"Aku tidak terlibat, Pa. Kau tahu sendiri apa yang sedang kukerjakan. Kau bisa memeriksaku secara terbuka. Aku tidak keberatan," tantang Ernesto sambil meletakkan ponselnya di atas meja.Helaan napas berat keluar dari mulut Luca. "Hati manusia tidak ada yang tahu, Ernesto. Maafkan kalau Papa membuatmu marah. Papa sedang tidak dalam keadaan bisa mempercayaimu dan ibumu." Luca mengalihkan pandangannya kembali pada jalan raya yang sesekali terlihat rapat dengan mobil.Mereka kembali terdiam. Luca benar-benar kesulitan memutuskan, siapa yang akan ia percayai.Melihat netra Ernesto yang mampu menatap matanya dengan tidak goyah, Luca pun tidak yakin lagi dengan keraguannya.'Walau bisa saja, ada kemungkinan Ernesto mencoba-coba dengan berpura-pura menantangku seperti ini. Argh! Aku tidak tahu lagi mana kebenaran,' keluh Luca dalam hatinya. Setelah terdiam cukup lama, Luca akhirnya membuka suara, memecah keheningan di antara mereka."Aku akan menuntut Bianca." Luca mengumandangkan keputus
Beberapa hari berlalu setelah kejadian itu. Bianca yang baru saja tiba di bandara negara Italia langsung dikawal oleh Damian dan Madoka, menuju ke tempat yang belum pernah ia datangi."Kalian mau bawa aku ke mana?! Aku tidak tahu tempat ini!" seru Bianca panik. Madoka pun tersenyum lebar, mencoba menenangkan istri bos-nya itu, sambil berkata, "Tenang saja, Madam. Tidak ada yang mungkin berani melukai Madam."'Kecuali Bos Luca sendiri,' lanjut Madoka dalam hati."Tapi ada keperluan apa, kalian menjemputku ke tempat yang tak kukenal ini, Madoka?!" tanyanya dengan nada yang mulai meninggi.Madoka mencoba sabar, karena Luca sudah memperingatkan mereka untuk tetap bersikap hormat pada Bianca.Melihat Madoka yang sudah diambang batas kesabaran, Damian memutuskan untuk menjawab kemarahan Bianca, "Bos Luca meminta kami untuk membawa Nyonya ke sini. Mohon bersabar sampai Nyonya berada di tempat tujuan. Nyonya bisa menanyakannya pada Bos Luca."Bianca tak lagi membantah. Ia sedikit takut kala
"Je—jeruji besi?! Apa yang sedang kau bicarakan, Luca?! Apa yang kulakukan, sampai aku mendapat ancaman seperti ini darimu?!" Bianca masih terlihat mengelak. Netranya membulat dan terlihat gemetar, memaksa diri untuk memandang wajah Luca.Luca sendiri terlihat semakin terluka. Ia tidak ingin mengubah pembicaraan yang tenang ini menjadi beringas. "Tch! Ernesto, kau lihat sendiri seperti apa kerasnya hati ibumu—""Ini tidak ada urusannya dengan Ernesto!" raung Bianca memotong ucapan Luca. Tapi Ernesto langsung meminta perhatian Bianca. "Ma, apa benar kau menyuruh orang menculik Dante? Apa benar kau meminta pria ini untuk mengurung Kak Visha?" Ernesto menggenggam tangan Bianca erat-erat, tapi ia sendiri tidak tahu harus berharap apa.Berharap Bianca mengakui perbuatannya? Tapi bagaimana kalau sang ibu tidak melakukannya? Bagaimana kalau bukti-bukti di tangannya sekarang tidak benar? Mungkin ada yang menjebak Bianca? "Ernesto, jangan percaya dengan semua ini. Mama tidak melakukan ap
Beberapa hari berlalu sejak kejadian penculikan. Visha pun sudah sehat lagi dan sedang mempersiapkan diri untuk dilantik dalam rapat pemegang saham.Dante sendiri tidak terlalu terpengaruh dengan kejadian itu. Mungkin karena pria yang menjaga mereka tidak melakukan hal buruk. Luca bahkan menerima pria tersebut menjadi anak buahnya.Dan hari ini, adalah rapat pemegang saham yang dilaksanakan di luar kewajiban perusahaan, karena adanya perubahan susunan manajemen di Viensha Ltd. "Apa ada yang perlu kulakukan?" tanya Visha pada Damian.Pria itu menggeleng. "Tidak ada, Nona. Hanya di akhir acara, harus berdiri menerima ucapan selamat dari para pemegang saham."Visha mengangguk percaya pada ucapan Damian. Ia sudah membayangkan dirinya harus maju ke depan dan memperkenalkan diri.Sesuatu yang membuatnya cukup rendah diri, kalau sampai ada yang terdengar membandingkannya dengan sang ayah."Nona, sudah akan dimulai." Damian membuka pintu ruang persiapan dan mengantar Visha ke ruangan yang
"Astaga, Kak! Minum dulu! Kenapa kau tersedak sih?!" bisik Ernesto sambil melirik ke arah para peserta rapat, kalau-kalau ada yang melihat momen bodoh sang kakak yang tiba-tiba terbatuk tanpa sebab.Adik laki-lakinya itu langsung membukakan air mineral botol kecil yang ada di hadapan Visha dan menyuguhkan padanya.Visha sedikit malu, karena pada akhirnya, ia menarik perhatian beberapa peserta rapat yang sedang serius menanggapi isu mengenai karyawan.'Javier! Dan balasan bodohnya!' keluh Visha dalam hati. Begitu pun, ia masih tidak tahu bagaimana harus membalas pesan Javier yang terakhir tadi. Padahal ia hanya berniat bercanda, tapi sekarang ia jadi terjebak sendiri dengan gurauannya itu.Setelah merasa tenggorokannya sudah tidak gatal, Visha pun membalas pesan Javier tadi.Ia memutuskan untuk mengabaikan pesan Javier dan membahas hal lain.Visha C. [11.45]: Kesampingkan itu dulu. Tolong beri aku laporan mengenai keluarga Adinata segera.Atas pesannya itu, Visha mendapatkan 'ok' seba
"Huh? Dari mana Nona tahu?" tanya Javier yang tak menyangka bahwa berita rahasia itu akan sampai di telinga Visha.Padahal Luca sudah mewanti-wanti kalau cerita itu jangan sampai terdengar oleh Visha."Jadi benar?! Padahal kau ingat, kan? Ayah memberikan ruang bagiku untuk pembalasan dendam ini. Kenapa Ayah melanggar janjinya?!" protes Visha pada Javier yang merasa kalau sang nona salah sasaran, karena protes padanya dan bukan pada Luca."Sabar dulu, Nona. Saya mau menjelaskan." Javier mencoba menenangkan Visha, sambil melirik ke arah Ernesto yang dia yakini menjadi dalang ketahuannya rahasia itu.Bukannya Luca ingin menutupi karena ia mendukung keinginan Lyuvent, tapi karena memang masalah itu sudah selesai diatasi. Tidak perlu diributkan lagi "Bos Luca berhasil membuat Tuan Besar menunggu sedikit lagi, Nona. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.""Eh?!" Visha dikejutkan lagi dengan adanya informasi yang berbeda. Tapi kali ini ia bisa menghela napas lega mendengarnya berita bag
"Ah! Jadi benar soal Adinata," gumam Luca yang menerima anggukan kepala dari Visha, berulang kali. Luca mengambil sejumlah kudapan dan mencicipi beberapa makanan yang terlihat unik bentuknya, sementara pikirannya sibuk menimbang ini dan itu, terkait keputusan Visha.Ia tidak mungkin meninggalkan Italia terlalu lama. Tentu saja, jika Visha berencana untuk melancarkan rencananya itu, ia tidak mungkin tinggal hanya sebentar di Indonesia.‘Paling cepat selesai dalam 6 bulan. Tapi aku tidak bisa meninggalkan Cavallo terlalu lama. Aku tidak bisa ikut dengan Visha,’ batin Luca sambil menatap dalam-dalam netra biru Visha, dengan diam.Tak lama kemudian, Luca bertanya, "Kau yakin sudah siap, Navisha? Kau tahu, kan, Ayah tidak bisa meninggalkan Italia terlalu lama. Kau akan bergerak sendiri. Bagaimana?" tanya Luca setelah menelan salah satu kudapan yang beruntung dicicipinya.Visha terdiam sambil mengepalkan tangannya. Tapi dengan tegas ia berkata, "Aku tidak siap, Ayah, tapi aku merasa kalau
“Sudah, Bos.”Luca mengangguk. “Kalau Ernesto bilang dia tak ingat sudah menyetujui ini besok, kita sudah punya buktinya,” ujar Luca sambil tergelak.Sementara itu, Ernesto sudah benar-benar tak sadarkan diri, karena ia menghabiskan 2 botol wine dengan cepatnya.Yang selalu disayangkan oleh Luca dari Ernesto adalah anak itu takkan pernah bisa menemaninya minum hingga larut. Sebentar saja, ia pasti sudah mabuk. Dan itu cukup menyulitkan di dunia mafia.“Damian, minta Celez membawanya ke kamar,” perintah Luca dengan nada mengeluh.Ia mengeluhkan lemahnya Ernesto terhadap minuman keras, padahal ia menyimpan begitu banyak minuman keras di kamarnya.“Baik, Bos. Sekalian saya dan Javier pamit.”Luca mengangguk menerima pamitnya.Dan segera, ruangan itu sunyi kembali, sebelum Luca berkata, “Visha, Nak. Tidurlah di sini malam ini. Kurasa Dante sudah ada di kamar lamamu.”Visha sedikit kaget mendapat undangan itu. Tapi tidak mungkin ia menolaknya.“Ah, ya. Tapi … uhm, apa Mama tidak masalah?”
10 tahun berlalu.Pemandangan gedung sekolah dasar yang ramai dengan hamburan murid pulang sekolah sudah menjadi kesenangan Dante sejak sang ibu—Navisha, menambah cabang Viensha Co. di negara lain.Tahun ini, putra pertama Visha tersebut sudah menginjak usia 18 tahun. Dan minggu ini, seorang gadis muda Italia yang berbeda dari minggu lalu, menempel lagi padanya.“Dante ... kapan kita pulang? Di sini panas sekali,” rengek gadis yang sudah mengekornya sejak dari gedung SMA.Dante menghela napas singkat. Netranya tak kuasa untuk tidak berputar lelah. “Aku sudah bilang akan menjemput adikku. Kau yang bersikeras untuk ikut Danny, jangan rewel.”“Kau pasti bohong! Kau—““Dante!” suara lantang yang memanggil Dante itu adalah milik seorang gadis kecil.Wajahnya mirip seperti Visha. Netranya yang biru pun persis seperti Dante dan ibu mereka.“Ammy!” seru Dante yang langsung meninggalkan teman perempuannya untuk menyambut kepulangan sang adik.Buk!Pukulan kecil dari sang adik pun mendarat di b
“Cantik sekali ....”Javier ternganga di depan kaca besar yang menampilkan puluhan tempat tidur bayi. Netranya terfokus pada satu kreatur mungil yang diletakkan paling dekat dengan kaca tersebut.Putrinya. Buah hatinya dengan Navisha.“Kau belum lihat matanya, Jav. Biru langit sepertiku!” seru Ernesto dengan nada bangga.Javier mendengkus geli. Tentu saja. Matanya pasti seperti sang ibu. Keturunan dari Luca yang matanya juga berwarna biru.Tiba-tiba wajah Javier mengkerut kesal. Ia berpaling pada Ernesto dan bertanya, “Kau sudah menggendongnya?!”Nada cemburu terselip di setiap kalimat tanya yang dilontarkan Javier barusan. Ernesto pun tergelak.“Cemburu?! Aku bahkan sudah melihatnya mandi!” ledek Ernesto dengan wajah tenang, sementara Javier terlihat kesal, merasa kalah.“Bohong lah!” seru Ernesto tiba-tiba. “Aku tadi diseret Papa ke sana ke mari. Mencari baju untuk cucu perempuannya. Belum lagi sepatu bulu-bulu dan banyak lagi.”Mendengar pengakuan Ernesto, Javier pun terkekeh. “Ter
“Jav ... duduklah dulu. Kau membuatku ikut panik.” Luca menggeleng singkat sambil menghela napas pendek.“Ah! Sorry, Yah.”Javier kemudian duduk di samping Luca, tetapi tubuhnya tak berhenti bergerak. Kadang ia akan membungkuk, kadang bersandar. Bahkan pria muda itu tak berhenti menggerakkan kakiknya, seperti orang sedang menjahit pakaian dengan mesin manual.Ekor mata Luca menangkap gerakan berulang tersebut dan kembali menegur mantunya itu, “Jav.”“Ugh! Aku tak bisa tenang. Aku ingin masuk ke dalam sana, Yah. Aku khawatir apa kami terlambat. Air ketubannya keluar sangat banyak tadi. Kuharap tidak akan ada yang terjadi pada Visha.”Mereka tengah was-was menunggu proses c-section yang harus dilewati Visha. Kondisi bayinya tidak berada di jalur lahir, sementara air ketuban sudah pecah. Kalau dibiarkan terlalu lama, kemungkinan terburuk bisa menyapa sang jabang bayi.Akhirnya, Visha pun harus masuk ruang operasi. Walau ini adalah operasi Visha yang kedua, entah kenapa Javier merasa lebi
183“Javier, kau ada waktu siang ini?” Luca, tak diduga Javier, menghubunginya tiba-tiba. Tentu saja, Javier menyanggupinya. Tugas menjemput Dante ia serahkan sementara pada Madoka. Biasanya Javier akan ikut ke sekolah untuk menjemput. Javier pun merespon, “Tentu, Ayah. Kau mau aku membawa Visha atau?”“Nah ... kau saja. Kuharap Visha tak perlu tahu aku mengajakmu bertemu, Jav.”Suami sah Visha tersebut tertegun sesaat sebelum menyetujui ucapan Luca. ‘Mungkin ini soal Ernesto.’Setelah sambungan telepon itu terputus, Javier segera pamit pada Visha dengan alasan akan menjemput Dante bersama Madoka.Dominic berjaga di apartemennya bersama dengan beberapa anak buah. Tentu saja, Javier sudah sedikit lega, karena berita Ernesto menghabisi Gale semalam sudah sampai di telinganya. Semua orang kini membicarakan pria muda itu.“Aku titip kue tart tiramisu,” pesan Visha saat mengantar Javier sampai di ambang pintu. Hamil keduanya ini membuat Visha menginginkan makanan manis. ia bisa menghabis
Dhuar!Bang!Bang!Bang!“Ha! Ha! Ha! Mati kalian semua antek Cavallo!” raung Gale yang berdiri di atas kendaraan jeep terbuka.Mereka baru saja mengebom gerbang utama kediaman Luca dan melumpuhkan semua penjaga.Luca yang terbangun karena alarm dari gerbang utama pun langsung menyuruh semua staf rumah tangga membawa Bianca, bersembunyi di ruang bawah tanah.Ernesto dan Luca bersiap menghadapi mereka dengan anak buah yang ada. Tidak banyak mereka yang tinggal di dalam area Cavallo. Paling banyak mereka bisa mengumpulkan 50 orang untuk kejadian tak terduga ini.“Kau sudah memanggil anak-anak di luar sana?” seru Luca pada Ernesto, yang berjalan bersama menuju ke luar teras untuk melihat keadaan seperti apa yang menunggunya.“Beres, Pa. Mereka sudah dekat.”‘Andai ada Javier ... aku merasa lebih tenang. Kalau hanya Ernesto ... haaah ... aku harusnya bisa percaya pada anakku,’ batin Luca berkonflik.Luca tak punya muka untuk memanggil Javier, karena Ernesto dengan bodohnya sudah membuat C
"Uncle Madoka!" seru Dante yang baru saja keluar dari kelasnya.Tuan muda kecil Cavallo tersebut baru saja menyudahi proses belajarnya hari itu. Dari wajah Dante, Madoka bisa menebak kalau permintaan maaf dari Simon tadi sudah menghilangkan air muka sedihnya."Tuan Muda! Apa mau makan dulu di kantin? Dengan Simon?" tanya Madoka tanpa basa basi.Dante yang memang sudah terbiasa mengamati orang-orang dewasa itu di sekitarnya pun paham, bahwa ada hal yang ingin dibicarakan Madoka dengam Simon."Tentu! Akan kupanggilkan Simon." Dante tersenyum riang sambil berbalik kembali ke kelas untuk menghampiri anak tersebut."Simon, mau makan siang denganku? Kau sering lama menunggu di kelas, kan?" ajak Dante dengan senyum ramahnya.Simon sedikit tertegun mendapat perlakuan baik dari Dante. Walau ia sudah minta maaf, baginya tidak serta merta mereka menjadi teman. "Tidak ada alasan aku makan siang denganmu! Jangan urusi aku!" sentak Simon.Suara Simon yang keras sudah tentu membuat Madoka memunculk
"Saya sudah katakan pada Anda, bahwa Dante adalah keluarga Cavallo. Tapi Anda tidak menggubrisnya." Moses mengingatkan pria yang meneleponnya sambil mengamuk.Setelah kedatangan Javier yang sia-sia kemarin, hari ini ayah Simon—Richard Countesc, menghubungi sang kepala sekolah dan mengamuk.Richard menebak kalau orang yang sudah mengganggu bisnisnya pastilah orangtua Dante. Karena dalam pesan yang diterimanya, mereka menginginkan permintaan maaf dari Simon."Brengsek! Padahal Javier itu tidak ada urusannya dengan anak itu! Dari berita yang kudengar, anak itu hasil pemerkosaan! Tch! Keluarga berantakan!" raung Richard yang masih tidak paham dengan posisinya.Lagi, Moses menghela napas panjang. Ia tahu bahwa Richard adalah donatur terbesar di sekolah tersebut, tapi kalau selalu keras kepala seperti ini, tidak mungkin sang kepala sekolah mau pasang badan.Moses pun akhirnya berkata, "Tuan Richard, sebaiknya Anda selesaikan dengan baik-baik. Mau bagaimanapun masa lalu Dante, tidak akan per
“Well ... apa kau sudah siap untuk minta maaf pada temanmu? Dante?”Dante menelan ludah. Tidak siap untuk melakukan apa yang ditanyakan sang ayah. Javier sedikit was-was menantikan jawaban dari Dante. Ia cukup takut kalau-kalau putranya itu menolak dan memilih untuk mengabaikan saja masalah ini.“Ehem! Si—siap!” seru Dante dengan terbata.Kini mereka sudah berada di depan ruang kepala sekolah untuk membicarakan mengenai perkelahian Dante dengan temannya kemarin.Javier terkekeh pelan sementara buku jarinya mulai menghantam lembut pintu ruang kepala sekolah yang masih tertutup rapat.“Masuk!” Seruan dari dalam terdengar samar, sebagai izin untuk Javier menggeser terbuka pintu itu.“Selamat pagi, Mr. Moses,” sapa Javier dan Dante hampir berbarengan.Mendengar sapaan itu, pria tua bernama Moses itu pun segera berdiri dan membalasnya, “Ah ... selamat pagi, Tuan Javier, Dante. Ayo duduk dulu.”Masing-masing mereka pun mengambil posisi duduk berhadapan. Dante duduk di samping Javier dengan
“Ada apa?”Belum juga Javier membuka pintu ruang kerja Visha, sang istri ternyata sudah lebih dulu mempertanyakan percakapan telepon barusan.Padahal Javier masih butuh waktu untuk mengatur kata-katanya agar Visha tidak langsung marah karena Dante berkelahi.“Nana ... kau sudah selesai bekerja?” tanya Dante sambil mendorong Navisha kembali ke dalam dan mendudukkan sang istri di sofa.Yang didorong pun menurut saja. Ia duduk sementara manik matanya mengikuti tubuh Javier yang bergerak menyusulnya duduk di sisi kanan.Alih-alih menjawab pertanyaan Javier, Visha malah balik bertanya, “Kudengar kau seperti panik. Siapa tadi, Jav?”Javier masih butuh waktu lebih untuk memutuskan dari sisi mana ia akan mulai menjelaskan apa yang terjadi pada Dante.Kalau ia mulai dengan kalimat bahwa Dante dirundung di sekolah, jelas Visha akan mengamuk dan segera menuju ke sekolah.Namun, kalau dijelaskan bahwa Dante berkelahi, ia pasti akan marah pada Dante.‘Ugh! Sejak kapan membuat kalimat saja sulit bu