Dita diam mematung mendengar ucapan ibu mertuanya. Wanita paruh baya itu tersenyum puas mendengar keputusan putranya.
Cairan bening sudah menggenang di pelupuk mata. Sekali kedip saja, maka kristal bening itu akan jatuh tanpa izin.
Dita menatap orang-orang yang ada di sana, Bimo bahkan tidak mau mengangkat kepala untuk melihatnya.
"Lihat aku, A. Apa kamu tidak bisa membiarkan aku membawa putriku? Aku yakin, kamu masih punya hati, A," ucap Dita cukup pelan. "Lihat aku. Kenapa kamu tidak berani menatapku?" lanjutanya.
"Cukup, Teh. Apa kamu tidak mendengar ucapan A Bimo yang terdengar cukup jelas? Lagi pula, aku masih bisa mengurus Devina dan membesarkannya. Jadi, kamu enggak udah khawatir. Bukankah bagus kalau Devina bersama kami? Kamu jadi bebas mau melakukan apa pun ." Adalah Nadiya yang menyangga ucapan Dita. Wanita itu tersenyum dan menatap Dita dengan tatapan yang meremehkan. Tidak ada lagi wajah ramah seperti yang ditunjukkan wanita itu saat pertama kali Dita bertemu dengannya.
Hati Dita semakin sakit manakala Bimo hanya diam. Akhirnya pertahanannya runtuh juga. Setetes demi setetes kristal bening itu jatuh membasahi pipinya. Sekuat mungkin Dita menghirup udara untuk memberi asupan oksigen, karena sesak yang semakin mengimpit.
Lidah terasa kelu untuk kembali mengucapkan sebuah kalimat sanggahan. Dita menggigit bibir bawahnya untuk menahan suara tangis yang ia tahan sekuat mungkin.
"Ingat Dita, kamu sendiri yang bilang tidak akan membuat pilihan untuk Bimo," ucap ibu mertuanya. "Apa sekarang kamu berubah pikiran dan kamu bersedia berbagi suami dengan Nadiya?" sambung wanita paruh baya itu.
Dita menunduk. Bukan karena bimbang, tetapi wanita itu tengah menetralkan perasaan dan mengatur napas untuk memberi sanggahan atas ucapan ibu mertuanya yang terdengar meremehkan.
Dita menyeka air matanya. Wanita itu kemudian mendongak, menatap ibu mertuanya. "Tidak Bu. Saya tidak akan mengubah keputusan saya. Tidak ada gunanya mempertahankan seseorang yang akan menjadi penyakit untuk diri kita sendiri. Memang tidak mudah untuk melepaskan, tetapi bukan berarti tidak bisa. Bukankah barang bekas yang sudah tidak berguna lagi memang harus kita buang? Apalagi jika sudah menjadi sampah yang tidak bisa didaur ulang lagi. Untuk apa dipertahankan jika hanya akan mengotori."
"Kamu—"
"Silakan lakukan pembelaan, Nadiya. Kamu memang istri idaman, akan melakukan apa pun untuk membela laki-laki yang kamu cintai ini, bukan?" tukas Dita. "Ingat, Nadiya. Kamu juga seorang wanita, pun dengan anakmu. Aku tidak perlu menjelaskan, bukan?"
"Ternyata kalian memang lebih baik bercerai. Saya tidak tahu bagaimana jadinya jika kalian memilih hidup bersama. Ternyata sekarang kamu sudah menunjukkan sifat aslimu dengan kata-katamu itu, Dita," ucap Mirna yang kini menatap tajam wanita di depannya.
"Sikap saya tergantung bagaimana kalian memperlakukan saya." Dita membalas tatapan tajam ibu mertuanya dengan senyum yang terbit dikedua sudut bibirnya.
"Sudah, Bu, tidak usah dilanjutkan." Bimo menyela sang ibu yang akan membalas ucapan Dita. Pria itu terdengar menghela napas panjang. "Semuanya sudah jelas, Dita. Di hadapan kedua orang tuaku, maka saat ini juga aku menjatuhkan talak padamu, Dita Utami binti Muktar. Mulai saat ini kamu bukan istriku lagi."
Dita tersenyum bersamaan dengan setetes air mata yang kembali jatuh di pipi wanita itu. Perpisahan ini memang atas keinginan dirinya sendiri, tapi tetap saja rasa menyakitkan itu akan tetap ada.
"Terima kasih," ucap Dita dengan lirih dan senyum getir di wajahnya.
Semua sudah berakhir. Benar-benar sudah berakhir. Bahtera indah yang ia bangun dan pertahankan selama ini, ternyata harus karam dan tenggelam di tengah samudera. Sekarang, Dita harus berenang dan menggapai apa pun yang bisa membawanya ke tepi. Ia tidak ingin diam saja di tengah lautan lepas yang akan menenggelamkannya.
Dengan hati yang penuh luka, Dita berjalan ke luar dari rumah Mirna. Tujua wanita itu sekarang adalah menemui Devina, putrinya. Setidaknya Bimo memberikan izin untuk bertemu dan menjelaskan tentang siapa dirinya pada putri itu.
"Tante?"
Devina yang tengah bermain bersama temannya di halaman rumah, seketika mendongak saat melihat seseorang berdiri di sampingnya.
"Hai."
Hanya kalimat itu yang bisa Dita ucapkan. Wanita itu mengigit bibir bawahnya yang bergetar. Ia langsung bersimpu di tanah dan memeluk tubuh mungil Devina. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya tumpah. Sekuat mungkin wanita itu menahan isaknya agar tidak terdengar oleh anak kecil itu.
Anak berusia 5 tahun itu hanya diam saat wanita yang ia kenal sebagai teman ayahnya itu memeluknya dengan tiba-tiba. Devina tidak menolak ataupun berontak.
"Maafkan Tente, Sayang." Dita melepas pelukannya dan menyeka air mata di pipinya. Devina hanya menatap dengan heran. "Devina mau ikut jalan-jalan sama Tante, enggak? Kita beli es krim dan semua yang Devina mau," ajak Dita.
"Benar, Tente?" Wajah Devina seketika berbinar bahagia. Namun, itu hanya sementara. Wajah anak itu berubah murung. "Tapi...." Manik indah Devina mentap ke arah lain di belakang Dita. Di mana seseorang yang sangat dia takuti sedang berdiri di belakang wanita itu.
“Devina mandi dan siap-siap dulu, ya. Ayah mau ngobrol dulu sama Tante Ami,” ucap Bimo. Sedangkan Devina cukup terkejut mendengar ucapan ayahnya. Ia pikir Bimo akan marah dan tidak mengizinkannya pergi dengan Dita. “Iya, Ayah.” Devina segera berlari menuju rumah dengan wajah senang. Setelah kepergian Devina, Bimo mengajak Dita untuk duduk di kursi yang ada di teras rumahnya.“Aku harap kamu tidak memberitahu Devina sekarang jika kamu adalah ibu kandungnya.” Bimo langsung melontarkan permintaan itu tanpa basa-basi. “Maksud kamu apa, A? Kenapa?” tanya Dita. Ia membulatkan mata, tidak percaya dengan apa yang diucapkan pria yang duduk di depannya. “Aku tidak mau kalau sampai Vina kecewa, Dita. Bukankah kamu juga akan pergi lagi meninggalkan dia?” “Kamu benar-benar egois!” tukas Dita. “Aku melakukan ini untuk kebaikan Vina. Akan sangat menyakitkan untuknya kalau tiba-tiba kamu datang dan mengaku sebagai ibu kandungnya, tetapi kamu juga akan meninggalkannya lagi. Bukankah itu jauh le
“Maksudnya tante,” ujar Dita meralat ucapannya tadi. Wanita itu tersenyum sembari mencubit gemas pipi Devina. Sementara itu, Bimo menghela napas lega. Ia pikir Dita akan mengatakan kebenarannya sekarang. Namun tetap saja, Bimo khawatir Dita tidak bisa menahan diri dan akan mengatakan semuanya saat ia tidak ada nanti. “Kalau sudah siap, kita jalan sekarang, ya, Sayang,” ajak wanita itu pada Devina. “Ayo Tante,” balas Devina dengan wajah gembira. “Tunggu!” sergah Bimo dan mendapat tatapan tidak mengerti dari Dita. “Kalian tunggu di sini sebentar, aku akan meminta Alya untuk menemani kalian jalan-jalan,” sambung pria itu sembari melangkah pergi meninggalkan ibu dan anak tersebut. Dita hanya bisa menghela napas berat mendengar keputusan sepihak mantan suaminya tersebut. Sebelah sudut bibir wanita itu terangkat, sepertinya ia tahu maksud Bim, kenapa adik perempuannya itu harus ikut bersama dengan Dita dan Devina. Bimo sepertinya sangat takut jika Dita akan mengatakan kebenarannya pada
Dita hanya menghela napas berat saat mendengar Alya bercerita tentang pertemuan pertama antara Nadiya dan Bimo."Seandainya waktu itu Teh Rina enggak minta A Bimo buat antar pulang Teh Nadiya, mungkin hubungan mereka tidak akan berlanjut, dan seandainya saja Alya enggak kasih nomor A Bimo sama Teh Nadiya saat dia minta waktu itu, mungkin mereka tidak akan saling berkomunikasi," sesal Alya."Kamu tidak sepenuhnya salah, Alya Seandainya A Bimo bisa menjaga jarak dan membatasi diri, mungkin hubungan mereka tidak akan sejauh itu." Dita menenangkan Alya. Wanita itu menatap lurus pada pohon bunga di halaman depan rumah Lastri. "Yang lebih pantas untuk menjelaskan tentang keadaan ini adalah A Bimo, Alya. Jadi, kamu tidak perlu merasa bersalah."Percakapan kedua wanita itu terhenti saat Lastri ke luar bersama suaminya. "Sudah siap? Kita berangkat sekarang?" tanya wanita itu."Iya, sekarang aja, biar enggak kemalaman pulangnya," jawab Dita."Ya udah, ayo." Lastri dan Dedi berjalan lebih dulu m
Dita menghela napas lega saat berhasil menghindari Tomi. Ia sangat berterima kasih pada Dedi karena cukup peka dan memahami situasi. Dita takut jika Tomi akan membongkar siapa dirinya yang sebenarnya. Devina bersama mereka dan dia tidak khawatir akan hal itu. Tomi adalah salah satu teman mereka. Pria itu jelas mengenali Dita, karena mereka berteman di media sosial milik Dita.*Dita menatap pantulan dirinya pada cermin, lalu tersenyum lebar. Sekedar memberi afirmasi positif agar mood-nya baik. Katanya suasana hati di pagi hari dapat menentukan mood sepanjang hari."Mari lupakan semuanya sebentar dan kita bersenang-senang lagi dengan Vina. Ok?" tanya Dita kepada diri sendiri. "Kita bisa! Semangat!""Cie, yang mau jalan-jalan," seloroh Lastri mengalihkan atensi Dita."Kamu bikin kaget saja, Las. Kalau mau muncul bilang, dong. Mbok kasih kode gitu, biar aku tahu." Dita berkata dengan wajah cemberut.Lastri menahan tawa melihat tingkah laku Dita, terlihat imut. "Iya deh, iya. Aku minta ma
"A Bimo!""Ayah!"seru Serentak Dita dan Devina. Cukup kaget karena tidak menyangka akan bertemu Bimo di sana.'Ih, menyebalkan! Bukankah dia sudah setuju untuk kasih kesempatan aku menghabiskan waktu dengan Vina? Dasar pembohong!' Dita mengutuki Bimo di dalam hatinya. Tentu saja ia tidak tahu jika semua itu adalah ulah Nadiya."Ah, siapa ini?" seru Nadiya dengan wajah kaget yang sengaja dibuat-buat. "Kita ketemu begini, takdir bukan, sih? Karena sudah ketemu, bagaimana kalau kita belanja bersama? Terdengar menyenangkan bukan?"“Tapi….” Bimo melirik ke arah Dita dengan terang-terangan. Ia sengaja tidak menyelesaikan perkataannya. Seolah-olah meminta izin kepada mantan istrinya.Tidak pantas rasanya jika ia datang dan menginterupsi kesenangan sementara yang diberikannya kepada Dita.Sementara itu, Dita segera membuang pandangan. Berpura-pura tidak melihat kode dari Bimo. Dalam hati ia berharap jika mantan suaminya peka terhadap sikapnya dan segera mengajak Nadiya pergi dari sana."Hm,
Mengabaikan Bimo, Dedi memilih untuk pergi ke tempat lain. Pria itu malas jika harus duduk bersama dengan Bimo.Di sisi lain, Nadiya memilih barang yang berbeda sambil terus mengawasi gerak-gerik Dita. Ia akan mengambil kesempatan untuk membuat wanita itu sakit hati.Saat ia melihat Dita memilih dan akan membawakan Devina sebuah baju, Nadiya pun melakukan hal serupa. Lalu, dengan cepat menghampiri gadis kecil itu."Vina, lihat deh, baju ini cocok untuk kamu–""Wah, kamu cocok sekali pakai ini, Vina!" seru Nadiya menyela perkataan Dita dengan suara yang sedikit keras.Devina terlihat senang. Baju yang dipegang oleh Nadiya adalah sebuah gaun yang memang telah lama diidamkan oleh gadis kecil itu."Wah, Mama ingat kalau aku mau baju yang seperti ini? Makasih, Ma," ujar Devina memeluk tubuh Nadiya.Dita yang masih mematung di belakang Devina menggenggam pakaian yang dibawanya dengan erat. Tentu saja ia merasa kesal. Harusnya yang berada di posisi itu adalah dirinya, bukan Nadiya.Beberapa
Beruntung Lastri dan Alya datang tepat waktu.“Vina liat mainannya sama Tante Lastri dan Tante Alya dulu, ya.” Dita mengulas senyum hangat pada putrinya dan mendapat anggukan kecil dari anak itu.“Kita lihat boneka yang di sana, yuk, Vina,” ajak Alya yang segera memahami situasi. Ketiga orang itu pergi meninggalkan Dita dan Bimo.“Kenapa kamu melanggar janji kamu, A. Bukankah kamu sudah mengizinkan Devina untuk menghabiskan waktu bersamaku hari ini? Lantas kenapa kamu mengusik kesenangan yang baru kami lewati beberapa jam ini?” Dita menatap kesal pada mantan suaminya tersebut.“Aku tidak tahu kalau kalian juga ada di sini. Aku hanya mengantar Nadiya yang ingin belanja keperluan Nada di sini,” elak Bimo.“Lalu kenapa kamu tidak membawa istrimu ke tempat lain dan malah membiarkan dia mengikuti kami?”“Kamu melihat sendiri bukan, bagaimana kerasnya Nadiya?”“Bukankah seharusnya sebagai suami, kamu bisa membujuk istrimu?” Dita mendesis kesal. “Oke, kita abaikan tentang istrimu yang terus
Bimo hanya bisa menghela napas pasrah dengan segala kekesalan yang sedang ia rasankan. Kedua wanita itu sama -sama keras kepala. Tidak. Setahu Bimo, Dita dulu bukanlah wanita seperti itu. Dita dulu adalah istri yang sanagat penurut dan patuh padanya. Ah, kenapa ia jadi mengenang masa lalu. Yang jelas, Bimo harus mencegah dua wanita itu bertemu lagi atau mereka akan membuat keributan dan mengundang perhatian para mengunjung yang lain.“Tante makasih, ya, udah beliin Vina ini,” ucap Devina sembari menujuk keranjang yang tengah ia dorong.“Sama-sama, Sayang. tante, kan, sudah janji sama kamu kalau hari ini Tante akan belikan apa pun yang Vina mau.” Dita menghentikan langkahnya dan wanita jongkok di lantai untuk mengimbangi tinggi Devina. “Besok tante harus pulang ke Malang dan tente enggak tahu kapan kita bisa ketemu lagi. Jadi, hari ini kita akan menghabiskan waktu bersama, ya,” ucap Dita.“Iya, Tante,” balas Devina dengan senyum yang mengembang dikedua sudut bibir mungilnya. Dita seg
Tidak selamanya manusia akan berkubang terus dalam kesedihan. Pasti akan ada masanya Tuhan memberikan tawa setelah tangis. Memang tidak berbalas seketika itu juga, tetapi pasti akan ada masanya untuk bahagia. Semua hal pahit sudah Dita lalui dan sekarang ia sedang memanen buah dari kesabaran dan keikhlasannya selama ini. Bukan berarti kesedihan dan masalah tidak akan menghampiri lagi, tetapi untuk saat ini, Dita ingin menikmati hadiah terindah tersebut.Mempunyai suami yang begitu mencintainya, mertua yang sangat menyayanginya dan dua buah hati dari cintanya bersama Daffin. Devina pun telah tumbuh menjadi gadis remaja yang pintar dan berprestasi di sekolahnya saat ini. Dia berhasil membuktikan janjinya pada papa sambungnya tersebut jika dia memang layak masuk dalam keluarga Daffin. Walaupun, Daffin tidak pernah menuntut putri sambungnya tersebut, tetapi Devina ingin membanggakan sang mama dan membuat dirinya berarti untuk orang-orang di sekitarnya. Neira juga tumbuh menjadi gadis y
Terkadang sebagai orang tua, kita tidak bisa memaksakan kehendak kita pada anak kita. Terkadang menuntut mereka untuk mendengarkan kita, tetapi kita tidak berkaca, apakah kita juga bisa mendengarkan mereka? Menerima pemikiran mereka dan meluruskan kesalahan tanpa ego sebagai kepalanya. Devina sedang melakukan protes atas sikap Nadiya yang mulai berbeda padanya. Dan juga Bimo yang semakin sibuk bekerja dan tidak memberikan perhatian seperti dulu. Nadiya yang ikut bekerja, terkadang pulang dengan keadaan lelah dan lebih sering marah-marah. Devina merasa apa yang dia lakukan selalu salah di mata ibu sambungnya itu. Dia sudah berusaha sebisa mungkin membantu, tetapi tidak dianggap sama sekali. "Vina mau tinggal sana nenek aja, Yah." Devina pernah meminta izin ayahnya untuk kembali tinggal dengan sang nenek di desa ayahnya, tetapi dengan cepat Nadiya menolak. "Kamu mau bikin nama mama semakin jelek di mata nenekmu? Dia akan semakin berpikir kalau mama ini gak becus ngurus kamu!" sentak
Nadiya bisa menangkap sorot ketakutan di mata Dita. Wajah Dita terlihat pucat. "Ini hanya bagian dari masa lalu istriku dan tidak ada hubungannya dengan saat ini. Istriku juga tidak bertanggung jawab atas perasaanmu saat ini, Bimo!" tegas Daffin. Dita hanya diam menatap wajah suaminya. Meskipun pria itu mengulas senyum, tak lantas membuat Dita tenang. "Mas …." Dita tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Foto itu kembali mengingatkan dirinya akan sebuah kenangan buruk di masa lalu. "Itu hanya sebuah foto, Sayang. Bisa saja itu editan," imbuh Daffin. Ia menggenggam erat tangan sang istri. "Itu adalah foto asli, Daffin. Kami mendapatkan foto itu dari sumber yang akurat." Bimo menanggapi ucapan Daffin. "Lalu? Kalau foto itu asli, apa yang akan kamu lakukan pada istriku? Menuntut tanggung jawab atas sebuah pengkhianatan?" sahut Daffin. Ia memicing, menatap tegas pria yang duduk di depannya itu. "Bimo, Bimo. Bukankah ini sangat lucu? Kalian mempersalahkan kejadian di masa lalu istriku.
Waktu terus berputar tanpa ada satu manusia pun yang bisa menghentikannya. Semua sudah berjalan sesuai dengan apa yang sudah digariskan oleh sang pencipta kehidupan. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya dengan kehidupan kita. Kedekatan Dita dan Nadiya, istri mantan suaminya, kini jadi merenggang karena perdebatan lewat chat antara keduanya. Semua bermula saat Nadiya mulai mengeluhkan kelakuan Devina yang terkesan susah di atur. Semenjak masuk SMA, Devina sudah ikut menetap tinggal bersama Bimo dan Nadiya di Bandung. Perdebatan itu mulai memanas manakala Nadiya mulai mengatakan kalimat yang tidak pantas yang terkesan menyalahkan Dita dan menyamakan jika sifat Devina itu menurun dari sifat sang mama."Dia udah keterlaluan, Mas. Kayaknya kita harus susul Devina, deh, Mas." Dita sedang mengadukan perihal konflik dirinya dengan Nadiya. "Minggu ini kita ke sana, ya, Sayang. Kita bicara baik-baik sama Bimo dan Nadiya. Biar Devina tinggal sama kita saja. Nanti aku minta D
Dokter segera melakukan penanganan untuk membuat bayi yang baru dilahirkan itu menangis. “Mas, anak kita ….”“Dokter sedang melakukan penanganan, Sayang. Anak kita pasti akan baik-baik saja.” Daffin menenangkan istrinya walaupun ia sendiri sedang takut. Setelah beberapa menit, suara tangis bayi memenuhi ruang bersalin Dita. Daffin dan Dita segera mengucap syukur. Ia mengecup lama kening sang istri sambil berbisik. "Alhamdulillah. Terima kasih, Sayang." Dita tak kuasa menahan rasa haru atas kelahiran putra mereka. Rasa sakit yang dirasa seakan menguar begitu saja. Sementara itu, di luar ruangan bersalin. Beberapa orang sedang menunggu dengan cemas salah satu keluarga mereka yang sedang berjuang di dalam sana. Alfin Bagaskara, adalah nama yang diberikan Daffin untuk bayi mungil berkulit merah dengan hidung mancung dan rambut tebal tersebut. Dita dan bayinya sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Alhamdulillah, tidak ada hal yang mengkhawatirkan pada bayi mereka. "Pa, kenapa dede
Pertemuan Nadiya dan Dita beberapa hari lalu membuat Alya datang ke rumah wanita itu pula. Beberapa hari lalu, Nadiya datang karena ingin meminta bantuan Dita untuk membujuk agar Devina mau tinggal bersamanya. Nadia meminta bantuan agar Dita mau membujuk ibu mertuanya supaya mengizinkan Devina tinggal di Bandung bersamanya dan Bimo. “Aku nggak tahu kenapa ibunya A Bimo kekeuh nggak kasih izin Devina buat tinggal sama kami, Dita. Aku capek kalau harus dibilang ibu sambung yang nggak bertanggung jawab, sama orang-orang desa. Setiap kali aku datang nengokin ibu dan Devina ke desa, mereka seolah menatapku dengan kebencian. Aku nggak tahu omongan apa yang udah mereka dengar. Ibu juga masih selalu banding-bandingin aku sama kamu. Katanya semenjak A Bimo nikah sama aku, A Bimo jarang banget kasih uang bulanan buat ibu. Hanya kirim untuk Devina saja. Aku harus gimana, Dita? Aku mau bawa Devina ikut kami, tapi Ibu nggak izinin. Devina ikut dengan Ibu pun, malah jadi omongan.”Dita tidak membe
Berbeda dengan Daffin yang sedang mengembangkan senyumnya saat turun dari mobil setelah tiba di rumah. Senyum itu justru tidak terlihat sama sekali di wajah Dimas. “Tidak usah mengantarku sampai ke dalam, Dim. Kau langsung pulang saja. Istirahatlah,” ucap Daffin saat Dimas hendak turun membuka pintu mobil untuk pria itu. “Kau sudah bekerja keras hari ini,” sambungnya diiringi dengan seringai dan tepukan pelan di pundak kiri Dimas.“Selamat menikmati rujak Anda, Pak.” Daffin tertawa mendengar ucapan Dimas dan ia segera turun dari mobil. Dimas segera melajukan mobil meninggalkan kediaman Daffin. “Semoga ini menjadi yang pertama dan terakhir dia bertingkah aneh dan menyebalkan seperti itu,” gerutu Dimas. “Ah, aku ingin berendam di air hangat untuk mengembalikan kewarasan otakku.”Mari kita kembali pada kejadian sebelum mereka tiba di rumah Daffin.Dimas yang saat itu terkejut melihat apa yang diinginkan Daffin, seketika membulatkan mata dan kembali bertanya pada pria itu apakah dia b
Berita kehamilan Dita juga menjadi kabar bahagia untuk Neira. Gadis kecil itu tidak mau lepas dari Dita. Sepanjang jalan pulang, ia terus menempel pada sang mama. Daffin tidak kembali lagi ke kantor setelah dari rumah sakit. Ia langsung kembali ke rumah bersama Dita. Ia ingin memastikan kalau istrinya benar-benar istirahat dengan baik.“Aku udah nggak kenapa-kenapa, Mas.” Dita meyakinkan suaminya saat pria itu mengantarnya ke kamar. Setelah acara resepsi pernikahan mereka, pasangan itu langsung menempati rumah baru mereka. “Aku nggak mau sampai kamu pingsan lagi karena kecapean, Sayang.” Daffin membantu Dita untuk duduk di atas tempat tidur. “Mama ….” Neira berlari menghampiri mamanya. Neira mau bobok siang sama Mama dan Dede bayi,” rengek Neira yang sudah duduk di pangkuan sang papa.“Iya, Sayang, boleh. Sini bobo sama mama.” Dita menepuk sisi tempat tidur di sampingnya. “Yey.” Neira segera berpindah kegirangan. “Neira udah nggak sabar pengen ketemu sama dede bayi,” ucap Neira s
Bimo dan Nadiya tidak pernah menyangka jika suami Dita adalah Daffin Bagaskara. Bimo melihat dengan sangat jelas bagaimana Daffin menunjukkan kepemilikannya atas istrinya. Ia tidak akan bisa bersaing dengan Daffin. Ia sudah kalah dalam segi apa pun. Di mata Lastri, Tuhan sedang membalas semua penderitaan Dita selama ini dengan kebahagiaan dan cinta yang berlimpah dari suami dan keluarganya. Tuhan sudah membayar tangis kekecewaan itu dengan tawa dan ketulusan Daffin. Tanpa terasa, Lastri meneteskan air mata saat melihat pasangan pengantin. Di depan singgasana mereka. Semoga kebahagiaan ini akan selalu menaungi kamu, Ta. Jangan ada lagi air mata kesedihan yang kamu teteskan.Lastri mengusap sudut matanya. Dia adalah saksi dari perjuangan sahabatnya. Mereka yang tidak mengenal Dita mungkin hanya melihat betapa beruntungnya wanita itu bisa menjadi istri Daffin, mereka tidak pernah tahu bagaimana wanita itu selama ini berkubang dalam luka dan berteman dengan kekecewaan. ***Sang m