Kumi memandangi plastik hitam di atas meja itu. Melihat bentuknya ia menduga isinya kemungkinan segepok uang. “Apakah Om berniat menyuap saya?” tanya Kumi dengan tatapan curiga. Wanita itu tersenyum kecut. Mantan mertuanya itu membenarkan posisi duduknya, dia kini duduk lebih tegak. “Papa tidak bermaksud menyuap kamu. Hanya saja, Papa ingin kamu diam dan tidak bercerita soal pertemuan waktu di lift itu,” katanya tenang. Kumi mencibir dan menangkap ketegangan pada suara lelaki itu. Keder juga nih orang tua. Selanjutnya dia mendorong bungkusan dalam plastik itu ke Teguh. “Soal pertemuan itu, jujur saja Kumi tidak mau tahu apakah Om punya hubungan dengan Rhea atau tidak. Kumi sama sekali tidak ada urusan dan tidak ada hak untuk berbicara sama sekali untuk turut campur masalah keluarga Om. Kumi bukan keluarga Om lagi. Apakah itu sudah clear?” Kumi memperhatikan wajah Teguh yang lebih berseri-seri. Entah vitamin apa yang diminumnya, sehingga dia tampa
Telinga Kumi nyeri. Permintaan Nenek seperti sebuah petir di siang bolong, menghanguskan bunga yang bermekaran di hati Kumi. Sejenak dia tersentak dengan sikap Nenek yang berubah 180 derajat. Selama ini, Kumi selalu berprasangka baik dan percaya diri hubungannya dengan Shaka akan berjalan mulus. Kepercayaan ini bukan mengada-ada, mengingat perhatian dan kasih sayang Nenek kepada Yashi selama ini. Namun, Kumi tahu diri siapa dirinya. Seorang janda dengan satu anak dan dari keluarga biasa. Wanita itu menerimanya dengan legowo meski hatinya patah. “Baik Nek,” kata Kumi dengan suara tersekat di ujung tenggorokannya. “Tolong jaga kesehatan Nenek,” katanya sebelum ia beranjak pergi. Sebagian jiwanya tercerabut paksa, dan ia berusaha sekuatnya untuk tetap tegak berdiri dan berjalan menuju kantor. Tanpa sepengetahuan Nenek dan Kumi, Mbok Yem mendengarkan percakapan mereka dari balik pintu yang tak tertutup rapat. Matanya berkaca-kaca. Sementara itu Sha
Jam 7 malam tepat, Shaka dan Rio tiba di kantor. Perasaan Shaka riang takkala melihat mobil Kumi masih terparkir di depan kantornya. “Ada baiknya aku menaikkan gaji Kumi, kerjaanya makin baik. Bagaimana menurutmu?” tanyanya pada Rio yang duduk di sebelahnya. Ia tergesa-gesa membuka pintu dan melangkah menuju kantor menemui pujaan hatinya. “Iya, Kumi layak mendapatkannya,” lidah Rio kelu saat mengatakannya. Sejam yang lalu ia panik menerima email Kumi. Gadis itu mengirimkan rincian catatan penting pekerjaannya yang telah selesai dan beberapa yang harus ia tindak lanjuti. Parahnya wanita itu meminta Rio untuk menutupi pengunduran dirinya hingga ulang tahun Nenek selesai. Pria berperilaku manis itu menduga ada hal gawat yang terjadi saat Nenek memanggil Kumi secara pribadi. Tapi apakah itu? Selama ini hubungan Kumi dan Nenek sangat baik, landau dan tidak ada gejolak. Ia tidak percaya jika Kumi tiba-tiba mengundurkan diri tanpa sebab, bi
“Apa?? Nenek akan menjodohkan Shaka dengan Nada?” Nenek mengiyakan. Shaka terperanjat dengan ide Nenek yang tidak ia harapkan. Kemarahan dan kekecewaan seketika membalutnya, tapi akal lelaki itu rupanya masih waras memikirkan kondisi sang nenek yang memiliki riwayat penyakit jantung. Pemuda itu tetap berkata lembut meski dengan nada suara yang tertekan. “Bukankah Nenek tahu, aku mencintai wanita lain?” katanya dengan mata berkaca-kaca. Perih sekali hatinya mengetahui cintanya tidak direstui oleh sang nenek. Nenek menepuk pundak tangan Shaka. “Nenek tahu kamu mencintai Kumi. Masalahnya dia tidak selevel dengan kita. Wanita itu juga bekas istri orang dan punya anak. Sedangkan kamu, kamu masih bujangan, kamu kaya dan berhak mendapatkan yang terbaik.” Shaka menjauhkan tangannya dari Nenek. “Apakah Kumi tahu soal rencana perjodohan ini, Nek?” tanyanya dengan suara parau. “Tidak, dia tidak tahu. Kumi sudah dewasa
Ayah termenung setelah mendapat telepon dari Teguh. Dia lalu mencari istrinya yang sedang menjemur baju di samping rumah. Baju yang dijejer rapi di jemuran di samping pohon belimbing. Jemuran yang biasanya penuh oleh baju-baju Yashi tampak lowong. “Bu, apa kamu sudah telepon Kumi? Kapan katanya dia pulang?” “Belum. Kumi katanya mendapat tugas penting dari Nenek, makanya Ibu gak berani mengganggu dia,” sahut Ibu. “Kok Ayah tumben menanyakan anak wedokmu? Ibu jadi curiga nih?” Wanita itu berbalik dan memandang wajah Ayah. “Gak ada apa-apa. Ayah kangen sama Yashi. Biasanya sesibuk apapun Kumi bekerja, Biasanya dia selalu menyempatkan menelpon. Kenapa dua hari ini gak ya Bu? Apa dia ada masalah?” Ayah duduk di kursi dan melihat anak burung tekukur yang baru menetas di kandang. Ibu terpengaruh dengan ucapan suaminya. “Iya juga ya. Coba Ibu telepon dulu.” Wanita paruh baya itu mengambil ponsel dan menelpon Kumi. Kedua alisnya berkerut. “Tel
“Aku tidak tahu Kak, tapi sepertinya sulit mencari lelaki yang seperti Abang Parang. Dia sangat sayang pada Sulis.” Dia menggendong Yashi yang mulai mengantuk, dan mengikuti langkah Kumi yang berjalan pelan di sisinya. “Ya, Abang memang baik, sama dengan adiknya,” jawab Kumi getir. “Apakah Kakak juga meninggalkan Pak Shaka?” tanya Sulis hati-hati. Ia tahu Sakha sangat sangat mencintai Kumi. “Iya.” Kumi tertawa kecil. Mungkin dia juga yang bodoh, melepas kenyamanan yang diberikan Sakha. Tapi, bila dilanjutkan bekerja, dia tak bakalan bisa melepas kenangan indah bersama lelaki itu. Tanpa sadar, Kumi memegang pipinya, desah napas dan bau parfum Shaka masih terasa menempel saat pipi mereka beradu. Kumi mendesah panjang. Meski berat, ia harus bisa melepas cintanya pada lelaki bermata coklat itu. Dalam perjalanan pulang ke rumah. Kumi menghidupkan ponsel dan ratusan notif langsung menyerbu masuk. Kumi menghela napas berat, ia sadar dirinya telah memb
“Gak usah sok tahu kamu Mba!” semprot Ibu marah pada Mba Yuni. Dia lalu berbalik dan meninggalkan Mba Yuni sendirian. “Weleh-weleh, di tanya baik-baik lah kok marah-marah,” ucap Yuni pelan. Ia penasaran kenapa Ibu Kumi menangis memanggil-manggil nama Kumi. “Aku tunggu di sini saja, siapa tahu ntar ada perang besar.” Yuni berpikir begitu karena sudah lama ia tak mendapatkan gossip panas yang bisa ia bagikan pada ibu-ibu komplek. Tak lama kemudian. Khandra datang dan melihat Yuni berdiri di depan pintu gerbang sambil kepalanya celingukan. Sikapnya mencurigakan sekali. “Kenapa gak masuk ke dalam Tan, Ibu ada kok,” kata Khandra. Yuni gelagapan. “Eh, gak kok. Tante cuma penasaran, tadi ibumu menangis memanggil kakakmu. Ada apa sebenarnya to? Apa kakakmu minggat?” Pertanyaan Yuni yang bertubi-tubi membuat kening Khandra saling bertaut. “Gak tahu, Khandra baru pulang. Saran saya sih, daripada Tante Yuni di sini panas-panas, ngur
“Jadi lo jauh-jauh ke sini, menemui gue, gara-gara Arka cerita sama elo kalo Shaka tunangan?” tanya Kumi. Cepat sekali berita pertunangan itu menyebar, pikir Kumi. Dia menduga dirinya menjadi buah bibir staf dan kolega Shaka saat ini. Pertunangan antara Shaka dan Nada pasti mengejutkan banyak orang. Karena telah banyak orang yang tahu hubungan percintaan antara Kumi dan Shaka acara ulang tahun di tempat kantor Arka beberapa bulan lalu. Shaka selama ini lengket dengan Kumi. Di mana ada Shaka selalu ada Kumi di sampingnya. “Iya. Setelah mendengar cerita dari Arka, gue langsung menghubungi elo tapi hape elo gak aktif. Setelah itu gue memutuskan meluncur ke rumah elo, eh malah nyokap elo nangis-nangis cerita tentang elo.” Nora mengambil pistachio dan memakannya pelan. “Terus gue ke Bandung dan gak sengaja bertemu dengan Sulis. Gue tahu dia dari I*******m lo.” Kumi mengamati Nora. “Gue juga gak nyangka, hidup gue bakalan berantakan,” jaw
Bab 189 - episode terakhir Kumi buru-buru memakai gaun malamnya lalu menyusul Shaka di kantornya. Lelaki itu sedang menghidupkan laptop. Ia berdiri di depan pintu memandangi suaminya. “Apakah aku terlihat sangat buruk sehingga kamu tidak bernafsu denganku?” tanyanya sedih. “Tidak sayang, sama sekali tidak. Kamu membuatku bahagia,” senyum Shaka menghiasi wajahnya. Ia mendekati Kumi dan memeluknya hangat. “Tapi kenapa kamu tidak meneruskan tadi? Apa kamu tahu, aku sudah memimpikan malam pertama kita,” kata Kumi malu-malu. Shaka tertawa terbahak-bahak. “Dasar nakal.” Dia memencet hidung Kumi. “Aku sama denganmu, sama-sama merindukan malam pertama. Sayangnya kamu sedang menstruasi. Aku tidak tega melakukannya, meski aku sangat menginginkannya.” Ia lalu membopong Kumi dan memangkunya. Kumi tertunduk malu dan bergelayut manja pada Shaka, membaui aroma parfum yang membuatnya tergila-gila. “Untuk mengalihkan pikiran tadi, bolehkah aku bekerja dulu. Pekerjaanku menumpuk.” “Baiklah sayang
Bab 188 “Maaf Pak Shaka, Nenek Anda sudah meninggal dunia, jenazahnya baru saja dibawa ke kamar jenazah.” “Innalillahi wa inna illaihi rojiun.” Tubuh Shaka langsung lunglai, dia terduduk di lantai rumah sakit yang dingin. Lelaki itu menangis tergugu. Perasaan bersalah menghantam dadanya. Ia menyesal tidak mendampingi neneknya saat sakaratul maut. “Maafkan Shaka Nek, maafkan Shaka. Kenapa Nenek tidak menunggu Shaka sebentar saja.” Kumi membawa kepala Shaka ke dadanya dan memeluknya erat. Dia tidak berkata apa-apa, selain memeluk Shaka. Menenangkan pria itu dan turut merasakan kesedihan yang kekasihnya rasakan. Alex sopir Shaka datang dengan setengah berlari dan kaget sewaktu melihat Kumi dan keluarganya datang. “Maaf Pak, kami berusaha menghubungi Bapak, tapi telpon Bapak tidak aktif.” Dengan mata sembab, Shaka memeriksa ponselnya. “Maaf Alex, telpon saya mati. Saya lupa membawa charger saat ke Bali.” Itu adalah sederet kebodohan yang ia lakukan. Pikirannya sulit fokus setelah
Bab 187Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage.Shaka mengulum senyum memandang Kumi. Sedangkan Kumi, hatinya bergetar hebat. Dirinya mendadak canggung berdua dengan Shaka di kamar.“Enak juga kamar homestaynya. Aku jadi pingin membuat rumah seperti ini,” kata Shaka mengoyak kesunyian. Dia menduduki kursi yang dipakai Ibu tadi sambil matanya berkeliling menyusuri tiap sudut ruang.“Sama. Aku juga juga pengen tinggal di Ubud dan punya penginapan yang mengacu pada back to nature. Bangunanannya menggunakan bahan lokal, halamannya luas, ada kebun sayur dan binatang seperti kelinci, ayam dan…” Kumi berbicara dengan antusias dia melupakan rasa pening yang mendera kepalanya.“Ikan, kambing.” Shaka tertawa kecil meneruskan kata-kata Kumi dengan mata berbinar-binar. Dia duduk dengan relaks. Kedua tangannya di letakkan di belakang kepalanya.“Menyenangkan sekali hidup di pinggiran kota dengan orang-orang yang kita cintai. Aku bisa semingg
Bab 186“Nenek Shaka kondisinya kritis Nduk. Dia tidak sadar dan hidupnya tergantung pada mesin. Dokter telah meminta Shaka dan keluarganya mengikhlaskannya.” Ibu menjelaskan pada Kumi. “Sebelum terbang ke Bali, kami sempat menjenguknya.”Hati Kumi bertambah berat.“Kumi, jika kamu setuju. Aku mau perkawinan kita diselenggarakan secepatnya bersamaan dengan perkawinan Abang,” kata Shaka semangat. Dia sudah membayangkan bagaimana dia dan abangnya menyunting perempuan yang mereka cintai.“HAH? Dengan siapa? Bagaimana jika Nenek tidak setuju?” Nyali Kumi ciut.“Abang akan menikahi Sulis, aku sudah bertemu dengannya, dan dia setuju.”“Ikuti saja Nduk, keinginan Shaka,” bujuk Ibu. “Kalau bisa sepulangnya dari Bali kalian berdua menikah.”Kumi menoleh kepada ibunya. “Ibu, kapan hari Ibu memaksaku menikahi Arka, sekarang Ibu memaksaku menikahi Shaka. Ibu kenapa plinplan sekali. Sebenarnya diantara keduanya siapa yang paling ibu sukai?” tanyanya. Ia ingin Shaka mendengarnya juga.Bapak berdeha
Bab 185 “Kumi! Kumi! Maafkan Ibu Nak. Ibu menyesal telah menyakiti hatimu. Kamu jangan tinggalkan Ibu.” Ibu menangis sesenggukan memeluk Kumi. “Kumi tidak apa-apa Bu, dia hanya pingsan.” “Mommy… Mommy, wake up.” Yashi menciumi pipi Kumi. Kumi mendengar suara ibunya menangis. Kemudian mendengar suara Ayah menghibur Ibu, dan suara anaknya Yashi. Di manakah dirinya berada? “Aku ada di mana?” tanya Kumi bingung sesaat setelah membuka matanya. “Kamu ada di Bali,” sahut Ibu lega melihat putrinya telah sadar. Kening Kumi berkerut. Ia lalu menoleh dan melihat Ibu, Ayah, Khandra dan Yashi berada di dekat tempat tidurnya. Ia bergeming dan menatap mereka nanar. Namun, Kumi ragu. Apakah mereka semua nyata atau hanya perwujudan wong samar? Rupanya ia masih terpengaruh dengan cerita Bernie. “Kenapa Kumi memandang kita seperti itu Pak? Jangan – jangan ia kesurupan atau hilang akal?” Ibu jadi cemas. “Hush, kamu jangan ngawur, kata Dokter tadi gak apa-apa, luka di kepalanya kecil.” Kumi me
Bab 184“Saya tidak tahu Bu. Semua tamu yang menginap di sini saya hapal. Karena hanya ada 7 kamar dan sekarang hanya 4 kamar yang terisi.” Lelaki itu terdiam. “Eng, siapa tahu Bernie salah satu teman dari tamu kami.”Namun, Kumi tidak begitu yakin dengan yang dikatakan karyawan itu. Wanita itu lalu terduduk lesu di teras kamar Bernie. Kebingungan memeluk dirinya. Ia yakin semalam ia bercengkrama dengan Bernie dan semuanya tampak nyata.“Dia semalam minum bir dan menawari saya Pak? Dia menginap di kamar ini,” kata Kumi berusaha meyakinkan karyawan homestay.“Bagaimana kalau kita ke resepsionis Bu,” ajak karyawan tersebut, untuk meyakinkan Kumi.“Ayo.” Kumi berjalan di belakang karyawan tersebut.Mereka bertemu dengan Pak Dewa sekaligus owner homestay tersebut. “Pagi Bu, bisa dibantu?” sapanya ramah.Karyawan yang bernama Gede itu lalu menceritakan tentang Bernie kepada bosnya. Kumi menyimak pembicaraan mereka.Kemudian Pak Dewa mengajaknya duduk di depan meja penerima tamu, di dekat k
Bab 183Kumi menggeliatkan badannya dan bruk! Dia terjatuh di lantai ubin yang keras. Oufff!! Punggungnya sakit.“Hey, are you okay?”Dengan masih menahan rasa kantuk dan sakit di sekujur tubuhnya, Kumi membuka lebar matanya. “Pencuri! Pencuri,” Kumi berteriak dengan wajah pucat pasi melihat ada seorang lelaki jongkok di depannya.Melalui cahaya lampu kamarnya yang redup Kumi bisa menebak, lelaki di depannya adalah seorang bule bukan setan, karena dia sempat melirik kakinya yang menjejak lantai.Sejenak, Kumi memandangi wajah ganteng dengan rambutya yang gondrong, dan lelaki itu hanya memakai celana kolor. Otak Kumi mulai on.“Hey, aku bukan pencuri. Aku tamu di sini, namaku Bernie. Kamarku ada di sebelahmu.” Ia menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar dan aksen yang menarik di telinga Kumi.Bernie lalu mengulurkan tangannya ke Kumi dan membantunya untuk bangun.Mata Kumi menyelidik disertai kecurigaan pada lelaki bule di depannya itu. “Kenapa kamu ada di kamarku?” tanyanya setelah
Bab 182 Mata Fuad merah, tangannya yang berotot langsung memegang tubuh Kumi kuat. “Memangnya kamu siapa? Mau ikut campur urusan rumah tangga saya!” katanya geram. Kumi menatap mata Fuad dengan kebencian. Ia muak melihat lelaki itu di hadapannya. “Aku hanya mau membantu mamanya Dara melindungi anak-anakmu,” desis Kumi menahan amarahnya. Jefry berusaha menjadi penyejuk keadaan. “Pak Fuad tolong lepaskan Ibu Kumi dan ini bukan waktu yang tepat untuk berantem. Ada masalah krusial yang harus Anda tangani lebih dulu, yaitu jenazah Ibu Dara. Almarhumah sudah menunggu sejak 3 hari lalu untuk dimakamkan.” Mama Dara langsung menangis histeris. Dia memukul-mukul tubuh Fuad yang berdiri seperti patung. Lelaki itu tak berani menatap mata mama mertuanya yang sudah baik dengan dirinya sejak lama. Sudut hatinya merasa bersalah, telah menyia-nyiakan kebaikan yang wanita itu berikan. Sayangnya dia terlalu arogan untuk mengakui kesalahan yang ia lakukan. “Kamu jahat sekali Fuad. Kenapa kamu tega
Bab 181Respek Arum pada lelaki di depannya itu lenyap tak berbekas. Dia langsung pasang badan membela Kumi. "Astaghfirullah! Keji sekali mulut Bapak mencaci maki wanita yang telah membantu menjaga anak Bapak. Buka mata Pak, siapa yang menjaga anak-anak Bapak selama mereka di Bali.""Heh! Apa yang kamu tahu tentang Kumi! Dia paling hanya mau cari sensasi supaya mendapat simpati orang lain," cetus Fuad. Hatinya telah tertutup amarah.Arum mulai panas."Semenjak di pesawat, saya tahu bagaimana Kak Kumi ikut membantu istri Anda yang kewalahan. Dia juga yang membuat nyaman anak Anda setelah Ibu Dara meninggal. Heran, kok tega-teganya menuduh sembarangan.""Betul, saya tahu bagaimana Ibu Kumi menjaga anak-anak Bapak. Dia sampai ditampar tamu lain, saat anak Bapak rewel mencari ibunya.," sela Jefry membantu support KumiArum kaget dan menoleh pada Kumi. "Benarkah itu Kak?"Kumi mengangguk."Jangan didengerin itu Mas, paling hanya settingan.""Saya ada buktinya Bu," kata Jefry membela.Fuad