Tamparan itu mengagetkan Kumi. Kesadarannya langsung pulih dan menyadari lelaki yang berada di atasnya adalah Arka! Bau alcohol menyeruak dari mulut pria itu. Kumi tidak tahan dan hanya bisa menangis diam-diam.
Esok paginya, room service datang membawakan sarapan untuk mereka tepat jam 7 pagi. Arka sudah bangun. Wajahnya sangar dan dingin seperti biasa. Pria itu menikmati sarapan nasi goreng tanpa peduli dengan mata sembab Kumi.
Kumi hanya memperhatikan dari jauh. Ketika lelaki itu hendak pergi. Ia memberanikan diri untuk bicara.
“Mas Arka tolong jangan kunci kamarnya, aku mau jalan-jalan ke pantai,” pinta Kumi hati-hati. Padahal dia jenuh dan kelaparan di kamar.
“Oke! Tapi aku tidak mengijinkan kamu jalan-jalan keluar.” Dia lalu melemparkan 5 lembar uang ratusan ribu ke wajah Kumi. “Pesanlah makanan sepuasmu dengan uang itu! Awas kalau kamu langgar, kamu akan kupukul!” Dia berbalik dan meninggalkan Kumi.
Mulut Kumi terkunci. Dia tak menyangka. Lelaki yang terlihat sopan dan telah menjadi suaminya itu berani mengancamnya. Hatinya patah. Dia bergidik ngeri membayangkan badannya yang mungil menjadi samsak Arka yang berbadan atletis. Tanpa sadar dia menyentuh pipinya yang semalam ditampar Arka.
Setelah itu Arka membawa Kumi tinggal di rumah orang tuanya di salah satu perumahan mewah di Jakarta Selatan, karena Rini – Mama mertuanya tidak mau anak semata wayang dan kesayangannya pergi dari rumahnya.
***
Hari pertama di rumah mertua indah.
Seperti kebiasaannya di rumah, Kumi bangun jam 4.30 pagi, setelah sholat subuh, dia langsung pergi ke dapur. Dengan cekatan dia memasak sambil membersihkan rumah.
Ia ingin membuat simpati pada Arka dan kedua orang tuanya supaya menerima kehadirannya dengan sukacita. Setelah itu ia membersihkan diri dan bersiap-siap pergi ke kantor.
“Kumiiiiiii…. sini!’ teriak mama mertuanya.
Kumi yang sedang berganti pakaian, bergegas menemui mama mertuanya. “Iya Mam,” jawabnya. Ia takut melihat roman muka mama mertuanya yang kelihatan gusar.
“Siapa yang menyuruhmu memasak?” Rini menatap Kumi tak suka.
“Tidak ada Mam, itu inisiatif Kumi sendiri,” jawab Kumi dengan suara gemetar. Ia menunduk ketakutan.
“Besok-besok, kamu harus tanya mama dulu! Jangan asal masak. Apa ibumu tidak mengajarimu sopan santun?” sindirnya pedas.
Rini lalu membuka tudung saji. Ada opor ayam dan telur tempe goreng. Dia mencicipinya. “Bah! Apa ini?!! Mama gak suka dengan masakan yang menggunakan santan instan. Santannya harus fresh. Kamu harus memarutnya sendiri! Yang paling penting nasi harus dimasak pake tungku dan kayu bakar!” Ia lalu membuang semangkuk besar opor ayam ke wastafel.
Nyali Kumi semakin ciut melihatnya.
“Kamu mau ke mana pakai baju rapi begitu?” tanya Rini lagi?
“Kumi mau siap-siap berangkat kerja, Ma.”
“Lho, enak saja! Terus siapa nanti yang masak, nyuci, nyetrika dan bersih-bersih rumah? Apa ibumu tidak memberitahumu kamu harus berhenti bekerja setelah menjadi istri Arka?”
Kumi tersentak. Kejutan apa lagi ini? Ayah maupun ibunya tidak pernah memberitahunya soal berhenti bekerja. Gadis itu menunduk menekuri ubin. “Tapi Ma, tidak mungkin Kumi berhenti mendadak. Kumi harus bilang ke atasan dulu.”
Rini yang bertumbuh tambun tak suka dengan jawaban Kumi. “Itu masalah kamu, Mama gak mau tahu. Pokoknya mulai hari ini kamu gak boleh kerja lagi. Titik!!”
“Tapi Ma…” Air mata Kumi hendak tumpah.
“Gak ada tapi-tapian. Cepat ganti bajumu dengan daster!”
Mendengar suara keributan di ruang tengah, Teguh yang baru datang dari jogging datang menghampiri. “Ada apa ini? Pagi-pagi sudah ribut.”
“Ini lho Pap, Kumi mau berangkat bekerja,” jawab istrinya sambil memberikan segelas air hangat kepadanya.
Teguh duduk di kursi. “Papa lupa memberitahu kedua orang tuamu. Peraturan di keluarga kami, perempuan dilarang bekerja. Kami para lelakilah yang mencari nafkah dan tugas utama kalian, para perempuan adalah melayani kami.”
Dada Kumi langsung sesak. Ayah tidak pernah mengajarinya begitu. Justru dia yang mendorong Kumi untuk bekerja, mencari penghasilan supaya tidak tergantung dengan orang lain. Dia hendak berontak, tapi suaranya tercekat di kerongkongan.
“Ma, siapkan makanannya. Aku sudah lapar,” titah Teguh.
Mama mertuanya ketus melihat Kumi. “Sana cepat masak! Buat sayur lodeh, ayam goreng bumbu lengkuas dan sambal terasi!” Dia lalu menoleh pada suaminya. “Apa Papa mau kubuatkan roti bakar dulu.”
“Perutku gak kenyang Ma, kalau gak makan nasi!! Ah kalian memang wanita-wanita gak berguna,” sungutnya kesal. Dia menggebrak meja.
Kumi ketakutan. Dia langsung berlari ke belakang rumah. Di sana ada pondok bambu yang terpisah dari bangunan utama. Kumi gemetar saat membuka pintu. Seumur-umur dia belum pernah masak di tungku dengan kayu bakar.
Kumi menangis dan mengadu pada ibunya lewat telepon dan menceritakan semuanya. “Bu, Kumi gak kerasan tinggal di sini. Kumi mau pulang saja.” Dia menangis sesenggukan.
“Maaf Nduk, Ibu tak bisa membantumu. Kamu sudah menjadi istri Arka. Bagaimanapun kamu harus nurut aturan di rumah mereka. Kamu yang sabar ya. Pelan-pelan nanti pasti kamu bisa adaptasi,” jawab sang Ibu. Dia menghapus bulir bening di sudut matanya.
Tiba-tiba dari arah belakang ada yang merebut ponselnya.
“Bagus, bagus sekali sikapmu! Pakai mengadu segala pada ibumu. Awas kalau mengadu lagi, kuadukan kamu ke Arka!” Dia berbalik.
Kumi menoleh dan melihat mama mertuanya pergi dengan membawa ponselnya. Kumi mengejarnya. “Ma, Kumi janji akan mematuhi perintah Mama. Tapi tolong kembalikan ponsel Kumi. Kumi mau lihat resep masakan ayam lengkuasnya,” katanya. “Nih!” Perempuan itu melemparkan ponsel Kumi di rerumputan. “Lucu sekali anak zaman sekarang, semua gak bisa. Beda sekali dengan zamanku dulu,” gerutunya. Hati Kumi giris. Tangannya memegang dada. “Sabar… sabar!” Dia tak boleh cengeng. Butuh waktu hampir dua jam buat Kumi memasak permintaan mertuanya. Penampilannya sangat berantakan, muka Kumi yang cantik dihiasi jelaga sedangkan tangannya rusak terkena parutan kelapa.&n
Rini mendekati Kumi yang berjalan-jalan tertatih-tatih ke kamar mandi. Dia memandang Kumi dengan sinis. “Jadi perempuan kok banyak ngomong, gimana suaminya mau senang?” cibirnya lagi. Kumi tak menanggapi perkataan mama mertuanya. Dia menunduk menekuri dinginnya lantai ubin. Rini terus menatap Kumi dengan bengis. “Ingat! Kamu tidak bisa bertingkah seenak perutmu. Kamu tinggal di rumah mertua dan harus mematuhi peraturan di sini! Kamu tidak boleh menolak melakukan apapun yang kami mau!” “Baik Ma!” “Besok siang kami mau mengundang teman-teman sekitar 20 orang. Menunya sudah mama buat dan mama tempel di kulkas. Tugasmu hanya memasa
Sepanjang perjalanan Kumi memilih diam. Arka beberapa kali menerima panggilan telepon.“Apa? Pak Sakha sudah sampai? Oke – oke 5 menit lagi aku sudah sampai.”Lelaki itu terlihat gugup. “Ini semua gara-gara kamu! Dasar perempuan tak berguna!” gerutu Arka dengan rahang mengeras.Kumi menyembunyikan rasa gugupnya saat Arka berhenti di depan Lobby Hotel Cantika. Seorang petugas valet datang dan membawa mobil Arka ke tempat parkir.Arka berjalan cepat, dan Kumi mengikutinya dengan langkah tergesa. Di depan lounge hotel, mereka bertemu dengan seorang gadis cantik, tinggi semampai. Penampilannya sangat sempurna, membuat Kumi minder melihatnya.“Rhea, mana Pak Shaka?” Mata Arka celingak-celinguk di lounge hotel.“Katanya sih menemui temannya, sebentar lagi datang.” Rhea melihat Kumi dari atas ke bawah. Senyumnya mencibir. “Ndeso banget, pantesan Arka gak betah sama kamu.”Kumi
Shaka memberinya catatan. Kumi membacanya dengan tak mengerti. “Seminggu?” “Maaf Ma, Kumi tidak bisa. Mas Arka menyuruh Kumi menemani bosnya selama seminggu.” “Apa!! Tidak bisa kamu harus pulang!” Perempuan itu berteriak kebingungan di seberang. KLIK. Kumi mematikan ponselnya. Hati Kumi puas. Shaka duduk di sebelah Kumi. “Aku semalam telah meminta ijin pada Arka. Aku beritahu dia aku puas dengan servis kamu dan memintamu menginap selama seminggu. Aku pikir kamu bisa beristirahat di sini, sekalian memeriksa kehamilanmu. Sorry dari semalam aku khawatir kamu belum memeriksakan kehamilanmu ke dokter.”
Kumi menoleh dan mulutnya terkunci saat melihat Ibu dan Ayahnya berdiri di depan pintu. Dia langsung menubruk Ibu dan Ayahnya yang belum dilihatnya selama berbulan-bulan. “Ibu, Kumi kangen sekali.” Putri memeluk anaknya sambil berlinang air mata. Hatinya hancur sekali melihat Kumi diperlakukan jahat oleh menantu dan besannya. “Maafkan Ayah dan Ibu Nak. Ibu tidak menyangka mereka memperlakukanmu buruk seperti ini.”Rini ketus, ia marah sekali melihat besannya mendadak datang. ”Tamu kok gak punya sopan-santun, langsung masuk ke rumah orang tanpa permisi. Lagipula, Kumi itu menantu kami, kami berhak melakukan apa saja kepadanya. Sedangkan kalian tidak punya hak sama sekali!”Teguh datang. “Benar apa kata istri saya, kalian tidak usah ikut campur dengan rumah tangga anak kami. Sebaiknya Tomo dan Putri pulang, daripada memperk
Kumi membuka tas, mengambil uang lima ribuan dan memberikannya pada perempuan tersebut. Tanpa sadar Kumi mengelus perutnya. Ketakutan tiba-tiba menyergapnya. Tidak-tidak, dia tak mungkin terlempar di jalanan seperti wanita itu.Putri memegang tangan anak perempuannya. “Kamu jangan khawatir Nak. Ibu dan Ayah akan menjagamu. Kamu sekarang aman bersama kami, juga anak yang ada dalam perutmu.”“Bagaimana Ibu dan Ayah bisa pas datang saat kami bertengkar?” tanya Kumi mengalihkan pikiran sedih yang mulai menginvasi otaknya.Ayah menjawab pertanyaan Kumi.“Ibu dan anak itu punya ikatan bathin kuat Nduk. Ibumu sering bersedih dan menangis tanpa sebab. Tiap tengah malam ia selalu terbangun dan ingat sama kamu. Dia memaksa Bapak untuk menengokmu. Tapi Bapak tunda terus. Kemudian seminggu yang lalu, ibumu menyuruh Khandra datang diam-diam mengecek keadaanmu. Dia melihatmu lari ke sana ke mari mempersiapkan acara makan-maka
Yuni berdiri di depan pagar, matanya yang belok melihat ke Kumi. “Siang Tante,” sapa Kumi ramah. “Hati-hati Kak, dia tukang gossip, jangan disuruh masuk,” bisik Khandra. “Oh ya, Khandra punya uang, uang Kakak sebaiknya disimpan saja.”“Beneran? Darimana dapat uangnya?” Kumi mengernyitkan dahi. “Aku buat stiker dan kujual online. Hasilnya kutabung buat bayar kuliah nanti,” kata Khandra bangga. “Kakak mau makanan apa, biar sekalian Khandra belikan.” Ada gerimis di mata Kumi, ia terharu dengan kebaikan adiknya. “Tidak usah, Kakak tidak pengen apa-apa.”Khandra l
Bab 10 Kumi lalu berlutut di depan ayahnya sambil berurai air mata. “Ayah, tolong sekali ini saja, bantu Kumi mengurus perceraian Kumi. Maaf, Kumi tidak bisa menyenangkan hati Ayah tapi Kumi ingin hidup bahagia sesuai dengan keinginan Kumi.” Walaupun usianya masih muda, Kumi selama ini mengamati lelaki setelah menikah kebanyakan condong kepada keluarga istrinya, karena keterikatan dengan istri dan anak perempuannya. Contohnya seperti Ibu, setiap ada masalah atau keperluan, Ibu lebih memilih bercerita pada ibunya sendiri daripada dengan mertuanya. Sementara Arka adalah anak semata wayang keluarga Teguh. Ia memahami kasih sayang mertuanya terutama mama mertuanya yang begitu besar pada Arka sehingga sulit bagi Arka untuk melepaskan perhatian dan pemikiran kedua orang tuanya. Sedikit banyak Arka mencontoh apa yang orang tuanya lakukan. Kumi bisa melihat itu, setelah tinggal bersama mertuanya. Mertuanya adalah tipe keluarga konservatif
Bab 189 - episode terakhir Kumi buru-buru memakai gaun malamnya lalu menyusul Shaka di kantornya. Lelaki itu sedang menghidupkan laptop. Ia berdiri di depan pintu memandangi suaminya. “Apakah aku terlihat sangat buruk sehingga kamu tidak bernafsu denganku?” tanyanya sedih. “Tidak sayang, sama sekali tidak. Kamu membuatku bahagia,” senyum Shaka menghiasi wajahnya. Ia mendekati Kumi dan memeluknya hangat. “Tapi kenapa kamu tidak meneruskan tadi? Apa kamu tahu, aku sudah memimpikan malam pertama kita,” kata Kumi malu-malu. Shaka tertawa terbahak-bahak. “Dasar nakal.” Dia memencet hidung Kumi. “Aku sama denganmu, sama-sama merindukan malam pertama. Sayangnya kamu sedang menstruasi. Aku tidak tega melakukannya, meski aku sangat menginginkannya.” Ia lalu membopong Kumi dan memangkunya. Kumi tertunduk malu dan bergelayut manja pada Shaka, membaui aroma parfum yang membuatnya tergila-gila. “Untuk mengalihkan pikiran tadi, bolehkah aku bekerja dulu. Pekerjaanku menumpuk.” “Baiklah sayang
Bab 188 “Maaf Pak Shaka, Nenek Anda sudah meninggal dunia, jenazahnya baru saja dibawa ke kamar jenazah.” “Innalillahi wa inna illaihi rojiun.” Tubuh Shaka langsung lunglai, dia terduduk di lantai rumah sakit yang dingin. Lelaki itu menangis tergugu. Perasaan bersalah menghantam dadanya. Ia menyesal tidak mendampingi neneknya saat sakaratul maut. “Maafkan Shaka Nek, maafkan Shaka. Kenapa Nenek tidak menunggu Shaka sebentar saja.” Kumi membawa kepala Shaka ke dadanya dan memeluknya erat. Dia tidak berkata apa-apa, selain memeluk Shaka. Menenangkan pria itu dan turut merasakan kesedihan yang kekasihnya rasakan. Alex sopir Shaka datang dengan setengah berlari dan kaget sewaktu melihat Kumi dan keluarganya datang. “Maaf Pak, kami berusaha menghubungi Bapak, tapi telpon Bapak tidak aktif.” Dengan mata sembab, Shaka memeriksa ponselnya. “Maaf Alex, telpon saya mati. Saya lupa membawa charger saat ke Bali.” Itu adalah sederet kebodohan yang ia lakukan. Pikirannya sulit fokus setelah
Bab 187Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage.Shaka mengulum senyum memandang Kumi. Sedangkan Kumi, hatinya bergetar hebat. Dirinya mendadak canggung berdua dengan Shaka di kamar.“Enak juga kamar homestaynya. Aku jadi pingin membuat rumah seperti ini,” kata Shaka mengoyak kesunyian. Dia menduduki kursi yang dipakai Ibu tadi sambil matanya berkeliling menyusuri tiap sudut ruang.“Sama. Aku juga juga pengen tinggal di Ubud dan punya penginapan yang mengacu pada back to nature. Bangunanannya menggunakan bahan lokal, halamannya luas, ada kebun sayur dan binatang seperti kelinci, ayam dan…” Kumi berbicara dengan antusias dia melupakan rasa pening yang mendera kepalanya.“Ikan, kambing.” Shaka tertawa kecil meneruskan kata-kata Kumi dengan mata berbinar-binar. Dia duduk dengan relaks. Kedua tangannya di letakkan di belakang kepalanya.“Menyenangkan sekali hidup di pinggiran kota dengan orang-orang yang kita cintai. Aku bisa semingg
Bab 186“Nenek Shaka kondisinya kritis Nduk. Dia tidak sadar dan hidupnya tergantung pada mesin. Dokter telah meminta Shaka dan keluarganya mengikhlaskannya.” Ibu menjelaskan pada Kumi. “Sebelum terbang ke Bali, kami sempat menjenguknya.”Hati Kumi bertambah berat.“Kumi, jika kamu setuju. Aku mau perkawinan kita diselenggarakan secepatnya bersamaan dengan perkawinan Abang,” kata Shaka semangat. Dia sudah membayangkan bagaimana dia dan abangnya menyunting perempuan yang mereka cintai.“HAH? Dengan siapa? Bagaimana jika Nenek tidak setuju?” Nyali Kumi ciut.“Abang akan menikahi Sulis, aku sudah bertemu dengannya, dan dia setuju.”“Ikuti saja Nduk, keinginan Shaka,” bujuk Ibu. “Kalau bisa sepulangnya dari Bali kalian berdua menikah.”Kumi menoleh kepada ibunya. “Ibu, kapan hari Ibu memaksaku menikahi Arka, sekarang Ibu memaksaku menikahi Shaka. Ibu kenapa plinplan sekali. Sebenarnya diantara keduanya siapa yang paling ibu sukai?” tanyanya. Ia ingin Shaka mendengarnya juga.Bapak berdeha
Bab 185 “Kumi! Kumi! Maafkan Ibu Nak. Ibu menyesal telah menyakiti hatimu. Kamu jangan tinggalkan Ibu.” Ibu menangis sesenggukan memeluk Kumi. “Kumi tidak apa-apa Bu, dia hanya pingsan.” “Mommy… Mommy, wake up.” Yashi menciumi pipi Kumi. Kumi mendengar suara ibunya menangis. Kemudian mendengar suara Ayah menghibur Ibu, dan suara anaknya Yashi. Di manakah dirinya berada? “Aku ada di mana?” tanya Kumi bingung sesaat setelah membuka matanya. “Kamu ada di Bali,” sahut Ibu lega melihat putrinya telah sadar. Kening Kumi berkerut. Ia lalu menoleh dan melihat Ibu, Ayah, Khandra dan Yashi berada di dekat tempat tidurnya. Ia bergeming dan menatap mereka nanar. Namun, Kumi ragu. Apakah mereka semua nyata atau hanya perwujudan wong samar? Rupanya ia masih terpengaruh dengan cerita Bernie. “Kenapa Kumi memandang kita seperti itu Pak? Jangan – jangan ia kesurupan atau hilang akal?” Ibu jadi cemas. “Hush, kamu jangan ngawur, kata Dokter tadi gak apa-apa, luka di kepalanya kecil.” Kumi me
Bab 184“Saya tidak tahu Bu. Semua tamu yang menginap di sini saya hapal. Karena hanya ada 7 kamar dan sekarang hanya 4 kamar yang terisi.” Lelaki itu terdiam. “Eng, siapa tahu Bernie salah satu teman dari tamu kami.”Namun, Kumi tidak begitu yakin dengan yang dikatakan karyawan itu. Wanita itu lalu terduduk lesu di teras kamar Bernie. Kebingungan memeluk dirinya. Ia yakin semalam ia bercengkrama dengan Bernie dan semuanya tampak nyata.“Dia semalam minum bir dan menawari saya Pak? Dia menginap di kamar ini,” kata Kumi berusaha meyakinkan karyawan homestay.“Bagaimana kalau kita ke resepsionis Bu,” ajak karyawan tersebut, untuk meyakinkan Kumi.“Ayo.” Kumi berjalan di belakang karyawan tersebut.Mereka bertemu dengan Pak Dewa sekaligus owner homestay tersebut. “Pagi Bu, bisa dibantu?” sapanya ramah.Karyawan yang bernama Gede itu lalu menceritakan tentang Bernie kepada bosnya. Kumi menyimak pembicaraan mereka.Kemudian Pak Dewa mengajaknya duduk di depan meja penerima tamu, di dekat k
Bab 183Kumi menggeliatkan badannya dan bruk! Dia terjatuh di lantai ubin yang keras. Oufff!! Punggungnya sakit.“Hey, are you okay?”Dengan masih menahan rasa kantuk dan sakit di sekujur tubuhnya, Kumi membuka lebar matanya. “Pencuri! Pencuri,” Kumi berteriak dengan wajah pucat pasi melihat ada seorang lelaki jongkok di depannya.Melalui cahaya lampu kamarnya yang redup Kumi bisa menebak, lelaki di depannya adalah seorang bule bukan setan, karena dia sempat melirik kakinya yang menjejak lantai.Sejenak, Kumi memandangi wajah ganteng dengan rambutya yang gondrong, dan lelaki itu hanya memakai celana kolor. Otak Kumi mulai on.“Hey, aku bukan pencuri. Aku tamu di sini, namaku Bernie. Kamarku ada di sebelahmu.” Ia menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar dan aksen yang menarik di telinga Kumi.Bernie lalu mengulurkan tangannya ke Kumi dan membantunya untuk bangun.Mata Kumi menyelidik disertai kecurigaan pada lelaki bule di depannya itu. “Kenapa kamu ada di kamarku?” tanyanya setelah
Bab 182 Mata Fuad merah, tangannya yang berotot langsung memegang tubuh Kumi kuat. “Memangnya kamu siapa? Mau ikut campur urusan rumah tangga saya!” katanya geram. Kumi menatap mata Fuad dengan kebencian. Ia muak melihat lelaki itu di hadapannya. “Aku hanya mau membantu mamanya Dara melindungi anak-anakmu,” desis Kumi menahan amarahnya. Jefry berusaha menjadi penyejuk keadaan. “Pak Fuad tolong lepaskan Ibu Kumi dan ini bukan waktu yang tepat untuk berantem. Ada masalah krusial yang harus Anda tangani lebih dulu, yaitu jenazah Ibu Dara. Almarhumah sudah menunggu sejak 3 hari lalu untuk dimakamkan.” Mama Dara langsung menangis histeris. Dia memukul-mukul tubuh Fuad yang berdiri seperti patung. Lelaki itu tak berani menatap mata mama mertuanya yang sudah baik dengan dirinya sejak lama. Sudut hatinya merasa bersalah, telah menyia-nyiakan kebaikan yang wanita itu berikan. Sayangnya dia terlalu arogan untuk mengakui kesalahan yang ia lakukan. “Kamu jahat sekali Fuad. Kenapa kamu tega
Bab 181Respek Arum pada lelaki di depannya itu lenyap tak berbekas. Dia langsung pasang badan membela Kumi. "Astaghfirullah! Keji sekali mulut Bapak mencaci maki wanita yang telah membantu menjaga anak Bapak. Buka mata Pak, siapa yang menjaga anak-anak Bapak selama mereka di Bali.""Heh! Apa yang kamu tahu tentang Kumi! Dia paling hanya mau cari sensasi supaya mendapat simpati orang lain," cetus Fuad. Hatinya telah tertutup amarah.Arum mulai panas."Semenjak di pesawat, saya tahu bagaimana Kak Kumi ikut membantu istri Anda yang kewalahan. Dia juga yang membuat nyaman anak Anda setelah Ibu Dara meninggal. Heran, kok tega-teganya menuduh sembarangan.""Betul, saya tahu bagaimana Ibu Kumi menjaga anak-anak Bapak. Dia sampai ditampar tamu lain, saat anak Bapak rewel mencari ibunya.," sela Jefry membantu support KumiArum kaget dan menoleh pada Kumi. "Benarkah itu Kak?"Kumi mengangguk."Jangan didengerin itu Mas, paling hanya settingan.""Saya ada buktinya Bu," kata Jefry membela.Fuad