gregorry di hotel Artemis.” Madoka melapor pada Javier yang sudah menjemput Dokter Armeyn.“Oke.” Javier mematikan ponselnya dan menghela napas dalam-dalam.Mereka sengaja bertemu di tempat yang sama, karena tidak mungkin membawa Dokter Armeyn ke sana-sini. Kasihan. Sudah tua.“Apa yang sedang kalian lakukan sih?” tanya Dokter Armeyn dengan penuh rasa penasaran.Dokter tua itu tidak terlihat ketakutan, malah sangat bersemangat. Seolah ia sedang dalam misi.“Nah … ak
10 tahun berlalu.Pemandangan gedung sekolah dasar yang ramai dengan hamburan murid pulang sekolah sudah menjadi kesenangan Dante sejak sang ibu—Navisha, menambah cabang Viensha Co. di negara lain.Tahun ini, putra pertama Visha tersebut sudah menginjak usia 18 tahun. Dan minggu ini, seorang gadis muda Italia yang berbeda dari minggu lalu, menempel lagi padanya.“Dante ... kapan kita pulang? Di sini panas sekali,” rengek gadis yang sudah mengekornya sejak dari gedung SMA.Dante menghela napas singkat. Netranya tak kuasa untuk tidak berputar lelah. “Aku sudah bilang akan menjemput adikku. Kau yang bersikeras untuk ikut Danny, jangan rewel.”“Kau pasti bohong! Kau—““Dante!” suara lantang yang memanggil Dante itu adalah milik seorang gadis kecil.Wajahnya mirip seperti Visha. Netranya yang biru pun persis seperti Dante dan ibu mereka.“Ammy!” seru Dante yang langsung meninggalkan teman perempuannya untuk menyambut kepulangan sang adik.Buk!Pukulan kecil dari sang adik pun mendarat di b
“Cantik sekali ....”Javier ternganga di depan kaca besar yang menampilkan puluhan tempat tidur bayi. Netranya terfokus pada satu kreatur mungil yang diletakkan paling dekat dengan kaca tersebut.Putrinya. Buah hatinya dengan Navisha.“Kau belum lihat matanya, Jav. Biru langit sepertiku!” seru Ernesto dengan nada bangga.Javier mendengkus geli. Tentu saja. Matanya pasti seperti sang ibu. Keturunan dari Luca yang matanya juga berwarna biru.Tiba-tiba wajah Javier mengkerut kesal. Ia berpaling pada Ernesto dan bertanya, “Kau sudah menggendongnya?!”Nada cemburu terselip di setiap kalimat tanya yang dilontarkan Javier barusan. Ernesto pun tergelak.“Cemburu?! Aku bahkan sudah melihatnya mandi!” ledek Ernesto dengan wajah tenang, sementara Javier terlihat kesal, merasa kalah.“Bohong lah!” seru Ernesto tiba-tiba. “Aku tadi diseret Papa ke sana ke mari. Mencari baju untuk cucu perempuannya. Belum lagi sepatu bulu-bulu dan banyak lagi.”Mendengar pengakuan Ernesto, Javier pun terkekeh. “Ter
“Jav ... duduklah dulu. Kau membuatku ikut panik.” Luca menggeleng singkat sambil menghela napas pendek.“Ah! Sorry, Yah.”Javier kemudian duduk di samping Luca, tetapi tubuhnya tak berhenti bergerak. Kadang ia akan membungkuk, kadang bersandar. Bahkan pria muda itu tak berhenti menggerakkan kakiknya, seperti orang sedang menjahit pakaian dengan mesin manual.Ekor mata Luca menangkap gerakan berulang tersebut dan kembali menegur mantunya itu, “Jav.”“Ugh! Aku tak bisa tenang. Aku ingin masuk ke dalam sana, Yah. Aku khawatir apa kami terlambat. Air ketubannya keluar sangat banyak tadi. Kuharap tidak akan ada yang terjadi pada Visha.”Mereka tengah was-was menunggu proses c-section yang harus dilewati Visha. Kondisi bayinya tidak berada di jalur lahir, sementara air ketuban sudah pecah. Kalau dibiarkan terlalu lama, kemungkinan terburuk bisa menyapa sang jabang bayi.Akhirnya, Visha pun harus masuk ruang operasi. Walau ini adalah operasi Visha yang kedua, entah kenapa Javier merasa lebi
183“Javier, kau ada waktu siang ini?” Luca, tak diduga Javier, menghubunginya tiba-tiba. Tentu saja, Javier menyanggupinya. Tugas menjemput Dante ia serahkan sementara pada Madoka. Biasanya Javier akan ikut ke sekolah untuk menjemput. Javier pun merespon, “Tentu, Ayah. Kau mau aku membawa Visha atau?”“Nah ... kau saja. Kuharap Visha tak perlu tahu aku mengajakmu bertemu, Jav.”Suami sah Visha tersebut tertegun sesaat sebelum menyetujui ucapan Luca. ‘Mungkin ini soal Ernesto.’Setelah sambungan telepon itu terputus, Javier segera pamit pada Visha dengan alasan akan menjemput Dante bersama Madoka.Dominic berjaga di apartemennya bersama dengan beberapa anak buah. Tentu saja, Javier sudah sedikit lega, karena berita Ernesto menghabisi Gale semalam sudah sampai di telinganya. Semua orang kini membicarakan pria muda itu.“Aku titip kue tart tiramisu,” pesan Visha saat mengantar Javier sampai di ambang pintu. Hamil keduanya ini membuat Visha menginginkan makanan manis. ia bisa menghabis
Dhuar!Bang!Bang!Bang!“Ha! Ha! Ha! Mati kalian semua antek Cavallo!” raung Gale yang berdiri di atas kendaraan jeep terbuka.Mereka baru saja mengebom gerbang utama kediaman Luca dan melumpuhkan semua penjaga.Luca yang terbangun karena alarm dari gerbang utama pun langsung menyuruh semua staf rumah tangga membawa Bianca, bersembunyi di ruang bawah tanah.Ernesto dan Luca bersiap menghadapi mereka dengan anak buah yang ada. Tidak banyak mereka yang tinggal di dalam area Cavallo. Paling banyak mereka bisa mengumpulkan 50 orang untuk kejadian tak terduga ini.“Kau sudah memanggil anak-anak di luar sana?” seru Luca pada Ernesto, yang berjalan bersama menuju ke luar teras untuk melihat keadaan seperti apa yang menunggunya.“Beres, Pa. Mereka sudah dekat.”‘Andai ada Javier ... aku merasa lebih tenang. Kalau hanya Ernesto ... haaah ... aku harusnya bisa percaya pada anakku,’ batin Luca berkonflik.Luca tak punya muka untuk memanggil Javier, karena Ernesto dengan bodohnya sudah membuat C
"Uncle Madoka!" seru Dante yang baru saja keluar dari kelasnya.Tuan muda kecil Cavallo tersebut baru saja menyudahi proses belajarnya hari itu. Dari wajah Dante, Madoka bisa menebak kalau permintaan maaf dari Simon tadi sudah menghilangkan air muka sedihnya."Tuan Muda! Apa mau makan dulu di kantin? Dengan Simon?" tanya Madoka tanpa basa basi.Dante yang memang sudah terbiasa mengamati orang-orang dewasa itu di sekitarnya pun paham, bahwa ada hal yang ingin dibicarakan Madoka dengam Simon."Tentu! Akan kupanggilkan Simon." Dante tersenyum riang sambil berbalik kembali ke kelas untuk menghampiri anak tersebut."Simon, mau makan siang denganku? Kau sering lama menunggu di kelas, kan?" ajak Dante dengan senyum ramahnya.Simon sedikit tertegun mendapat perlakuan baik dari Dante. Walau ia sudah minta maaf, baginya tidak serta merta mereka menjadi teman. "Tidak ada alasan aku makan siang denganmu! Jangan urusi aku!" sentak Simon.Suara Simon yang keras sudah tentu membuat Madoka memunculk
"Saya sudah katakan pada Anda, bahwa Dante adalah keluarga Cavallo. Tapi Anda tidak menggubrisnya." Moses mengingatkan pria yang meneleponnya sambil mengamuk.Setelah kedatangan Javier yang sia-sia kemarin, hari ini ayah Simon—Richard Countesc, menghubungi sang kepala sekolah dan mengamuk.Richard menebak kalau orang yang sudah mengganggu bisnisnya pastilah orangtua Dante. Karena dalam pesan yang diterimanya, mereka menginginkan permintaan maaf dari Simon."Brengsek! Padahal Javier itu tidak ada urusannya dengan anak itu! Dari berita yang kudengar, anak itu hasil pemerkosaan! Tch! Keluarga berantakan!" raung Richard yang masih tidak paham dengan posisinya.Lagi, Moses menghela napas panjang. Ia tahu bahwa Richard adalah donatur terbesar di sekolah tersebut, tapi kalau selalu keras kepala seperti ini, tidak mungkin sang kepala sekolah mau pasang badan.Moses pun akhirnya berkata, "Tuan Richard, sebaiknya Anda selesaikan dengan baik-baik. Mau bagaimanapun masa lalu Dante, tidak akan per
“Well ... apa kau sudah siap untuk minta maaf pada temanmu? Dante?”Dante menelan ludah. Tidak siap untuk melakukan apa yang ditanyakan sang ayah. Javier sedikit was-was menantikan jawaban dari Dante. Ia cukup takut kalau-kalau putranya itu menolak dan memilih untuk mengabaikan saja masalah ini.“Ehem! Si—siap!” seru Dante dengan terbata.Kini mereka sudah berada di depan ruang kepala sekolah untuk membicarakan mengenai perkelahian Dante dengan temannya kemarin.Javier terkekeh pelan sementara buku jarinya mulai menghantam lembut pintu ruang kepala sekolah yang masih tertutup rapat.“Masuk!” Seruan dari dalam terdengar samar, sebagai izin untuk Javier menggeser terbuka pintu itu.“Selamat pagi, Mr. Moses,” sapa Javier dan Dante hampir berbarengan.Mendengar sapaan itu, pria tua bernama Moses itu pun segera berdiri dan membalasnya, “Ah ... selamat pagi, Tuan Javier, Dante. Ayo duduk dulu.”Masing-masing mereka pun mengambil posisi duduk berhadapan. Dante duduk di samping Javier dengan
“Ada apa?”Belum juga Javier membuka pintu ruang kerja Visha, sang istri ternyata sudah lebih dulu mempertanyakan percakapan telepon barusan.Padahal Javier masih butuh waktu untuk mengatur kata-katanya agar Visha tidak langsung marah karena Dante berkelahi.“Nana ... kau sudah selesai bekerja?” tanya Dante sambil mendorong Navisha kembali ke dalam dan mendudukkan sang istri di sofa.Yang didorong pun menurut saja. Ia duduk sementara manik matanya mengikuti tubuh Javier yang bergerak menyusulnya duduk di sisi kanan.Alih-alih menjawab pertanyaan Javier, Visha malah balik bertanya, “Kudengar kau seperti panik. Siapa tadi, Jav?”Javier masih butuh waktu lebih untuk memutuskan dari sisi mana ia akan mulai menjelaskan apa yang terjadi pada Dante.Kalau ia mulai dengan kalimat bahwa Dante dirundung di sekolah, jelas Visha akan mengamuk dan segera menuju ke sekolah.Namun, kalau dijelaskan bahwa Dante berkelahi, ia pasti akan marah pada Dante.‘Ugh! Sejak kapan membuat kalimat saja sulit bu