"Nyonya baik-baik saja?" Suara Arman membuyarkan lamunanku.
"Baik, aku baik man, hanya entahlah, mungkin begini rasanya patah hati." Aku mencoba tersenyum. Meski sesak masih menjalar, siapa yang tak terluka, datang di dalam pernikahan suami sendiri.Berusaha memejamkan mata, tapi sungguh aku tak dapat merasakan kedamaian. Bagaimana akan aku katakan pada Lala, tentang apa yang sudah terjadi. Mungkinkah bijak, membagi kisah ini pada gadis sekecil dia."Jika boleh saya bertanya nyonya." Kembali Arman membuatku melihatnya."Iya, katakan?" "Siapa orang yang memakai baju pengantin tadi?"Aku tersenyum. "Kau lupa man, Lelaki kurus kering yang Bapak bilang mirip Cacing kremi itu" Aku menjelaskan. Aku tak pernah memperkenalkan Mas Fandi pada Bapak angkatku, sejak awal beliau tak pernah setuju. Tak adakah lelaku lain yang lebih pantas untuk menyandingmu nduk? Lelaki macam cacing kremi begitu mau menikahimu ?Kalimat itu terucap saat aku baru menunjukkan selembar foto mas Fandi. Namun Bapak sudah menolaknya mentah-mentah. Saat itu aku hanya diam, meski merasa terluka juga. Ibu pengasuh panti sendiri yang memperkenalkan mas Fandi padaku, rasanya terlalu keterlaluan jika aku mengembalikan tawaran itu, tanpa mau mencoba mengenalnya."Apakah itu mas Fandi Nyonya?" Arman memastikan. Sepertinya dia memang lupa.Harus aku akui, mas Fandi sangat berubah. Tubuhnya lebih berisi dengan kulit yang bersih sekarang. Jauh dengan dirinya yang dulu pertama kutemui."Iya man, dia mas Fandi. Lebih gagah ya? Pantas saja gadis muda seperti Kila jatuh hati pada pria beristri itu." Aku tersenyum sendiri. Tersenyum getir dengan kalimat yang terlontar dari bibirku ini." Jadi dia menikah lagi, Nyonya? Dengan wanita tadi?"Aku hanya menganggukkan kepala. Rasanya semua janji yang pernah lelaki itu ucapkan, hanyalah sampah yang tertinggal di dalam benakku."Kau menerima semua perintahku tanpa bertanya man, karena itu kau saja tak tau untuk apa perintah itu kubuat!" Aku sedikit kesal. Bukankah aku sudah membuat banyak masalah dalam pernikahan itu. Masak Arman harus bertanya lagi."Maaf nyonya, bukan ranah saya mempertanyakan sebuah tugas. Tuan Lee bisa membunuh saya hidup-hidup.""Bapak tak akan tau. lagi pula, bukankah sejak aku menikah, kalian tak berhenti memata-matai ku? Jangan sok tak tau kau man !" Kesal aku di buatnya. Sebelas tahun menjadi istri Mas Fandi, baru kali ini nada suaraku meninggi. Ini jika karena Arman. Baru bertemu saja sudah membuat darahku naik."Saya benar-benar tak tau nyonya. Sejak nyonya menikah, saya tak pernah lagi diminta tuan Lee menjaga nyonya. Perintah nya hanya satu. Bersiap kapanpun nyonya menghubungi saya.""Begitukah?" Aku mempertanyakan.Terdengar aneh. Benarkah Bapak tak menjagaku selama ini ? Sepertinya terdengar ganjil. Bukankah lelaki itu paling protective padaku ? Mustahil sekali jika membiarkan aku tanpa pengawasannya."Hah... Harusnya aku menuruti kata Bapak, dulu beliau bilang, lelaki seperti Fandi tak akan bisa bertahan dalam sulitnya hidup. Mungkin karena kami tak pernah kesulitan hidup, makanya bertahan selama sebelas tahun."Aku kembali mengingat begitu banyak hal yang kulakukan untuk keluarga nya. Sayang, tak ada sedikitpun berbekas dalam benak suamiku dan keluarga nya. Cinta mungkin membuatku terlalu naif.Kualihkan pandangan keluar. Mataku menjelajah jalanan yang mulai gelap, sosok kakek tua dengan gerobak sampah nya membuatku terdiam. Hatiku nyeri melihat lelaki tua itu, ia berjalan sendiri di sepinya jalan yang mulai gelap."Man berhenti man, suruh Supirmj berhenti ! " Aku meminta."Ada apa Nyonya?"Aku keluar dan mendekatinya. Lelaki tua itu menyeka keringat di pelipis. "Bapak badhe tindhak pundhi?" (Bapak mau pergi kemana) kusentuh lengannya yang kecil."Balek ndok, ono opo?" ( Pulang nduk, ada apa?)Kulihat didalam gerobak, hanya ada tumpukan kardus dan botol plastik bekas. Jumlahnya tak seberapa, mungkin Bapak tak banyak mendapat rongsokan hari ini.Dimanakah anak-anak lelaki renta ini, sampai tega membiarkan orang tuanya bergelut dengan kerasnya jalanan." Sampun Dhahar pak?" (Sudah makan pak?) suaraku bergetar menahan pilu."Durung ndok, durong adol rosok. Bapak ora ndue cekelan." ( Belum ndok, belum jual rongsokan. Bapak gak punya pegangan)Ya Allah, sesulit apa hidupku ini, hingga aku begitu banyak mengeluh, masih banyak yang memiliki hidup lebih sulit dari caraku menjalaninya.Aku kembali ke dalam mobil. Terkejut saat mobil-mobil lain juga berhenti. Ternyata orang-orang Arman ikut juga menghentikan mobilnya. Merepotkan! Menjemputku saja, dia harus ajak satu kelurahan !"Man, bisa minta orangmu belikan Bapak itu sembako? Cari tau juga rumahnya, aku tunggu laporan kalian besok !"Aku melihat Arman turun dari mobil. Sementara aku kembali menemui lelaki tua itu. "Ini kagem pegangan pak. Mangke rencang kulo badhe numbasne beras. Bapak tumot njeh" ( ini untuk pegangan pak. Nanti teman saya mau belikan beras. Bapak ikut ya.) Kuselipkan beberapa lembar uang di tangannya, lelaki itu berkaca-kaca melihatku."Matorsuwon ndok, mugi berkah yo nduk" ( Terimakasih ndok, semoga berkah ya nduk)Aku hanya menganggukkan kepala, sementara manik mata ini sudah basah karena terharu. Begitulah caraku yang yatim piatu mencari doa orang tua. Berharap itu adalah cara Allah meridhoi langkahku kedepannya. Sungguh bila kalian tau, sebatang kara yang paling menyiksa adalah, tak mendapat doa dari kedua orang tua.Aku masuk kedalam mobil. Menyeka air mata yang membasahi pipi ku. Terisak sendiri dengan apa yang terjadi. Entahlah, hati ini terlalulu melankolis bila sudah menyangkut seorang yang disebut orang tua."Jalan pak" Aku menepuk pundak supir di depan ku. Dia melajukan mobilnya pelan. Mataku masih lekat memandang lelaki tua itu. Andaikan dia Bapakku, akan aku jaga sampai hanya Allah yang mampu memisahkan raga kami."Rupanya gadis kecil ini tak pernah berubah." Kalimat itu terdengar tak asing. Bahkan suaranya juga. Kutatap dimana asal suara itu.Aku terkejut. Supir bertopi yang sejak tadi diam membuka topinya. Rambut putih sebahu tergerai, dan dia melepaskan kaca matanya."Bapak?" Aku menatapnya lekat. Sejak tadi memang aku tak memperhatikannya, aku fikir dia mungkin sopir baru yang di pilih Arman. Tapi ternyata Bapak angkat ku sendiri.Seketika mobil berhenti. Bapak keluar, berpindah duduk di belakang bersamaku dan dengan cepat kursi kemudi di isi orang baru dari mobil belakang.Bapak duduk dengan santai nya. Jas hitam yang terpakai menutupi sebagian tato yang ada di tubuh lelaki itu. Namun yang masih dapat kulihat, gambar kepala naga di leher kanannya. Gambar yang selalu kuingat dengan jelas.Lelaki dengan wajah khas Asia itu tersenyum. Mata sipitnya bahkan hanya tinggal segaris. Rambutnya mulai memutih. Ah, aku begitu merindukannya.Kucium takzim tangan lelaki itu dan berusaha tersenyum, meski ingin sekali aku menumpahkan tangis ku didada nya."Kemari lah." Bapak memeluk erat tubuhku dalam dekapan. Sejenak dapat kuurai segala rasa yang membuatku kecewa. Mungkin hanya Bapak, satu- satunya lelaki yang tak pernah membuatku patah hati."Apa yang akan kau lakukan Mei? Bapak akan ikuti maumu. " Bapak membelai kepalaku perlahan. Membuatku semakin tergugu.Mendengarnya Memanggilku Mei, hatiku kembali hangat. Meili adalah panggilanku dari Bapak. Bapak bilang Meili itu artinya cantik."Maafkan Mei pak, tak menuruti apa yang Bapak katakan dulu.""Lupakan Mei, beri saja lelaki itu pelajaran. Jika tidak, Bapak yang akan membawanya bersimpuh di bawah kakimu!"Peringatan yang di berikan Bapak membuat bulu kudukku meremang. Aku kenal siapa Bapak angkat ku. Jika dia bisa membeli dunia untuk ku, maka dia juga akan menghancurkan dunia demi aku, PutrinyaMemiliki Bapak seperti Tuan Lee, tak pernah sedikitpun terlintas dalam imajinasi seorang yatim piatu sepertiku. Aku bahkan tak tau siapa dirinya, saat pertama kali kami bertemu dulu.Saat duduk di bangku sekolah dasar. Aku berjualan pukis setelah selesai sekolah, uang hasil jualan biasa ku beli kan sesuatu yang begitu aku inginkan. Baju , sapatu atau apapun yang anak seusiaku inginkan. Sebagai anak panti, uang jajanku di jatah dan tak akan bisa bertambah meski kami terus merengek meminta. Bagi kami, memiliki uang lebih adalah sebuah kemewahan."Makan ini om" Kusodorkan dua pukis pada lelaki dengan Baju lusuhnya. Ia menatapmu sekilas dan melahap juga pukis itu tanpa jeda. Tangannya menegadah lagi. Kuberikan saja pukis terakhir di dalam Keranjang."Thankyou..." Hanya kata itu terucap. Dia lalu berdiri mendekati kran air di ujung taman kota. Menenggak dengan segarnya air yang keluar.Aku yang hanya anak kecil sebatang kara, bahkan tak tau apa arti kalimat yang di ucapkan lelaki itu. S
Mas Fandi melepaskan ku. Aku bisa melihat tangan kosongnya mengepal kuat. Urat nadi nya keluar, menahan amarah yang pasti sangat bergejolak.Kurapikan jilbab dan gamisku. Sementara Arman masih mengacungkan pistol nya. Ternyata, mas Fandi sedang cemburu buta pada pengawal ku sendiri. Arman memang bukan lelaki jelek. Dia lebih gagah dari mas Fandi. Tingginya hampir 180 cm. Dengan garis rahang yang tegas, dan potongan rambut pendeknya, siapapun bisa melihat bahwa dia orang yang sangat serius."Turunkan pistol mu Man." Aku menarik tangan Arman kebawah. Dia dengan sigap memasukkan kembali pistol ke belakang tubuhnya. Namun matanya. Bagai elang, berkilat tajam menatap gerak-gerik mas Fandi.Mengerikan ! Beginikah pembunuh bayaran beraksi? Bapak tak akan sembarangan menerima anak buah. Mereka haruslah memiliki kemampuan di atas rata-rata. Paling tidak, kemampuan bela diri nya sudah mempuni. Dan Arman adalah satu, dari ratusan anak buah Bapak yang b
"Nyonya baik-baik saja?" Arman bertanya padaku yang masih berusaha mencari ketenagan.Kugeser dudukku agar lebih nyaman. '" aku baik man, tenanglah." "Menurutmu man, apakah fisik yang sempurna itu penting untuk semua lelaki?" Arman diam sebentar, lalu kembali melihat kearah ku. "Apa bedanya manusia dan hewan, jika hanya sebatas mengandalkan fisiknya untuk membuat pasangan kita tertarik?" Aku mengerutkan alis. " Maksudnya?""Burung merak mengepakkan sayap cantiknya untuk mencari pasangan di musim kawin, beberapa hewan bahkan memberikan bau khas agar pasangannya tertarik. Tapi hanya beberapa yang setia seperti merpati dan pinguin kan?""Otakku tak sampai man, jangan membuatku berfikir keras.""Mereka hewan nyonya, sah saja berganti pasangan dan berhubungan dimanapun. Tapi manusia? Kita ini diberi akal lebih, begitu rendahnya nilai kita bila hanya melihat sesuatu dari fisiknya !"Aku terdiam, meski kenyataan dil
Aku belum berani menjawab tanya Lala tentang ayahnya, Selalu saja kualihkan pembicaraan untuk membuatnya sibuk dengan sesuatu. Sekuat apapun aku berusaha, nyata nya masih saja ada rasa takut untuk menyakiti hatinya.Hingga pagi ini, aku yang harusnya pulang kerumah besar tadi malam, harus tidur disini karena alasan menghindari pertanyaan Lala. Sampai kapan. . ." Jangan menipunya lagi Sri, Lala berhak tau." Raya memberiku nasihat.Kutatap Lala yang sedang bermain di taman rumah ini. Aku tau, memang sebuah kesalahan menyembunyikan semua dari Lala."Sri, anakmu gadis yang cerdas. Jika tak mendengarnya darimu, dia bisa saja mendengarnya dari orang lain. Bukankah itu akan lebih menyakitkan?"Raya menggenggam tanganku. Mencoba menguatkan ku. "Kau benar Ray, harusnya aku katakan saja yang terjadi." Aku mencoba mengumpulkan kekuatanku sendiri."Percayalah, jika dia belum mengerti, bukan berarti dia tak akan mengerti " Raya memegang pundak ku. Dia tau, aku sedang mencoba mengumpulkan keberan
POV KilaSemalaman aku tak tidur. Mas Fandi tak pulang kerumah, bahkan di malam pernikahan kami. Semua itu karena Sri si kumal. Nika saja dia tak membuat begitu banyak masalah, aku rasa pernikahan ini akan berjalan seperti yang aku impikan. Sayangnya semua hancur karena wanita jelek itu."Mau kemana kamu La?""Nyusul mas Fandi pak!" Aku ambil kunci motor di lemari depan."Memangnya Fandi kemana?"Aku diam, lupa jika Bapak pasti tak tau kepergian mas Fandi. Aku lalu berjalan mendekati Bapak. "Kila pergi dulu pak." "Tunggu la, Fandi kemana?"Aku menggigit bibir sendiri, takut jika bapak menanyakan alasan kepergian mas Fandi. Masak aku harus bilang isi rekeningnya hilang. Bisa marah besar Bapak."Mungkin Fandi ambil uang pak, kan dia tau pakai uang Bapak buat bayar konsumsinya." Ibu memberi alasan yang menyelamatkan ku sementara waktu."Iya, benar juga. Yasudah, ini kasihkan Fandi." Bapak merogoh saku dan
Duduk dengan Bapak di balkon rumah. Menikmati udara yang tak akan pernah berubah dinginnya. aku selalu suka menghabiskan waktuku disini. Menikmati pemandangan yang sungguh memanjakan mataku sendiri."Bapak tak ingin berkeluarga?" Aku kembali bertanya. Entah kapan terakhir aku menanyakan ini padanya."Berapa kali kau akan bertanya, jawaban Bapak tetaplah sama. bapak tak lagi memikirkan sebuah pernikahan."Aku menghela nafas. Bapak pernah bercerita, beliau pernah menikah dulu, sat belum mengenalku. Memiliki seorang gadis cantik yang selalu membuatnya bahagia.Hinga suatu hari, sebuah serangan menghancurkan keluarganya. Bapak yang seorang mavia, dengan banyak musuh besar yang siap menghancurkan nya kapanpun, ternyata di khianati pengawalnya sendiri. Anak dan Istrinya terbunuh dalam serangan itu, Bapak sendiri, di bawa pergi oleh anak buahnya yang lain. Meninggal akan Negara tempatnya tinggal. Mereka pergi sejauh mungkin.Bapak terbang ke Indonesia, melewati jalur Kapal, Bapak datang ke
Aku belum memutuskan apapun, tentang tawaran Bapak padaku tadi. Banyak yang harus aku pertimbangkan lagi. Dan aku meminta waktu lebih banyak. Setelah menemui Bapak dan bicara, aku putuskan mencari tau apa yang terjadi di rumahku karanganyar. Arman bilang, mereka berdua sedang ada disana.Mobil kami sudah berhenti di depan rumahku. Dan ku lihat memang mobil yang di pakai mas Fandi semalam masih ada di halaman rumah kami, bersama motor yang asing bagiku."Man, tunggulah disini.""Tapi Nyonya.""Biar aku kedalam sendiri. Bila terjadi sesuatu, aku akan berteriak memangilmu. Dan kau boleh masuk. Mengerti ! "Aku tak ingin apa yang akan aku bicarakan, justru hanya tertuju tentang bagaimana aku bisa memiliki banyak uang, siapa pengawalku ini, apa kau selingkuh. Aku sudah lelah menjelaskannya kemarin, tak ingin lagi mengulang nya kali ini. Sebab yang ada di kepala mereka hanyalah uang dan siapa yang lebih berkuasa." Aku masuk dulu." Aku berjalan masuk sendiri. Membuka gerbang rumah yang namp
"Pergi atau kubongkar satu persatu kartu kalian semua !" Aku berucap sembari menatap mereka tajam.Hilang sudah sabar ku. Terlalu baiklah aku hingga mereka remehkan?Aku menunggu mereka keluar dari rumahku. Fani menatap ku tajam, seolah tak suka dengan perlakukan ku padanya. Dan Kila terdiam, dengan wajah pucat yang kutau pasti menyimpan banyak tanya, dari mana aku tau semua rahasianya."Jangan keterlaluan kamu Sri, bagaimanapun Kila ini adik madumu. Kenapa kau perlakukan dia begitu buruknya !"Aku menoleh dan melihat mas Robi sudah berjalan masuk ke halaman rumahku. Datang bersama ibu dan Danu, mas Robi nampak marah melihatku." Mas, mbak Sri membantingku ke lantai, mas." Fani mengadu pada suaminya. Di usapnya pinggul di mana ia mendarat lebih dulu. Danu melihatku tak suka, namun aku hanya tersenyum remeh pada semua benalu yang sekarang berkumpul di hadapanku."Kita bisa bicara baik- baik Sri, jangan terbawa emosi."Mas Fandi bicara, seolah ia tak ingin ada keributan, padahal semua
Jani mengambil foto di tangan Leon dan memperhatikan lebih jelas, gadis bermata abu itu memang nampak sanggat bahagia bersanding dengan seorang anak lelaki kecil dengan rambut menutup poninya."Ini_" Jani menghentikan kalimat nya dan menatap ke arah Leon."Ya, itu aku. Meski tak kamu ingat kita adalah sahabat kecil Jani..Kata Jani berkaca menatap ke arah Leon, memperhatikan setiap lekuk wajah lelaki nan tampan itu dengan seksama."Benarkah itu dirimu? sahabat yang kadang hadir dalam mimpiku, aku selalu bertanya itu kisah siapa, sebab ta ada yang aku ingat dari masa lalu ku selain karena sepenggal kisah yang ku denggar dari bapak yang membesarkan ku."Jani berkata dalam hati, air mata nya turun tanpa sadar, membuat wajahnya yang putih merona kemerahan sekarang."Ada apa sayang?" "Sekarang aku tau kenapa kamu begitu baik padaku." Ucap nya lirih.Ya, selama ini Jani selalu merasa bersyukur sebab masih di beri hidup lebih lama, mengucap terimakasih pada Leon dalam hatinya sebab memberin
"Karena kamu tau segalanya Jani, kamu kehilangan ingatanmu saat mengalami kecelakaan setelah bertemu dengan Lenzia, itu pertemuan terakhirmu, sebab Lenzia menghilang setelahnya." Leon menjelaskan dengan gamblang"Jadi aku pernah bertemu dengan Lenzia?""Ya, dan Aini mencoba juga untuk membunuhmmu."Sri dan Jani sama-sama terkejut, menghadapi kenyataan yang teramat berat sekarang. ""Dan wanita tadi adalah Aini? ." Ucap Jani membuat Sri menatap nya serius."Kalian sudah bertemu Aini?""Iya, kami tak sengaja bertemu dengannya saat aku turun membeli minum, dia hampir membunuh Jani.""Dia terus menyebut ku Lusia.""Ya karena itu yang dia tau, dia hanya mengenal nama Lenzia Jani." Leon kembali menjelaskan dan membuat Jani semakin diam."Dimana kalian bertemu Aini?" Sri penasaran."Di minimarket tengah hutan.""Begitu? aku harus segera mencarinya." Sri berdiri, dia ingin bicara lebih banyak namun Sepertinya Aini jauh lebih Penting sekarang."Sepertinya aku harus permisi dulu, kami sudah lam
Sri tersenyum menyetujui, dirinya memang harus mengatakan banyak hal pada Jani sekarang."Saya janji tidak akan memaksa, bila nona Lusia berkenan saya pergi, saya akan pergi." Ucap Sri jujur, dia tak ingin mengusik Lusia yang sedang sakit namun jika wanita itu meminta penjelasan, Sri tentu saja lebih senang mendengarnya."Baiklah, hanya sebentar saja, tanyakan saja apa yang ingin kamu dengar dan setelah itu istirahatlah."Jani tersenyum dan mengganggukkan kepala. "Terimakasih sayang, terimakasih." Ucap Jani dengan wajah merona, mereka lalu masuk ke dalam kamar Leon.Leon meletakkan Jani ke atas tempat tidur, Jani bersandar pada tempat tidur nya dan Leon menyelimuti wanita itu hingga menutupi sebagian tubuhnya yang putih. Sri duduk di sisi ranjang, melihat betapa Leon memperlakukan Jani dengan istimewa, dia yakin lelaki ini memang tulus mencintai Jani."Katakan segera yang ingin anda katakan." Leon bicara dengan tegas, tak ingin Janin terusik lebih lama lagi.Jani menyentuh lengan keka
"Wanita ini menyebutku Lusia, Leon." Ucap Jani pada Leon membuat Leon juga merasa tak tenang."Dia menyebut Lusia, Leon! Dia tau Lusia!!" Jani terdengar panik, memeluk Leon dalam ketakutan.Leon mendekap mendekap erat Jani, menatap menatap marah pada apa yanh baru saja Aini lakukan, dia tak mengenal Aini, namunn beraninya wanita otu bahkan menyakiti orang yang sangat dia lindungi."Bawa dia pergi!" Ucap Leon kesal, dia ingin membuat. perhitungan pada Aini, namun menenangkan Jani jauh lebih penting sekarang.Leon melihat Aini di bawa paksa pergi, sementara Jani yang ketakutan merosot terduduk di lantai pelataran, dia terus menatap Aini yang menjauh, tak dapat lagi berpikir biaik, Jani berharap semua yang di lalukan bisa membuat nya mengingat sesuatu."Kamu baik-baik saja sayangku?" Leon tertunduk, mendekap Jani penuh penyesalan."Harusnya aku tak meninggalkan mu sendirian. sayang." Ucapnya merutuki kebodohan nya sendiri.Jani menangis kencang, tangisan yang entah kenapa tiba-tiba saja
"Jauhkan tanganmu, siapa kamu!" Jani berteriak histeris, tatapannya melihat ke arah dalam minimarket"Kenapa kamu cantik? Aku benci saat kamu cantik!'" Ucap Aini kesal, tangannya terus mencoba menyentuh wajah Jani."Kemari kami sialan!" Aini meremas kuat kerah baju Jani, membuat ia gemetar karena histeris."Tidak!.... tidak!" Ucapnya kencang dan sebuah ingatan masa lalu kembali muncul....Jani melihat wanita berparas mirip dirinya berlari letakutan dengan perut membesar, entah apa yang sudah di lalui hingga gaun putih yang di kenakan berlumur darah dan tanah, dinginya malam bukanlah musuh terbesarnya, dia lebih takut jika bayi dalam dekapan itu lepas dari pelukan. "Jangan mencoba lari Lusia!" Teriakan itu begitu nyaringo dan lantang terdengar.Lusia gemetar dalam tangis, berjongkok pada rimbunya dedaunan kecil dan ilalang, berharap diri nya tak di temukan."Lusia!" Teriakan itu kembali terdengar, tubuh kecil Lusia semakin gemetar."Sabarlah sayang, mama akan membawamu pulang, kita ak
"Aku ingin tau apa yang terjadi Leon, aku mohon katakan sesuatu." Ucapnya meminta, segala hal yang menimpanya begitu menyiksa dan membuat dirinya bertanya."Perlahan saja sayang, kita akan bicara nanti." Ucap Leon lalu membawa Jani masuk ke dalam mobil mereka.Meninggalkan rumah kosong yang serasa tak asing bagi jani, rumah yang sepertinya sangat dia kenal namun tak bisa di ingat lebih baik.Mobil Leon membelah malam sunyi, melewati hutan yang lebat dengan hanya satu, ldua penerangan minim, mereka hanya berdua saat datang dan pergi, menyisakan kesunyian nyata setiap kali tak ada suara di antara mereka."Kenapa diam?" Tanya Leon, ia masih Melihat Jani terdiam Menatap ke luar jendela."Rasanya aku pernah ada di sini." Ucapnya sembari melihat ke arah rumah kosong di sisi jalan.Leon berhenti mendadak, menatap ke arah rumah kosong di sisinkanan mereka, rumah tangga memang sejak lama tak di tempati, namun kenapa Jani merasa pernah ada di sana?"Kamu yakin pernah ada di sana?"Jani mengangg
Aini menjerit di depan toko, dia takut sebab Fandi sudah meninggalkan dirinya sendiri di tempat asing, pegawai toko juga ketakutan sekarang, Aini bisa saja melukai orang karena tertekan. "Wanita murahan!" Tiba-tibsa saja kalimat itu keluar dari bibir Aini, dia teringat pernah menyebut nama itu begitu sering dulu.Aini terduduk di trotoar jalan, uang yang di genggamnya ia lepas begitu saja, ia menatap nanar ke jalan yang sepi, seakan dirinya bisa saja tenggelam dalam gelap.Aini mengingat betul dia pernah hidup mewah, namun entah kenapa sekarang semua hanya bergantung pada saat orang memberinya perhatian dan cinta. "Kenapa kamu pergi mas!" Aini menangis lagi, kali ini bayang wajah Arka suaminya tergambar jelas, lelaki itu bahkan telah damai sekarang.Aini begitu mengingat bagaimana Arka yang tak pernah berbuat jahat padanya dulu, masih menjadi lelaki yang menempati hatinya selain Satria. Dia bahkan rela menyingkirkan semua rintangan yang ada hanya untuk menempati ruang yang tak lagi
Sementara Fandi dengan perasaan tak menentu memutuskan pulang ke Solo, dia tak ingin mendapat masalah dengan bertemu lelaki seperti tuan Cien. Bergegas dia berjalan ke kamar dan melihat Kila tertidur dengan baju terbuka."Ada apa Sayang?" Kila bertanya dengan cemas, melihat Fandi membuka lemari baju dan mengemasi barangnya."Ayo pulang sekarang." Ucapnya kesal terus di tanya namun Kila masih tak memahami situasi yang ada."Kenapa mendadak pulang?""Ya karena kita memang harus pulang Kila!" Ucap Fandi kesal. "Bantu aku berbenah dan jangan banyak tanya!" Ucapnya lagi lalu melanjutkan lagi menata pakaiannya.Dengan kesal Kila medekat, menarik kopernya juga ke depan lemari dan ikut memasukkan barang-barangnya."Padahal kita baru berapa hari di sini!" Ucapnya ketus."Kalau kau mau di sini terus, silahlan! aku mau pulang!" Ucap Fandi lagi dengan nada tinggi, dia benci sekali saat Kila merajuk tanpa alasan.Fandi menatap Kila dengan wajah tak suka."Harus nya kau malu bilang begitu, aku suda
"Kau tau tempat ini?" Leon bertanya dengan alis terangkat.Jani menggelengkan kepalanya, meski merasa tak asing namun dirinya tak dapat mengenali lingkungan tempatnya barada sekarang."Aku tak tau, ada sesuatu di sini?" Jani berusaha mengingat, namun tak dapat menemukan serpihan cerita dari tempatnya berada sekarang."Ayo kita masuk, mungkin kamu akan menemukan jawabannya. " Ucap Leon membuka pintu mobil nya dan segera berjalan ke sisi yang lain."Ayo keluar." Ucap Leon lagi, menarik jemari kecil Jani keluar dari dalam mobil mereka."Aku tak mengerti." Jani masih mematung di tempat, takut bila Leon berbuat sesuatu yang mungkin membuat dirinya merasa kecewa."Kau hanya perlu mengikuti kata hatimu, tak ada yang perlu di mengerti Jani, aku tak akan pernah membuatmu merasa terluka, percayalah!" Ucap Leon meyakinkan wanita di hadapannya itu.Mata Jani keluar menelisik ke sekitar tempatnya berdiri, sebuah pelataran kecil dengan pohon mangga besar di dekat pagar rumah itu, membuat hati kecil