Daffin dan Neira sudah siap saat Haryanto dan Silvia menjemput ke apartemen. "Cantiknya cucu oma," puji Silvia yang kemudian memangku Neira. "Sudah siap untuk pergi?" tanyanya."Sudah, Oma. Nela sudah siap temenin Papa," jawab anak itu dengan senyum yang menampakkan deretan gigi kecilnya. "Tapi Mama Dita nggak ikut dulu, ya," ujar Silvia lagi. "Iya, Oma. Mama udah kasih tau Nela." "Cucu Oma memang pintar," puji Silvia lagi.Neira turun dari pangkuan Silvia dan menghampiri Dita. "Mama, Nela temenin Papa dulu, ya. Mama jangan pelgi." Neira memeluk Dita. "Iya, Sayang. Dengerin Papa, Oma, dan Opa, ya. Neira 'kan anak pintar." Dita tersenyum sembari mengusap pucuk kepala anak itu. "Oke, Mama." Neira menyatukan ujung jempol dan jari telunjuknya hingga membentuk huruf O.Interaksi keduanya tak luput dari perhatian tiga orang dewasa yang ada di sana. "Kami pergi dulu, Dita. Terima kasih," ucap Daffin menatap Dita yang sedang menunduk. "Sama-sama, Tuan. Balas Dita masih terus menundu
Akhirnya malam ini, Daffin menemani Neira di kamar Dita bersama wanita itu. Rasanya sangat canggung berada dalam satu kamar dengan tuannya, tetapi Dita juga tidak bisa menolak permintaan Neira. Dita tidur di sisi kiri Neira, sedangkan Daffin di sisi kanan gadis kecil itu. Kedua orang dewasa itu sebenarnya tidak tidur, mereka hanya menemani Neira sambil bersandar di kepala tempat tidur. “Mama, tadi Nela tumpahin makanan telus kena baju Tante Gita,” adu anak itu. “Tapi Nela nggak sengaja, Mama,” imbuhnya kemudian. “Tapi Neira sudah minta maaf sama Tante Anggita?” tanya Dita. “Sudah. Nela nggak tau Tante Gita masih malah apa, nggak sama Nela.” Neira mendongak menatap Dita. “Tante Anggita pasti udah nggak marah lagi kok, sama Neira. Dia tahu, Neira tidak sengaja dan Neira udah pintar banget karena mau mengakui kesalahan Neira dan minta maaf,” puji Dita yang seketika membuat Neira berbinar bahagia. Malam itu, Daffin menemani Neira sembari mendengarkan putrinya bercerita pada Dita.
Ternyata ulang tahun Neira bersamaan dengan ulang tahun Devina. Dita sudah mengirim gaun ulang tahun pemberian Silvia, dua hari setelah wanita paruh baya itu memberikannya. Dita juga sudah berpesan pada Lastri untuk memberikan kue ulang tahun pada putrinya itu dan memberikan kado yang sudah ia kirim jauh hari sebelum hari ulang tahun putrinya."Siap. Aku akan kirim foto dan videonya buat kamu.'Sebuah pesan balasan dari sahabatnya berhasil membuat senyum di kedua sudut bibir Dita terukir indah. Wanita itu memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas dan bersiap membangunkan Neira. Sore nanti, oma dan opa Neira ingin memberikan kejutan ulang tahun untuk cucu mereka. "Selamat pagi, Princess. Happy birthday …," sapa Dita saat Neira mengerjapkan mata pelan. Neira tersenyum dan merentangkan tangan agar Dita memeluknya. Kebiasaan yang selalu mereka lalui setiap hari. Dita terus membujuk Neira yang tidak mau sarapan saat tahu jika papanya sudah berangkat ke kantor sebelum ia bangun. Ga
Acara berlangsung sampai malam. Keluarga yang lain sudah pulang dan Daffin memutuskan untuk menginap di sana. Besok rencananya mereka akan pergi ke salah satu panti asuhan untuk membagikan bingkisan pada anak-anak yang ada di sana. Daffin menghentikan langkahnya saat mendengar Dita sedang melakukan panggilan video call dengan seseorang. Pria itu sengaja datang ke rumah belakang karena ada sesuatu yang ingin ia bicarakan dengan Dita. 'Terima kasih buat baju dan kadonya, Tante. Kuenya juga enak. Vina suka.'Daffin bisa mendengar dengan jelas suara anak kecil di layar benda pipih tersebut. "Alhamdulillah, kalau Vina suka. Tante akan kirimkan lagi nanti yang lain," balas Dita bahagia. Daffin masih menunggu di tempatnya berdiri. Menatap punggung wanita itu dari jarak beberapa meter. 'Ta, sebaiknya kamu jangan mengirim dulu barang buat Devina. Bimo kayaknya mulai curiga dan Nadiya juga beberapa kali datang ke sini untuk memastikan apa kamu benar-benar sudah menikah lagi apa belum. D
Rasanya memang berubah canggung setelah kejadian malam itu. Namun, Dita tidak ingin terlalu memikirkannya. Ia anggap tuannya itu hanya sedang merindukan mendiang istrinya. Setelah kembali dari kediaman orang tua Daffin, Dita tetap mengerjakan tugasnya seperti biasa. Tidak menghindari Daffin ataupun bersikap cuek pada pria itu. Berbeda dengan Dita, Daffin terlihat lebih banyak diam dan justru ia yang menghindari pengasuh putrinya itu. "Kamu pikirkan dulu, Fin. Papi sama Mami takut kalau perasaan kamu sama Dita hanya karena kemiripan dia dengan Annisa saja," nasihat sang papi. "Iya, Fin. Kasihan Dita kalau sampai nantinya kamu membandingkan dia dengan Annisa. Benar apa yang dikatakan Dita, meskipun mereka mempunyai kemiripan, tetapi mereka tetap dua wanita yang berbeda." Silvia ikut menimpali ucapan suaminya. Pagi itu, Daffin menceritakan apa yang terjadi malam hari setelah acara ulang tahun Neira. "Apa mungkin ini terlalu cepat, Ma, Pa?" tanya Daffin menatap kedua orang tuanya. R
Sejak subuh, Daffin terlihat sangat bersemangat untuk pergi ke bandara bersama Neira. Hari ini, Dita kembali dan mereka berencana untuk langsung pergi liburan ke Bandung.Bukan hanya Neira yang terlihat antusias menunggu di pintu kedatangan. Jika saja Daffin adalah seorang anak kecil, mungkin itu akan jauh terlihat sangat ketara. “Mama.” Neira memekik memanggil Dita. Wanita itu segera tersenyum dan setengah berlari menghampiri Neira. “Nela kangen Mama.” Neira menghambur ke dalam pelukan Dita saat wanita itu jongkok di depannya. “Iya, Sayang.” Dita memberikan pelukan rindu pada gadis kecil tersebut. Jujur , ia juga sangat merindukan Neira.Selama liburan mudik, Dita tidak bisa berkomunikasi sama sekali dengan Devina. Nadiya dan keluarga Bimo benar-benar membatasi pergerakan anak itu. Lastri yang semula bisa bertemu dan mengajak Devina untuk main bersamanya, tetapi beberapa minggu terakhir, Lastri bahkan dilarang untuk bertemu dengan Devina. Dari tetangga sekitar, Lastri mendapat
Daffin kembali ke kamarnya dan merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia menatap langit-langit kamar dan mengusap wajahnya. Jika Dita tetap dengan pendiriannya dan memilih untuk sendiri, maka ia juga akan tetap memperjuangkan perasaannya. Ia akan mencintai dan memperjuangkan wanita itu dengan caranya sendiri. Pukul tiga sore, Neira bangun dari tidurnya dan Dita menemani anak itu untuk berenang. Daffin sudah mengirim pesan pada wanita itu jika ia tidak bisa ikut menemani Neira berenang. Dita tidak mempermasalahkan. Dita justru bersyukur karena ia tidak akan merasa canggung. Menjelang makan malam, Barulah Daffin datang ke kamar putrinya dan mengajak dua wanita beda usia itu untuk makan malam di luar hotel. Tidak disangka, di sana mereka bertemu dengan Anggita. Tanpa permisi, wanita itu duduk bergabung di meja Daffin, ikut makan malam bersama mereka. Bukan Dita yang merasa risi, tetapi Daffin dan Neira yang terlihat tidak nyaman. Anak itu seketika diam dan berhenti berceloteh. Anggita te
Daffin menginjak pedal gas dan meninggalkan Anggita begitu saja. Ia tidak peduli dengan teriakan wanita itu atau merasa khawatir karena meninggalkan wanita itu sendiri di jalan yang sepi seperti itu. Bukankah wanita itu membawa ponsel dan bisa menghubungi sopir pribadinya untuk menjemputnya di sana. Daffin juga tidak peduli jika wanita itu kan mengadu pada papanya.Perasaan Daffin sedang tidak baik-baik saja saat ini. Ia sangat mengkhawatirkan Dita dan ingin cepat menemui wanita itu. Daffin sangat yakin dengan pikirannya apa yang telah dilakukan oleh Anggita pada Dita. Daffin segera menghampiri kamar Dita dan Neira saat lift berhenti di lantai kamar mereka. “Dita ka—”“Papa … Papa sudah datang?” Suara Neira memangkas ucapan Daffin yang ingin bertanya pada Dita. Pria itu kemudian membawa putrinya ke dalam gendongan.“Kenapa Princes papa belum tidur?” tanya Daffin yang kemudian mencium gemas pipi putrinya. “Nela nungguin Papa. Mau main dulu sama Papa dan Mama,” adu anak itu. Daffin
Tidak selamanya manusia akan berkubang terus dalam kesedihan. Pasti akan ada masanya Tuhan memberikan tawa setelah tangis. Memang tidak berbalas seketika itu juga, tetapi pasti akan ada masanya untuk bahagia. Semua hal pahit sudah Dita lalui dan sekarang ia sedang memanen buah dari kesabaran dan keikhlasannya selama ini. Bukan berarti kesedihan dan masalah tidak akan menghampiri lagi, tetapi untuk saat ini, Dita ingin menikmati hadiah terindah tersebut.Mempunyai suami yang begitu mencintainya, mertua yang sangat menyayanginya dan dua buah hati dari cintanya bersama Daffin. Devina pun telah tumbuh menjadi gadis remaja yang pintar dan berprestasi di sekolahnya saat ini. Dia berhasil membuktikan janjinya pada papa sambungnya tersebut jika dia memang layak masuk dalam keluarga Daffin. Walaupun, Daffin tidak pernah menuntut putri sambungnya tersebut, tetapi Devina ingin membanggakan sang mama dan membuat dirinya berarti untuk orang-orang di sekitarnya. Neira juga tumbuh menjadi gadis y
Terkadang sebagai orang tua, kita tidak bisa memaksakan kehendak kita pada anak kita. Terkadang menuntut mereka untuk mendengarkan kita, tetapi kita tidak berkaca, apakah kita juga bisa mendengarkan mereka? Menerima pemikiran mereka dan meluruskan kesalahan tanpa ego sebagai kepalanya. Devina sedang melakukan protes atas sikap Nadiya yang mulai berbeda padanya. Dan juga Bimo yang semakin sibuk bekerja dan tidak memberikan perhatian seperti dulu. Nadiya yang ikut bekerja, terkadang pulang dengan keadaan lelah dan lebih sering marah-marah. Devina merasa apa yang dia lakukan selalu salah di mata ibu sambungnya itu. Dia sudah berusaha sebisa mungkin membantu, tetapi tidak dianggap sama sekali. "Vina mau tinggal sana nenek aja, Yah." Devina pernah meminta izin ayahnya untuk kembali tinggal dengan sang nenek di desa ayahnya, tetapi dengan cepat Nadiya menolak. "Kamu mau bikin nama mama semakin jelek di mata nenekmu? Dia akan semakin berpikir kalau mama ini gak becus ngurus kamu!" sentak
Nadiya bisa menangkap sorot ketakutan di mata Dita. Wajah Dita terlihat pucat. "Ini hanya bagian dari masa lalu istriku dan tidak ada hubungannya dengan saat ini. Istriku juga tidak bertanggung jawab atas perasaanmu saat ini, Bimo!" tegas Daffin. Dita hanya diam menatap wajah suaminya. Meskipun pria itu mengulas senyum, tak lantas membuat Dita tenang. "Mas …." Dita tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Foto itu kembali mengingatkan dirinya akan sebuah kenangan buruk di masa lalu. "Itu hanya sebuah foto, Sayang. Bisa saja itu editan," imbuh Daffin. Ia menggenggam erat tangan sang istri. "Itu adalah foto asli, Daffin. Kami mendapatkan foto itu dari sumber yang akurat." Bimo menanggapi ucapan Daffin. "Lalu? Kalau foto itu asli, apa yang akan kamu lakukan pada istriku? Menuntut tanggung jawab atas sebuah pengkhianatan?" sahut Daffin. Ia memicing, menatap tegas pria yang duduk di depannya itu. "Bimo, Bimo. Bukankah ini sangat lucu? Kalian mempersalahkan kejadian di masa lalu istriku.
Waktu terus berputar tanpa ada satu manusia pun yang bisa menghentikannya. Semua sudah berjalan sesuai dengan apa yang sudah digariskan oleh sang pencipta kehidupan. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya dengan kehidupan kita. Kedekatan Dita dan Nadiya, istri mantan suaminya, kini jadi merenggang karena perdebatan lewat chat antara keduanya. Semua bermula saat Nadiya mulai mengeluhkan kelakuan Devina yang terkesan susah di atur. Semenjak masuk SMA, Devina sudah ikut menetap tinggal bersama Bimo dan Nadiya di Bandung. Perdebatan itu mulai memanas manakala Nadiya mulai mengatakan kalimat yang tidak pantas yang terkesan menyalahkan Dita dan menyamakan jika sifat Devina itu menurun dari sifat sang mama."Dia udah keterlaluan, Mas. Kayaknya kita harus susul Devina, deh, Mas." Dita sedang mengadukan perihal konflik dirinya dengan Nadiya. "Minggu ini kita ke sana, ya, Sayang. Kita bicara baik-baik sama Bimo dan Nadiya. Biar Devina tinggal sama kita saja. Nanti aku minta D
Dokter segera melakukan penanganan untuk membuat bayi yang baru dilahirkan itu menangis. “Mas, anak kita ….”“Dokter sedang melakukan penanganan, Sayang. Anak kita pasti akan baik-baik saja.” Daffin menenangkan istrinya walaupun ia sendiri sedang takut. Setelah beberapa menit, suara tangis bayi memenuhi ruang bersalin Dita. Daffin dan Dita segera mengucap syukur. Ia mengecup lama kening sang istri sambil berbisik. "Alhamdulillah. Terima kasih, Sayang." Dita tak kuasa menahan rasa haru atas kelahiran putra mereka. Rasa sakit yang dirasa seakan menguar begitu saja. Sementara itu, di luar ruangan bersalin. Beberapa orang sedang menunggu dengan cemas salah satu keluarga mereka yang sedang berjuang di dalam sana. Alfin Bagaskara, adalah nama yang diberikan Daffin untuk bayi mungil berkulit merah dengan hidung mancung dan rambut tebal tersebut. Dita dan bayinya sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Alhamdulillah, tidak ada hal yang mengkhawatirkan pada bayi mereka. "Pa, kenapa dede
Pertemuan Nadiya dan Dita beberapa hari lalu membuat Alya datang ke rumah wanita itu pula. Beberapa hari lalu, Nadiya datang karena ingin meminta bantuan Dita untuk membujuk agar Devina mau tinggal bersamanya. Nadia meminta bantuan agar Dita mau membujuk ibu mertuanya supaya mengizinkan Devina tinggal di Bandung bersamanya dan Bimo. “Aku nggak tahu kenapa ibunya A Bimo kekeuh nggak kasih izin Devina buat tinggal sama kami, Dita. Aku capek kalau harus dibilang ibu sambung yang nggak bertanggung jawab, sama orang-orang desa. Setiap kali aku datang nengokin ibu dan Devina ke desa, mereka seolah menatapku dengan kebencian. Aku nggak tahu omongan apa yang udah mereka dengar. Ibu juga masih selalu banding-bandingin aku sama kamu. Katanya semenjak A Bimo nikah sama aku, A Bimo jarang banget kasih uang bulanan buat ibu. Hanya kirim untuk Devina saja. Aku harus gimana, Dita? Aku mau bawa Devina ikut kami, tapi Ibu nggak izinin. Devina ikut dengan Ibu pun, malah jadi omongan.”Dita tidak membe
Berbeda dengan Daffin yang sedang mengembangkan senyumnya saat turun dari mobil setelah tiba di rumah. Senyum itu justru tidak terlihat sama sekali di wajah Dimas. “Tidak usah mengantarku sampai ke dalam, Dim. Kau langsung pulang saja. Istirahatlah,” ucap Daffin saat Dimas hendak turun membuka pintu mobil untuk pria itu. “Kau sudah bekerja keras hari ini,” sambungnya diiringi dengan seringai dan tepukan pelan di pundak kiri Dimas.“Selamat menikmati rujak Anda, Pak.” Daffin tertawa mendengar ucapan Dimas dan ia segera turun dari mobil. Dimas segera melajukan mobil meninggalkan kediaman Daffin. “Semoga ini menjadi yang pertama dan terakhir dia bertingkah aneh dan menyebalkan seperti itu,” gerutu Dimas. “Ah, aku ingin berendam di air hangat untuk mengembalikan kewarasan otakku.”Mari kita kembali pada kejadian sebelum mereka tiba di rumah Daffin.Dimas yang saat itu terkejut melihat apa yang diinginkan Daffin, seketika membulatkan mata dan kembali bertanya pada pria itu apakah dia b
Berita kehamilan Dita juga menjadi kabar bahagia untuk Neira. Gadis kecil itu tidak mau lepas dari Dita. Sepanjang jalan pulang, ia terus menempel pada sang mama. Daffin tidak kembali lagi ke kantor setelah dari rumah sakit. Ia langsung kembali ke rumah bersama Dita. Ia ingin memastikan kalau istrinya benar-benar istirahat dengan baik.“Aku udah nggak kenapa-kenapa, Mas.” Dita meyakinkan suaminya saat pria itu mengantarnya ke kamar. Setelah acara resepsi pernikahan mereka, pasangan itu langsung menempati rumah baru mereka. “Aku nggak mau sampai kamu pingsan lagi karena kecapean, Sayang.” Daffin membantu Dita untuk duduk di atas tempat tidur. “Mama ….” Neira berlari menghampiri mamanya. Neira mau bobok siang sama Mama dan Dede bayi,” rengek Neira yang sudah duduk di pangkuan sang papa.“Iya, Sayang, boleh. Sini bobo sama mama.” Dita menepuk sisi tempat tidur di sampingnya. “Yey.” Neira segera berpindah kegirangan. “Neira udah nggak sabar pengen ketemu sama dede bayi,” ucap Neira s
Bimo dan Nadiya tidak pernah menyangka jika suami Dita adalah Daffin Bagaskara. Bimo melihat dengan sangat jelas bagaimana Daffin menunjukkan kepemilikannya atas istrinya. Ia tidak akan bisa bersaing dengan Daffin. Ia sudah kalah dalam segi apa pun. Di mata Lastri, Tuhan sedang membalas semua penderitaan Dita selama ini dengan kebahagiaan dan cinta yang berlimpah dari suami dan keluarganya. Tuhan sudah membayar tangis kekecewaan itu dengan tawa dan ketulusan Daffin. Tanpa terasa, Lastri meneteskan air mata saat melihat pasangan pengantin. Di depan singgasana mereka. Semoga kebahagiaan ini akan selalu menaungi kamu, Ta. Jangan ada lagi air mata kesedihan yang kamu teteskan.Lastri mengusap sudut matanya. Dia adalah saksi dari perjuangan sahabatnya. Mereka yang tidak mengenal Dita mungkin hanya melihat betapa beruntungnya wanita itu bisa menjadi istri Daffin, mereka tidak pernah tahu bagaimana wanita itu selama ini berkubang dalam luka dan berteman dengan kekecewaan. ***Sang m