"Tidak ... apanya, Nona?" tanya Javier.Ia merasa apa yang akan diputuskan Visha, tidak akan disetujuinya.Netra Javier kini meruncing, sementara kulit di dahinya berkumpul membentuk kerutan, seolah menuntut penjelasan lanjutan dari jawaban Visha yang hanya sepotong tadi.Visha pun melanjutkan, "Aku akan menempatkan mereka berdua—Nigel dan Kahlun, untuk Dante saja. Aku tak ingin putraku kenapa-napa.""Tapi nona sendiri—""Aku sudah bisa bela diri. Lagipula, ada Lucas juga. Kurasa cukup. Tidak akan ada yang terjadi," potong Visha.Keputusan Visha semakin membuat Javier tak ingin menyetujui perintah dari Luca.Javier mengepalkan tangannya. Sebenarnya ia sudah tahu alasan lain di balik penarikannya dari posisi bodyguard. Nigel sudah memberitahu Javier, bahwa selain alasan kalau mereka harus mengurus pengacau itu, Luca sepertinya keberatan dengan kedekatan Javier terhadap Dante dan Visha. Ia merasa tidak mungkin memberitahu Visha mengenai hal itu. Javier tidak tahu kalau sebenarnya Vi
Keesokan harinya, di kediaman Visha."Hm? Kau siapa?" Dante yang baru saja terbangun, terkejut melihat seorang pria bertubuh kekar, berjaga dengan kaku di samping ambang pintu kamarnya."Selamat pagi, Tuan muda Dante. Perkenalkan saya Kahlun, yang akan menemani Tuan muda mulai hari ini." Kahlun menunduk sambil meletakkan tangan kanan di atas dadanya.Dante mengusap-usap kedua matanya yang masih kesulitan untuk melek sambil bertanya pelan, "Uncle Madoka? Di mana?"Dante bahkan tidak menggubris perkenalan Kahlun. Pikirannya sibuk bertanya-tanya, kenapa pria cantik yang biasanya sudah duduk di samping tempat tidurnya itu, hari ini tidak terlihat."Ah ... senior Madoka sedang menjalankan tugas untuk beberapa hari ke depan—""Di mana Uncle Madoka?" tanya Dante lagi yang tidak paham dengan ucapan Kahlun. Netranya mulai tertutup dengan air mata ketika ia sadar kalau Madoka benar-benar tidak ada. Mata berair Dante membuat Kahlun panik. Ia mencoba menjelaskan, namun isakan Dante yang mulai
Dante bangun pagi-pagi, seperti biasanya.Walau masih dalam suasana liburan—seperti janjinya seminggu yang lalu, ia tetap bangun pagi supaya bisa mengantar sang mama ke kantor."Selamat pagi, Mama!" seru Dante dengan nada ceria.Anak laki-laki itu selalu merasa lega, setiap kali ia menemukan wanita muda yang cantik itu duduk di meja makan, sambil mengutak atik ponselnya.Mendengar sapaan putranya, Visha langsung meletakkan ponselnya dan berbalik. Ia membuka lebar kedua tangannya, untuk menyambut Dante."Dante! Pagi, Sayang. Ayo sarapan?" ajak Visha sambil mengangkat putranya ke atas pangkuan.Dante mengangguk sambil berceloteh panjang lebar soal mimpinya semalam, sementara Sonya sibuk menghidangkan sarapan mereka di atas meja makan.“Jam berapa kau bertemu dengan teman-temanmu, Nak?" tanya Visha, sementara mereka menikmati makan pagi berdua."Jam 10,” jawab Dante riang. Ia kemudian bertanya, “Apa aku boleh menunggu di kantor Mama dulu? Apa ada Papa Javier di sana?”Visha mengangguk. “
“Uhm … maaf, Ma. Dante hari ini ada janji dengan teman-temannya. Makanya anak itu ikut ke kantor. Ia janjian jam 10 nanti.” Visha tersenyum sambil menjelaskan.Bianca terlihat kaget, tapi kemudian ia tersenyum. “Wah! Cucu Mama sudah besar ya. Sudah bisa pergi main dengan teman-temannya. Tak apa, Nak. Lain waktu saja,” ujarnya, yang lalu menghabiskan isi cangkir.“Kalau begitu, Mama pamit ya. Mama ada janji sarapan dengan istri walikota. Beliau membuat panekuk yang enak sekali.” Bianca pun memeluk Visha dan saling bertukar cium pipi sebelum akhirnya ia keluar dari ruang kerja Luca.Visha akhirnya bisa bernapas lega, sepeninggalan Bianca. Ia tak menduga akan kedatangannya, yang sampai akhir pun tidak tahu tujuannya apa mendatangi kantor suaminya yang jelas belum berpenghuni.‘Apa ia ingin mengambil sesuatu dari ruangan Ayah?’ batin Visha menebak-nebak. ‘Ugh! Aku jadi menuduh yang tidak-tidak. Aku tidak boleh demikian.’Visha tengah sibuk dengan pikirannya, ketika Luca datang bersama den
“Kalian sudah dapatkan CCTV? Black box?” tanya Nigel yang sedikit lebih sehat ketimbang Kahlun.Pria itu—Kahlun, terkena luka tusuk di perutnya beberapa kali, dan sekarang sudah dilarikan ke rumah sakit terdekat. Ia sempat menelepon Visha tadi, untuk memberitahu apa yang terjadi.Sementara menunggu Visha datang, mereka sudah mencoba mengumpulkan rekaman CCTV dan black box di sekitar area di mana Dante terlihat bermain bersama teman-temannya.Sayangnya, CCTV sudah dimatikan sejak setengah jam sebelum kejadian berlangsung. Jelas sekali mereka sudah merencanakan ini dengan sangat rapi. Dan tentu saja tidak ada kendaraan di dalam taman bermain.Kalaupun ada, itu adalah truk makanan, dan truk itu tidak memiliki black boxDengan kata lain, pencarian mereka sia-sia.Tak lama kemudian Visha tiba di tempat kejadian. Ditemani Lucas, ia langsung mencari Nigel.Visha menyuruh Lucas yang menanyakan segala sesuatu, karena ia tahu dengan kondisi emosinya saat ini, ia akan sangat mudah marah dan tida
“Jangan gegabah, Visha!” Luca memperingatkan putrinya, “Kita harus membuat rencana dulu. Dinginkan kepalamu, Navisha!”Tapi rasa khawatir yang terlalu besar itu membuatnya segera menarik lepas infus di tangannya sebelum berlari cepat, keluar dari kamar perawatan.“Nona Visha!”“Javier! Kejar Visha!” perintah Luca.Tanpa menunggu perintah 2 kali, Javier segera meninggalkan tempat itu dan berlari mengejar Visha, sementara Luca langsung mengatur posisi para anak buahnya.Ia berhasil menahan Visha di tangga darurat dan memeluknya erat.“Lepaskan aku, Javier!” raung Visha seperti orang yang sudah kehilangan kewarasannya.Tentu saja Javier harus mengabaikan perintah Visha lalu berkata, “Tolong dengarkan saya, Nona Navisha. Saya akan mengantar anda ke tempat yang diminta si penculik. Oke?”Visha menatap Javier, mencari kebenaran di balik kalimatnya itu dan mengangguk ketika hatinya mempercayai ucapan pria itu.“Bawa aku ke sana, Jav. Aku tidak peduli mereka mau melakukan apa, yang penting ak
“Huft!”Visha bersandar di dekat pohon besar yang ada di tempat terakhirnya berhenti tadi. Seperti perintah di dalam pesan tadi, ia harus diam di tempatnya.Karena kepalanya semakin pusing dan berakibat pada pandangannya yang mulai kabur, Visha pun memutuskan untuk duduk.‘Dante, bertahan sedikit lagi, Nak. Mama datang,’ batin Visha nelangsa. Sementara air mata kembali membanjir kala ia membayangkan putranya sedang ketakutan.Tak lama kemudian, ia kembali tak sadarkan diri. Seorang pria yang ditugaskan menjemputnya pun cukup kebingungan melihat Visha yang sudah tergeletak tanpa kesadaran di atas tanah.“Sepertinya pingsan, Bos,” lapor pria itu lewat protofon—walkie talkie yang menghubungkannya dengan seseorang di dalam gudang.“Bawa saja ke sini. Jangan lupa tutup matanya dan ikat tangan dan kakinya ke belakang,” perintah seorang pria dari seberang, yang menjadi lawan bicara si pembicara.“Siap, Bos.”Si penjemput itu kemudian mengangkat tubuh Visha dan memasukkannya ke dalam mobil. I
“Ha!”Madoka langsung berlari cepat melesat. Hanya satu tujuan yang ingin ia capai. Lantai 2 di mana Dante di sembunyikan.Bang!Bang!Bang!Ratata! Ratata!Semua senjata terarah pada Madoka. Tapi bukan Madoka—Mad Dog namanya, kalau tidak bisa beraksi tanpa celah. Ia berhasil melewati setengah dari ruangan itu.Sayang, sebuah peluru melesat tak terdeteksi oleh telinga tajam pria cantik itu dan mengenai pangkal pahanya.“Akh!”Bruk!Madoka terjatuh tepat di atas anak tangga terbawah. Ia merintih kesakitan sementara semua musuhnya menertawakannya.“Nyawamu tinggal 1 kah, Kitty?” ejek salah satu dari mereka sambil memanggul senjata laras panjangnya dengan gaya angkuh.“Miauw! Ha! Ha! Ha!” sambar yang lainnya.Madoka masih berusaha untuk setidaknya duduk di atas tangga dan membentengi diri dengan tongkat panjang yang masih ada di tangannya.Dan setelah ia berhasil duduk di atas anak tangga sambil bersandar di tiang tangga itu, ia langsung mengarahkan tongkat panjangnya ke arah mereka semu