'Kenapa sikap Tommy berubah padaku? Dia memang gak pernah lagi menyinggung masalah anak, wanita lain, atau perceraian, tapi aku merasa dia semakin jauh. Dia sangat dingin dan jarang berbincang denganku. Ada apa ini?' batin Silvy.Silvy duduk di meja riasnya dan melihat pantulan wajahnya yang masih pucat."Apa salahku, Mas? Apa kamu sudah bosan padaku?" Silvy meraba wajahnya dan menyeka air matanya.Tadi malam Tommy pulang sangat larut, Silvy bahkan sudah tertidur karena terlalu lama menunggu. Pagi harinya Tommy bangun awal dan bergegas pergi ke kantor. Silvy bahkan tidak punya kesempatan untuk banyak berbincang dengan Tommy.Setiap kali Silvy mengirim pesan atau menelepon, Tommy selalu beralasan sedang sibuk bekerja. Silvy merasa asing dan jenuh dengan keadaan ini.Silvy merasa cinta Tommy benar-benar telah pudar padanya. Biasanya Tommy yang selalu menghubungi Silvy terlebih dahulu, pulang cepat untuk menemani berbelanja dan jalan-jalan. Namun sekarang semua suasana indah dan manis it
"Sabar dulu, Sayang. Walaupun selama ini papa gak berada di sisimu, tapi sebenarnya papa selalu mengingatmu dan menjagamu, Nak. Kamu tetap putri papa yang sangat papa cintai" kata Pak Johan."Aku benci Papa. Sejak Papa pergi meninggalkan aku dan mama untuk wanita itu, aku sudah menganggap diriku seperti anak yatim. Aku bertumbuh sampai dewasa seperti ini tanpa belaian kasih sayang, perhatian, dan satu sen pun uang dari Papa," cibir Silvy."Kamu salah, Nak. Kamu selalu ada di hati papa. Lupakanlah masa lalu, karena saat itu kamu juga belum mengerti dengan jelas apa yang terjadi! Kita buka lembaran baru dan saling menyayangi seperti layaknya orang tua dan anak pada umumnya.""Apa mau Papa sekarang? Aku harus pulang, karena suamiku akan mencari aku. Dia pasti mencemaskan aku, Pa," jawab Silvy."Mencarimu? Papa ragu Tommy akan melakukan itu. Mungkin dia justru senang kalau kamu menghilang. Dia sepertinya sedang bingung dengan perasaannya sendiri padamu. Ada wanita lain yang berusaha menje
"Ma, kenapa Papa Alex gak datang lagi ke rumah ini? Darren kangen, mau main sama papa," celoteh Darren sore itu.Intan yang sedang mengupas apel untuk Darren langsung terdiam dan menghentikan aktivitasnya. Ia tidak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan polos putranya itu."Mama koq diam? Aku mau telepon Papa Alex." Darren mengambil ponsel Intan yang ada di meja.Intan terkejut dan berteriak, "Darren, jangan sembarangan mengambil ponsel Mama! Letakkan kembali di tempatnya! Mama melarang kamu untuk menghubungi Om Alex. Ingat, dia bukan papamu!"Darren terkejut, Intan sangat jarang membentaknya seperti itu. Darren langsung meletakkan ponsel itu dan berlari ke kamar. Ibu Intan yang melihat adegan itu segera mendekati Intan. Intan duduk di meja makan dan memijit pelipisnya."Nak, jangan berteriak seperti itu sama Darren! Dia gak tahu apa yang terjadi di antara kamu dan Nak Alex. Darren pasti bingung dengan perubahan ini, dia pasti kehilangan Alex. Selama ini Darren dan Alex mempunyai hu
Alex tidak tinggal diam, ia menyentuh sudut bibirnya yang berdarah, lalu maju membalas serangan Rudy. Kedua pria bertubuh tinggi itu bergulat di lantai, saling membalas pukulan sampai kelelahan.Seorang office boy yang masuk ke ruangan Alex untuk mengambil sampah terkejut. Ia segera berlari ke luar ruangan untuk meminta pertolongan.Tanpa memakan banyak waktu, petugas keamanan dan para karyawan masuk ke ruangan itu. Mereka terkejut melihat CEO perusahaan itu sedang terlibat perkelahian dengan calon kolega perusahaan itu.Alex dan Rudy duduk di lantai dengan nafas terengah-engah. Akibat pertengkaran itu, mereka kelelahan dan menderita beberapa luka ringan di wajah.Alex mengangkat tangannya dan memberi isyarat pada para karyawannya untuk mundur. Ia juga meminta semua karyawan itu keluar dari ruangan rapat itu. Dengan ragu semua karyawan meninggalkan Alex dan Rudy."Alex, apa yang kamu pikirkan tentang kakakku itu gak benar. Intan bukan wanita seperti itu," kata Rudy."Terserah kamu saj
"Bukan itu maksudku, Mbak. Aku melihat Mbak dan Darren bersedih setelah Alex memutuskan hubungan. Aku hanya berusaha memberi penjelasan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Aku tahu Alex sangat kecewa mengetahui bahwa Mbak berbohong. Aku hanya memberi tahu dia, apa alasan Mbak melakukannya," jawab Rudy sambil meraba wajahnya yang perih.Intan menghela nafas dan menggelengkan kepalanya. "Tapi bukan seperti itu caranya, Rud. Aku gak mau terlihat rapuh di depan siapapun. Kamu pasti tahu itu, kan? Aku sudah pernah mengalami hal yang lebih buruk dari ini. Aku pasti bisa melewatinya, karena Intan yang sekarang bukanlah Intan yang dulu.""Maaf, Mbak." Lirih Rudy.Intan mengulurkan tangannya dan meraba wajah Rudy yang lebam."Sepertinya besok ak gak bisa ke kantor. Apa kata orang-orang kalau melihat wajahku seperti ini?" keluhnya."Kamu tenang saja, Rud. Jangan terlalu cemas padaku. Aku bisa menghadapi semua ini, aku yakin Darren juga anak yang tegar dan kuat. Sekarang kamu harus menyiapkan j
"Mas, tolong belikan aku makanan kesukaanku. Kamu tahu, kan? Pizza yang ada di mal tempat kita sering makan siang dulu," kata Silvy manja."Apa?! Kamu kan bisa memesan melalui aplikasi pesan antar makanan itu, aku lelah dan ingin cepat pulang ke rumah," jawab Tommy."Ayolah, Sayang, aku mau kamu yang membelinya. Aku juga mau menitip beberapa barang di supermarket.""Kamu merepotkan sekali! Minta saja asisten rumah tangga kita untuk membelinya!" Tommy mulai kesal."Pokoknya aku mau kamu yang membelinya, Mas! Kamu sudah janji akan memperhatikan aku dan menuruti semua permintaanku, bukan? Kalau aku meminta asisten rumah tangga membelinya, pasti akan semakin lama, Mas. Jalan ke arah mal itu macet jam seperti saat ini. Sedangkan kamu lebih mudah menuju ke mal itu, searah dengan jalan pulang kemari," celoteh Silvy.Tommy hanya bisa mendengus kesal mendengar permintaan istrinya. Ia tadinya ingin cepat pulang dan beristirahat, tetapi ternyata harus tertunda karena permintaan istrinya.'Dasar
"Besok malam ada undangan dari perusahaan Tommy untuk semua koleganya di kota ini. Kakek Nugraha akan datang dalam acara itu," kata Rudy pagi itu."Benarkah? Kakek akan datang dalam acara itu? Aku sangat merindukannya," gumam Intan."Mbak mau datang?""Iya, Rud. Aku ingin bertemu dengan kakek," jawab Intan."Mbak, tahan dirimu! Jangan sampai Mbak terbawa perasaan dan membahayakan rahasia kita lagi. Cukup Alex yang mengetahui rahasia kita. Aku bahkan gak yakin kalau Alex akan bisa menjaga rahasia kita selamanya." Rudy berusaha memperingatkan Intan."Mbak bisa hati-hati dan menjaga jarak dengan kakek, Rud. Mbak cuma mau melihat kakek. Dulu saat Mbak pergi dari rumah Tommy, kakek dalam kondisi sakit parah. Mbak bahkan gak yakin bisa kembali bertemu dengannya. Mbak janji, gak ada orang lain lagi yang akan tahu identitasku ini," kata Intan."Tapi di sana ada Alex dan Tommy, Mbak. Istri Tommy juga pasti akan datang. Menurutku ini terlalu berbahaya untuk kita. Aku saja yang datang untuk mewa
Rudy spontan menatap Intan, ada kepanikan di matanya karena ternyata Kakek Nugraha bisa menduga kalau Caroline sebenarnya adalah Intan. Caroline melihat ke sekelilingnya, beberapa orang yang berdiri di dekat mereka jelas melihat dan mendengar pembicaraan mereka. "Bukan, Kakek salah mengenali orang. Aku Caroline, bukan Intan." Intan mencoba tetap tenang menyembunyikan identitasnya."Itu tidak mungkin, aku jelas mengenal sorot mata dan sentuhan tangan Intan," jawab Kakek Nugraha.Suasana menjadi hening untuk beberapa saat lamanya. Rudy mulai menatap kakaknya dengan panik. Beruntungnya saat itu Tommy tidak berada di dekat mereka dan mendengar semuanya."Kakek mungkin terlalu lelah. Kita istirahat dulu, ya," bisik asisten pribadi kakek."Aku tidak lelah," tolak kakek.Carlo yang melihat situasi menjadi tidak nyaman akhirnya maju mendekati kakeknya."Kek, sebaiknya Kakek istirahat dulu. Percayakan sisa acaranya padaku dan Tommy. Ingat pesan dokter kalau Kakek tidak boleh terlalu lelah," b
Intan membuka tirai kamarnya pagi itu. Seperti biasa, akhir pekan itu Intan, Alex, dan Darren memilih pulang ke rumah ibu. Dua pekan sekali, Intan dan Alex berkunjung bergantian ke rumah Ibu Intan dan Mama Alex. Intan dan Alex berusaha menepati janji bahwa setelah menikah, ia tidak akan membiarkan ibu sendirian. Rudy amat jarang pulang, hanya sesekali dalam beberapa bulan. Intan harus memberi penghiburan pada ibunya, agar tidak larut dalam kesedihan. Intan mengelus perutnya yang mulai membuncit. Di dalam rahimnya, sudah tumbuh calon buah cintanya dengan Alex. Empat bulan sudah usia janin kecil itu. Darren sangat bahagia, karena sebentar lagi ia akan mendapatkan seorang adik. Alex tak kalah bahagia saat mendengar berita kehamilan Intan. Ia bersorak seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah yang ia inginkan.Semenjak Intan hamil, Alex jadi lebih protektif dan perhatian padanya. Alex tidak mengijinkan Intan terlalu lelah bekerja. Di rumah, Alex memperlakukan Intan bagaikan
Di tengah kebahagiaan yang sedang dirasakan oleh Intan, Alex, dan Darren, ternyata ada yang sedang mengalami persoalan yang serius dalam rumah tangganya. Setelah dua tahun menjalani biduk rumah tangga, sifat asli Agnes akhirnya terbongkar. Selain mengekang Rudy dan menjauhkannya dari keluarganya, Agnes juga menunjukkan sikap ketus dan tidak lagi menghormati suaminya. Rudy selalu berusaha bersabar dan menerima Agnes. Ia menganggap itu hanyalah sifat egois dan tidak dewasa dari Agnes sebagai putri dari keluarga kaya. Tak lelah ia berharap, agar suatu hari Agnes bisa berubah dan bersikap dewasa. Akan tetapi harapan itu tak kunjung berbuah menjadi kenyataan. Suatu hari, Agnes bahkan melontarkan perkataan yang tak terduga pada sang suami. "Sayang, dari mana kamu? Kenapa malam begini baru pulang?" tanya Rudy saat membukakan pintu untuk istrinya. "Aku baru jalan-jalan bersama sahabatku, Mas," jawab Agnes sambil berjalan ke kamar. "Sayang, aku gak melarang kamu untuk pergi dan berkumpul
Kondisi kesehatan Ibu Intan kian membaik. Walaupun Rudy datang dan menorehkan luka di hatinya, tetapi hari pernikahan Intan dan Alex yang semakin dekat membuat Ibu Intan mempunyai semangat untuk sembuh. Siang itu dokter mengijinkan Ibu Intan pulang ke rumah. Intan, Alex, dan Darren secara khusus menjemput Ibu Intan dari rumah sakit. "Apa Ibu sudah siap untuk pulang?" tanya Intan. "Iya, Nak. Ibu sudah sangat ingin pulang ke rumah kita. Ibu gak betah tinggal di sini dalam waktu yang lama," jawab Ibu Intan. Perawat sudah melepas infus di tangan Ibu Intan. Intan juga sudah merapikan pakaian dan barang-barang yang akan mereka bawa pulang. Intan sangat senang melihat wajah ibunya kembali segar. "Iya, Ibu harus selalu sehat, agar gak sakit lagi. Nanti kita cari waktu untuk pergi liburan bersama, ya," kata Intan. "Iya, Nak. Ibu gak perlu liburan atau pergi jauh. Ibu hanya mau melihat kamu bahagia. Sebentar lagi anak ibu akan memasuki gerbang pernikahan dan punya keluarga baru. Ibu mau m
Seorang wanita cantik berpakaian rapi dan duduk di sebuah lobi hotel berbintang. Ia memakai gaun merah dan kacamata hitam. Sesekali ia melirik jam tangan mahalnya dan menghembuskan nafas kesal. Agnes sedang menunggu Rudy dan siap meninggalkan hotel itu. Di hadapannya sebuah koper besar dan beberapa barang lain sudah tersedia. 'Sudah dua puluh menit dan kamu belum kembali juga, Mas. Ternyata kamu memang lebih mementingkan keluargamu. Tunggu saja, aku akan membuatmu menyesal!' batinnya. Detik demi detik terasa sangat lama berjalan. Agnes semakin kesal karena sang suami tidak juga menampakkan barang hidungnya. Kesabaran Agnes sudah hampir habis. Ia berdiri dan meraih barang-barangnya, lalu berjalan untuk keluar dari hotel itu. Tepat pada saat itu, Rudy sampai di halaman hotel dan segera turun dari mobil. Ia menghampiri Agnes dengan tergesa-gesa dan berdiri di hadapannya. "Kamu mau kemana, Sayang?" tanya Rudy. "Kamu hampir terlambat, Mas. Aku sudah muak dan jenuh menunggumu di sini,
Intan tidak dapat lagi menahan air matanya. Ia memeluk ibunya dengan erat dan bisa merasakan dalamnya luka di balik tubuh nan rapuh itu. "Aku mohon, jangan bersedih, Bu! Aku gak bisa melihat Ibu menangis. Kami ada di sini dan gak akan meninggalkan Ibu. Alex juga menyayangi Ibu seperti mama kandungnya sendiri, jadi Ibu gak perlu merasa cemas. Ibu sangat berarti bagiku," kata Intan. Ibu Intan memejamkan matanya dan mengusap air matanya. Mereka berpelukan beberapa saat lamanya hingga seseorang membuka pintu ruangan itu. Intan melepaskan pelukannya dari ibunya. Ia semula berpikir ada dokter atau perawat yang datang untuk memeriksa ibu, tetapi ternyata dugaannya salah. Intan melihat Rudy masuk ke ruangan itu dengan tergesa-gesa dan nafasnya masih terengah-engah. "Rudy...." Intan berdiri dan menatap adik kandungnya itu. Rudy segera mendekati tempat tidur ibunya dan menggenggam tangannya. Raut wajahnya terlihat cemas dan panik. Rudy sepertinya langsung pergi saat membaca pesan Intan, ia
"Ibu sudah sadar?" Intan mendekatkan wajahnya pada ibunya. "Dimana ini?" tanya Ibu Intan. "Di rumah sakit, Bu. Tadi Ibu jatuh pingsan, jadi kami membawa Ibu kemari. Apa yang Ibu rasakan sekarang? Apa Ibu masih merasa pusing dan lemas?" kata Intan. "Ibu gak apa-apa, Nak. Ibu gak perlu dirawat di rumah sakit ini.""Tapi dokter menyarankan Ibu untuk dirawat beberapa hari di sini. Kita harus menuruti perkataan dokter, supaya Ibu lekas sembuh."Ibu Intan tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, seolah mencari keberadaan seseorang. Alex yang baru masuk ke ruangan ikut mendekat. "Bagaimana keadaan ibu?" tanya Alex. "Katanya ibu baik-baik saja, Mas. Aku senang mendengarnya. Semoga ibu bisa segera pulang," jawab Intan. "Mana Rudy?" tanya ibu sambil menatap Intan. Intan menghela nafas panjang dan menatap Alex. Sebenarnya ia masih kesal dengan sikap Rudy dan masih enggan berbicara dengannya. "Ibu mencari Rudy, Sayang. Apa kamu sudah menghubungi dia?" tanya Alex. Intan m
Rudy terpaksa bangkit dari tempat duduknya dan mengikuti langkah istrinya. Agnes melewati pintu utama rumah itu tanpa berpamitan atau menoleh lagi. Entah apa yang membuat Agnes kesal atau marah. Intan dan ibunya tidak merasa melontarkan perkataan yang mungkin bisa menyinggungnya. Agnes langsung masuk dan duduk di mobil, tidak menghiraukan bujukan Rudy untuk lebih lama berada di rumah itu. Rudy hanya bisa menghela nafas panjang, lalu masuk kembali ke dalam rumah dan mengambil koper mereka yang tertinggal. "Maaf, Bu, Mb Intan, aku pergi dulu," katanya. Tanpa mendengar jawaban atau tanggapan dari Intan atau ibu, Rudy bergegas meninggalkan rumah itu. Ibu Intan hanya bisa menatap nanar kepergian Rudy. Senyum yang baru saja terbit di bibirnya mendadak sirna kembali. Intan sungguh tidak tega melihat ibunya kembali terluka. "Ibu gak apa-apa?" tanya Intan. Hana menggelengkan kepalanya, tetapi Intan bisa melihat air mata ibunya yang hampir jatuh. Hana bangkit berdiri dan berjalan mendekat
"Kalau rindu, coba saja hubungi dia!" usul Alex. "Ah, aku gak mau menghubungi dia duluan, Mas. Aku masih ingat bagaimana sikapnya saat pertama kali kita bertemu. Dia sudah memperlakukan ibu dengan buruk. Aku sudah berjanji gak akan menghubungi dia sebelum dia meminta maaf pada ibu," jawab Intan. "Aku rasa kalian hanya saling gengsi. Aku tahu bahwa sebenarnya Rudy bukan orang yang kasar. Dia sangat menyayangi keluarganya. Mungkin saja kemarin dia sedang menyesuaikan diri dengan keluarga Agnes dan banyak urusan lain. Semoga saat ini pikirannya sudah terbuka dan menyadari kesalahannya." Alex melirik Intan yang tertunduk dengan wajah muram. "Benarkah begitu?" Intan mengambil ponsel dari dalam tasnya. Ia mengusap layarnya dan menimbang-nimbang sejenak. "Bagaimana kalau Rudy kembali menolak itikad baikku?""Lebih baik dicoba daripada menunggu dan penasaran, bukan?" kata Alex. Intan menghela nafas panjang. Terlintas di benaknya wajah sendu ibunya yang setiap malam memikirkan Rudy. Terkad
Setelah melewati berbagai ujian, Intan dan Alex kembali fokus pada rencana pernikahan mereka. Tidak seperti dahulu, kini Mama Alex mendukung rencana putranya itu dengan sepenuh hati. Seiring berjalannya waktu, Mama Alex memang melihat bahwa Intan adalah wanita yang baik dan mampu mendampingi Alex dalam segala hal yang terjadi. Ponsel Alex berdering di hari Sabtu pagi itu. Foto kekasih hatinya terpampang di layar benda pipih itu. Alex yang masih berbaring di tempat tidurnya pun segera menjawab panggilan itu. "Halo, Sayang," sapa Alex. "Halo, Mas. Apa kamu masih tidur? Jam berapa ini?" Terdengar suara Intan di seberang telepon. "Baru jam delapan," kata Alex sambil mengusap matanya yang masih mengantuk. "Ini sudah siang, Mas. Sejak kapan kamu jadi pemalas begini?" "Ini kan akhir pekan, Sayang. Sesekali boleh kan aku bangun lebih siang?" Alex meregangkan tubuhnya. "Oke, tapi gak boleh sering-sering, ya! Oh ya, jam sepuluh nanti aku harus ke salon untuk memilih gaun pengantin dan r