“Lelet sekali sih buka pintunya. Pasti dari pagi kerjamu molor terus!” bentak Arka sambil menutup pintu mobil.
Arka tidak tahu. Berjam-jam Kumi Janitra terkantuk-kantuk di ruang tamu menunggu Arka pulang kerja. Sementara jam di dinding terus berdetak, beberapa detik lagi jarum jam menunjukkan ke angka 12. Wanita ayu itu berulang kali menguap menahan kantuk dan rasa lelah. Dia mengerjap-ngerjapkan mata, kemudian merenggangkan kedua tangannya ke depan supaya dia tetap terjaga.
Kumi tidak menjawab, dia mengikuti Arka yang langsung duduk di ruang makan. Dia lalu membukakan sepatu dan kaus kaki Arka, setelah itu menyiapkan makan malam untuknya.
“Jangan sentuh! Biarkan tasku di situ!” bentak Arka saat melihat Kumi hendak memindahkannya.
“Tapi aku mau makan berdua denganmu Mas! Aku belum makan, dan tasmu mau aku taruh di kamar. Tolong jangan marah-marah ini sudah tengah malam,” jawabnya dengan nada ketakutan.
Arka melihat Kumi dengan sinis. “Kamu dari pagi punya banyak waktu untuk makan, kenapa kamu harus menunggu aku pulang. Aku capek! Tinggalkan aku sendirian.”
“Apakah ada masalah di kantor, Mas?” tanya Kumi, dia masih bersikap lembut menghadapi Arka.
Arka menggebrak meja makan. “Sudah kubilang, tinggalkan aku sendiri. Cerewet sekali mulutmu!!” Dia menuangkan soto ayam ke dalam piringnya. Mukanya seketika berubah jelek. “Apa ini?”
“Soto ayam.”
“Cepat bawa tanganmu kemari!” Arka langsung menarik tangan Kumi dan memasukkan jari telunjuknya ke dalam mangkuk.
“Maaf Mas, aku tadi lupa memanaskannya. Sebentar kupanaskan lagi.” Sebenarnya ia tadi telah memanaskan soto ayam itu, tapi karena Arka pulang tengah malam, soto ayam itu kembali dingin.
“Tidak usah! Aku sudah kehilangan selera makan!” katanya berapi-api.
Kumi masih bersabar. “Berikan aku waktu 5 menit saja Mas Arka. Biarkan aku panaskan sotonya.”
Tangan Arka menepis tangan Kumi yang hendak mengambil soto ayam di meja. “Apa telingamu budek? Kubilang tidak usah ya tidak usah! Aku sudah lelah bekerja, pulang larut malam! Sementara kamu hanya ibu rumah tangga, seharian kerjamu hanya duduk nonton sinetron dan tidak menyelamatkan dunia, kenapa sangat sulit sekali bagimu untuk menyiapkan makan malam yang enak buatku, heh?!! Ayo jawab?!! Arka memegang tubuh Kumi dan mengguncang-guncangkannya.
Badan Kumi bergetar, matanya mulai berkaca-kaca.
Arka belum puas, ia melontarkan kata-kata keji lagi pada Kumi. “Apa kamu pernah berkaca? Apakah kamu tahu penampilanmu seperti apa? Apa kamu pikir aku tidak punya mata?!! Kamu itu baud an gendut seperti bab*! Sudah aku mau makan di luar saja!” Arka pergi sambil membanting pintu.
Bantingan pintu membuat jantung Kumi kaget. Dia membereskan makanan Arka, lalu mencuci peralatan makannya dengan air mata berderai. Sakit sekali hatinya di caci maki seperti itu.
Kumi memegang perutnya dan merasakan dibagian bawah perutnya mengeras. Sudah 3 minggu haidnya telat. Meski belum periksa ke dokter ia tahu ada mahluk mungil yang tengah bertumbuh di perutnya. “Kamu jangan sedih ya Nak. Kamu harus kuat, sebab Mama menyanyangimu, cinta,” gumamnya pelan, seraya mengusap lembut perutnya.
Kumi mematikan lampu dan beranjak ke kamarnya, dia duduk di tepi jendela menatap bunga kamboja yang berguguran di samping rumah dengan kebuntuan pikiran yang menyergap semenjak tadi pagi.
Kumi membaringkan tubuh ke pembaringan, ia mencoba memejamkan mata tapi rasa kantuknya sudah hilang dan berganti dengan kesedihan. Ingin rasanya ia memaki Tuhan kenapa dulu tak memberinya tanda-tanda tentang Arka sehingga ia bisa menolak perjodohan yang orang tuanya tawarkan.
Andai ia tahu siapa Arka bathinnya tidak tersiksa begini.
Dua bulan lalu.
Ayah Kumi – Sutomo adalah teman Papa Arka – Teguh saat mereka sama-sama mengenyam pendidikan di sebuah pesantren di Tuban. Setelah belasan tahun, mereka dipertemukan dalam sebuah reuni. Untuk mempererat pertemanan mereka pun berjanji akan menjodohkan Kumi dan Arka.
Arka yang saat itu sedang bekerja di Singapura, tentu saja kaget dengan rencana perjodohan tersebut, sedangkan Kumi, walaupun hatinya gamang, ia tak berani melawan perintah ayahnya.
“Arka itu hebat Nduk. Selain ganteng, pinter, dia juga kaya. Hidupmu bakalan nyaman sama dia nanti,” kata Bapaknya merayu Kumi.
“Inggih Ayah,” sahut Kumi pelan. Dia menunduk menekuri sajadahnya.
Kumi baru bertemu dengan Arka saat perkawinan yang digelar sebulan setelah acara reuni.
Acara perkawinan dihadiri keluarga dekat saja. Setelah itu Arka membawanya honeymoon ke Karimun Jawa selama 3 hari.
Kumi memang belum pernah pacaran. Selepas kuliah ia sibuk bekerja. Gadis cantik itu membayangkan honeymoonnya seperti yang dilihatnya di film-film dimana sang suami akan memanjakan istri dengan makan malam romantis di pinggir pantai, kemudian stargazing sambil berbaring berdua di teras hotel.
Impian Kumi perlahan terkikis. Arka sangat dingin kepadanya. Jangankan berbicara, menatap saja lelaki itu tak pernah! Selama perjalanan ke Karimun Jawa Kumi tersiksa bathinnya.
Mereka tiba di Hotel Royal jam 2 siang, dan mendapatkan kamar dengan pemandangan laut. Sejenak pikiran Kumi teralihkan. Dia terkesima dengan keindahan laut dihadapannya. Setelah meletakkan kopornya, Arka langsung meninggalkan dia di kamar. Kumi menoleh ketika terdengar suara pintu terkunci.
Tapi Kumi terlalu takut untuk berbicara.
Malamnya, di tengah tidurnya, Kumi merasakan ada seorang yang menindihnya dengan kasar, dan kesakitan luar biasa di bawah selangkangannya. Kumi meronta. “Hentikan, hentikan!”
PLAK!
“Diam kau!!”
Tamparan itu mengagetkan Kumi. Kesadarannya langsung pulih dan menyadari lelaki yang berada di atasnya adalah Arka! Bau alcohol menyeruak dari mulut pria itu. Kumi tidak tahan dan hanya bisa menangis diam-diam.Esok paginya, room service datang membawakan sarapan untuk mereka tepat jam 7 pagi. Arka sudah bangun. Wajahnya sangar dan dingin seperti biasa. Pria itu menikmati sarapan nasi goreng tanpa peduli dengan mata sembab Kumi.Kumi hanya memperhatikan dari jauh. Ketika lelaki itu hendak pergi. Ia memberanikan diri untuk bicara.“Mas Arka tolong jangan kunci kamarnya, aku mau jalan-jalan ke pantai,” pinta Kumi hati-hati. Padahal dia jenuh dan kelaparan di kamar.“Oke! Tapi aku tidak mengijinkan kamu jalan-jalan keluar.” Dia lalu melemparkan 5 lembar uang ratusan ribu ke wajah Kumi. “Pesanlah makanan sepuasmu dengan uang itu! Awas kalau kamu langgar, kamu akan kupukul!&rdq
Kumi menoleh dan melihat mama mertuanya pergi dengan membawa ponselnya. Kumi mengejarnya. “Ma, Kumi janji akan mematuhi perintah Mama. Tapi tolong kembalikan ponsel Kumi. Kumi mau lihat resep masakan ayam lengkuasnya,” katanya. “Nih!” Perempuan itu melemparkan ponsel Kumi di rerumputan. “Lucu sekali anak zaman sekarang, semua gak bisa. Beda sekali dengan zamanku dulu,” gerutunya. Hati Kumi giris. Tangannya memegang dada. “Sabar… sabar!” Dia tak boleh cengeng. Butuh waktu hampir dua jam buat Kumi memasak permintaan mertuanya. Penampilannya sangat berantakan, muka Kumi yang cantik dihiasi jelaga sedangkan tangannya rusak terkena parutan kelapa.&n
Rini mendekati Kumi yang berjalan-jalan tertatih-tatih ke kamar mandi. Dia memandang Kumi dengan sinis. “Jadi perempuan kok banyak ngomong, gimana suaminya mau senang?” cibirnya lagi. Kumi tak menanggapi perkataan mama mertuanya. Dia menunduk menekuri dinginnya lantai ubin. Rini terus menatap Kumi dengan bengis. “Ingat! Kamu tidak bisa bertingkah seenak perutmu. Kamu tinggal di rumah mertua dan harus mematuhi peraturan di sini! Kamu tidak boleh menolak melakukan apapun yang kami mau!” “Baik Ma!” “Besok siang kami mau mengundang teman-teman sekitar 20 orang. Menunya sudah mama buat dan mama tempel di kulkas. Tugasmu hanya memasa
Sepanjang perjalanan Kumi memilih diam. Arka beberapa kali menerima panggilan telepon.“Apa? Pak Sakha sudah sampai? Oke – oke 5 menit lagi aku sudah sampai.”Lelaki itu terlihat gugup. “Ini semua gara-gara kamu! Dasar perempuan tak berguna!” gerutu Arka dengan rahang mengeras.Kumi menyembunyikan rasa gugupnya saat Arka berhenti di depan Lobby Hotel Cantika. Seorang petugas valet datang dan membawa mobil Arka ke tempat parkir.Arka berjalan cepat, dan Kumi mengikutinya dengan langkah tergesa. Di depan lounge hotel, mereka bertemu dengan seorang gadis cantik, tinggi semampai. Penampilannya sangat sempurna, membuat Kumi minder melihatnya.“Rhea, mana Pak Shaka?” Mata Arka celingak-celinguk di lounge hotel.“Katanya sih menemui temannya, sebentar lagi datang.” Rhea melihat Kumi dari atas ke bawah. Senyumnya mencibir. “Ndeso banget, pantesan Arka gak betah sama kamu.”Kumi
Shaka memberinya catatan. Kumi membacanya dengan tak mengerti. “Seminggu?” “Maaf Ma, Kumi tidak bisa. Mas Arka menyuruh Kumi menemani bosnya selama seminggu.” “Apa!! Tidak bisa kamu harus pulang!” Perempuan itu berteriak kebingungan di seberang. KLIK. Kumi mematikan ponselnya. Hati Kumi puas. Shaka duduk di sebelah Kumi. “Aku semalam telah meminta ijin pada Arka. Aku beritahu dia aku puas dengan servis kamu dan memintamu menginap selama seminggu. Aku pikir kamu bisa beristirahat di sini, sekalian memeriksa kehamilanmu. Sorry dari semalam aku khawatir kamu belum memeriksakan kehamilanmu ke dokter.”
Kumi menoleh dan mulutnya terkunci saat melihat Ibu dan Ayahnya berdiri di depan pintu. Dia langsung menubruk Ibu dan Ayahnya yang belum dilihatnya selama berbulan-bulan. “Ibu, Kumi kangen sekali.” Putri memeluk anaknya sambil berlinang air mata. Hatinya hancur sekali melihat Kumi diperlakukan jahat oleh menantu dan besannya. “Maafkan Ayah dan Ibu Nak. Ibu tidak menyangka mereka memperlakukanmu buruk seperti ini.”Rini ketus, ia marah sekali melihat besannya mendadak datang. ”Tamu kok gak punya sopan-santun, langsung masuk ke rumah orang tanpa permisi. Lagipula, Kumi itu menantu kami, kami berhak melakukan apa saja kepadanya. Sedangkan kalian tidak punya hak sama sekali!”Teguh datang. “Benar apa kata istri saya, kalian tidak usah ikut campur dengan rumah tangga anak kami. Sebaiknya Tomo dan Putri pulang, daripada memperk
Kumi membuka tas, mengambil uang lima ribuan dan memberikannya pada perempuan tersebut. Tanpa sadar Kumi mengelus perutnya. Ketakutan tiba-tiba menyergapnya. Tidak-tidak, dia tak mungkin terlempar di jalanan seperti wanita itu.Putri memegang tangan anak perempuannya. “Kamu jangan khawatir Nak. Ibu dan Ayah akan menjagamu. Kamu sekarang aman bersama kami, juga anak yang ada dalam perutmu.”“Bagaimana Ibu dan Ayah bisa pas datang saat kami bertengkar?” tanya Kumi mengalihkan pikiran sedih yang mulai menginvasi otaknya.Ayah menjawab pertanyaan Kumi.“Ibu dan anak itu punya ikatan bathin kuat Nduk. Ibumu sering bersedih dan menangis tanpa sebab. Tiap tengah malam ia selalu terbangun dan ingat sama kamu. Dia memaksa Bapak untuk menengokmu. Tapi Bapak tunda terus. Kemudian seminggu yang lalu, ibumu menyuruh Khandra datang diam-diam mengecek keadaanmu. Dia melihatmu lari ke sana ke mari mempersiapkan acara makan-maka
Yuni berdiri di depan pagar, matanya yang belok melihat ke Kumi. “Siang Tante,” sapa Kumi ramah. “Hati-hati Kak, dia tukang gossip, jangan disuruh masuk,” bisik Khandra. “Oh ya, Khandra punya uang, uang Kakak sebaiknya disimpan saja.”“Beneran? Darimana dapat uangnya?” Kumi mengernyitkan dahi. “Aku buat stiker dan kujual online. Hasilnya kutabung buat bayar kuliah nanti,” kata Khandra bangga. “Kakak mau makanan apa, biar sekalian Khandra belikan.” Ada gerimis di mata Kumi, ia terharu dengan kebaikan adiknya. “Tidak usah, Kakak tidak pengen apa-apa.”Khandra l
Bab 189 - episode terakhir Kumi buru-buru memakai gaun malamnya lalu menyusul Shaka di kantornya. Lelaki itu sedang menghidupkan laptop. Ia berdiri di depan pintu memandangi suaminya. “Apakah aku terlihat sangat buruk sehingga kamu tidak bernafsu denganku?” tanyanya sedih. “Tidak sayang, sama sekali tidak. Kamu membuatku bahagia,” senyum Shaka menghiasi wajahnya. Ia mendekati Kumi dan memeluknya hangat. “Tapi kenapa kamu tidak meneruskan tadi? Apa kamu tahu, aku sudah memimpikan malam pertama kita,” kata Kumi malu-malu. Shaka tertawa terbahak-bahak. “Dasar nakal.” Dia memencet hidung Kumi. “Aku sama denganmu, sama-sama merindukan malam pertama. Sayangnya kamu sedang menstruasi. Aku tidak tega melakukannya, meski aku sangat menginginkannya.” Ia lalu membopong Kumi dan memangkunya. Kumi tertunduk malu dan bergelayut manja pada Shaka, membaui aroma parfum yang membuatnya tergila-gila. “Untuk mengalihkan pikiran tadi, bolehkah aku bekerja dulu. Pekerjaanku menumpuk.” “Baiklah sayang
Bab 188 “Maaf Pak Shaka, Nenek Anda sudah meninggal dunia, jenazahnya baru saja dibawa ke kamar jenazah.” “Innalillahi wa inna illaihi rojiun.” Tubuh Shaka langsung lunglai, dia terduduk di lantai rumah sakit yang dingin. Lelaki itu menangis tergugu. Perasaan bersalah menghantam dadanya. Ia menyesal tidak mendampingi neneknya saat sakaratul maut. “Maafkan Shaka Nek, maafkan Shaka. Kenapa Nenek tidak menunggu Shaka sebentar saja.” Kumi membawa kepala Shaka ke dadanya dan memeluknya erat. Dia tidak berkata apa-apa, selain memeluk Shaka. Menenangkan pria itu dan turut merasakan kesedihan yang kekasihnya rasakan. Alex sopir Shaka datang dengan setengah berlari dan kaget sewaktu melihat Kumi dan keluarganya datang. “Maaf Pak, kami berusaha menghubungi Bapak, tapi telpon Bapak tidak aktif.” Dengan mata sembab, Shaka memeriksa ponselnya. “Maaf Alex, telpon saya mati. Saya lupa membawa charger saat ke Bali.” Itu adalah sederet kebodohan yang ia lakukan. Pikirannya sulit fokus setelah
Bab 187Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage.Shaka mengulum senyum memandang Kumi. Sedangkan Kumi, hatinya bergetar hebat. Dirinya mendadak canggung berdua dengan Shaka di kamar.“Enak juga kamar homestaynya. Aku jadi pingin membuat rumah seperti ini,” kata Shaka mengoyak kesunyian. Dia menduduki kursi yang dipakai Ibu tadi sambil matanya berkeliling menyusuri tiap sudut ruang.“Sama. Aku juga juga pengen tinggal di Ubud dan punya penginapan yang mengacu pada back to nature. Bangunanannya menggunakan bahan lokal, halamannya luas, ada kebun sayur dan binatang seperti kelinci, ayam dan…” Kumi berbicara dengan antusias dia melupakan rasa pening yang mendera kepalanya.“Ikan, kambing.” Shaka tertawa kecil meneruskan kata-kata Kumi dengan mata berbinar-binar. Dia duduk dengan relaks. Kedua tangannya di letakkan di belakang kepalanya.“Menyenangkan sekali hidup di pinggiran kota dengan orang-orang yang kita cintai. Aku bisa semingg
Bab 186“Nenek Shaka kondisinya kritis Nduk. Dia tidak sadar dan hidupnya tergantung pada mesin. Dokter telah meminta Shaka dan keluarganya mengikhlaskannya.” Ibu menjelaskan pada Kumi. “Sebelum terbang ke Bali, kami sempat menjenguknya.”Hati Kumi bertambah berat.“Kumi, jika kamu setuju. Aku mau perkawinan kita diselenggarakan secepatnya bersamaan dengan perkawinan Abang,” kata Shaka semangat. Dia sudah membayangkan bagaimana dia dan abangnya menyunting perempuan yang mereka cintai.“HAH? Dengan siapa? Bagaimana jika Nenek tidak setuju?” Nyali Kumi ciut.“Abang akan menikahi Sulis, aku sudah bertemu dengannya, dan dia setuju.”“Ikuti saja Nduk, keinginan Shaka,” bujuk Ibu. “Kalau bisa sepulangnya dari Bali kalian berdua menikah.”Kumi menoleh kepada ibunya. “Ibu, kapan hari Ibu memaksaku menikahi Arka, sekarang Ibu memaksaku menikahi Shaka. Ibu kenapa plinplan sekali. Sebenarnya diantara keduanya siapa yang paling ibu sukai?” tanyanya. Ia ingin Shaka mendengarnya juga.Bapak berdeha
Bab 185 “Kumi! Kumi! Maafkan Ibu Nak. Ibu menyesal telah menyakiti hatimu. Kamu jangan tinggalkan Ibu.” Ibu menangis sesenggukan memeluk Kumi. “Kumi tidak apa-apa Bu, dia hanya pingsan.” “Mommy… Mommy, wake up.” Yashi menciumi pipi Kumi. Kumi mendengar suara ibunya menangis. Kemudian mendengar suara Ayah menghibur Ibu, dan suara anaknya Yashi. Di manakah dirinya berada? “Aku ada di mana?” tanya Kumi bingung sesaat setelah membuka matanya. “Kamu ada di Bali,” sahut Ibu lega melihat putrinya telah sadar. Kening Kumi berkerut. Ia lalu menoleh dan melihat Ibu, Ayah, Khandra dan Yashi berada di dekat tempat tidurnya. Ia bergeming dan menatap mereka nanar. Namun, Kumi ragu. Apakah mereka semua nyata atau hanya perwujudan wong samar? Rupanya ia masih terpengaruh dengan cerita Bernie. “Kenapa Kumi memandang kita seperti itu Pak? Jangan – jangan ia kesurupan atau hilang akal?” Ibu jadi cemas. “Hush, kamu jangan ngawur, kata Dokter tadi gak apa-apa, luka di kepalanya kecil.” Kumi me
Bab 184“Saya tidak tahu Bu. Semua tamu yang menginap di sini saya hapal. Karena hanya ada 7 kamar dan sekarang hanya 4 kamar yang terisi.” Lelaki itu terdiam. “Eng, siapa tahu Bernie salah satu teman dari tamu kami.”Namun, Kumi tidak begitu yakin dengan yang dikatakan karyawan itu. Wanita itu lalu terduduk lesu di teras kamar Bernie. Kebingungan memeluk dirinya. Ia yakin semalam ia bercengkrama dengan Bernie dan semuanya tampak nyata.“Dia semalam minum bir dan menawari saya Pak? Dia menginap di kamar ini,” kata Kumi berusaha meyakinkan karyawan homestay.“Bagaimana kalau kita ke resepsionis Bu,” ajak karyawan tersebut, untuk meyakinkan Kumi.“Ayo.” Kumi berjalan di belakang karyawan tersebut.Mereka bertemu dengan Pak Dewa sekaligus owner homestay tersebut. “Pagi Bu, bisa dibantu?” sapanya ramah.Karyawan yang bernama Gede itu lalu menceritakan tentang Bernie kepada bosnya. Kumi menyimak pembicaraan mereka.Kemudian Pak Dewa mengajaknya duduk di depan meja penerima tamu, di dekat k
Bab 183Kumi menggeliatkan badannya dan bruk! Dia terjatuh di lantai ubin yang keras. Oufff!! Punggungnya sakit.“Hey, are you okay?”Dengan masih menahan rasa kantuk dan sakit di sekujur tubuhnya, Kumi membuka lebar matanya. “Pencuri! Pencuri,” Kumi berteriak dengan wajah pucat pasi melihat ada seorang lelaki jongkok di depannya.Melalui cahaya lampu kamarnya yang redup Kumi bisa menebak, lelaki di depannya adalah seorang bule bukan setan, karena dia sempat melirik kakinya yang menjejak lantai.Sejenak, Kumi memandangi wajah ganteng dengan rambutya yang gondrong, dan lelaki itu hanya memakai celana kolor. Otak Kumi mulai on.“Hey, aku bukan pencuri. Aku tamu di sini, namaku Bernie. Kamarku ada di sebelahmu.” Ia menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar dan aksen yang menarik di telinga Kumi.Bernie lalu mengulurkan tangannya ke Kumi dan membantunya untuk bangun.Mata Kumi menyelidik disertai kecurigaan pada lelaki bule di depannya itu. “Kenapa kamu ada di kamarku?” tanyanya setelah
Bab 182 Mata Fuad merah, tangannya yang berotot langsung memegang tubuh Kumi kuat. “Memangnya kamu siapa? Mau ikut campur urusan rumah tangga saya!” katanya geram. Kumi menatap mata Fuad dengan kebencian. Ia muak melihat lelaki itu di hadapannya. “Aku hanya mau membantu mamanya Dara melindungi anak-anakmu,” desis Kumi menahan amarahnya. Jefry berusaha menjadi penyejuk keadaan. “Pak Fuad tolong lepaskan Ibu Kumi dan ini bukan waktu yang tepat untuk berantem. Ada masalah krusial yang harus Anda tangani lebih dulu, yaitu jenazah Ibu Dara. Almarhumah sudah menunggu sejak 3 hari lalu untuk dimakamkan.” Mama Dara langsung menangis histeris. Dia memukul-mukul tubuh Fuad yang berdiri seperti patung. Lelaki itu tak berani menatap mata mama mertuanya yang sudah baik dengan dirinya sejak lama. Sudut hatinya merasa bersalah, telah menyia-nyiakan kebaikan yang wanita itu berikan. Sayangnya dia terlalu arogan untuk mengakui kesalahan yang ia lakukan. “Kamu jahat sekali Fuad. Kenapa kamu tega
Bab 181Respek Arum pada lelaki di depannya itu lenyap tak berbekas. Dia langsung pasang badan membela Kumi. "Astaghfirullah! Keji sekali mulut Bapak mencaci maki wanita yang telah membantu menjaga anak Bapak. Buka mata Pak, siapa yang menjaga anak-anak Bapak selama mereka di Bali.""Heh! Apa yang kamu tahu tentang Kumi! Dia paling hanya mau cari sensasi supaya mendapat simpati orang lain," cetus Fuad. Hatinya telah tertutup amarah.Arum mulai panas."Semenjak di pesawat, saya tahu bagaimana Kak Kumi ikut membantu istri Anda yang kewalahan. Dia juga yang membuat nyaman anak Anda setelah Ibu Dara meninggal. Heran, kok tega-teganya menuduh sembarangan.""Betul, saya tahu bagaimana Ibu Kumi menjaga anak-anak Bapak. Dia sampai ditampar tamu lain, saat anak Bapak rewel mencari ibunya.," sela Jefry membantu support KumiArum kaget dan menoleh pada Kumi. "Benarkah itu Kak?"Kumi mengangguk."Jangan didengerin itu Mas, paling hanya settingan.""Saya ada buktinya Bu," kata Jefry membela.Fuad