Tommy mengangkat wajahnya, menatap pria bertubuh tinggi besar itu. Pria itu mendekat dan menjambak rambut Tommy. Keduanya berdiri dalam jarak yang dekat saat ini."Siapa kalian? Kenapa tiba-tiba memukuli saya? Apa yang kalian mau?" tanya Tommy sambil meringis kesakitan."Beraninya kamu memperlakukan putriku dengan buruk!" "Putri Anda? Siapa?" "Saya adalah papa kandung Silvy. Kamu selalu ada dalam pengawasan kami. Saya tahu semua perbuatanmu pada anak kandungku. Apa yang terjadi padanya saat ini adalah karena ulahmu. Saya akan membunuhmu dengan tanganku sendiri, kalau terjadi sesuatu yang buruk padanya," kata Papa Silvy."Papa kandung Silvy? Seingat saya Papa Silvy sudah lama menghilang. Saya hanya mengenal mama dan papa tirinya." Tommy meringis kesakitan sambil meraba perutnya.Tommy memang belum pernah bertemu dengan papa kandung Silvy. Papa dan Mama kandung Silvy telah bercerai jauh sebelum Tommy mengenal Silvy.Saat Tommy melamar atau menikahi Silvy, Tommy hanya bertemu dengan Ma
Tanpa terasa, waktu berlalu begitu cepat. Darren sudah bertumbuh menjadi anak yang sehat, pintar, dan tampan. Intan ingin mendaftarkan Darren masuk sekolah."Sayang, besok Darren mulai sekolah. Mama sudah siapkan tas dan sepatu baru untuk Darren." Intan membelai lembut rambut putranya itu."Apa nanti Mama menemani Darren di sekolah?" tanya Darren."Mama antar Darren sampai masuk di kelas, nanti Mama tunggu di luar, ya. Darren belajar dan bermain sama teman-teman dan ibu guru," jawab Intan."Oke, Mama." Darren mengacungkan ibu jarinya dan tersenyum."Anak Mama pintar. Darren pasti senang karena bisa bermain dan mengenal banyak teman baru. Nanti setiap sore, Darren bisa cerita sama Mama dan nenek, apa saja yang Darren lakukan di sekolah." Intan memeluk Darren."Iya, Ma. Darren sudah gak sabar untuk masuk sekolah."Intan mencium pipi Darren dengan gemas. Ia sangat bersyukur memiliki buah hati yang cerdas dan sehat seperti Darren.Ada berjuta rasa saat Intan melihat Darren bertumbuh besar
Kondisi kesehatan Silvy mulai membaik dan diijinkan pulang dari rumah sakit. Siang itu Tommy menjemput istrinya dan langsung membawanya pulang ke rumah.Silvy tersenyum dan menggandeng tangan Tommy ketika mereka tiba di halaman rumah. Ia merasa senang, karena sang suami tidak jadi menceraikan dirinya.Tommy mengantar Silvy ke kamarnya. "Aku harus ke rumah kakek sekarang. Kamu istirahat saja di rumah," kata Tommy."Ada apa lagi? Apa ada yang penting? Jangan pergi terlalu lama, Mas. Aku gak mau sendirian di rumah," kata Silvy dengan manja."Iya, kamu tenang saja. Ini hanya urusan pekerjaan. Jangan cemas, aku cuma sebentar." jawab Tommy.Walaupun berat hati, Silvy akhirnya melepas kepergian Tommy. Silvy selalu dihantui rasa cemas jika Tommy pergi sendirian di luar jam kerja. Ia takut suaminya akan menemui Velicia atau Caroline lagi.Tommy segera menuju ke rumah kakeknya. Ia sangat waspada dan berhati-hati di sepanjang perjalanan. Ia takut ada orang suruhan Papa Silvy yang mengikutinya ke
"Kakek sudah berusaha keras untuk melarang kamu, Tom. Saat itu kamu yang sangat keras kepala dan menentang semua perkataan Kakek," jawab Kakek Nugraha."Tapi Kakek gak menjelaskan dengan detail apa alasan Kakek gak menyukai Silvy. Andai saja Tommy tahu, kalau itu berhubungan dengan almarhum papa, pasti aku akan langsung berhenti dan menjauhi Silvy," sesal Tommy."Kakek sudah berusaha keras menghalangi hubunganmu dengan wanita itu. Kakek gak punya bukti yang kuat bahwa Johan adalah pembunuh papamu. Kakek yakin kalau mengungkapkannya saat itu, kamu gak akan percaya dan tetap menuduh Kakek hanya mengarang cerita untuk menghalangi kebahagiaanmu.""Kek, Papa Silvy mengancam aku, kalau aku membuat Silvy menderita lagi, dia akan melakukan sesuatu yang buruk. Mungkin saja dia akan membahayakan hidupku, Kakek, atau perusahaan kita," kata Tommy."Apa?! Dia mengancam kamu seperti itu?" ujar Kakek Nugraha dengan geram."Iya, Kek. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku merasa terjebak dalam sebu
"Kenapa malam sekali pulangnya, Mas? Aku sudah sangat lama menunggu kamu." Silvy langsung bergelayut manja setelah membukakan pintu untuk suaminya."Sudah kubilang, aku ada pekerjaan penting. Kalau kamu lelah, tidur saja dulu. Kata dokter kamu harus banyak istirahat sampai luka di perutmu benar-benar pulih," jawab Tommy."Aku sehat dan baik-baik saja, asalkan kamu ada di sampingku, Mas. Tolong jangan tinggalkan aku!" Silvy memeluk Tommy dengan erat"Aku gak bisa selalu ada di sampingmu, Silvy. Aku harus bekerja. Karena ulahmu kemarin, banyak pekerjaanku yang tertunda dan terbengkalai. sekarang aku harus menyelesaikan semuanya."Tommy mendengus kesal, ia masih belum bisa merasakan getaran cinta di hatinya untuk Silvy. Sejak bertemu dengan Caroline, Alex, dan Darren di kafe tadi, ia justru tidak bisa mengalihkan pikirannya. Bayangan keluarga bahagia itu menyeruak dan sangat mengusik benaknya."Aku mau mandi." Tommy melepaskan pelukan Silvy dan langsung masuk ke dalam kamar.Namun Silvy
Sore itu Alex menjemput Intan di kantornya. Alex mengajak Intan makan sebelum pulang ke rumah. Mereka singgah di sebuah restoran ternama di kota itu."Sayang, akhir pekan besok papa dan mamaku mengundangmu ke rumah," kata Alex."Uhuk.." Intan yang sedang mengunyah makannya terbatuk karena terkejut.Alex langsung memberikan gelas minuman dan tisu pada kekasihnya."Hati-hati, Sayang! Minum dulu!" Intan minum dan mengatur nafasnya, ia membersihkan mulutnya dengan tisu. "Tapi, Mas.." kata Intan."Sayang, mereka sudah sangat penasaran, ingin bertemu dan berkenalan denganmu. Kita ajak Darren juga untuk berkenalan dengan mereka. Orang tuaku pasti akan menyayangi Darren." Melihat Alex tersenyum dan sangat yakin dengan ucapannya, Intan tidak bisa lagi mengelak. Intan tidak sampai hati untuk menolak ajakan itu dan mengecewakan Alex. Sebenarnya sudah berulang kali Alex mengajak Intan bertemu dengan orang tuanya, tetapi Intan selalu mencari alasan untuk menolak ajakan itu."Apa kamu yakin akan
"Baik Om, Tante, mulai saat ini saya berjanji gak akan mengganggu Alex lagi." Intan menggandeng tangan Darren dan ingin segera meninggalkan rumah itu. Ia tahu bahwa dirinya dan Darren tidak diterima di rumah itu."Caroline, tunggu! Tolong jangan pergi dari sini!"Alex beralih menatap kedua orang tuanya. "Pa, Ma, Alex sangat mencintai Caroline. Dia wanita yang baik. Setiap orang punya masa lalu, kan Pa, Ma? Alex bisa menerima masa lalu Caroline. Alex juga menyayangi Darren. Aku mohon, berilah kami kesempatan untuk menjalani hubungan ini dengan sewajarnya. Tolong beri kami doa dan restu, Pa, Ma,"Papa Alex melotot dan menggelengkan kepalanya. "Dasar anak bodoh! Kamu itu terlalu polos, padahal pendidikanmu tinggi. Mudahnya kamu mengatakan telah jatuh cinta padanya dan mengabaikan semua saran kami. Apa kamu sudah menyelidiki latar belakang wanita ini? Dari mana dia berasal, seperti apa orang tua dan keluarganya? Jangan pernah tertipu dengan penampilan dan rayuan manisnya!"Intan mendengus
"Tunggu! Ini gak seperti yang kamu bayangkan, Alex, aku.." kata Intan terbata-bata."Apa?! Katakan, Intan, apa kamu sudah lama merencanakan ini? Pasti kamu sengaja mengincar untuk memanfaatkan aku, iya kan? Apa sebenarnya maumu? Kamu sama sekali gak menganggap penting hubungan kita ini dan menghargai perasaanku. Aku gak percaya ada wanita seperti kamu, Intan. Terbuat dari apa hatimu itu?" Alex memukul setir mobilnya."Baik, aku akan mengatakan yang sebenarnya," jawab Intan."Katakan saja, karena ini akan menjadi pertemuan terakhir kita. Kita akhiri saja hubungan ini. Aku sudah gak sanggup menerima drama dan kebohongan darimu." Alex menatap nanar ke depan."Benar, aku adalah Intan, mantan istri Tommy." Lirih Intan."Apa tujuanmu mendekati aku? Aku tahu kalau kamu gak pernah menyukai aku, iya kan? Kamu mau uang dan aset dari aku? Ratu pembohong seperti kamu memang pintar bersandiwara. Bodoh sekali aku yang terjebak dalam permainan kotormu itu." Intan merasa terpukul mendengar ucapan Al
Intan membuka tirai kamarnya pagi itu. Seperti biasa, akhir pekan itu Intan, Alex, dan Darren memilih pulang ke rumah ibu. Dua pekan sekali, Intan dan Alex berkunjung bergantian ke rumah Ibu Intan dan Mama Alex. Intan dan Alex berusaha menepati janji bahwa setelah menikah, ia tidak akan membiarkan ibu sendirian. Rudy amat jarang pulang, hanya sesekali dalam beberapa bulan. Intan harus memberi penghiburan pada ibunya, agar tidak larut dalam kesedihan. Intan mengelus perutnya yang mulai membuncit. Di dalam rahimnya, sudah tumbuh calon buah cintanya dengan Alex. Empat bulan sudah usia janin kecil itu. Darren sangat bahagia, karena sebentar lagi ia akan mendapatkan seorang adik. Alex tak kalah bahagia saat mendengar berita kehamilan Intan. Ia bersorak seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah yang ia inginkan.Semenjak Intan hamil, Alex jadi lebih protektif dan perhatian padanya. Alex tidak mengijinkan Intan terlalu lelah bekerja. Di rumah, Alex memperlakukan Intan bagaikan
Di tengah kebahagiaan yang sedang dirasakan oleh Intan, Alex, dan Darren, ternyata ada yang sedang mengalami persoalan yang serius dalam rumah tangganya. Setelah dua tahun menjalani biduk rumah tangga, sifat asli Agnes akhirnya terbongkar. Selain mengekang Rudy dan menjauhkannya dari keluarganya, Agnes juga menunjukkan sikap ketus dan tidak lagi menghormati suaminya. Rudy selalu berusaha bersabar dan menerima Agnes. Ia menganggap itu hanyalah sifat egois dan tidak dewasa dari Agnes sebagai putri dari keluarga kaya. Tak lelah ia berharap, agar suatu hari Agnes bisa berubah dan bersikap dewasa. Akan tetapi harapan itu tak kunjung berbuah menjadi kenyataan. Suatu hari, Agnes bahkan melontarkan perkataan yang tak terduga pada sang suami. "Sayang, dari mana kamu? Kenapa malam begini baru pulang?" tanya Rudy saat membukakan pintu untuk istrinya. "Aku baru jalan-jalan bersama sahabatku, Mas," jawab Agnes sambil berjalan ke kamar. "Sayang, aku gak melarang kamu untuk pergi dan berkumpul
Kondisi kesehatan Ibu Intan kian membaik. Walaupun Rudy datang dan menorehkan luka di hatinya, tetapi hari pernikahan Intan dan Alex yang semakin dekat membuat Ibu Intan mempunyai semangat untuk sembuh. Siang itu dokter mengijinkan Ibu Intan pulang ke rumah. Intan, Alex, dan Darren secara khusus menjemput Ibu Intan dari rumah sakit. "Apa Ibu sudah siap untuk pulang?" tanya Intan. "Iya, Nak. Ibu sudah sangat ingin pulang ke rumah kita. Ibu gak betah tinggal di sini dalam waktu yang lama," jawab Ibu Intan. Perawat sudah melepas infus di tangan Ibu Intan. Intan juga sudah merapikan pakaian dan barang-barang yang akan mereka bawa pulang. Intan sangat senang melihat wajah ibunya kembali segar. "Iya, Ibu harus selalu sehat, agar gak sakit lagi. Nanti kita cari waktu untuk pergi liburan bersama, ya," kata Intan. "Iya, Nak. Ibu gak perlu liburan atau pergi jauh. Ibu hanya mau melihat kamu bahagia. Sebentar lagi anak ibu akan memasuki gerbang pernikahan dan punya keluarga baru. Ibu mau m
Seorang wanita cantik berpakaian rapi dan duduk di sebuah lobi hotel berbintang. Ia memakai gaun merah dan kacamata hitam. Sesekali ia melirik jam tangan mahalnya dan menghembuskan nafas kesal. Agnes sedang menunggu Rudy dan siap meninggalkan hotel itu. Di hadapannya sebuah koper besar dan beberapa barang lain sudah tersedia. 'Sudah dua puluh menit dan kamu belum kembali juga, Mas. Ternyata kamu memang lebih mementingkan keluargamu. Tunggu saja, aku akan membuatmu menyesal!' batinnya. Detik demi detik terasa sangat lama berjalan. Agnes semakin kesal karena sang suami tidak juga menampakkan barang hidungnya. Kesabaran Agnes sudah hampir habis. Ia berdiri dan meraih barang-barangnya, lalu berjalan untuk keluar dari hotel itu. Tepat pada saat itu, Rudy sampai di halaman hotel dan segera turun dari mobil. Ia menghampiri Agnes dengan tergesa-gesa dan berdiri di hadapannya. "Kamu mau kemana, Sayang?" tanya Rudy. "Kamu hampir terlambat, Mas. Aku sudah muak dan jenuh menunggumu di sini,
Intan tidak dapat lagi menahan air matanya. Ia memeluk ibunya dengan erat dan bisa merasakan dalamnya luka di balik tubuh nan rapuh itu. "Aku mohon, jangan bersedih, Bu! Aku gak bisa melihat Ibu menangis. Kami ada di sini dan gak akan meninggalkan Ibu. Alex juga menyayangi Ibu seperti mama kandungnya sendiri, jadi Ibu gak perlu merasa cemas. Ibu sangat berarti bagiku," kata Intan. Ibu Intan memejamkan matanya dan mengusap air matanya. Mereka berpelukan beberapa saat lamanya hingga seseorang membuka pintu ruangan itu. Intan melepaskan pelukannya dari ibunya. Ia semula berpikir ada dokter atau perawat yang datang untuk memeriksa ibu, tetapi ternyata dugaannya salah. Intan melihat Rudy masuk ke ruangan itu dengan tergesa-gesa dan nafasnya masih terengah-engah. "Rudy...." Intan berdiri dan menatap adik kandungnya itu. Rudy segera mendekati tempat tidur ibunya dan menggenggam tangannya. Raut wajahnya terlihat cemas dan panik. Rudy sepertinya langsung pergi saat membaca pesan Intan, ia
"Ibu sudah sadar?" Intan mendekatkan wajahnya pada ibunya. "Dimana ini?" tanya Ibu Intan. "Di rumah sakit, Bu. Tadi Ibu jatuh pingsan, jadi kami membawa Ibu kemari. Apa yang Ibu rasakan sekarang? Apa Ibu masih merasa pusing dan lemas?" kata Intan. "Ibu gak apa-apa, Nak. Ibu gak perlu dirawat di rumah sakit ini.""Tapi dokter menyarankan Ibu untuk dirawat beberapa hari di sini. Kita harus menuruti perkataan dokter, supaya Ibu lekas sembuh."Ibu Intan tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, seolah mencari keberadaan seseorang. Alex yang baru masuk ke ruangan ikut mendekat. "Bagaimana keadaan ibu?" tanya Alex. "Katanya ibu baik-baik saja, Mas. Aku senang mendengarnya. Semoga ibu bisa segera pulang," jawab Intan. "Mana Rudy?" tanya ibu sambil menatap Intan. Intan menghela nafas panjang dan menatap Alex. Sebenarnya ia masih kesal dengan sikap Rudy dan masih enggan berbicara dengannya. "Ibu mencari Rudy, Sayang. Apa kamu sudah menghubungi dia?" tanya Alex. Intan m
Rudy terpaksa bangkit dari tempat duduknya dan mengikuti langkah istrinya. Agnes melewati pintu utama rumah itu tanpa berpamitan atau menoleh lagi. Entah apa yang membuat Agnes kesal atau marah. Intan dan ibunya tidak merasa melontarkan perkataan yang mungkin bisa menyinggungnya. Agnes langsung masuk dan duduk di mobil, tidak menghiraukan bujukan Rudy untuk lebih lama berada di rumah itu. Rudy hanya bisa menghela nafas panjang, lalu masuk kembali ke dalam rumah dan mengambil koper mereka yang tertinggal. "Maaf, Bu, Mb Intan, aku pergi dulu," katanya. Tanpa mendengar jawaban atau tanggapan dari Intan atau ibu, Rudy bergegas meninggalkan rumah itu. Ibu Intan hanya bisa menatap nanar kepergian Rudy. Senyum yang baru saja terbit di bibirnya mendadak sirna kembali. Intan sungguh tidak tega melihat ibunya kembali terluka. "Ibu gak apa-apa?" tanya Intan. Hana menggelengkan kepalanya, tetapi Intan bisa melihat air mata ibunya yang hampir jatuh. Hana bangkit berdiri dan berjalan mendekat
"Kalau rindu, coba saja hubungi dia!" usul Alex. "Ah, aku gak mau menghubungi dia duluan, Mas. Aku masih ingat bagaimana sikapnya saat pertama kali kita bertemu. Dia sudah memperlakukan ibu dengan buruk. Aku sudah berjanji gak akan menghubungi dia sebelum dia meminta maaf pada ibu," jawab Intan. "Aku rasa kalian hanya saling gengsi. Aku tahu bahwa sebenarnya Rudy bukan orang yang kasar. Dia sangat menyayangi keluarganya. Mungkin saja kemarin dia sedang menyesuaikan diri dengan keluarga Agnes dan banyak urusan lain. Semoga saat ini pikirannya sudah terbuka dan menyadari kesalahannya." Alex melirik Intan yang tertunduk dengan wajah muram. "Benarkah begitu?" Intan mengambil ponsel dari dalam tasnya. Ia mengusap layarnya dan menimbang-nimbang sejenak. "Bagaimana kalau Rudy kembali menolak itikad baikku?""Lebih baik dicoba daripada menunggu dan penasaran, bukan?" kata Alex. Intan menghela nafas panjang. Terlintas di benaknya wajah sendu ibunya yang setiap malam memikirkan Rudy. Terkad
Setelah melewati berbagai ujian, Intan dan Alex kembali fokus pada rencana pernikahan mereka. Tidak seperti dahulu, kini Mama Alex mendukung rencana putranya itu dengan sepenuh hati. Seiring berjalannya waktu, Mama Alex memang melihat bahwa Intan adalah wanita yang baik dan mampu mendampingi Alex dalam segala hal yang terjadi. Ponsel Alex berdering di hari Sabtu pagi itu. Foto kekasih hatinya terpampang di layar benda pipih itu. Alex yang masih berbaring di tempat tidurnya pun segera menjawab panggilan itu. "Halo, Sayang," sapa Alex. "Halo, Mas. Apa kamu masih tidur? Jam berapa ini?" Terdengar suara Intan di seberang telepon. "Baru jam delapan," kata Alex sambil mengusap matanya yang masih mengantuk. "Ini sudah siang, Mas. Sejak kapan kamu jadi pemalas begini?" "Ini kan akhir pekan, Sayang. Sesekali boleh kan aku bangun lebih siang?" Alex meregangkan tubuhnya. "Oke, tapi gak boleh sering-sering, ya! Oh ya, jam sepuluh nanti aku harus ke salon untuk memilih gaun pengantin dan r