Terima kasih karena masih setia membaca ceritaku. Kalau para readers berkenan, silakan singgah di ceritaku yang lain, berjudul "Disekap Wanita Yang Menginginkan Suamiku" Terima kasih sekali lagi...
“Azzalyn, kau ada di mana? Apa kau sudah sampai di kost?” tanya Bintang, segera setelah Azzalyn mengangkat panggilan darinya.Saat sampai di hotel Dandellion, Bintang sudah tak lagi melihat ada Azzalyn di sana. Menurut keterangan sekuriti hotel, Azzalyn sudah pulang dengan menaiki ojek langganannya. Kini Bintang berniat akan menyusul Azzalyn, namun ia harus memastikan terlebih dahulu keberadaan gadis itu.Setelah sempat tak menjawab panggilann sebanyak tiga kali, baru pada panggilan keempat Azzalyn mau mengangkat telepon darinya.“Iya, aku baru aja sampai,” jawab Azzalyn dingin.“Apa kau marah?”“Kenapa harus marah? Memangnya ada sesuatu yang membuatku marah?”Mereka sempat terdiam beberapa saat.“Aku udah bilang kalau aku datang untuk menjemputmu. Namun ternyata tadi ada Dwita yang minta diantar pulang. Aku nggak enak untuk menolak.” Bintang menghentikan kalimatnya. Ia ingin mendengar terlebih dahulu respon dari Azzalyn.“Itu terserah padamu Bintang. Aku nggak punya hak untuk melaran
“Targetku hanya Riska. Tapi aku nggak bisa menjamin kalau nggak akan terjadi apa-apa pada mereka.” Ujar Azzalyn dingin.“Azzalyn, jangan bilang kau mau membalas Tante Riska dengan menyakiti anak-anaknya?”Azzalyn diam, dan Bintang sepertinya paham. Itu berarti tebakannya benar.“Mereka nggak punya salah apa-apa, Azzalyn. Yang membunuh keluargamu adalah Tante Riska.” Ujar Bintang hati-hati. Ia takut Azzalyn justru marah padanya.“Mbahku juga nggak bersalah, tapi Riska melibatkannya. Aku nggak akan membunuh orang, tenang aja. Aku hanya akan menyakiti perasaan Riska melalui anak-anak kesayangannya.”“Apa yang akan kamu lakukan pada mereka, Azzalyn?”“Kamu nggak perlu tahu. Yang jelas, aku udah merencanakan semuanya.”Bintang menghela napas. Ia tahu kalau tak mungkin bisa mengubah keputusan Azzalyn. Ia hanya berharap tak akan pernah terjadi apa-apa pada sahabatnya.***“Aku masuk dulu ya,” pamit Azzalyn saat baru saja ia turun dari motor.Bintang mengangguk dan mengambil helm ya
“Papa tahu, nggak akan mungkin bisa mengembalikan kebahagiaanmu yang dulu. Papa juga sadar kalau nggak akan pernah bisa menebus kesalahan Papa di masa lalu, tapi…”“Bisakah kau tak menyebut dirimu dengan sebutan Papa di hadapanku? Aku benar-benar benci mendengarnya!” potong Azzalyn.Krisna terdiam dan langsung menundukkan kepala. Hatinya sedih dan sakit mendengar kalimat dengan nada penuh amarah dan kebencian dari putri kandungnya itu. Yang ia harapkan saat datang ke sini adalah, dapat berbicara dari hati ke hati dengan Azzalyn. Setidaknya membuat gadis itu menghilangkan rasa marah padanya.Namun apa yang terjadi memang tetap sesuai perkiraannya. Hati Azzalyn telah mengeras bagaikan batu. Tak ada tempat sama sekali baginya untuk menempati ruang hati anak perempuan yang sangat ia sayangi itu.“Maaf, aku nggak akan menyebut kata itu lagi di depanmu,” ujar Krisna pelan, dengan susah payah menahan air matanya.“Sebenarnya apa tujuanmu ke sini? Apa kau nggak tahu kalau istrimu yang jahat i
Azzalyn merasa hatinya kembali sakit melihat foto-foto lama milik ibunya. Beberapa lembar foto hitam putih yang sudah agak kusam, namun masih terlihat jelas wajah orang yang berada di dalamnya.Tampak wajah Renita saat muda, sangat mirip dengan Azzalyn. Ada beberapa foto yang menampakkan kemesraan antara Renita dan Krisna, juga beberapa foto pernikahan mereka. Semuanya begitu membuat Azzalyn kembali menangis perih. Di masa lalu, ayah dan ibunya begitu bahagia dan tampak sebagai pasangan yang sangat serasi. Namun kehadiran Riska membuat semua hancur berantakan. Kebahagiaan yang seharusnya ia miliki saat ini, justru berubah menjadi kisah pahit yang begitu menyayat hati.Dengan air mata berlinang Azzalyn memeluk foto-foto yang kembali membuat segala kenangan lama bersama sang ibu kembali mencuat. Ditambah lagi ia jadi tiba-tiba menginginkan kembali sosok seorang ayah untuk berada di sampingnya.Setelah puas memandangi lembaran foto yang begitu membuatnya sedih, tatapannya beralih pada se
“Azzalyn, kamu dipanggil ke ruangan Bu Vera,” kata Arian.“Kenapa ya?” kening Azzalyn berkerut.“Nggak tahu juga sih. Tapi denger-denger katanya kamu mau dipinjem anak Banquet, buat bantuin nanti mau ada acara besar di ballroom.”“Kok bisa disuruh buat bantuin Banquet? Kita kan beda departemen?”Arian mengedikkan bahu. “Tanya aja deh sendiri sama Bu Vera.”“Ya udah kalau gitu aku masuk dulu ya.”Azzalyn menuju ke ruangan Vera. Saat dipersilakan masuk, ia melihat Vera yang sedang sibuk mengetik sesuatu di laptopnya.“Masuk, Azzalyn. Kamu duduk dulu di situ,” Vera menunjuk meja di seberangnya. “Saya selesaikan sebentar pekerjaan saya ya. Nggak lama kok.” Lanjutnya.“Baik Bu.” Ujar Azzalyn sambil mengangguk. Sembari menunggu atasannya yang sedang sibuk, Azzalyn melayangkan pandangan ke seisi ruangan. Terlihat rapi dan bersih. Ia ingat, terakhir kali ia ke ruangan ini adalah saat ia dipanggil dan diturunkan menjadi Doorgirl.Terdengar suara Vera berdehem, mengejutkan Azzalyn ya
“Acaranya tiga hari lagi, dan saya rasa kamu udah bagus banget menjalani tugas sebagai waitress,” ujar Dela, Supervisor Banquet yang melatih Azzalyn.“Semoga saya nggak mengecewakan ya Kak,” jawab Azzalyn merendah.“Nggak akan. Saya suka kok ngeliat cara kerja kamu. Selain penampilan kamu yang menarik, kamu juga luwes dalam memberi pelayanan pada tamu. Malah, kalau seandainya Banquet mau nambah personel, saya ingin narik kamu buat jadi staf tetap di Banquet,” Dela tersenyum manis.Azzalyn hanya bisa tersipu malu. Ia cukup senang mendengar pujian atas pekerjaannya.“Kamu mau kan?” tanya Dela ambigu.“Mau apa Kak?” Azzalyn bertanya balik.“Kalau Banquet kekurangan staf, saya mau tarik kamu. Soalnya saya senang sama cara kerjamu.”Azzalyn menjawab dengan ragu,” saya belum tahu Kak. Soalnya belum ada niat untuk berpindah departemen.”“Justru kalau ada kesempatan untuk pindah departemen harus diambil. Selain buat ganti suasana, siapa tahu di departemen yang baru kamu bisa cepat nai
“Azzalyn, kamu mau ke mana?” Dela yang mengejar Azzalyn hingga ke ruang belakang terlihat panik.Bagaimana tidak, tiba-tiba saja saat tamu yang akan dijamu datang, Azzalyn mendadak langsung membalikkan badan dan dengan satu kalimat membuatnya tersentak.“Saya pulang dulu Kak. Maaf saya nggak bisa melanjutkan pekerjaan malam ini.” “Tapi kenapa? Kamu sekarang sedang kerja loh. Meninggalkan tamu mendadak seperti itu adalah sesuatu yang sangat nggak sopan. Bahkan itu sebuah kesalahan yang fatal bagi kita sebagai hotelier. Mereka tadi datang menyapa kita, dan kamu... Jangankan menjawab sapaan dan memberi hormat, malah pergi dengan muka cemberut. Kamu mau kita semua, terutama saya, ditegur F & B Manager? Atau bahkan GM?” nada suara Dela terlihat sangat marah.“Maaf Kak, tapi saya benar-benar nggak bisa kalau harus melayani mereka. Entah itu malam ini atau saat acara di ballroom nanti. Saya mengundurkan diri!”Azzalyn baru saja hendak melanjutkan langkah, namun bahu kanannya didorong D
Suasana makan malam terasa dingin dan tak nyaman. Bu Narti yang terlalu cerewet, Dwita yang cemberut karena Bintang tak duduk di dekatnya, dan beberapa kejadian canggung lainnya membuat tak terlihat kebahagiaan sama sekali di antara mereka. Hanya sesekali terdengar denting suara peralatan makan yang saling beradu.Azzalyn yang menunggu di ruang belakang masih terlihat sangat kesal. Hatinya merasa tak puas karena tadi Cuma bisa diam saat Riska meremehkannya. Hanya saja ia masih memikirkan nasib teman-temannya yang lain. Dela benar, ia tak boleh egois.“Azzalyn, sudah cek menu main course-nya?” Tanya Dela, membuat Azzalyn sedikit terkejut. Azzalyn hanya mengangguk.“Kalau sudah kamu keluar sebentar bantu clear up sisa appetizer. Nanti kamu bantu menyajikan main course ya.”Azzalyn kembali mengangguk. Dia benar-benar malas untuk bicara saat ini. Dan dengan ogah-ogahan ia bangkit sambil meraih baki dan lap. “Senyumnya jangan lupa.” Lagi-lagi Dela mengingatkan, membuat Azzalyn tersen
Tiga tahun kemudian “Sayang, kau sudah siap?”Bintang membuka pintu kamar dan melihat Azzalyn yang sedang sibuk mengganti popok bayi lelaki mereka yang baru berumur 5 bulan.“Tunggu sebentar lagi. Ezra agak rewel hari ini.” Azzalyn tampak mengantuk, bisa dilihat dari kantung matanya yang menghitam.Merawat seorang bayi memang sungguh sangat tidak mudah.“Ezra mau dibawa juga? Bukannya dia sedang pilek?” Bintang kini duduk di samping ranjang, memperhatikan istrinya yang sedang memakaikan celana baru untuk Ezra.“Dia tetap di rumah. Batuknya bisa semakin menjadi karena kalau sudah sesiang ini banyak debu jalanan. Oma kan di rumah, jadi ada yang menjaga Ezra.”Azzalyn membersihkan tangannya yang terkena sedikit bedak bayi saat tadi memakaikan pada sang anak.“Harum sekali,” Azzalyn menghirup bau tangannya. “Coba kamu cium,” ia mendekatkan telapak tangan pada Bintang.“Biasa saja. Lebih harum aku.” Bintang tersenyum dengan penuh percaya diri.“Jangan terlalu tinggi menilai dirimu,” ejek
Dwita kembali mengalihkan pandangannya keluar jendela. Azzalyn bernafas lega karena apa yang ia khawatirkan tak terjadi.“Dwita, sungguh aku tak pernah berniat untuk menyakitimu ataupun Abyl. Kepergian Abyl, juga merupakan pukulan berat buatku.” Azzalyn menyeka air mata yang sempat jatuh setitik. “Hatiku juga hancur saat melihat orang yang aku sayangi meninggal dengan tragis di depan mataku sendiri.” Sambungnya.Kini Azzalyn juga ikut menatap keluar jendela.“Apa kau tahu, saat awal-awal menjalin hubungan dengan Abyl, aku ingin sekali mendekatimu? Sejak dulu aku ingin sekali punya adik perempuan, karena aku adalah anak tunggal. Tapi sikapmu yang tak pernah menampakkan rasa bersahabat membuatku tak berani berharap banyak. Ketika tahu kalau aku dan Abyl bersaudara, hatiku menjerit karena merasa hidup ini sungguh tak adil. Saat itu, aku benar-benar sangat mencintainya. Bahkan sampai kini pun, bagiku Abyl memiliki tempat khusus di dalam hati ini. Posisinya tak bisa dijelaskan dengan ka
Bu Narti berjalan perlahan dengan secangkir teh manis hangat di tangannya. “Minum teh dulu.” Ia menyerahkan cangkir itu pada Azzalyn yang sedang termenung di depan jendela terbuka yang menghadap langsung ke pekarangan di samping rumah.“Terima kasih.” Azzalyn langsung meminum sedikit teh yang diberikan padanya. Sesaat terjadi kecanggungan antara nenek dan cucu itu. Mereka sama-sama ingin memulai percakapan, hanya tak tahu harus memulai dari mana.“Apa kamu mau duduk?” Bu Narti menawarkan. Azzalyn hanya mengangguk dan langsung mengekor di belakang Bu Narti.“Akhirnya kau datang juga ke sini menjengukku. Terima kasih.” Bu Narti seakan tak kuasa menahan rasa harunya. Ia sibuk menyeka air mata yang jatuh tanpa henti.Azzalyn menunduk sambil menggigit bibir. Ia sendiri pun sedang berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis. Hidungnya sudah terasa perih dan kelopak matanya mulai panas.“Apa selama ini Oma sendirian?” Azzalyn bertanya, meski ia sendiri sudah tahu jawabannya.Bu Nart
“Aku tidak tahu, Bintang. Seharusnya aku merasa senang dan bahagia dengan pernikahan ini. Tapi kenapa, hatiku seakan terasa kosong? Seharusnya, saat aku bersanding di pelaminan nanti, ada Ibu atau Mbahku. Atau Ayah. Atau mungkin Paman Bandi. Tapi--- di hari bahagiaku nanti, tak ada siapa-siapa yang akan menjadi saksi kebahagiaan kita. Bukankah, nasibku begitu malang dan kasihan?”Air mata Azzalyn tumpah tak tertahankan. Berulang kali ia menelan saliva, agar tangisnya tak pecah. Namun hal itu justru membuat tenggorokannya sakit. Hidungnya perih dan kelopak matanya memanas. Bintang meraih Azzalyn ke dalam pelukannya. Hatinya juga ikut sakit mendengar kalimat yang keluar dari mulut gadis yang ia cintai itu.“Jangan terlalu bersedih, Azzalyn. Jangan merasa kalau hanya hidupmu yang begitu menyedihkan. Meski tak ada satu pun dari mereka yang hadir, tapi ada Om Reinhart, ada Om Rudi, Misty dan Koma. Kita saling memiliki, Azzalyn. Kita bahagia meski anggota keluarga kita tak lengkap. Buka
“Azzalyn....”Bintang memeluk Azzalyn yang kini sedang duduk dengan sebuah selimut tebal membungkus tubuhnya. Hati pemuda itu senang sekali karena melihat Azzalyn dalam keadaan baik-baik saja.“Bintang...” Azzalyn membalas pelukan pria yang sedang dekat dengannya itu.“Syukurlah kau tak apa-apa Azzalyn. Aku senang sekali begitu mendapat telepon dari kantor polisi. Aku dan Misty langsung kemari.”“Misty juga ke sini?”“Iya, tapi dia masih ada di mobil, menunggu Koma yang menyusul di belakang bersama Om Rudi. Kami semua mengkhawatirkanmu.” Bintang kembali memeluk Azzalyn. Seakan tak ingin kehilangan gadis itu lagi.“Terima kasih karena sudah mengkhawatirkan aku. Aku baik-baik saja.” Azzalyn tersenyum.“Apa kau terluka?” Bintang memindai tubuh Azzalyn, dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Memastikan kalau tak ada luka sedikit pun di sana.“Tidak. Mungkin hanya luka kecil atau tergores. Tapi aku sungguh tidak apa-apa.”“Tapi kudengar Tante Riska sempat berusaha untuk menembakmu.”“Mema
“Di mana ini?” Azzalyn berjalan terhuyung-huyung sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tempat ia berdiri sekarang terasa asing. Ia baru saja siuman dari tidur panjang akibat pengaruh sesuatu yang disuntikkan oleh Riska, setiap kali ia tersadar.Azzalyn tahu, kalau Riska telah membawanya ke suatu tempat yang sangat jauh. Namun ia tak tahu pasti di mana keberadaannya kini.Sementara Riska, sejak ia terbangun dan keluar dari mobil, tak terlihat sama sekali. Entah apa maksud wanita itu membawanya sampai sejauh ini. Bukankah kalau memang Riska berniat untuk membunuh, sekarang ia sudah pasti berada di alam yang berbeda?Tapi Azzalyn dapat memastikan kalau dia masih hidup. Hanya saja ia sekarang berada di daerah antah berantah yang sepi dan hanya dikelilingi oleh pepohonan. Apa mungkin ini adalah sebuah hutan?Kepala Azzalyn pusing, namun ia tetap harus melangkahkan kaki untuk mencari pertolongan. Mobilnya tak bisa hidup sama sekali, seakan sengaja dirusak. Sementara hari seben
“Apa yang terjadi? Bagaimana bisa Azzalyn menghilang?” Bintang terlihat panik, padahal ia baru saja turun dari mobilnya dan menemui Misty yang menunggu di teras rumah mewah Azzalyn. “Misty sendiri tidak yakin, Kak Bintang. Semalam Mbak Azzalyn pergi keluar sebentar, mau beli makanan buat kami. Tapi Misty tunggu sampai malam dia tak pulang-pulang.” Misty menangis, karena takut terjadi apa-apa dengan Azzalyn. Andai saja semalam dia tak menolak untuk ikut, pasti Azzalyn tak akan menghilang. Sementara itu, Bintang yang bingung hanya bisa mondar-mandir. “Aku khawatir hilangnya Azzalyn ada hubungan dengan Tante Riska yang kabur dari penjara.” Bintang berkata pelan, seolah sedang berbicara sendiri. “Apa sebaiknya kita tanya dengan Om Rudi?” Misty memberikan ide. “Mungkin saja sebagai orang yang pernah dekat dengan keluarga Tante Riska, dia tahu di mana biasanya Tante Riska menyembunyikan musuh-musuh yang diculik.” “Benar juga. Kenapa aku tak bisa berpikir samp
Dwita mengamuk dan melempar apa pun yang berada di dekatnya. Suara tangisannya bercampur jerit histeris, cukup memekakkan telinga.“Dwita, Oma mohon jangan seperti ini. Sadarlah! Berhentilah berteriak.” Bu Narti menangis sambil berusaha memeluk tubuh Dwita yang terlihat kurus.Penampilan gadis itu sungguh sangat berbanding terbalik dengan yang dulu. Hal itu juga yang membuat Bintang kini tercengang tak percaya.Dwita yang dulu ia kenal sebagai seorang gadis ceria yang cantik dan berbadan berisi, kini terlihat tinggal tulang yang dibalut kulit. Badannya pun tak lagi cerah bercahaya seperti dulu. Rambutnya apalagi, entah sudah berapa lama rambut panjang itu tak disisir.“Bintang, bisakah kau membantu Oma mendiamkannya? Tolonglah, mungkin kalau mendengar suaramu dia bisa sedikit tenang. Sejak pindah ke rumah ini malam itu, Dwita selalu menyebut namamu.” Suara Bu Narti mengejutkan Bintang yang sejak tadi seakan terhipnotis.Spontan ia mengangguk dan mendekati Dw
“Sudah, jangan menangis lagi, Misty. Om pasti akan datang ke sini sesekali untuk menjengukmu.”Reinhart masih berusaha membujuk Misty yang menangis sejak tadi dalam pelukannya. Gadis itu seakan tak mau melepaskan tubuhnya.“Om tidak pernah bilang kalau akan pergi keluar negeri.” Suara Misty nyaris tak tertangkap dengan jelas, namun Reinhart masih bisa mendengarnya.“Maafkan Om, Misty. Om harus menemui anak istri di Amerika. Mereka tak mau pulang ke Indonesia karena tak ingin berurusan lagi dengan Riska. Meski dia sudah dipenjara, tak ada yang bisa menjamin kalau dia tak membalas dendam dan berbuat ulah. Om akan tetap menjagamu meski kita berjauhan, Misty. Setiap bulan Om akan mengirimi kamu uang, bukankah kamu bilang ingin lanjut kuliah?”Misty menggeleng. “Misty Cuma ingin Om tetap di sini. Kalau Om pergi, tidak ada yang menjaga Misty lagi.” Rengeknya.Reinhart hanya tersenyum sambil mengelus pucuk kepala Misty.“Siapa bilang? Masih ada Bintang dan jug