Obrolan mereka harus berhenti karena malam sudah semakin larut. Mereka kembali ke kamar masing-masih. Dita dan Daffin tidur terpisah dengan Neira. Selama adik Silvia menginap di sana, Neira akan tidur ditemani oleh Meisya. “Ajak Neira untuk tidur, Mei. Jangan ajak dia main dan nonton drakor.” Daffin memberi pesan pada adik sepupunya. Gadis remaja itu mencebikkan bibirnya. “Nanti aku kenalin Neira sama oppa-oppa idamanku,” celetuk Meisya yang langsung berlari menuju kamar Neira. “Mas, udah deh. Meisya itu cuman bercanda. Kita tidur saja, yuk.” Dita menggandeng tangan suaminya. Meniti tangga menuju kamar mereka. “Aku ambil air dulu, ya, Mas. Kamu duluan saja.” Dita mengusap lengan suaminya. Ia kemudian berbalik menuruni tangga menuju dapur. Ia lupa jika harus menyiapkan air untuk mereka saat bangun tidur nanti. Lampu dapur sudah padam dan para pelayan juga sudah kembali ke rumah belakang untuk istirahat. Karena hanya mengambil air saja, Dita tidak menghidupkan lampu utama di dapur
Pagi sudah menyapa dan semua sudah berkumpul di meja makan untuk menikmati sarapan. "Dita kemana, Daf? Mama nggak lihat dia dari pagi," tanya Silvia saat melihat Daffin turun sendiri. Biasanya Dita yang paling sibuk menyiapkan sarapan untuk semua. "Apa Dita sakit?" Silvia bertanya lagi saat tidak mendapat jawaban dari putranya. "Hanya sedikit tidak enak badan, Ma. Aku akan menemani Dita sarapan di kamar. Dia minta maaf karena tidak bisa sarapan bersama," imbuh Daffin menatap semua keluarga yang sudah kumpul. Tangannya mengepal saat tatapannya bertemu dengan Bram. "Ya ampun, Daf. Kamu ini pasti semalam gangguin Dita, ya," goda Tante Gisel pada keponakannya. "Tante tau saja," balas Daffin, menyembunyikan keadaan istrinya yang sebenarnya. "Ya sudah. Nanti biar mama minta Bibi buat siapin sarapan untuk kalian. Kamu ke kamar lagi saja. Kasihan Dita ditinggal sendirian," sahut Silvia, mendorong putranya agar kembali ke kamar. Haryanto menangkap tatapan kemarahan dari Daffin saat menat
Haryanto terlihat gelisah duduk di kursi penumpang. Sedangkan sopir pribadinya terus melajukan kendaraannya dengan cepat. Beberapa menit lalu Alexa menelpon asistennya dan memberitahu kalau Bram membawa Dita dengan paksa. Sedangkan nomor Daffin tidak bisa dihubungi. "Papa harap kamu tidak akan melakukan hal gila, Bram. Kalau tidak Daffin tidak akan bisa mengendalikan dirinya," gumam Haryanto.Haryanto semakin gelisah dan takut terjadi hal buruk dengan menantunya. Panggilannya masih belum juga diangkat oleh Dita. Namun, pria paruh baya itu tidak menyerah begitu saja. Ia terus melakukan panggilan ke nomor Dita. "Halo, Dita. Kamu di mana, Nak?" Haryanto mengernyit. "Bram berikan handphonenya pada Dita. Kamu membawanya ke mana?" Haryanto sampai menegakkan duduknya dan meninggikan suaranya. 'Aku hanya ingin bicara berdua dengan Dia, Pa. Kenapa kalian sangat takut sekali?" Suara tawa Bram terdengar jelas. 'Aku hanya ingin bersenang-senang sebentar dengannya karena dia adalah milik adik
Daffin berjalan melebarkan langkahnya. Derap dari sepatu yang beradu dengan lantai berdecit memenuhi lorong saat ia mempercepat langkah. Setelah meeting dengan klien selesai, Dimas memberitahu jika Alexa tadi menghubunginya. Daffin segera mengambil ponselnya di atas meja kerjanya dan melihat apakah Alexa juga menghubunginya. Benar saja, ada beberapa panggilan tak terjawab dari Alexa dan juga istrinya. Daffin segera membuka room chat saat melihat notifikasi di layar utama. Ada beberapa pesan dari Alexa. "Kita ke rumah papaku sekarang, Dim!" titah Daffin pada Dimas. Giginya mengerat menahan amarah setelah membaca semua pesan Alexa. "Tapi, Pak … satu jam lagi kit—" "Bajingan itu membawa paksa istriku, Dimas. Kau pikir aku bia bekerja dengan tenag? Batalkan semua jadwalku hari ini!" titah Daffin. Dimas tidak bisa membantah lagi perintah tuannya. Dimas segera mengikuti langkah Daffin dan segera duduk di kursi kemudi setelah satpam menyiapkan mobil di depan lobi perusahaan. "Di perja
Bram benar-benar kembali ke luar negeri seperti permintaan sang papa. Daffin juga tidak berniat menanyakan keberadaan kakaknya pada sang papa. Daffin tahu papanya pasti sudah mengambil keputusan yang tepat untuk masalah ini. Daffin hanya ingin fokus dengan pesta pernikahannya. “Sayang, sayang.” Daffin mengusap lembut pipi Dita saat mereka sudah sampai di parkiran gedung apartemen. Dita mengerjap pelan. Membuka mata perlahan. Yang pertama ia lihat adalah senyum suaminya. "Maaf, Mas. Aku ketiduran lagi," imbuh Dita sambil membenarkan posisinya. "Capek, ya?" Daffin mengusap lembut pipi istrinya. "Padahal hari ini gak terlalu banyak jalan dan keluar, Mas. Aku cuman pergi feeting baju kita sama nganter Neira ke sekolah." "Sabar, ya. Setelah acara selesai kita liburan." Daffin mengecup punggung tangan istrinya dan mendapat anggukan dari istrinya. "Mau aku gendong aja?" "Ish. Aku bisa jalan, Mas," balas Dita. Setelah melakukan rutinitas sebelum tidur, Dita langsung menuju pembaringan,
Daffin tersenyum melihat istrinya yang sedang tertidur sambil bersandar di sofa. Lastri sudah kembali ke tempat acara dan tinggal pasangan pengantin itu di sana. Daffin duduk di samping Dita dan memperhatikan wajah wanita itu. Perlahan tangannya mengusap lembut pipi sang istri. Tidak berniat membangunkan wanita itu, tetapi sepertinya Dita merasakan sentuhan di pipinya dan membuka mata perlahan. “Mas,” lirihnya. Matanya sudah terbuka sempurna walau sedikit berat karena bulu mata palsu yang melekat. “Aku ketiduran lagi,” imbuhnya. Daffin terkekeh. Ia mengusap pipi istrinya kembali. “Cantik,” ucapnya dengan tatapan penuh cinta. “Paan, sih, Mas. Pasti makupnya berantakan, ya?” Dita menekan-nekan pelan pipinya.“Tetap cantik, kok, Sayang,” puji Daffin. “Tunggu lipstimu sedikit berantakan, aku bantu betulkan.” Daffin mendekatkan wajahnya dan mengusap bagian pinggir bibir sang istri. “Mas—” Dita yang menyadari sesuatu tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena Daffin sudah membungkam mulut
Bimo dan Nadiya tidak pernah menyangka jika suami Dita adalah Daffin Bagaskara. Bimo melihat dengan sangat jelas bagaimana Daffin menunjukkan kepemilikannya atas istrinya. Ia tidak akan bisa bersaing dengan Daffin. Ia sudah kalah dalam segi apa pun. Di mata Lastri, Tuhan sedang membalas semua penderitaan Dita selama ini dengan kebahagiaan dan cinta yang berlimpah dari suami dan keluarganya. Tuhan sudah membayar tangis kekecewaan itu dengan tawa dan ketulusan Daffin. Tanpa terasa, Lastri meneteskan air mata saat melihat pasangan pengantin. Di depan singgasana mereka. Semoga kebahagiaan ini akan selalu menaungi kamu, Ta. Jangan ada lagi air mata kesedihan yang kamu teteskan.Lastri mengusap sudut matanya. Dia adalah saksi dari perjuangan sahabatnya. Mereka yang tidak mengenal Dita mungkin hanya melihat betapa beruntungnya wanita itu bisa menjadi istri Daffin, mereka tidak pernah tahu bagaimana wanita itu selama ini berkubang dalam luka dan berteman dengan kekecewaan. ***Sang m
Berita kehamilan Dita juga menjadi kabar bahagia untuk Neira. Gadis kecil itu tidak mau lepas dari Dita. Sepanjang jalan pulang, ia terus menempel pada sang mama. Daffin tidak kembali lagi ke kantor setelah dari rumah sakit. Ia langsung kembali ke rumah bersama Dita. Ia ingin memastikan kalau istrinya benar-benar istirahat dengan baik.“Aku udah nggak kenapa-kenapa, Mas.” Dita meyakinkan suaminya saat pria itu mengantarnya ke kamar. Setelah acara resepsi pernikahan mereka, pasangan itu langsung menempati rumah baru mereka. “Aku nggak mau sampai kamu pingsan lagi karena kecapean, Sayang.” Daffin membantu Dita untuk duduk di atas tempat tidur. “Mama ….” Neira berlari menghampiri mamanya. Neira mau bobok siang sama Mama dan Dede bayi,” rengek Neira yang sudah duduk di pangkuan sang papa.“Iya, Sayang, boleh. Sini bobo sama mama.” Dita menepuk sisi tempat tidur di sampingnya. “Yey.” Neira segera berpindah kegirangan. “Neira udah nggak sabar pengen ketemu sama dede bayi,” ucap Neira s
Tidak selamanya manusia akan berkubang terus dalam kesedihan. Pasti akan ada masanya Tuhan memberikan tawa setelah tangis. Memang tidak berbalas seketika itu juga, tetapi pasti akan ada masanya untuk bahagia. Semua hal pahit sudah Dita lalui dan sekarang ia sedang memanen buah dari kesabaran dan keikhlasannya selama ini. Bukan berarti kesedihan dan masalah tidak akan menghampiri lagi, tetapi untuk saat ini, Dita ingin menikmati hadiah terindah tersebut.Mempunyai suami yang begitu mencintainya, mertua yang sangat menyayanginya dan dua buah hati dari cintanya bersama Daffin. Devina pun telah tumbuh menjadi gadis remaja yang pintar dan berprestasi di sekolahnya saat ini. Dia berhasil membuktikan janjinya pada papa sambungnya tersebut jika dia memang layak masuk dalam keluarga Daffin. Walaupun, Daffin tidak pernah menuntut putri sambungnya tersebut, tetapi Devina ingin membanggakan sang mama dan membuat dirinya berarti untuk orang-orang di sekitarnya. Neira juga tumbuh menjadi gadis y
Terkadang sebagai orang tua, kita tidak bisa memaksakan kehendak kita pada anak kita. Terkadang menuntut mereka untuk mendengarkan kita, tetapi kita tidak berkaca, apakah kita juga bisa mendengarkan mereka? Menerima pemikiran mereka dan meluruskan kesalahan tanpa ego sebagai kepalanya. Devina sedang melakukan protes atas sikap Nadiya yang mulai berbeda padanya. Dan juga Bimo yang semakin sibuk bekerja dan tidak memberikan perhatian seperti dulu. Nadiya yang ikut bekerja, terkadang pulang dengan keadaan lelah dan lebih sering marah-marah. Devina merasa apa yang dia lakukan selalu salah di mata ibu sambungnya itu. Dia sudah berusaha sebisa mungkin membantu, tetapi tidak dianggap sama sekali. "Vina mau tinggal sana nenek aja, Yah." Devina pernah meminta izin ayahnya untuk kembali tinggal dengan sang nenek di desa ayahnya, tetapi dengan cepat Nadiya menolak. "Kamu mau bikin nama mama semakin jelek di mata nenekmu? Dia akan semakin berpikir kalau mama ini gak becus ngurus kamu!" sentak
Nadiya bisa menangkap sorot ketakutan di mata Dita. Wajah Dita terlihat pucat. "Ini hanya bagian dari masa lalu istriku dan tidak ada hubungannya dengan saat ini. Istriku juga tidak bertanggung jawab atas perasaanmu saat ini, Bimo!" tegas Daffin. Dita hanya diam menatap wajah suaminya. Meskipun pria itu mengulas senyum, tak lantas membuat Dita tenang. "Mas …." Dita tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Foto itu kembali mengingatkan dirinya akan sebuah kenangan buruk di masa lalu. "Itu hanya sebuah foto, Sayang. Bisa saja itu editan," imbuh Daffin. Ia menggenggam erat tangan sang istri. "Itu adalah foto asli, Daffin. Kami mendapatkan foto itu dari sumber yang akurat." Bimo menanggapi ucapan Daffin. "Lalu? Kalau foto itu asli, apa yang akan kamu lakukan pada istriku? Menuntut tanggung jawab atas sebuah pengkhianatan?" sahut Daffin. Ia memicing, menatap tegas pria yang duduk di depannya itu. "Bimo, Bimo. Bukankah ini sangat lucu? Kalian mempersalahkan kejadian di masa lalu istriku.
Waktu terus berputar tanpa ada satu manusia pun yang bisa menghentikannya. Semua sudah berjalan sesuai dengan apa yang sudah digariskan oleh sang pencipta kehidupan. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya dengan kehidupan kita. Kedekatan Dita dan Nadiya, istri mantan suaminya, kini jadi merenggang karena perdebatan lewat chat antara keduanya. Semua bermula saat Nadiya mulai mengeluhkan kelakuan Devina yang terkesan susah di atur. Semenjak masuk SMA, Devina sudah ikut menetap tinggal bersama Bimo dan Nadiya di Bandung. Perdebatan itu mulai memanas manakala Nadiya mulai mengatakan kalimat yang tidak pantas yang terkesan menyalahkan Dita dan menyamakan jika sifat Devina itu menurun dari sifat sang mama."Dia udah keterlaluan, Mas. Kayaknya kita harus susul Devina, deh, Mas." Dita sedang mengadukan perihal konflik dirinya dengan Nadiya. "Minggu ini kita ke sana, ya, Sayang. Kita bicara baik-baik sama Bimo dan Nadiya. Biar Devina tinggal sama kita saja. Nanti aku minta D
Dokter segera melakukan penanganan untuk membuat bayi yang baru dilahirkan itu menangis. “Mas, anak kita ….”“Dokter sedang melakukan penanganan, Sayang. Anak kita pasti akan baik-baik saja.” Daffin menenangkan istrinya walaupun ia sendiri sedang takut. Setelah beberapa menit, suara tangis bayi memenuhi ruang bersalin Dita. Daffin dan Dita segera mengucap syukur. Ia mengecup lama kening sang istri sambil berbisik. "Alhamdulillah. Terima kasih, Sayang." Dita tak kuasa menahan rasa haru atas kelahiran putra mereka. Rasa sakit yang dirasa seakan menguar begitu saja. Sementara itu, di luar ruangan bersalin. Beberapa orang sedang menunggu dengan cemas salah satu keluarga mereka yang sedang berjuang di dalam sana. Alfin Bagaskara, adalah nama yang diberikan Daffin untuk bayi mungil berkulit merah dengan hidung mancung dan rambut tebal tersebut. Dita dan bayinya sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Alhamdulillah, tidak ada hal yang mengkhawatirkan pada bayi mereka. "Pa, kenapa dede
Pertemuan Nadiya dan Dita beberapa hari lalu membuat Alya datang ke rumah wanita itu pula. Beberapa hari lalu, Nadiya datang karena ingin meminta bantuan Dita untuk membujuk agar Devina mau tinggal bersamanya. Nadia meminta bantuan agar Dita mau membujuk ibu mertuanya supaya mengizinkan Devina tinggal di Bandung bersamanya dan Bimo. “Aku nggak tahu kenapa ibunya A Bimo kekeuh nggak kasih izin Devina buat tinggal sama kami, Dita. Aku capek kalau harus dibilang ibu sambung yang nggak bertanggung jawab, sama orang-orang desa. Setiap kali aku datang nengokin ibu dan Devina ke desa, mereka seolah menatapku dengan kebencian. Aku nggak tahu omongan apa yang udah mereka dengar. Ibu juga masih selalu banding-bandingin aku sama kamu. Katanya semenjak A Bimo nikah sama aku, A Bimo jarang banget kasih uang bulanan buat ibu. Hanya kirim untuk Devina saja. Aku harus gimana, Dita? Aku mau bawa Devina ikut kami, tapi Ibu nggak izinin. Devina ikut dengan Ibu pun, malah jadi omongan.”Dita tidak membe
Berbeda dengan Daffin yang sedang mengembangkan senyumnya saat turun dari mobil setelah tiba di rumah. Senyum itu justru tidak terlihat sama sekali di wajah Dimas. “Tidak usah mengantarku sampai ke dalam, Dim. Kau langsung pulang saja. Istirahatlah,” ucap Daffin saat Dimas hendak turun membuka pintu mobil untuk pria itu. “Kau sudah bekerja keras hari ini,” sambungnya diiringi dengan seringai dan tepukan pelan di pundak kiri Dimas.“Selamat menikmati rujak Anda, Pak.” Daffin tertawa mendengar ucapan Dimas dan ia segera turun dari mobil. Dimas segera melajukan mobil meninggalkan kediaman Daffin. “Semoga ini menjadi yang pertama dan terakhir dia bertingkah aneh dan menyebalkan seperti itu,” gerutu Dimas. “Ah, aku ingin berendam di air hangat untuk mengembalikan kewarasan otakku.”Mari kita kembali pada kejadian sebelum mereka tiba di rumah Daffin.Dimas yang saat itu terkejut melihat apa yang diinginkan Daffin, seketika membulatkan mata dan kembali bertanya pada pria itu apakah dia b
Berita kehamilan Dita juga menjadi kabar bahagia untuk Neira. Gadis kecil itu tidak mau lepas dari Dita. Sepanjang jalan pulang, ia terus menempel pada sang mama. Daffin tidak kembali lagi ke kantor setelah dari rumah sakit. Ia langsung kembali ke rumah bersama Dita. Ia ingin memastikan kalau istrinya benar-benar istirahat dengan baik.“Aku udah nggak kenapa-kenapa, Mas.” Dita meyakinkan suaminya saat pria itu mengantarnya ke kamar. Setelah acara resepsi pernikahan mereka, pasangan itu langsung menempati rumah baru mereka. “Aku nggak mau sampai kamu pingsan lagi karena kecapean, Sayang.” Daffin membantu Dita untuk duduk di atas tempat tidur. “Mama ….” Neira berlari menghampiri mamanya. Neira mau bobok siang sama Mama dan Dede bayi,” rengek Neira yang sudah duduk di pangkuan sang papa.“Iya, Sayang, boleh. Sini bobo sama mama.” Dita menepuk sisi tempat tidur di sampingnya. “Yey.” Neira segera berpindah kegirangan. “Neira udah nggak sabar pengen ketemu sama dede bayi,” ucap Neira s
Bimo dan Nadiya tidak pernah menyangka jika suami Dita adalah Daffin Bagaskara. Bimo melihat dengan sangat jelas bagaimana Daffin menunjukkan kepemilikannya atas istrinya. Ia tidak akan bisa bersaing dengan Daffin. Ia sudah kalah dalam segi apa pun. Di mata Lastri, Tuhan sedang membalas semua penderitaan Dita selama ini dengan kebahagiaan dan cinta yang berlimpah dari suami dan keluarganya. Tuhan sudah membayar tangis kekecewaan itu dengan tawa dan ketulusan Daffin. Tanpa terasa, Lastri meneteskan air mata saat melihat pasangan pengantin. Di depan singgasana mereka. Semoga kebahagiaan ini akan selalu menaungi kamu, Ta. Jangan ada lagi air mata kesedihan yang kamu teteskan.Lastri mengusap sudut matanya. Dia adalah saksi dari perjuangan sahabatnya. Mereka yang tidak mengenal Dita mungkin hanya melihat betapa beruntungnya wanita itu bisa menjadi istri Daffin, mereka tidak pernah tahu bagaimana wanita itu selama ini berkubang dalam luka dan berteman dengan kekecewaan. ***Sang m