“Aku tahu karena aku sudah mengikutimu sejak tadi.”Azzalyn tampak tak mengerti. “Maksud kamu?”Bintang tak menjawab pertanyaan Azzalyn. Ia justru mengusap lembut pipi Azzalyn yang basah karena air mata. “Apa maksudmu kalau kau mengikutiku sejak tadi Bintang?” Azzalyn mengulang pertanyaannya. Namun lagi-lagi Bintang tak menjawab. “Boleh aku memelukmu?” tanya Bintang. “Kau pasti sangat kedinginan.” Azzalyn tak menyahut. Air matanya kembali jatuh. Saat ini ia memang memerlukan sebuah pelukan yang menghangatkan tubuh dan hatinya. Melihat Azzalyn yang tak menjawab, membuat Bintang berpikir kalau gadis itu tak menolak. Dengan penuh kelembutan Bintang mendekap erat Azzalyn di dadanya yang bidang sambil mengelus lembut rambut hitam panjang milik Azzalyn. Tangis Azzalyn pecah. Kali ini bahkan lebih keras. Rasa lega karena ia sekarang tak sendiri membuatnya ingin menumpahkan segala kesedihannya sampai habis.“Menangislah Azzalyn. Jangan ditahan. Keluarkan semuanya. Aku akan menung
Bintang langsung salah tingkah. Ia terlihat menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal.“Azzalyn, kenapa tiba-tiba kau mau ke rumahku?”“Aku hanya mau menumpang tidur. Apa nggak boleh?”“Boleh...” Bintang tergagap. “Tapi kenapa mendadak?”“Aku nggak punya uang lebih kalau untuk bayar penginapan, mau pulang ke kost aku nggak enak. Lagi pula, aku belum pernah main ke rumahmu kan? Aku ingin mengenalmu lebih jauh.” “Kita udah kenal lama kan? Kenapa, sekarang kau bilang ingin mengenalku lebih jauh?” tanya Bintang semakin tak paham.“Ya beda dong. Selama ini aku mengenalmu hanya sebatas teman. Sekarang aku ingin tahu lebih tentang seluk-beluk calon pacarku. Aku takut di kemudian hari terjadi hal yang nggak masuk akal seperti sebelumnya.” Ujar Azzalyn sambil menahan tawa, melihat Bintang yang baru saja menyemburkan sedikit kopinya saat mendengar ia mengatakan ‘calon pacar’ barusan.Sekarang pemuda itu terlihat memandangnya tanpa kedip, seolah-olah memastikan kalimat yang baru s
“Kenapa... Kau memintaku untuk tetap di sini?” Tanya Bintang dengan suara yang terdengar bergetar karena grogi.“Temani aku Bintang. Aku takut sendiri.”“Tapi....”“Nggak apa Bintang. Kita kan nggak ngapa-ngapain.”Bintang mengangguk. “Kalau gitu kamu tunggu sebentar nggak apa? Aku mau beresin sampah di luar, sekalian mau ambil alas tempat tidur. Aku akan tidur di bawah.”Azzalyn mengangguk. “Makasih ya.”Bintang keluar dan dengan cepat membersihkan sisa-sisa sampah yang ada di ruang tamunya. Setelah itu dia kembali masuk ke kamar tempat di mana Azzalyn berada, hendak meletakkan alas tempat tidur. Namun geraknya terhenti saat pandangannya tertuju pada Azzalyn yang ternyata sudah tertidur.Bintang hanya bisa tersenyum. Ia berpikir Azzalyn pasti sangat lelah dan mengantuk. Dengan hati-hati ia membetulkan selimut Azzalyn. Kemudian ia meletakkan bantal di lantai, di atas alas tempat tidurnya dan langsung merebahkan diri. Ia pun langsung memejamkan mata. Ia harus langsung tidur seba
“Maaf Pak. Saya nggak melakukan apa-apa. Tadi saya diminta untuk mengambil barang di atas, dan setelah saya sampai di sini saya diminta untuk mengembalikan ke atas lagi.” “Trus masalahnya di mana?” tanya Andri agak marah. “Itu adalah masalah buat saya Pak. Saya capek kalau harus bolak-balik, sementara hanya karena untuk mengambil barang, saya harus meninggalkan tugas saya sebagai Doorgirl.” “Itu kan memang sudah tugas dan kewajiban kamu di sini, harus memberi servis terbaik buat tamu kan?” “Maaf, setahu saya Mbak Dwita statusnya sekarang bukan tamu hotel, dia juga staf seperti saya. Meski mungkin jabatannya lebih tinggi, tapi kami di sini sama-sama karyawan yang nggak punya hak untuk memberi perintah. Kecuali kalau yang memberi perintah itu minimal adalah supervisor saya, baru itu saya anggap suatu kewajaran. Tapi kalau yang memerintah adalah karyawan baru yang seenaknya, saya nggak bisa Pak, karena tanggung jawab saya bukan untuk melayani dia.” Jawab Azzalyn dengan berani. Ia tak
“Anak itu, bagaimana bisa jadi nggak punya otak seperti ini?”Riska benar-benar geram mendengar pernyataan Andri. Berulang kali ia menghembuskan napas dengan kasar.“Kenapa Kak Abyl bisa senekat itu sih? Nggak takut apa kalau sampai hal ini didengar sama saingan bisnis perusahaan kita?” ujar Dwita kesal.“Abyl memang sama dengan Papamu. Sama-sama nggak pernah bisa membuang perasaan kalau sedang jatuh cinta. Mereka jadi orang yang benar-benar bodoh.” Kata Riska makin geram.“Aku heran, kenapa sih semua orang menyukai Azzalyn? Papa, Kak Abyl dan Kak Bintang. Mereka semua seolah-olah sedang tergila-gila dengan perempuan miskin dan rendahan itu.”“Dia itu pandai merayu seperti Ibunya yang murahan itu,” Riska berkata dengan nada penuh emosi.Andri yang sejak tadi mendengar percakapan antara ibu dan anak itu hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya, tanda tak mengerti. Ia sungguh tak bisa memahami konflik apa yang sudah terjadi antara mantan Bos dan juga bawahannya itu.“Masih ada lagi yang mau
“Apa maksudmu bilang seperti itu, Riska?”“Tapi benar kan, itu sekarang yang ada dalam pikiran Mas?”“Kalau pun iya, memangnya kenapa? Nggak ada salahnya kan kalau aku mau menjaga anakku sendiri? Aku udah pernah bilang kalau mulai sekarang aku akan menebus kesalahanku padanya selama ini. Jangan lupa Riska, kau yang telah membuat ia sebatang kara seperti sekarang.“Jangan membawa-bawa masalah itu Mas. Semua ini berawal darimu, jadi jangan berbicara seolah-olah aku adalah orang yang paling bersalah di sini. Kalau ditanya siapa orang yang paling jahat, itu adalah kamu, Mas!” kata Riska dengan napas memburu penuh emosi.“Kenapa kamu bicara seperti itu, Riska? Kamu nggak pernah seperti ini.” Bu Narti tampak tak terima saat mendengar sang menantu menyalahkan putra satu-satunya itu.“Saya udah nggak tahan, Bu. Ibu pernah membayangkan nggak kalau seandainya berada di posisi saya seperti sekarang ini? Selama puluhan tahun hidup dengan suami yang selalu masih dibayang-bayangi sosok mantan istri
“Kenapa aku tak boleh memberinya sedikit pun dari hartaku? Dia anakku juga, Riska.”“Jangan berikan dia apa pun, atau aku akan membuat Mas hancur sehancur-hancurnya. Perusahaan kita bisa berdiri setegak dan sebesar seperti sekarang ini adalah atas kerja kerasku juga. Kalau bukan karena usahaku untuk mencari relasi bisnis terbaik lewat pengaruh orang tuaku, maka perusahaan ini nggak akan seterkenal sekarang. Dan kalau bukan karena aku yang bersusah payah melindungi Mas sejak dulu lewat orang-orang suruhanku, maka mungkin sudah sejak lama Mas mengalami celaka akibat persaingan bisnis yang kejam. Jadi, apa Mas pikir aku akan merelakan begitu saja kalau Mas hendak membagi harta hasil jerih payahku kepada orang yang paling aku benci di dunia ini?”Krisna tak menawab. Harus ia akui kalau Riska memang berperan penting dalam membantunya mengembangkan perusahaan. Meski perusahaan miliknya memang bukanlah sebuah perusahaan yang kecil, tapi dengan tangan dingin Riska yang berada di sampingnya, i
“Kamu nggak bisa ngelakuin itu sendiri?” tanya Azzalyn dingin. “Aku kan cuma minta tolong. Masa’ gitu aja kamu nggak mau?” ujar Dwita sok sedih, membuat Azzalyn merasa mual mendengar nada suaranya. “Iyalah nggak mau. Emangnya aku pembantu kamu? Biarpun aku di sini hanya seorang Doorgirl, tapi bukan berarti bisa diperintah seenaknya. Kamu punya tangan dengan kaki kan? Biasakan untuk kerjakan semua sendiri, jangan selalu ngerepotin orang.” Kata Azzalyn tajam. “Loh kok kamu protes? Bukannya aku sok-sokan memerintah, tapi kan menjaga kebersihan ruangan ini adalah tugas kamu. Aku minta bawakan piring kotor dan buang sampah ke belakang memangnya itu salah?” Dwita mulai meninggikan suaranya. “Heh, anak Mami! Menjaga kebersihan ruangan ini adalah tugas kita bersama, tugas semua orang yang menggunakan ruangan ini. Jadi bukan aku aja yang harus bertanggung jawab kalau ruangan ini kotor. Kalian yang tadi di sini makan rujak, bikin sampah, ya seharusnya kalian yang beresin. Jangan nyuruh aku.
Tiga tahun kemudian “Sayang, kau sudah siap?”Bintang membuka pintu kamar dan melihat Azzalyn yang sedang sibuk mengganti popok bayi lelaki mereka yang baru berumur 5 bulan.“Tunggu sebentar lagi. Ezra agak rewel hari ini.” Azzalyn tampak mengantuk, bisa dilihat dari kantung matanya yang menghitam.Merawat seorang bayi memang sungguh sangat tidak mudah.“Ezra mau dibawa juga? Bukannya dia sedang pilek?” Bintang kini duduk di samping ranjang, memperhatikan istrinya yang sedang memakaikan celana baru untuk Ezra.“Dia tetap di rumah. Batuknya bisa semakin menjadi karena kalau sudah sesiang ini banyak debu jalanan. Oma kan di rumah, jadi ada yang menjaga Ezra.”Azzalyn membersihkan tangannya yang terkena sedikit bedak bayi saat tadi memakaikan pada sang anak.“Harum sekali,” Azzalyn menghirup bau tangannya. “Coba kamu cium,” ia mendekatkan telapak tangan pada Bintang.“Biasa saja. Lebih harum aku.” Bintang tersenyum dengan penuh percaya diri.“Jangan terlalu tinggi menilai dirimu,” ejek
Dwita kembali mengalihkan pandangannya keluar jendela. Azzalyn bernafas lega karena apa yang ia khawatirkan tak terjadi.“Dwita, sungguh aku tak pernah berniat untuk menyakitimu ataupun Abyl. Kepergian Abyl, juga merupakan pukulan berat buatku.” Azzalyn menyeka air mata yang sempat jatuh setitik. “Hatiku juga hancur saat melihat orang yang aku sayangi meninggal dengan tragis di depan mataku sendiri.” Sambungnya.Kini Azzalyn juga ikut menatap keluar jendela.“Apa kau tahu, saat awal-awal menjalin hubungan dengan Abyl, aku ingin sekali mendekatimu? Sejak dulu aku ingin sekali punya adik perempuan, karena aku adalah anak tunggal. Tapi sikapmu yang tak pernah menampakkan rasa bersahabat membuatku tak berani berharap banyak. Ketika tahu kalau aku dan Abyl bersaudara, hatiku menjerit karena merasa hidup ini sungguh tak adil. Saat itu, aku benar-benar sangat mencintainya. Bahkan sampai kini pun, bagiku Abyl memiliki tempat khusus di dalam hati ini. Posisinya tak bisa dijelaskan dengan ka
Bu Narti berjalan perlahan dengan secangkir teh manis hangat di tangannya. “Minum teh dulu.” Ia menyerahkan cangkir itu pada Azzalyn yang sedang termenung di depan jendela terbuka yang menghadap langsung ke pekarangan di samping rumah.“Terima kasih.” Azzalyn langsung meminum sedikit teh yang diberikan padanya. Sesaat terjadi kecanggungan antara nenek dan cucu itu. Mereka sama-sama ingin memulai percakapan, hanya tak tahu harus memulai dari mana.“Apa kamu mau duduk?” Bu Narti menawarkan. Azzalyn hanya mengangguk dan langsung mengekor di belakang Bu Narti.“Akhirnya kau datang juga ke sini menjengukku. Terima kasih.” Bu Narti seakan tak kuasa menahan rasa harunya. Ia sibuk menyeka air mata yang jatuh tanpa henti.Azzalyn menunduk sambil menggigit bibir. Ia sendiri pun sedang berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis. Hidungnya sudah terasa perih dan kelopak matanya mulai panas.“Apa selama ini Oma sendirian?” Azzalyn bertanya, meski ia sendiri sudah tahu jawabannya.Bu Nart
“Aku tidak tahu, Bintang. Seharusnya aku merasa senang dan bahagia dengan pernikahan ini. Tapi kenapa, hatiku seakan terasa kosong? Seharusnya, saat aku bersanding di pelaminan nanti, ada Ibu atau Mbahku. Atau Ayah. Atau mungkin Paman Bandi. Tapi--- di hari bahagiaku nanti, tak ada siapa-siapa yang akan menjadi saksi kebahagiaan kita. Bukankah, nasibku begitu malang dan kasihan?”Air mata Azzalyn tumpah tak tertahankan. Berulang kali ia menelan saliva, agar tangisnya tak pecah. Namun hal itu justru membuat tenggorokannya sakit. Hidungnya perih dan kelopak matanya memanas. Bintang meraih Azzalyn ke dalam pelukannya. Hatinya juga ikut sakit mendengar kalimat yang keluar dari mulut gadis yang ia cintai itu.“Jangan terlalu bersedih, Azzalyn. Jangan merasa kalau hanya hidupmu yang begitu menyedihkan. Meski tak ada satu pun dari mereka yang hadir, tapi ada Om Reinhart, ada Om Rudi, Misty dan Koma. Kita saling memiliki, Azzalyn. Kita bahagia meski anggota keluarga kita tak lengkap. Buka
“Azzalyn....”Bintang memeluk Azzalyn yang kini sedang duduk dengan sebuah selimut tebal membungkus tubuhnya. Hati pemuda itu senang sekali karena melihat Azzalyn dalam keadaan baik-baik saja.“Bintang...” Azzalyn membalas pelukan pria yang sedang dekat dengannya itu.“Syukurlah kau tak apa-apa Azzalyn. Aku senang sekali begitu mendapat telepon dari kantor polisi. Aku dan Misty langsung kemari.”“Misty juga ke sini?”“Iya, tapi dia masih ada di mobil, menunggu Koma yang menyusul di belakang bersama Om Rudi. Kami semua mengkhawatirkanmu.” Bintang kembali memeluk Azzalyn. Seakan tak ingin kehilangan gadis itu lagi.“Terima kasih karena sudah mengkhawatirkan aku. Aku baik-baik saja.” Azzalyn tersenyum.“Apa kau terluka?” Bintang memindai tubuh Azzalyn, dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Memastikan kalau tak ada luka sedikit pun di sana.“Tidak. Mungkin hanya luka kecil atau tergores. Tapi aku sungguh tidak apa-apa.”“Tapi kudengar Tante Riska sempat berusaha untuk menembakmu.”“Mema
“Di mana ini?” Azzalyn berjalan terhuyung-huyung sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tempat ia berdiri sekarang terasa asing. Ia baru saja siuman dari tidur panjang akibat pengaruh sesuatu yang disuntikkan oleh Riska, setiap kali ia tersadar.Azzalyn tahu, kalau Riska telah membawanya ke suatu tempat yang sangat jauh. Namun ia tak tahu pasti di mana keberadaannya kini.Sementara Riska, sejak ia terbangun dan keluar dari mobil, tak terlihat sama sekali. Entah apa maksud wanita itu membawanya sampai sejauh ini. Bukankah kalau memang Riska berniat untuk membunuh, sekarang ia sudah pasti berada di alam yang berbeda?Tapi Azzalyn dapat memastikan kalau dia masih hidup. Hanya saja ia sekarang berada di daerah antah berantah yang sepi dan hanya dikelilingi oleh pepohonan. Apa mungkin ini adalah sebuah hutan?Kepala Azzalyn pusing, namun ia tetap harus melangkahkan kaki untuk mencari pertolongan. Mobilnya tak bisa hidup sama sekali, seakan sengaja dirusak. Sementara hari seben
“Apa yang terjadi? Bagaimana bisa Azzalyn menghilang?” Bintang terlihat panik, padahal ia baru saja turun dari mobilnya dan menemui Misty yang menunggu di teras rumah mewah Azzalyn. “Misty sendiri tidak yakin, Kak Bintang. Semalam Mbak Azzalyn pergi keluar sebentar, mau beli makanan buat kami. Tapi Misty tunggu sampai malam dia tak pulang-pulang.” Misty menangis, karena takut terjadi apa-apa dengan Azzalyn. Andai saja semalam dia tak menolak untuk ikut, pasti Azzalyn tak akan menghilang. Sementara itu, Bintang yang bingung hanya bisa mondar-mandir. “Aku khawatir hilangnya Azzalyn ada hubungan dengan Tante Riska yang kabur dari penjara.” Bintang berkata pelan, seolah sedang berbicara sendiri. “Apa sebaiknya kita tanya dengan Om Rudi?” Misty memberikan ide. “Mungkin saja sebagai orang yang pernah dekat dengan keluarga Tante Riska, dia tahu di mana biasanya Tante Riska menyembunyikan musuh-musuh yang diculik.” “Benar juga. Kenapa aku tak bisa berpikir samp
Dwita mengamuk dan melempar apa pun yang berada di dekatnya. Suara tangisannya bercampur jerit histeris, cukup memekakkan telinga.“Dwita, Oma mohon jangan seperti ini. Sadarlah! Berhentilah berteriak.” Bu Narti menangis sambil berusaha memeluk tubuh Dwita yang terlihat kurus.Penampilan gadis itu sungguh sangat berbanding terbalik dengan yang dulu. Hal itu juga yang membuat Bintang kini tercengang tak percaya.Dwita yang dulu ia kenal sebagai seorang gadis ceria yang cantik dan berbadan berisi, kini terlihat tinggal tulang yang dibalut kulit. Badannya pun tak lagi cerah bercahaya seperti dulu. Rambutnya apalagi, entah sudah berapa lama rambut panjang itu tak disisir.“Bintang, bisakah kau membantu Oma mendiamkannya? Tolonglah, mungkin kalau mendengar suaramu dia bisa sedikit tenang. Sejak pindah ke rumah ini malam itu, Dwita selalu menyebut namamu.” Suara Bu Narti mengejutkan Bintang yang sejak tadi seakan terhipnotis.Spontan ia mengangguk dan mendekati Dw
“Sudah, jangan menangis lagi, Misty. Om pasti akan datang ke sini sesekali untuk menjengukmu.”Reinhart masih berusaha membujuk Misty yang menangis sejak tadi dalam pelukannya. Gadis itu seakan tak mau melepaskan tubuhnya.“Om tidak pernah bilang kalau akan pergi keluar negeri.” Suara Misty nyaris tak tertangkap dengan jelas, namun Reinhart masih bisa mendengarnya.“Maafkan Om, Misty. Om harus menemui anak istri di Amerika. Mereka tak mau pulang ke Indonesia karena tak ingin berurusan lagi dengan Riska. Meski dia sudah dipenjara, tak ada yang bisa menjamin kalau dia tak membalas dendam dan berbuat ulah. Om akan tetap menjagamu meski kita berjauhan, Misty. Setiap bulan Om akan mengirimi kamu uang, bukankah kamu bilang ingin lanjut kuliah?”Misty menggeleng. “Misty Cuma ingin Om tetap di sini. Kalau Om pergi, tidak ada yang menjaga Misty lagi.” Rengeknya.Reinhart hanya tersenyum sambil mengelus pucuk kepala Misty.“Siapa bilang? Masih ada Bintang dan jug