Daffin kembali ke kamarnya dan merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia menatap langit-langit kamar dan mengusap wajahnya. Jika Dita tetap dengan pendiriannya dan memilih untuk sendiri, maka ia juga akan tetap memperjuangkan perasaannya. Ia akan mencintai dan memperjuangkan wanita itu dengan caranya sendiri. Pukul tiga sore, Neira bangun dari tidurnya dan Dita menemani anak itu untuk berenang. Daffin sudah mengirim pesan pada wanita itu jika ia tidak bisa ikut menemani Neira berenang. Dita tidak mempermasalahkan. Dita justru bersyukur karena ia tidak akan merasa canggung. Menjelang makan malam, Barulah Daffin datang ke kamar putrinya dan mengajak dua wanita beda usia itu untuk makan malam di luar hotel. Tidak disangka, di sana mereka bertemu dengan Anggita. Tanpa permisi, wanita itu duduk bergabung di meja Daffin, ikut makan malam bersama mereka. Bukan Dita yang merasa risi, tetapi Daffin dan Neira yang terlihat tidak nyaman. Anak itu seketika diam dan berhenti berceloteh. Anggita te
Daffin menginjak pedal gas dan meninggalkan Anggita begitu saja. Ia tidak peduli dengan teriakan wanita itu atau merasa khawatir karena meninggalkan wanita itu sendiri di jalan yang sepi seperti itu. Bukankah wanita itu membawa ponsel dan bisa menghubungi sopir pribadinya untuk menjemputnya di sana. Daffin juga tidak peduli jika wanita itu kan mengadu pada papanya.Perasaan Daffin sedang tidak baik-baik saja saat ini. Ia sangat mengkhawatirkan Dita dan ingin cepat menemui wanita itu. Daffin sangat yakin dengan pikirannya apa yang telah dilakukan oleh Anggita pada Dita. Daffin segera menghampiri kamar Dita dan Neira saat lift berhenti di lantai kamar mereka. “Dita ka—”“Papa … Papa sudah datang?” Suara Neira memangkas ucapan Daffin yang ingin bertanya pada Dita. Pria itu kemudian membawa putrinya ke dalam gendongan.“Kenapa Princes papa belum tidur?” tanya Daffin yang kemudian mencium gemas pipi putrinya. “Nela nungguin Papa. Mau main dulu sama Papa dan Mama,” adu anak itu. Daffin
Pertemuannya dengan Bimo dan Alya, adik Bimo di Bandung, membuat Dita menolak saat beberapa kali Daffin mengajaknya untuk pergi kembali ke Kota Kembang tersebut. Empat bulan sudah berlalu, tetapi Dita masih saja enggan untuk pergi ke sana. Dita ingat,kalau itu adalah kota kelahiran Nadiya dan Keluarga Bimo juga ada yang tinggal di sana. Pertemuannya dengan Alya saat itu juga karena remaja putri itu sedang liburan lebaran di tempat keluarganya. Daffin tidak ingin memaksa, karena Dita juga pasti mempunyai alasan sendiri. Lagi pula, Neira juga masih bisa diajak berlibur ke tempat lain selain ke Kota Kembang. Hari itu, saat sedang mengantar Silvia belanja. Dita tidak sengaja bertemu dengan Bimo di salah satu mall. Pria itu terlihat mengenakan jaket sebuah driver online. Sepertinya dia sedang membeli pesanan pelanggan. Ingin menghindar, tetapi pria itu lebih dulu melihat Dita.“Kamu apa kabar, Ta?” tanya pria itu. Kebetulan saat itu juga Dita sedang menunggu Silvia yang sedang ke toi
“Mama ….” Neira berlari menghampiri Dita setelah pintu gerbang sekolah dibuka. “Tadi ada teman baru di kelas, namanya Gibran,” adu Neira pada Dita. “Oh, ya?” Dita menuntun Neira menuju mobil yang sudah menunggu di dekat jalan. “Iya, Ma. Tapi, Gibran sombong. Dia gak suka kalau Neira ajak ngobrol,” adu Neira lagi. Anak itu sudah duduk di samping Dita. “Mungkin Gibran masih malu, Sayang. Besok, Neira ajak ngobrol lagi aja Ghibrannya, ya.” Dita tersenyum lembut dan mengusap lembut kepala Neira. Tak terasa sudah hampir tiga tahun Dita merawat anak itu. Sekarang, Neira sudah berusia lima tahun lebih. Empat bulan lagi, anak itu sudah menginjak usia enam tahun. Neira sekarang sudah sekolah di taman kanak-kanak. “Kita mau ke kantor Papa hari ini, Ma?” tanya Neira.“Iya, Sayang. Kita antar bekal makan siang Papa dulu, ya.”"Neira boleh main di kantor Papa, Nggak? Mau makan siang sama Papa di sana,” rengek anak itu sambil mengerjapkan matanya. “Kita tanya Papa dulu, ya,” balas Dita dan me
“Pantas saja anak itu dingin sekali. Ternyata dia anakmu," ucap Daffin sembari mencebikkan bibir. "Apa maksudmu?" tanya pria yang duduk berhadapan dengan Daffin. Jas yang tadi ia kenakan sudah lepas dari tubuhnya dan tersampir di sandaran kursi yang ia duduki. "Kenapa juga dia harus mirip denganmu? Kenapa tidak mirip dengan Zahra saja. Setidaknya dia lebih ramah," sanggah Daffin lagi yang mendapat tatapan tajam dari pria itu. "Memangnya kenapa kalau mirip denganku? Dia 'kan anakku." "Mas, sudah. Kalian ini kalau ketemu nggak pernah akur, deh." Wanita yang duduk di samping pria itu menengahi perdebatan dua pria dewasa tersebut. Wanita bernama Zahra tersebut beralih pada Dita. "Maaf, ya, Dita. Kalau telinga kamu nanti merasa panas mendengar dan melihat tingkah kekanak-kanakan mereka."Dita hanya mengangguk dan tersenyum pada wanita itu. "Calon suami kamu ini sampai sekarang nggak terima kalau aku lebih unggul dari dia," ucap pria itu. "Ck. Kepedeanmu rupanya masih sama." Daffin te
Hari yang ditunggu Neira akhirnya tiba juga. Anak itu menunggu dengan tidak sabar kedatangan keluarga Elang. Sejak semalam, ia sudah menanyakan jam berapa keluarga itu akan datang. “Neira sudah siapkan mainan yang banyak buat main sama Ghibran, Pa,” adu Neira saat Daffin masuk ke kamarnya. “Oh, ya? Pasti Ghibran senang nih, main sama kamu.”Daffin kemudian mengangkat tubuh putrinya ke dalam gendongan. “Cantik sekali anak papa ini,” pujinya yang berhasil membuat Neira tersipu. Silvia dan Haryanto yang mendapat kabar jika Elang dan Zahra akan berkunjung ke rumah mereka, tentu merasa sangat senang. Sudah lama mereka tidak bertemu dengan dua sahabat putranya tersebut. Dulu, saat masih dibangku kuliah, kedua orang itu sering sekali datang ke rumah mereka. Sebagai anak rantau, Silvia dan Haryanto sangat menyambut hangat keduanya. “Ghibran ….” Neira berlari ke arah mobil Elang yang berhenti di depan rumah mereka. Namun, langkah gadis kecil itu terhenti saat anak laki-laki yang berhenti
“Mama Dita ….”Sebuah senyum mengembang di kedua sudut bibir Dita bersamaan dengan air mata yang semakin deras. Anak perempuan itu menghampiri Dita yang berdiri di ambang pintu. “Mama ….” Mata anak itu sudah berkaca-kaca. Dita jongkok dan memeluk anak itu. Antara terharu dan kaget telah melebur menjadi satu. Itu adalah pertama kalinya Devina memanggil dengan sebutan mama padanya. Apa itu artinya anak itu tahu jika Dita adalah mama kandungnya?Dita kemudian mengajak keduanya untuk duduk di kursi yang ada di teras rumah. “Teh Dita apa kabar?” tanya gadis yang dulu sangat dekat dengan Dita. Ya, dia adalah Alya, adik mantan suaminya. “Alhamdulillah, baik,” jawab Dita. Manik matanya tidak lepas dari anak perempuan berusia 8 tahun yang duduk di sampingnya.“Maaf kami datang mendadak dan nggak kasih kabar dulu sama Teh Dita. Alya nggak tahu harus hubungi siapa,” imbuh gadis yang duduk di samping Devina. “Kamu tahu alamat ini dari siapa?” tanya Dita pada Alya. “Dari A Bimo, Teh. A Bi
“Mama Nadiya sama Nenek sudah pulang, ya, Bi?” tanya Devina ditengah perjalanan mereka. “Mamah pasti marah sama kita,” imbuh anak itu. Ia kemudian menyandarkan kepalanya di punggung Alya. “Vina tenang aja. Bilang aja kalau kita habis main ke rumah teman bibi.” Alya meyakinkan keponakannya jika semua akan baik-baik saja. Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, mereka tiba di sebuah rumah sederhana berpagar besi. Alya langsung memasukkan motornya ke dalam teras. “Kalian dari mana saja?” Pertanyaan itu terlontar saat pintu rumah terbuka dan Nadiya adalah orang yang bertanya tersebut. “Habis dari rumah temanku, Teh. Tadi aku ajakin Devina karena kasihan kalau dia nunggu di rumah sendiri. A Bimo kan harus kerja,” jawab Alya. Sedangkan Devina hanya diam. “Benar, Vina?” tanya Nadiya. Wanita itu menghampiri Devina dan merengkuh pundak anak itu. “Kamu nggak lagi bohongin mamah, ‘kan? Vina tahu kalau Vina bohong, mamah akan sedih.”Devina mengangguk pelan. Tidak berani menjaw
Tidak selamanya manusia akan berkubang terus dalam kesedihan. Pasti akan ada masanya Tuhan memberikan tawa setelah tangis. Memang tidak berbalas seketika itu juga, tetapi pasti akan ada masanya untuk bahagia. Semua hal pahit sudah Dita lalui dan sekarang ia sedang memanen buah dari kesabaran dan keikhlasannya selama ini. Bukan berarti kesedihan dan masalah tidak akan menghampiri lagi, tetapi untuk saat ini, Dita ingin menikmati hadiah terindah tersebut.Mempunyai suami yang begitu mencintainya, mertua yang sangat menyayanginya dan dua buah hati dari cintanya bersama Daffin. Devina pun telah tumbuh menjadi gadis remaja yang pintar dan berprestasi di sekolahnya saat ini. Dia berhasil membuktikan janjinya pada papa sambungnya tersebut jika dia memang layak masuk dalam keluarga Daffin. Walaupun, Daffin tidak pernah menuntut putri sambungnya tersebut, tetapi Devina ingin membanggakan sang mama dan membuat dirinya berarti untuk orang-orang di sekitarnya. Neira juga tumbuh menjadi gadis y
Terkadang sebagai orang tua, kita tidak bisa memaksakan kehendak kita pada anak kita. Terkadang menuntut mereka untuk mendengarkan kita, tetapi kita tidak berkaca, apakah kita juga bisa mendengarkan mereka? Menerima pemikiran mereka dan meluruskan kesalahan tanpa ego sebagai kepalanya. Devina sedang melakukan protes atas sikap Nadiya yang mulai berbeda padanya. Dan juga Bimo yang semakin sibuk bekerja dan tidak memberikan perhatian seperti dulu. Nadiya yang ikut bekerja, terkadang pulang dengan keadaan lelah dan lebih sering marah-marah. Devina merasa apa yang dia lakukan selalu salah di mata ibu sambungnya itu. Dia sudah berusaha sebisa mungkin membantu, tetapi tidak dianggap sama sekali. "Vina mau tinggal sana nenek aja, Yah." Devina pernah meminta izin ayahnya untuk kembali tinggal dengan sang nenek di desa ayahnya, tetapi dengan cepat Nadiya menolak. "Kamu mau bikin nama mama semakin jelek di mata nenekmu? Dia akan semakin berpikir kalau mama ini gak becus ngurus kamu!" sentak
Nadiya bisa menangkap sorot ketakutan di mata Dita. Wajah Dita terlihat pucat. "Ini hanya bagian dari masa lalu istriku dan tidak ada hubungannya dengan saat ini. Istriku juga tidak bertanggung jawab atas perasaanmu saat ini, Bimo!" tegas Daffin. Dita hanya diam menatap wajah suaminya. Meskipun pria itu mengulas senyum, tak lantas membuat Dita tenang. "Mas …." Dita tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Foto itu kembali mengingatkan dirinya akan sebuah kenangan buruk di masa lalu. "Itu hanya sebuah foto, Sayang. Bisa saja itu editan," imbuh Daffin. Ia menggenggam erat tangan sang istri. "Itu adalah foto asli, Daffin. Kami mendapatkan foto itu dari sumber yang akurat." Bimo menanggapi ucapan Daffin. "Lalu? Kalau foto itu asli, apa yang akan kamu lakukan pada istriku? Menuntut tanggung jawab atas sebuah pengkhianatan?" sahut Daffin. Ia memicing, menatap tegas pria yang duduk di depannya itu. "Bimo, Bimo. Bukankah ini sangat lucu? Kalian mempersalahkan kejadian di masa lalu istriku.
Waktu terus berputar tanpa ada satu manusia pun yang bisa menghentikannya. Semua sudah berjalan sesuai dengan apa yang sudah digariskan oleh sang pencipta kehidupan. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya dengan kehidupan kita. Kedekatan Dita dan Nadiya, istri mantan suaminya, kini jadi merenggang karena perdebatan lewat chat antara keduanya. Semua bermula saat Nadiya mulai mengeluhkan kelakuan Devina yang terkesan susah di atur. Semenjak masuk SMA, Devina sudah ikut menetap tinggal bersama Bimo dan Nadiya di Bandung. Perdebatan itu mulai memanas manakala Nadiya mulai mengatakan kalimat yang tidak pantas yang terkesan menyalahkan Dita dan menyamakan jika sifat Devina itu menurun dari sifat sang mama."Dia udah keterlaluan, Mas. Kayaknya kita harus susul Devina, deh, Mas." Dita sedang mengadukan perihal konflik dirinya dengan Nadiya. "Minggu ini kita ke sana, ya, Sayang. Kita bicara baik-baik sama Bimo dan Nadiya. Biar Devina tinggal sama kita saja. Nanti aku minta D
Dokter segera melakukan penanganan untuk membuat bayi yang baru dilahirkan itu menangis. “Mas, anak kita ….”“Dokter sedang melakukan penanganan, Sayang. Anak kita pasti akan baik-baik saja.” Daffin menenangkan istrinya walaupun ia sendiri sedang takut. Setelah beberapa menit, suara tangis bayi memenuhi ruang bersalin Dita. Daffin dan Dita segera mengucap syukur. Ia mengecup lama kening sang istri sambil berbisik. "Alhamdulillah. Terima kasih, Sayang." Dita tak kuasa menahan rasa haru atas kelahiran putra mereka. Rasa sakit yang dirasa seakan menguar begitu saja. Sementara itu, di luar ruangan bersalin. Beberapa orang sedang menunggu dengan cemas salah satu keluarga mereka yang sedang berjuang di dalam sana. Alfin Bagaskara, adalah nama yang diberikan Daffin untuk bayi mungil berkulit merah dengan hidung mancung dan rambut tebal tersebut. Dita dan bayinya sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Alhamdulillah, tidak ada hal yang mengkhawatirkan pada bayi mereka. "Pa, kenapa dede
Pertemuan Nadiya dan Dita beberapa hari lalu membuat Alya datang ke rumah wanita itu pula. Beberapa hari lalu, Nadiya datang karena ingin meminta bantuan Dita untuk membujuk agar Devina mau tinggal bersamanya. Nadia meminta bantuan agar Dita mau membujuk ibu mertuanya supaya mengizinkan Devina tinggal di Bandung bersamanya dan Bimo. “Aku nggak tahu kenapa ibunya A Bimo kekeuh nggak kasih izin Devina buat tinggal sama kami, Dita. Aku capek kalau harus dibilang ibu sambung yang nggak bertanggung jawab, sama orang-orang desa. Setiap kali aku datang nengokin ibu dan Devina ke desa, mereka seolah menatapku dengan kebencian. Aku nggak tahu omongan apa yang udah mereka dengar. Ibu juga masih selalu banding-bandingin aku sama kamu. Katanya semenjak A Bimo nikah sama aku, A Bimo jarang banget kasih uang bulanan buat ibu. Hanya kirim untuk Devina saja. Aku harus gimana, Dita? Aku mau bawa Devina ikut kami, tapi Ibu nggak izinin. Devina ikut dengan Ibu pun, malah jadi omongan.”Dita tidak membe
Berbeda dengan Daffin yang sedang mengembangkan senyumnya saat turun dari mobil setelah tiba di rumah. Senyum itu justru tidak terlihat sama sekali di wajah Dimas. “Tidak usah mengantarku sampai ke dalam, Dim. Kau langsung pulang saja. Istirahatlah,” ucap Daffin saat Dimas hendak turun membuka pintu mobil untuk pria itu. “Kau sudah bekerja keras hari ini,” sambungnya diiringi dengan seringai dan tepukan pelan di pundak kiri Dimas.“Selamat menikmati rujak Anda, Pak.” Daffin tertawa mendengar ucapan Dimas dan ia segera turun dari mobil. Dimas segera melajukan mobil meninggalkan kediaman Daffin. “Semoga ini menjadi yang pertama dan terakhir dia bertingkah aneh dan menyebalkan seperti itu,” gerutu Dimas. “Ah, aku ingin berendam di air hangat untuk mengembalikan kewarasan otakku.”Mari kita kembali pada kejadian sebelum mereka tiba di rumah Daffin.Dimas yang saat itu terkejut melihat apa yang diinginkan Daffin, seketika membulatkan mata dan kembali bertanya pada pria itu apakah dia b
Berita kehamilan Dita juga menjadi kabar bahagia untuk Neira. Gadis kecil itu tidak mau lepas dari Dita. Sepanjang jalan pulang, ia terus menempel pada sang mama. Daffin tidak kembali lagi ke kantor setelah dari rumah sakit. Ia langsung kembali ke rumah bersama Dita. Ia ingin memastikan kalau istrinya benar-benar istirahat dengan baik.“Aku udah nggak kenapa-kenapa, Mas.” Dita meyakinkan suaminya saat pria itu mengantarnya ke kamar. Setelah acara resepsi pernikahan mereka, pasangan itu langsung menempati rumah baru mereka. “Aku nggak mau sampai kamu pingsan lagi karena kecapean, Sayang.” Daffin membantu Dita untuk duduk di atas tempat tidur. “Mama ….” Neira berlari menghampiri mamanya. Neira mau bobok siang sama Mama dan Dede bayi,” rengek Neira yang sudah duduk di pangkuan sang papa.“Iya, Sayang, boleh. Sini bobo sama mama.” Dita menepuk sisi tempat tidur di sampingnya. “Yey.” Neira segera berpindah kegirangan. “Neira udah nggak sabar pengen ketemu sama dede bayi,” ucap Neira s
Bimo dan Nadiya tidak pernah menyangka jika suami Dita adalah Daffin Bagaskara. Bimo melihat dengan sangat jelas bagaimana Daffin menunjukkan kepemilikannya atas istrinya. Ia tidak akan bisa bersaing dengan Daffin. Ia sudah kalah dalam segi apa pun. Di mata Lastri, Tuhan sedang membalas semua penderitaan Dita selama ini dengan kebahagiaan dan cinta yang berlimpah dari suami dan keluarganya. Tuhan sudah membayar tangis kekecewaan itu dengan tawa dan ketulusan Daffin. Tanpa terasa, Lastri meneteskan air mata saat melihat pasangan pengantin. Di depan singgasana mereka. Semoga kebahagiaan ini akan selalu menaungi kamu, Ta. Jangan ada lagi air mata kesedihan yang kamu teteskan.Lastri mengusap sudut matanya. Dia adalah saksi dari perjuangan sahabatnya. Mereka yang tidak mengenal Dita mungkin hanya melihat betapa beruntungnya wanita itu bisa menjadi istri Daffin, mereka tidak pernah tahu bagaimana wanita itu selama ini berkubang dalam luka dan berteman dengan kekecewaan. ***Sang m