Bimo semakin erat menggenggam tangan Nadiya. Tidak ingin melepaskan meskipun wanita itu berusaha untuk melepaskan. “Aku sudah memikirkannya, A. Kamu tidak perlu khawatir dengan Nada. Kamu bisa menemuinya kapan pun kamu mau. Aku tidak akan melarang dan membatasi." “Tidak, Nadiya. Tolong jangan katakan apa pun lagi. Tidak ada perpisahan, dengan alasan apa pun!” Bimo menatap istrinya dengan masih bersimpuh di hadapan wanita itu. Pipinya sudah basah oleh air mata. “Aku akan melakukan apa pun asal kamu memberiku kesempatan untuk memperbaiki semuanya.”Nadiya diam. Hanya air mata yang terus menganak sungai. Ia memang sudah memikirkan semuanya. Ia pernah berjuang dan berusaha menjadi yang terbaik untuk suami dan keluarganya. Namun, saat ia merasa semua hanya sia-sia aja, mundur adalah pilihan terakhirnya. Cintanya diawali dengan sebuah kesalahan dan ia akan mengakhiri semuanya. Cukup sudah menahan luka yang semakin menyesakkan hati. Ia juga butuh jiwa yang sehat untuk bisa membesarkan put
“Maaf, Bu. Aku tidak bermaksud.” Bimo tertunduk dan menyesali sikapnya. “Kamu diam dulu, Bu. Mereka pasti punya alasan kenapa mengambil keputusan seperti itu.” Agus memperingatkan istrinya. “Maafkan kami, Bu. Bimo sudah putuskan untuk berhenti bekerja di restoran dan akan bekerja di Bandung.”“Kalau memang mau kerja di Bandung, kan Nadiya dan anak-anak tetap bisa tinggal di sini. Sama saja seperti kamu kerja di Jakarta. Kenapa harus pindah ke Bandung juga?” Mirna masih belum terima dengan keputusan putranya. “Bu, Bimo sudah berumah tangga. Bimo rasa tidak ada salahnya kalau kami mencoba untuk tinggal jauh dari orang tua. Kami juga akan lebih mandiri,’kan?” “Dulu waktu dengan Dita kamu tidak pernah mempermasalahkan untuk tinggal dekat dengan ibu, Bimo. Bahkan kalian sengaja membeli tanah di sana agar bisa membangun rumah dekat dengan kami,” sungut Mirna masih saja tidak terima. “Bu. Bimo bukan anak kecil lagi yang harus terus-terusan di atur sama kamu. Dia sudah dewasa, sudah menj
Nadiya dan Bimo harus menerima keputusan Devina yang memilih untuk tinggal dengan nenek mereka di Sukabumi. Sebesar apa pun keinginan mereka, tetap keputusan Devin yang lebih penting. Mereka tidak ingin memaksa anak itu yang ujungnya akan membuat Devina tertekan. Setelah mendapat keputusan, pasangan suami istri itu kembali ke Bandung. Mirna tidak mengantar kepergian anak dan menantunya. Wanita itu masih kesal dan marah pada mereka. Beruntung, masih ada Agus yang meyakinkan mereka jika istrinya itu hanya marah untuk sementara waktu. “Aku berharap Vina akan menyusul kita, A,” imbuh Nadiya saat mobil yang dikendarai suaminya melaju meninggalkan halaman rumah. “Nanti aku akan coba bicara lagi sama Vina, Ya. Nanti kita jemput dia kalau memang dia mau tinggal sama kita.” Bimo meyakinkan istrinya. ***Di jalanan lain di kota Bandung, Dita sedang tersenyum sembari menatap jalanan di luar sana. Dia sedang dalam perjalanan menyusul suaminya ke Kota Kembang. Neira tidak bisa ikut karena anak
Makan malam bersama rekan bisnis suaminya membuat Dita sedikit canggung. Ia tidak nyaman dengan tatapan Gisel padanya. “Sepertinya kamu sangat beruntung bisa menjadi istri Daffin, ya. Dia adalah pria pekerja keras dan sukses dalam dunia bisnis. Namanya juga sudah dikenal dalam dunia bisnis.” Gisel memulai obrolan dengan Dita di meja makan. “Kamu salah, Nona Gisel. Saya lah yang beruntung bisa menjadi suami dari wanita yang luar biasa ini.” Daffin menanggapi ucapan Gisel. Ia menatap istrinya dan tersenyum lembut pada wanita itu. “Untuk mendapatkannya saya harus menunggu selama tiga tahun sampai dia benar-benar yakin dan mau menerima lamaran saya yang entah sudah mendapat penolakan berapa kali.” Daffin terkekeh mengingat itu. “Oh, ya? Saya kira tidak akan ada wanita yang menolak kamu, Daffin.” Gilbert menimpali ucapan Daffin. Pembicaraan mereka tidak terlalu formal dan lebih santai. “Awalnya saya pikir begitu, tetapi nyatanya istri saya melakukan itu. Tidak hanya satu atau dua kali,
Dalam perjalanan menuju hotel tempat mereka menginap, Daffin menanyakan pada istrinya alasan kenapa Gisel mengucapkan terima kasih pada wanita itu. Dita hanya mengedikkan bahu. Karena dia sendiri tidak tahu alasan pasti kenapa wanita itu berterima kasih padanya. Ia tidak merasa melakukan apa pun pada Gisel yang pantas mendapat ucapan terima kasih dari wanita itu. “Apa mungkin karena aku tidak marah dan menjambaknya setelah dia mengakui perasaannya di depanku, ya, Mas?” Dita memiringkan duduknya menghadap suaminya. “Mengakui perasaannya?” Daffin menoleh sebentar ke arah istrinya sebelum kembali fokus pada jalanan di depannya. “Iya. Waktu di toilet tadi dia mengatakan kalau dia menyukaimu dan tertarik padamu,” imbuh Dita. Ia mulai menceritakan pada suaminya apa yang terjadi di dalam toilet tadi. Bagaimana Gisel dengan percaya diri mengakui perasaannya dan berusaha memprovokasi Dita dengan pengakuan itu. “Kamu beneran nggak marah sama dia, Sayang?” Daffin bertanya tidak percaya.
Kita tidak bisa mengendalikan mulut orang lain untuk tidak membicarakan kita. Kita tidak bisa mengendalikan hati orang lain untuk tidak membenci kita, mengendalikan pikiran mereka untuk berhenti memikirkan hal negatif tentang kita. Karena kita hanya manusia biasa yang tidak mempunyai kendali atas itu. Namun, sebagai manusia yang mempunyai akal, seharusnya kita bisa berpikir untuk menjaga lisan agar tidak menyakiti orang lain dengan kata-kata kita. Itulah yang sedang dirasakan oleh Alya. Gadis itu harus pulang ke desanya karena sang ibu yang menelpon dan mengadukan semua tentang kakaknya. Dia memang berhasil menenangkan ibunya, tetapi tidak bisa mencegah omongan para tetangga yang sedang berkumpul di depan rumah salah satu temannya. Saat itu Alya sedang main di rumah temannya. Biasanya setiap sore para ibu-ibu memang berkumpul selepas masak sore. Berawal dari seorang ibu penjual kacang rebus keliling yang yang mampir di kerumunan para ibu-ibu itu. “Bu, itu Nadiya ke mana, ya? Kok r
Tidak selamanya kesedihan akan menyelimuti hidup kita. Dibalik kesedihan yang sedang kita alami, ada sebuah kebahagiaan yang sedang menanti. Tuhan selalu memberikan hadiah terindah dari setiap ujian sulit yang diberikan pada umat-Nya. Begitulah yang sedang Dita rasakan saat ini. Dua bulan menjadi istri Daffin, membuat harinya dipenuhi oleh cinta dari suami dan keluarga pria itu. Sebuah rasa syukur yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Daffin berhasil menjadi obat untuknya dari rasa sakit dan luka yang ditorehkan oleh orang di masa lalunya. Dita hanya ingin menikmati cinta yang baru saat ini. Tidak ingin melihat ke belakang dan mengingat kenangan pahit itu. Rasa takut dikhianati itu pasti ada, dia tidak akan menghilang begitu aja. Hanya saja, sekarang Dita tidak ingin terlalu berharap banyak dari manusia. Ia menyerahkan semua takdir hidupnya pada Sang pemilik kehidupan. Karena manusia bukan makhluk yang sempurna yang tidak akan melakukan kesalahan. Dita tidak ingin terlalu be
Obrolan mereka harus berhenti karena malam sudah semakin larut. Mereka kembali ke kamar masing-masih. Dita dan Daffin tidur terpisah dengan Neira. Selama adik Silvia menginap di sana, Neira akan tidur ditemani oleh Meisya. “Ajak Neira untuk tidur, Mei. Jangan ajak dia main dan nonton drakor.” Daffin memberi pesan pada adik sepupunya. Gadis remaja itu mencebikkan bibirnya. “Nanti aku kenalin Neira sama oppa-oppa idamanku,” celetuk Meisya yang langsung berlari menuju kamar Neira. “Mas, udah deh. Meisya itu cuman bercanda. Kita tidur saja, yuk.” Dita menggandeng tangan suaminya. Meniti tangga menuju kamar mereka. “Aku ambil air dulu, ya, Mas. Kamu duluan saja.” Dita mengusap lengan suaminya. Ia kemudian berbalik menuruni tangga menuju dapur. Ia lupa jika harus menyiapkan air untuk mereka saat bangun tidur nanti. Lampu dapur sudah padam dan para pelayan juga sudah kembali ke rumah belakang untuk istirahat. Karena hanya mengambil air saja, Dita tidak menghidupkan lampu utama di dapur
Tidak selamanya manusia akan berkubang terus dalam kesedihan. Pasti akan ada masanya Tuhan memberikan tawa setelah tangis. Memang tidak berbalas seketika itu juga, tetapi pasti akan ada masanya untuk bahagia. Semua hal pahit sudah Dita lalui dan sekarang ia sedang memanen buah dari kesabaran dan keikhlasannya selama ini. Bukan berarti kesedihan dan masalah tidak akan menghampiri lagi, tetapi untuk saat ini, Dita ingin menikmati hadiah terindah tersebut.Mempunyai suami yang begitu mencintainya, mertua yang sangat menyayanginya dan dua buah hati dari cintanya bersama Daffin. Devina pun telah tumbuh menjadi gadis remaja yang pintar dan berprestasi di sekolahnya saat ini. Dia berhasil membuktikan janjinya pada papa sambungnya tersebut jika dia memang layak masuk dalam keluarga Daffin. Walaupun, Daffin tidak pernah menuntut putri sambungnya tersebut, tetapi Devina ingin membanggakan sang mama dan membuat dirinya berarti untuk orang-orang di sekitarnya. Neira juga tumbuh menjadi gadis y
Terkadang sebagai orang tua, kita tidak bisa memaksakan kehendak kita pada anak kita. Terkadang menuntut mereka untuk mendengarkan kita, tetapi kita tidak berkaca, apakah kita juga bisa mendengarkan mereka? Menerima pemikiran mereka dan meluruskan kesalahan tanpa ego sebagai kepalanya. Devina sedang melakukan protes atas sikap Nadiya yang mulai berbeda padanya. Dan juga Bimo yang semakin sibuk bekerja dan tidak memberikan perhatian seperti dulu. Nadiya yang ikut bekerja, terkadang pulang dengan keadaan lelah dan lebih sering marah-marah. Devina merasa apa yang dia lakukan selalu salah di mata ibu sambungnya itu. Dia sudah berusaha sebisa mungkin membantu, tetapi tidak dianggap sama sekali. "Vina mau tinggal sana nenek aja, Yah." Devina pernah meminta izin ayahnya untuk kembali tinggal dengan sang nenek di desa ayahnya, tetapi dengan cepat Nadiya menolak. "Kamu mau bikin nama mama semakin jelek di mata nenekmu? Dia akan semakin berpikir kalau mama ini gak becus ngurus kamu!" sentak
Nadiya bisa menangkap sorot ketakutan di mata Dita. Wajah Dita terlihat pucat. "Ini hanya bagian dari masa lalu istriku dan tidak ada hubungannya dengan saat ini. Istriku juga tidak bertanggung jawab atas perasaanmu saat ini, Bimo!" tegas Daffin. Dita hanya diam menatap wajah suaminya. Meskipun pria itu mengulas senyum, tak lantas membuat Dita tenang. "Mas …." Dita tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Foto itu kembali mengingatkan dirinya akan sebuah kenangan buruk di masa lalu. "Itu hanya sebuah foto, Sayang. Bisa saja itu editan," imbuh Daffin. Ia menggenggam erat tangan sang istri. "Itu adalah foto asli, Daffin. Kami mendapatkan foto itu dari sumber yang akurat." Bimo menanggapi ucapan Daffin. "Lalu? Kalau foto itu asli, apa yang akan kamu lakukan pada istriku? Menuntut tanggung jawab atas sebuah pengkhianatan?" sahut Daffin. Ia memicing, menatap tegas pria yang duduk di depannya itu. "Bimo, Bimo. Bukankah ini sangat lucu? Kalian mempersalahkan kejadian di masa lalu istriku.
Waktu terus berputar tanpa ada satu manusia pun yang bisa menghentikannya. Semua sudah berjalan sesuai dengan apa yang sudah digariskan oleh sang pencipta kehidupan. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya dengan kehidupan kita. Kedekatan Dita dan Nadiya, istri mantan suaminya, kini jadi merenggang karena perdebatan lewat chat antara keduanya. Semua bermula saat Nadiya mulai mengeluhkan kelakuan Devina yang terkesan susah di atur. Semenjak masuk SMA, Devina sudah ikut menetap tinggal bersama Bimo dan Nadiya di Bandung. Perdebatan itu mulai memanas manakala Nadiya mulai mengatakan kalimat yang tidak pantas yang terkesan menyalahkan Dita dan menyamakan jika sifat Devina itu menurun dari sifat sang mama."Dia udah keterlaluan, Mas. Kayaknya kita harus susul Devina, deh, Mas." Dita sedang mengadukan perihal konflik dirinya dengan Nadiya. "Minggu ini kita ke sana, ya, Sayang. Kita bicara baik-baik sama Bimo dan Nadiya. Biar Devina tinggal sama kita saja. Nanti aku minta D
Dokter segera melakukan penanganan untuk membuat bayi yang baru dilahirkan itu menangis. “Mas, anak kita ….”“Dokter sedang melakukan penanganan, Sayang. Anak kita pasti akan baik-baik saja.” Daffin menenangkan istrinya walaupun ia sendiri sedang takut. Setelah beberapa menit, suara tangis bayi memenuhi ruang bersalin Dita. Daffin dan Dita segera mengucap syukur. Ia mengecup lama kening sang istri sambil berbisik. "Alhamdulillah. Terima kasih, Sayang." Dita tak kuasa menahan rasa haru atas kelahiran putra mereka. Rasa sakit yang dirasa seakan menguar begitu saja. Sementara itu, di luar ruangan bersalin. Beberapa orang sedang menunggu dengan cemas salah satu keluarga mereka yang sedang berjuang di dalam sana. Alfin Bagaskara, adalah nama yang diberikan Daffin untuk bayi mungil berkulit merah dengan hidung mancung dan rambut tebal tersebut. Dita dan bayinya sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Alhamdulillah, tidak ada hal yang mengkhawatirkan pada bayi mereka. "Pa, kenapa dede
Pertemuan Nadiya dan Dita beberapa hari lalu membuat Alya datang ke rumah wanita itu pula. Beberapa hari lalu, Nadiya datang karena ingin meminta bantuan Dita untuk membujuk agar Devina mau tinggal bersamanya. Nadia meminta bantuan agar Dita mau membujuk ibu mertuanya supaya mengizinkan Devina tinggal di Bandung bersamanya dan Bimo. “Aku nggak tahu kenapa ibunya A Bimo kekeuh nggak kasih izin Devina buat tinggal sama kami, Dita. Aku capek kalau harus dibilang ibu sambung yang nggak bertanggung jawab, sama orang-orang desa. Setiap kali aku datang nengokin ibu dan Devina ke desa, mereka seolah menatapku dengan kebencian. Aku nggak tahu omongan apa yang udah mereka dengar. Ibu juga masih selalu banding-bandingin aku sama kamu. Katanya semenjak A Bimo nikah sama aku, A Bimo jarang banget kasih uang bulanan buat ibu. Hanya kirim untuk Devina saja. Aku harus gimana, Dita? Aku mau bawa Devina ikut kami, tapi Ibu nggak izinin. Devina ikut dengan Ibu pun, malah jadi omongan.”Dita tidak membe
Berbeda dengan Daffin yang sedang mengembangkan senyumnya saat turun dari mobil setelah tiba di rumah. Senyum itu justru tidak terlihat sama sekali di wajah Dimas. “Tidak usah mengantarku sampai ke dalam, Dim. Kau langsung pulang saja. Istirahatlah,” ucap Daffin saat Dimas hendak turun membuka pintu mobil untuk pria itu. “Kau sudah bekerja keras hari ini,” sambungnya diiringi dengan seringai dan tepukan pelan di pundak kiri Dimas.“Selamat menikmati rujak Anda, Pak.” Daffin tertawa mendengar ucapan Dimas dan ia segera turun dari mobil. Dimas segera melajukan mobil meninggalkan kediaman Daffin. “Semoga ini menjadi yang pertama dan terakhir dia bertingkah aneh dan menyebalkan seperti itu,” gerutu Dimas. “Ah, aku ingin berendam di air hangat untuk mengembalikan kewarasan otakku.”Mari kita kembali pada kejadian sebelum mereka tiba di rumah Daffin.Dimas yang saat itu terkejut melihat apa yang diinginkan Daffin, seketika membulatkan mata dan kembali bertanya pada pria itu apakah dia b
Berita kehamilan Dita juga menjadi kabar bahagia untuk Neira. Gadis kecil itu tidak mau lepas dari Dita. Sepanjang jalan pulang, ia terus menempel pada sang mama. Daffin tidak kembali lagi ke kantor setelah dari rumah sakit. Ia langsung kembali ke rumah bersama Dita. Ia ingin memastikan kalau istrinya benar-benar istirahat dengan baik.“Aku udah nggak kenapa-kenapa, Mas.” Dita meyakinkan suaminya saat pria itu mengantarnya ke kamar. Setelah acara resepsi pernikahan mereka, pasangan itu langsung menempati rumah baru mereka. “Aku nggak mau sampai kamu pingsan lagi karena kecapean, Sayang.” Daffin membantu Dita untuk duduk di atas tempat tidur. “Mama ….” Neira berlari menghampiri mamanya. Neira mau bobok siang sama Mama dan Dede bayi,” rengek Neira yang sudah duduk di pangkuan sang papa.“Iya, Sayang, boleh. Sini bobo sama mama.” Dita menepuk sisi tempat tidur di sampingnya. “Yey.” Neira segera berpindah kegirangan. “Neira udah nggak sabar pengen ketemu sama dede bayi,” ucap Neira s
Bimo dan Nadiya tidak pernah menyangka jika suami Dita adalah Daffin Bagaskara. Bimo melihat dengan sangat jelas bagaimana Daffin menunjukkan kepemilikannya atas istrinya. Ia tidak akan bisa bersaing dengan Daffin. Ia sudah kalah dalam segi apa pun. Di mata Lastri, Tuhan sedang membalas semua penderitaan Dita selama ini dengan kebahagiaan dan cinta yang berlimpah dari suami dan keluarganya. Tuhan sudah membayar tangis kekecewaan itu dengan tawa dan ketulusan Daffin. Tanpa terasa, Lastri meneteskan air mata saat melihat pasangan pengantin. Di depan singgasana mereka. Semoga kebahagiaan ini akan selalu menaungi kamu, Ta. Jangan ada lagi air mata kesedihan yang kamu teteskan.Lastri mengusap sudut matanya. Dia adalah saksi dari perjuangan sahabatnya. Mereka yang tidak mengenal Dita mungkin hanya melihat betapa beruntungnya wanita itu bisa menjadi istri Daffin, mereka tidak pernah tahu bagaimana wanita itu selama ini berkubang dalam luka dan berteman dengan kekecewaan. ***Sang m