Tommy tidak dapat lagi menahan dirinya. Ia menyemburkan kemarahan dan ganjalan di dalam hatinya selama ini. "Kenapa Kakek selalu gak adil padaku? Aku ini cucu kandung Kakek, tapi Kakek malah lebih membela Intan. Sejak dulu Kakek memang gak pernah menyayangi aku."Kakek menatap Tommy dengan tajam. "Kamu anggap selama ini kakek tidak adil padamu? Coba ingat lagi apa yang sudah kakek perbuat untukmu. Berapa kali kakek harus membereskan masalah yang terjadi karena perbuatanmu yang bodoh dan ceroboh? Kakek tidak akan tiba-tiba berbuat seperti ini, Tom. Kakek selalu memberi rambu-rambu, berharap kamu bisa mengerti dan melakukan yang baik, tapi apa balasanmu? Kalau kakek jahat padamu dan pilih kasih, sejak dulu kakek sudah mengusir kamu."Carlo melihat situasi sudah tidak nyaman. Beberapa orang di sekeliling mereka mulai berkasak-kusuk dan melemparkan pandangan negatif pada mereka. Ia mendekati Tommy dan mengusap punggungnya untuk mengurai emosinya. "Sabar, Tom! Tahan emosimu agar keluarga
"Semalam saat pulang dari kantor, aku bertemu dengan Tommy. Dia berjalan kaki di trotoar dengan penampilan yang kacau. Dia mabuk dan terus meracau, bahkan untuk berdiri tegak saja dia gak bisa. Aku mengantar dia pulang ke rumahnya," kata Alex pada Intan. "Apa?! Mas Tommy mabuk? Ini baru hari kedua sejak resepsi pernikahannya. Bukankah seharusnya dia masih berada dalam suasana bulan madu? Ada apa ya?" tanya Intan nyaris tak percaya. "Entahlah, mungkin ada sesuatu yang terjadi setelah kita meninggalkan tempat acara itu. Pasti keluarga Agnes terkejut dan marah pada Tommy. Entah konsekuensi apa yang harus ia terima atas kebohongannya kali ini," jawab Alex sambil tetap menatap lurus ke depan. Ia sedang mengemudi mobilnya menuju ke kantor Intan. "Kamu mengantar dia pulang, Mas? Kenapa kamu masih peduli padanya? Seharusnya biarkan saja dia sendiri dan menanggung semua akibat perbuatannya.""Bagaimanapun juga dia pernah menjadi temanku, Intan. Aku yakin dia gak akan bisa tiba di rumah dala
Anita tersenyum dan menatap Alex dengan sorot matanya yang tajam. Walaupun usianya sudah bertambah, tetapi Alex harus mengakui bahwa Anita memang cukup cantik apalagi saat ia masih muda dulu. Dalam gejolak masa mudanya, mungkin papanya memang tidak sanggup menahan diri dari godaan itu. "Tante datang untuk menuntut hak yang seharusnya menjadi milik tante dan Tamara," jawabnya penuh percaya diri. "Hak apa? Tante gak pernah menikah dengan papa. Itu artinya Tante gak punya hak apapun. Papa juga menyatakan kalau ia menyesali hubungan masa lalunya dengan Tante," kata Alex. "Alex, apa kamu gak punya hati dan perasaan seperti papamu? Lihat Tamara! Dia itu putri kandung papamu, pengusaha ternama di Indonesia dan luar negeri. Kekayaan papamu gak terhitung jumlahnya dan mungkin gak akan habis sampai beberapa keturunan, tapi apa kamu pernah memikirkan bagaimana keadaan kami di luar sana? Papamu gak pernah mengirim uang atau peduli tentang keadaan anaknya. Dia malah menginginkan Tamara gak pern
Panggilan telepon itu terputus begitu saja sebelum Alex mengetahui apa yang sedang terjadi di rumahnya. Ia berusaha menghubungi nomor ponsel mamanya kembali, tetapi tidak ada jawaban. "Mamamu kenapa, Alex?" tanya Sam. "Gak tahu, Pa. Mama gak menjawab pertanyaanku tadi. Aku harus segera pulang, sepertinya penyakit mama kambuh." Alex berdiri dari tempat duduknya. "Alex, kalau ada sesuatu yang terjadi, tolong beri tahu papa!" kata Sam. Alex segera berlari ke mobilnya. Ia mengemudi dengan kecepatan tinggi menuju rumahnya. Seingatnya, tadi pagi kondisi sang mama baik-baik saja. Pikiran mamanya juga sudah cukup tenang dibandingkan beberapa waktu sebelumnya. Alex tiba di rumahnya dan melihat pintu utama rumah itu terbuka. Ia segera turun dari mobil dan berlari masuk. Alex terkejut melihat sang mama duduk di sofa sambil memegangi dadanya. Nafas sang mama berat dan tersengal-sengal. Alex segera memeluk mamanya dengan panik. Saat itu Alex baru menyadari, ada Tante Anita dan Tamara duduk d
Intan menyetujui permintaan Alex untuk menemaninya ke penjara. Intan memahami bahwa Alex sedang mengalami situasi yang tidak mudah. Entah mengapa ujian datang silih berganti menjelang hari pernikahan mereka. Intan dan Alex tiba lebih dulu di lembaga pemasyarakatan itu. Alex meminta ijin secara khusus agar pihak Lembaga Pemasyarakatan memberi waktu lebih lama bagi mereka. Alex terlihat gelisah, ia menghembuskan nafas kasar berulang kali. Wajar, ini merupakan momen yang sangat penting baginya. Intan menggenggam tangan Alex dan tersenyum padanya. Ia ingin mengatakan bahwa dirinya akan selalu berada di sisi Alex. "Tenanglah!" bisik Intan. "Iya, Sayang. Perasaanku campur aduk saat ini. Aku gak tahu apa yang akan terjadi nanti. Bagaimana ekspresi wajah dan reaksi papa saat bertemu kembali dengan Tante Anita dan putrinya? Apa benar dia adik tiriku? Semuanya terasa sangat mendadak dan hampir membuatku bingung.""Semuanya akan segera kita ketahui, Sayang. Aku pikir itu akan lebih baik dari
Sesuai dengan kesepakatan bersama, tes DNA untuk Tamara pun dilakukan. Mereka harus menunggu hasilnya selama dua minggu. Bukan hanya Alex yang gelisah menanti hasil pemeriksaan itu. "Ada apa, Ma? Alex perhatikan Mama terus melamun sejak tadi," tanya Alex sambil menghampiri mamanya yang duduk di sofa. Layar televisi masih menyala, tetapi Mama Alex tidak fokus menyaksikan acara televisi itu. Mama Alex menatap putranya, hanya Alex yang menjadi tempat dirinya mencurahkan isi hatinya. "Sepertinya anak perempuan itu memang anak kandung papamu," jawab Mama Alex. "Apa yang membuat Mama merasa yakin?""Gadis itu memiliki sorot mata seperti papamu. Wajahnya juga hampir serupa dengan papamu. Bagaimana reaksi papamu saat melihat dia?""Papa sangat terkejut, Ma, tapi papa masih menyangkal bahwa mungkin saja Tamara bukan putri kandungnya. Papa sangat yakin, kalau saat itu Tante Anita telah menggugurkan anak dalam kandungannya," kata Alex."Naluri mama sebagai seorang wanita dan ibu mengatakan
"Alex, kenapa jadi seperti ini? Semua orang sudah mengetahui tentang masa lalu papamu. Mama sangat malu, Nak. Bagaimana bisa Mama bertemu dengan mereka lagi?" isak Mama Alex. Alex berusaha menenangkan mamanya yang panik. Tepat pada saat itu, Intan datang dan membantu Alex. "Tante, tenang dulu! Sabar, Tante!" Intan memeluk Mama Alex. "Mas, tolong ambilkan air minum untuk tante!" kata Intan. Alex bergegas menuju dapur dan mengambil segelas air. Sementara itu, Intan berusaha untuk berbicara dengan Mama Alex. "Tante, Intan juga sudah melihat berita itu. Tante jangan terlalu banyak berpikir, ya. Aku rasa semua orang bisa menilai siapa yang benar dan salah. Tante dan Alex adalah korban dalam hal ini. Aku dan Alex akan selalu ada bersama Tante. Semua masalah ini pasti akan bisa kita hadapi bersama," kata Intan. "Ma, minum dulu! Alex minta maaf, karena semua ini adalah kesalahan Alex. Lagi-lagi Alex gak bisa melindungi Mama." Alex menyerahkan gelas berisi air putih itu pada mamanya. "A
Setelah menerima hasil pemeriksaan itu, Alex dan Intan segera menjemput mamanya. Mereka akan menuju ke Lembaga Pemasyarakatan untuk menemui Sam. Sementara itu, Anita dan Tamara juga langsung menuju ke sana. Dua respon yang sangat berbeda ditunjukkan oleh mereka saat ini. Anita tentu sangat bahagia, karena pada akhirnya semua orang mengetahui bahwa Tamara adalah putri kandung Sam. Sudah terbayang di benaknya harta kekayaan yang mungkin tidak akan habis sepanjang sisa umurnya. Sementara itu, Alex tertunduk lesu di kursi penumpang mobilnya. Intan mengambil alih kemudi, karena mengetahui bahwa pikiran Alex sedang kacau. "Sayang, apa kamu gak apa-apa?" tanya Intan. "Iya, Intan. Aku hanya memikirkan tentang mama. Setelah ini, Tante Anita pasti akan semakin berulah. Aku takut kesehatan mama akan terganggu," jawab Alex. "Bagaimanapun juga semua sudah terjadi, Alex. Siap atau tidak, keluargamu harus menghadapi segala konsekuensi atas perbuatan papamu. Bukan aku ingin mengungkit masa lalu
Intan membuka tirai kamarnya pagi itu. Seperti biasa, akhir pekan itu Intan, Alex, dan Darren memilih pulang ke rumah ibu. Dua pekan sekali, Intan dan Alex berkunjung bergantian ke rumah Ibu Intan dan Mama Alex. Intan dan Alex berusaha menepati janji bahwa setelah menikah, ia tidak akan membiarkan ibu sendirian. Rudy amat jarang pulang, hanya sesekali dalam beberapa bulan. Intan harus memberi penghiburan pada ibunya, agar tidak larut dalam kesedihan. Intan mengelus perutnya yang mulai membuncit. Di dalam rahimnya, sudah tumbuh calon buah cintanya dengan Alex. Empat bulan sudah usia janin kecil itu. Darren sangat bahagia, karena sebentar lagi ia akan mendapatkan seorang adik. Alex tak kalah bahagia saat mendengar berita kehamilan Intan. Ia bersorak seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah yang ia inginkan.Semenjak Intan hamil, Alex jadi lebih protektif dan perhatian padanya. Alex tidak mengijinkan Intan terlalu lelah bekerja. Di rumah, Alex memperlakukan Intan bagaikan
Di tengah kebahagiaan yang sedang dirasakan oleh Intan, Alex, dan Darren, ternyata ada yang sedang mengalami persoalan yang serius dalam rumah tangganya. Setelah dua tahun menjalani biduk rumah tangga, sifat asli Agnes akhirnya terbongkar. Selain mengekang Rudy dan menjauhkannya dari keluarganya, Agnes juga menunjukkan sikap ketus dan tidak lagi menghormati suaminya. Rudy selalu berusaha bersabar dan menerima Agnes. Ia menganggap itu hanyalah sifat egois dan tidak dewasa dari Agnes sebagai putri dari keluarga kaya. Tak lelah ia berharap, agar suatu hari Agnes bisa berubah dan bersikap dewasa. Akan tetapi harapan itu tak kunjung berbuah menjadi kenyataan. Suatu hari, Agnes bahkan melontarkan perkataan yang tak terduga pada sang suami. "Sayang, dari mana kamu? Kenapa malam begini baru pulang?" tanya Rudy saat membukakan pintu untuk istrinya. "Aku baru jalan-jalan bersama sahabatku, Mas," jawab Agnes sambil berjalan ke kamar. "Sayang, aku gak melarang kamu untuk pergi dan berkumpul
Kondisi kesehatan Ibu Intan kian membaik. Walaupun Rudy datang dan menorehkan luka di hatinya, tetapi hari pernikahan Intan dan Alex yang semakin dekat membuat Ibu Intan mempunyai semangat untuk sembuh. Siang itu dokter mengijinkan Ibu Intan pulang ke rumah. Intan, Alex, dan Darren secara khusus menjemput Ibu Intan dari rumah sakit. "Apa Ibu sudah siap untuk pulang?" tanya Intan. "Iya, Nak. Ibu sudah sangat ingin pulang ke rumah kita. Ibu gak betah tinggal di sini dalam waktu yang lama," jawab Ibu Intan. Perawat sudah melepas infus di tangan Ibu Intan. Intan juga sudah merapikan pakaian dan barang-barang yang akan mereka bawa pulang. Intan sangat senang melihat wajah ibunya kembali segar. "Iya, Ibu harus selalu sehat, agar gak sakit lagi. Nanti kita cari waktu untuk pergi liburan bersama, ya," kata Intan. "Iya, Nak. Ibu gak perlu liburan atau pergi jauh. Ibu hanya mau melihat kamu bahagia. Sebentar lagi anak ibu akan memasuki gerbang pernikahan dan punya keluarga baru. Ibu mau m
Seorang wanita cantik berpakaian rapi dan duduk di sebuah lobi hotel berbintang. Ia memakai gaun merah dan kacamata hitam. Sesekali ia melirik jam tangan mahalnya dan menghembuskan nafas kesal. Agnes sedang menunggu Rudy dan siap meninggalkan hotel itu. Di hadapannya sebuah koper besar dan beberapa barang lain sudah tersedia. 'Sudah dua puluh menit dan kamu belum kembali juga, Mas. Ternyata kamu memang lebih mementingkan keluargamu. Tunggu saja, aku akan membuatmu menyesal!' batinnya. Detik demi detik terasa sangat lama berjalan. Agnes semakin kesal karena sang suami tidak juga menampakkan barang hidungnya. Kesabaran Agnes sudah hampir habis. Ia berdiri dan meraih barang-barangnya, lalu berjalan untuk keluar dari hotel itu. Tepat pada saat itu, Rudy sampai di halaman hotel dan segera turun dari mobil. Ia menghampiri Agnes dengan tergesa-gesa dan berdiri di hadapannya. "Kamu mau kemana, Sayang?" tanya Rudy. "Kamu hampir terlambat, Mas. Aku sudah muak dan jenuh menunggumu di sini,
Intan tidak dapat lagi menahan air matanya. Ia memeluk ibunya dengan erat dan bisa merasakan dalamnya luka di balik tubuh nan rapuh itu. "Aku mohon, jangan bersedih, Bu! Aku gak bisa melihat Ibu menangis. Kami ada di sini dan gak akan meninggalkan Ibu. Alex juga menyayangi Ibu seperti mama kandungnya sendiri, jadi Ibu gak perlu merasa cemas. Ibu sangat berarti bagiku," kata Intan. Ibu Intan memejamkan matanya dan mengusap air matanya. Mereka berpelukan beberapa saat lamanya hingga seseorang membuka pintu ruangan itu. Intan melepaskan pelukannya dari ibunya. Ia semula berpikir ada dokter atau perawat yang datang untuk memeriksa ibu, tetapi ternyata dugaannya salah. Intan melihat Rudy masuk ke ruangan itu dengan tergesa-gesa dan nafasnya masih terengah-engah. "Rudy...." Intan berdiri dan menatap adik kandungnya itu. Rudy segera mendekati tempat tidur ibunya dan menggenggam tangannya. Raut wajahnya terlihat cemas dan panik. Rudy sepertinya langsung pergi saat membaca pesan Intan, ia
"Ibu sudah sadar?" Intan mendekatkan wajahnya pada ibunya. "Dimana ini?" tanya Ibu Intan. "Di rumah sakit, Bu. Tadi Ibu jatuh pingsan, jadi kami membawa Ibu kemari. Apa yang Ibu rasakan sekarang? Apa Ibu masih merasa pusing dan lemas?" kata Intan. "Ibu gak apa-apa, Nak. Ibu gak perlu dirawat di rumah sakit ini.""Tapi dokter menyarankan Ibu untuk dirawat beberapa hari di sini. Kita harus menuruti perkataan dokter, supaya Ibu lekas sembuh."Ibu Intan tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, seolah mencari keberadaan seseorang. Alex yang baru masuk ke ruangan ikut mendekat. "Bagaimana keadaan ibu?" tanya Alex. "Katanya ibu baik-baik saja, Mas. Aku senang mendengarnya. Semoga ibu bisa segera pulang," jawab Intan. "Mana Rudy?" tanya ibu sambil menatap Intan. Intan menghela nafas panjang dan menatap Alex. Sebenarnya ia masih kesal dengan sikap Rudy dan masih enggan berbicara dengannya. "Ibu mencari Rudy, Sayang. Apa kamu sudah menghubungi dia?" tanya Alex. Intan m
Rudy terpaksa bangkit dari tempat duduknya dan mengikuti langkah istrinya. Agnes melewati pintu utama rumah itu tanpa berpamitan atau menoleh lagi. Entah apa yang membuat Agnes kesal atau marah. Intan dan ibunya tidak merasa melontarkan perkataan yang mungkin bisa menyinggungnya. Agnes langsung masuk dan duduk di mobil, tidak menghiraukan bujukan Rudy untuk lebih lama berada di rumah itu. Rudy hanya bisa menghela nafas panjang, lalu masuk kembali ke dalam rumah dan mengambil koper mereka yang tertinggal. "Maaf, Bu, Mb Intan, aku pergi dulu," katanya. Tanpa mendengar jawaban atau tanggapan dari Intan atau ibu, Rudy bergegas meninggalkan rumah itu. Ibu Intan hanya bisa menatap nanar kepergian Rudy. Senyum yang baru saja terbit di bibirnya mendadak sirna kembali. Intan sungguh tidak tega melihat ibunya kembali terluka. "Ibu gak apa-apa?" tanya Intan. Hana menggelengkan kepalanya, tetapi Intan bisa melihat air mata ibunya yang hampir jatuh. Hana bangkit berdiri dan berjalan mendekat
"Kalau rindu, coba saja hubungi dia!" usul Alex. "Ah, aku gak mau menghubungi dia duluan, Mas. Aku masih ingat bagaimana sikapnya saat pertama kali kita bertemu. Dia sudah memperlakukan ibu dengan buruk. Aku sudah berjanji gak akan menghubungi dia sebelum dia meminta maaf pada ibu," jawab Intan. "Aku rasa kalian hanya saling gengsi. Aku tahu bahwa sebenarnya Rudy bukan orang yang kasar. Dia sangat menyayangi keluarganya. Mungkin saja kemarin dia sedang menyesuaikan diri dengan keluarga Agnes dan banyak urusan lain. Semoga saat ini pikirannya sudah terbuka dan menyadari kesalahannya." Alex melirik Intan yang tertunduk dengan wajah muram. "Benarkah begitu?" Intan mengambil ponsel dari dalam tasnya. Ia mengusap layarnya dan menimbang-nimbang sejenak. "Bagaimana kalau Rudy kembali menolak itikad baikku?""Lebih baik dicoba daripada menunggu dan penasaran, bukan?" kata Alex. Intan menghela nafas panjang. Terlintas di benaknya wajah sendu ibunya yang setiap malam memikirkan Rudy. Terkad
Setelah melewati berbagai ujian, Intan dan Alex kembali fokus pada rencana pernikahan mereka. Tidak seperti dahulu, kini Mama Alex mendukung rencana putranya itu dengan sepenuh hati. Seiring berjalannya waktu, Mama Alex memang melihat bahwa Intan adalah wanita yang baik dan mampu mendampingi Alex dalam segala hal yang terjadi. Ponsel Alex berdering di hari Sabtu pagi itu. Foto kekasih hatinya terpampang di layar benda pipih itu. Alex yang masih berbaring di tempat tidurnya pun segera menjawab panggilan itu. "Halo, Sayang," sapa Alex. "Halo, Mas. Apa kamu masih tidur? Jam berapa ini?" Terdengar suara Intan di seberang telepon. "Baru jam delapan," kata Alex sambil mengusap matanya yang masih mengantuk. "Ini sudah siang, Mas. Sejak kapan kamu jadi pemalas begini?" "Ini kan akhir pekan, Sayang. Sesekali boleh kan aku bangun lebih siang?" Alex meregangkan tubuhnya. "Oke, tapi gak boleh sering-sering, ya! Oh ya, jam sepuluh nanti aku harus ke salon untuk memilih gaun pengantin dan r