Mas Fandi melepaskan ku. Aku bisa melihat tangan kosongnya mengepal kuat. Urat nadi nya keluar, menahan amarah yang pasti sangat bergejolak.
Kurapikan jilbab dan gamisku. Sementara Arman masih mengacungkan pistol nya. Ternyata, mas Fandi sedang cemburu buta pada pengawal ku sendiri. Arman memang bukan lelaki jelek. Dia lebih gagah dari mas Fandi. Tingginya hampir 180 cm. Dengan garis rahang yang tegas, dan potongan rambut pendeknya, siapapun bisa melihat bahwa dia orang yang sangat serius."Turunkan pistol mu Man." Aku menarik tangan Arman kebawah. Dia dengan sigap memasukkan kembali pistol ke belakang tubuhnya. Namun matanya. Bagai elang, berkilat tajam menatap gerak-gerik mas Fandi.Mengerikan ! Beginikah pembunuh bayaran beraksi? Bapak tak akan sembarangan menerima anak buah. Mereka haruslah memiliki kemampuan di atas rata-rata. Paling tidak, kemampuan bela diri nya sudah mempuni. Dan Arman adalah satu, dari ratusan anak buah Bapak yang berdarah Indonesia. Ya, bapak lebih banyak memiliki anak buah dari Taiwan dan Jepang. sisanya tersebar hampir di seluruh pelosok Asia."Duduklah mas" Aku meminta pada mas FandiSeketika dia menatapku tajam. " Tak perlu memintaku duduk, ini rumahku, aku bisa lakukan apapun yang ku mau !" Dia duduk di ujung sofa dan masih bersikap hati-hati.Aku tersenyum melihat tingkahnya sendiri. Seperti apapun mas Fandi coba menyembunyikan takutnya, aku bisa melihat tubuhnya yang gemetar juga. " Ada apa kemari?""Bukankah ini rumahku? Suka hatiku mau kesini atau tidak ! Lagi pula, harusnya aku yang bertanya. Ada apa kamu kesini dengan lelaki asing?" Dia melirik waspada pada Arman."Aku mengambil apa yang perlu kuambil. Ada masalah?"Mas Fandi melihat ke sekitar. Mungkin dia sedang memperhatikan, apa yang berbeda dari rumah ini sekarang. "Dimana Lala?" Ah, akhirnya dia ingat juga pada putrinya itu." Untuk apa kau mencari Lala? Dia aman bersamaku. Lagipula mas, harusnya kau tetap di acara resepsi pernikahan mu. Bukankah kalian sedang sangat sibuk?"Mas Fandi membelalakkan matanya. "Jangan bilang kau juga yang membuat catering pesanan Kila tak datang? " Dengan senyum sumringah aku menganggukkan kepala. "Seratus, Aku memang merencanakan semuanya, khusus untuk hadiah pernikahan mu. Baik sekali kan aku?"Mas Fandi berdiri, bersiap mendekat. Namun baru satu langkah berjalan. Arman sudah berdiri di hadapanku, menjadi tameng dan siap menangkis apa yang akan Fandi lakukan.Tinggi mas Fandi sedikit di bawah Arman, membuatnya harus melihat keatas saat mereka saling beradu pandang. "Aku ingin bicara pada istriku." Mas Fandi memberanikan diri."Bicaralah, duduklah kembali" Arman melipat tangannya didepan .Kulihat mas Fandi kembali duduk. " Bisakah kau jelaskan semua nya Sri?" Dia kini bertanya lembut."Soal apa?""Semua yang kau lakukan. Kenapa?"Dia masih bisa bertanya kenapa? Padahal dialah sumber segala perubahanku." Harusnya kita bisa bicarakan ini Sri. Kau tak perlu merusak acara pernikahan kami, pernikahan yang di impikan Kila."Ingin rasanya kusumpal mulut mas Fandi bersama madunya itu. Ternyata selain tak punya otak, dia juga tak punya empati lagi."Memang pernikahan seperti apa yang di impikan madumu itu mas? Apa mencintai lelaki beristri juga bagian dari mimpinya? Jika ia, sepertinya mimpi itu sudah terwujud ! " Aku menatap tajam kearahnya.Mas Fandi membuang nafas kesal. "Kami saling cinta Sri, dan aku juga tak pernah melupakan kewajibanku padamu, aku masih menafkahimu, memberimu hidup layak, dan jadi ayah yang baik untuk Lala.""Kau fikir begitu saja cukup mas? Kau lupa bagaimana menjaga hati agar tak terluka ! Aku terluka mas, dengan semua sikap dan kebohongan mu, aku dan Lala terluka ! " Kutatap wajahnya dengan tajam. Namun mas Candi hanya terdiam memandang ke lantai di bawahnya." Jangan bawa-bawa Lala, lagipula, kau juga tak bisa menjaga hati kan Sri?""Maksudmu?""Lihat yang kau lakukan juga. Kau menduakan aku!" Dis melihat kearah Arman."Aku tak menduakanmu !" Aku berdiri menunjuk nya. "Jangan samakan aku dengan dirimu atau wanita itu mas. Murahan!""Sri ! Lancang kamu." Dia ikut berdiri namun terhalang tubuh Arman. "Jika bukan karena lelaki lain, dari mana kau dapat semau fasilitas mewah itu Sri. Bahkan berani nya kau menyewa exsavator untuk menghancurkan pernikahan kami.""Kau yang menghancurkan pernikahan mu sendiri mas! Sebelum berkali-kali kau mengatakan mimpi dan mimpi, tak sadarkah keegoisanku juga sudah Menghancurkan mimpi anakmu sendiri!""Mimpi Lala?""Iya, kau fikir keputusanmu ini bijak? Dan hanya aku yang terluka, begitu? Kau salah mas. Anakmu yang paling terluka, Lala yang paling menderita !"Mas Fandi terdiam. Aku tak tau apa yang sedang di fikirkan nya, namun dia terlihat berjalan mendekati ku. "Tak akan ada yang terluka jika kau juga bisa menerimanya Sri. Kau sudah tak bisa memuaskan pandanganku, Lihat dirimu Sri, kau begitu berbeda dengan Kila" Mas Fandi menatapku seolah tak suka." Lagi pula, Lala pasti akan senang juga memiliki ibu baru. Kila wanita yang baik Sri, dia pasti..."Jangan mencoba membujukku mas!" Aku memotong ucapannya. Hatiku berdenyut nyeri melihat caranya memandang ku. Serendah itukah aku di matamu mas? " Aku tak sudi lagi berbagi ranjang denganmu, mas ! Dan aku bertahan hanya untuk memastikanmu menderita! " Aku berusaha mengendalikan amarahku sendiri. Kuhembuskan nafas dalam-dalam. "Dengar mas Fandi, tidak ada wanita baik yang menghancurkan Kebahagiaan wanita lain! Kau harus pahami itu, bila dia bisa menghancurkan kebahagiaan orang lain, bukan tidak mungkin dia juga akan menghancurkan mu demi kebahagiaannya sendiri !"Aku berjalan ke teras rumah, Berdebat dengan orang tolol, tak akan memberikan Keuntungan apapun." Kau mau kemana Sri? Kita belum selesai bicara." Mas Fandi mencoba menariku lagi. Namun kutepis tangannya dengan kasar."Aku akan pulang kerumahku sendiri. Ayo man, kita pergi." Baru beberapa langkah aku berjalan, aku masih kembali melihat mas Fandi. "Bawa pergi barang- barang mu mas. Jangan lupa untuk meminta mas Robi dan Fani mengembalikan uangku secepatnya." Kuingatkan lagi mas Fandi, Sekarang aku memang bukan wanita baik. Akan kuminta dan kutagih lagi segala yang pernah aku berikan."Satu lagi mas, dia Arman, pengawal ku. Dan dari mana semua hartaku berasal, aku rasa kau tak perlu tau. Anggap saja kau sedang bermain dengan lawan yang salah mas !"Aku berjalan keluar, masuk dengan cepat kedalam mobil lalu meninggalkan rumahku dengan mas Fandi yang masih terpaku menatap kepergian ku.Kita lihat mas, seberapa bahagia kau dengan pernikahan barumu itu!Aku memejamkan mata sejenak, ternyata bicara dengan manusia bodoh itu menghabiskan lebih banyak tenaga. "Kita ke Tawangmangu man. Jemput putriku sebelum ke rumah Bapak !"Nyonya baik-baik saja?" Arman bertanya padaku yang masih berusaha mencari ketenagan.Kugeser dudukku agar lebih nyaman. '" aku baik man, tenanglah." "Menurutmu man, apakah fisik yang sempurna itu penting untuk semua lelaki?" Arman diam sebentar, lalu kembali melihat kearah ku. "Apa bedanya manusia dan hewan, jika hanya sebatas mengandalkan fisiknya untuk membuat pasangan kita tertarik?" Aku mengerutkan alis. " Maksudnya?""Burung merak mengepakkan sayap cantiknya untuk mencari pasangan di musim kawin, beberapa hewan bahkan memberikan bau khas agar pasangannya tertarik. Tapi hanya beberapa yang setia seperti merpati dan pinguin kan?""Otakku tak sampai man, jangan membuatku berfikir keras.""Mereka hewan nyonya, sah saja berganti pasangan dan berhubungan dimanapun. Tapi manusia? Kita ini diberi akal lebih, begitu rendahnya nilai kita bila hanya melihat sesuatu dari fisiknya !"Aku terdiam, meski kenyataan dil
Aku belum berani menjawab tanya Lala tentang ayahnya, Selalu saja kualihkan pembicaraan untuk membuatnya sibuk dengan sesuatu. Sekuat apapun aku berusaha, nyata nya masih saja ada rasa takut untuk menyakiti hatinya.Hingga pagi ini, aku yang harusnya pulang kerumah besar tadi malam, harus tidur disini karena alasan menghindari pertanyaan Lala. Sampai kapan. . ." Jangan menipunya lagi Sri, Lala berhak tau." Raya memberiku nasihat.Kutatap Lala yang sedang bermain di taman rumah ini. Aku tau, memang sebuah kesalahan menyembunyikan semua dari Lala."Sri, anakmu gadis yang cerdas. Jika tak mendengarnya darimu, dia bisa saja mendengarnya dari orang lain. Bukankah itu akan lebih menyakitkan?"Raya menggenggam tanganku. Mencoba menguatkan ku. "Kau benar Ray, harusnya aku katakan saja yang terjadi." Aku mencoba mengumpulkan kekuatanku sendiri."Percayalah, jika dia belum mengerti, bukan berarti dia tak akan mengerti " Raya memegang pundak ku. Dia tau, aku sedang mencoba mengumpulkan keberan
POV KilaSemalaman aku tak tidur. Mas Fandi tak pulang kerumah, bahkan di malam pernikahan kami. Semua itu karena Sri si kumal. Nika saja dia tak membuat begitu banyak masalah, aku rasa pernikahan ini akan berjalan seperti yang aku impikan. Sayangnya semua hancur karena wanita jelek itu."Mau kemana kamu La?""Nyusul mas Fandi pak!" Aku ambil kunci motor di lemari depan."Memangnya Fandi kemana?"Aku diam, lupa jika Bapak pasti tak tau kepergian mas Fandi. Aku lalu berjalan mendekati Bapak. "Kila pergi dulu pak." "Tunggu la, Fandi kemana?"Aku menggigit bibir sendiri, takut jika bapak menanyakan alasan kepergian mas Fandi. Masak aku harus bilang isi rekeningnya hilang. Bisa marah besar Bapak."Mungkin Fandi ambil uang pak, kan dia tau pakai uang Bapak buat bayar konsumsinya." Ibu memberi alasan yang menyelamatkan ku sementara waktu."Iya, benar juga. Yasudah, ini kasihkan Fandi." Bapak merogoh saku dan
Duduk dengan Bapak di balkon rumah. Menikmati udara yang tak akan pernah berubah dinginnya. aku selalu suka menghabiskan waktuku disini. Menikmati pemandangan yang sungguh memanjakan mataku sendiri."Bapak tak ingin berkeluarga?" Aku kembali bertanya. Entah kapan terakhir aku menanyakan ini padanya."Berapa kali kau akan bertanya, jawaban Bapak tetaplah sama. bapak tak lagi memikirkan sebuah pernikahan."Aku menghela nafas. Bapak pernah bercerita, beliau pernah menikah dulu, sat belum mengenalku. Memiliki seorang gadis cantik yang selalu membuatnya bahagia.Hinga suatu hari, sebuah serangan menghancurkan keluarganya. Bapak yang seorang mavia, dengan banyak musuh besar yang siap menghancurkan nya kapanpun, ternyata di khianati pengawalnya sendiri. Anak dan Istrinya terbunuh dalam serangan itu, Bapak sendiri, di bawa pergi oleh anak buahnya yang lain. Meninggal akan Negara tempatnya tinggal. Mereka pergi sejauh mungkin.Bapak terbang ke Indonesia, melewati jalur Kapal, Bapak datang ke
Aku belum memutuskan apapun, tentang tawaran Bapak padaku tadi. Banyak yang harus aku pertimbangkan lagi. Dan aku meminta waktu lebih banyak. Setelah menemui Bapak dan bicara, aku putuskan mencari tau apa yang terjadi di rumahku karanganyar. Arman bilang, mereka berdua sedang ada disana.Mobil kami sudah berhenti di depan rumahku. Dan ku lihat memang mobil yang di pakai mas Fandi semalam masih ada di halaman rumah kami, bersama motor yang asing bagiku."Man, tunggulah disini.""Tapi Nyonya.""Biar aku kedalam sendiri. Bila terjadi sesuatu, aku akan berteriak memangilmu. Dan kau boleh masuk. Mengerti ! "Aku tak ingin apa yang akan aku bicarakan, justru hanya tertuju tentang bagaimana aku bisa memiliki banyak uang, siapa pengawalku ini, apa kau selingkuh. Aku sudah lelah menjelaskannya kemarin, tak ingin lagi mengulang nya kali ini. Sebab yang ada di kepala mereka hanyalah uang dan siapa yang lebih berkuasa." Aku masuk dulu." Aku berjalan masuk sendiri. Membuka gerbang rumah yang namp
"Pergi atau kubongkar satu persatu kartu kalian semua !" Aku berucap sembari menatap mereka tajam.Hilang sudah sabar ku. Terlalu baiklah aku hingga mereka remehkan?Aku menunggu mereka keluar dari rumahku. Fani menatap ku tajam, seolah tak suka dengan perlakukan ku padanya. Dan Kila terdiam, dengan wajah pucat yang kutau pasti menyimpan banyak tanya, dari mana aku tau semua rahasianya."Jangan keterlaluan kamu Sri, bagaimanapun Kila ini adik madumu. Kenapa kau perlakukan dia begitu buruknya !"Aku menoleh dan melihat mas Robi sudah berjalan masuk ke halaman rumahku. Datang bersama ibu dan Danu, mas Robi nampak marah melihatku." Mas, mbak Sri membantingku ke lantai, mas." Fani mengadu pada suaminya. Di usapnya pinggul di mana ia mendarat lebih dulu. Danu melihatku tak suka, namun aku hanya tersenyum remeh pada semua benalu yang sekarang berkumpul di hadapanku."Kita bisa bicara baik- baik Sri, jangan terbawa emosi."Mas Fandi bicara, seolah ia tak ingin ada keributan, padahal semua
Aku datang ke klinik kecantikan, merias wajahku dan membeli berbagai barang yang kuanggap modis. Menghabiskan banyak waktu dan tenagaku ternyata. Namun demi memanjakan diriku sendiri, akan aku lakukan segalanya. Kini saat aku baru sampai di rumah saja, semua mata menatapku dalam-dalam.Ah, kenapa? Apa aku seaneh itu?"Nona Mei?" Kak Zui menatapku lekat. Aku hanya bisa tersenyum, meski ada rasa tak nyaman yang tercipta karena pandangan mereka semua." Mama... " Lala berlari saat pintu lif baru saja terbuka. Ia menghambur kedalam pelukanku, lalu menatap lekat suruh tubuhku. "Mama cantik sekali," ucapnya dengan wajah terkagum."Terimakasih, sayang." Aku lalu menggandengnya masuk kembali kedalam lift. Ku bawa Lala ke kamarku di lantai tiga. Gadis kecilku duduk di sofa dan memandangku dengan tatapan polos.Lihatlah diriku, aku cantik dan mempesona. Kupakai celana berpadu dengan kemeja katun yang lembut. Warna krem membuatku tampak lebih segar. Riasanku juga terlihat soft, namun memancarka
Aku memaksa mbak Lia cerita. Dia nampak tertekan dan sesekali menatap Rere yang masih lelap tertidur di kursi belakang."Mbak, jangan membuatku berfikir yang tidak-tidak. Ada apa ?"Mbak Lia masih terdiam, kini kudengar isakanya."Mbak, itu luka bakar lho, ada apa mbak?"Aku yakin itu luka bakar, atau terbakar. Tadinya pasti melepuh tapi sekarang kulihat kulitnya mengelupas, memperlihatkan daging kemerahan yang pasti sangat perih tersentuh sesuatu. Pantas saja mbak Lia menjerit tadi."Mbak, jangan menangis. Ada apa?""Aku... aku... " Dia tersendat bicara, tangisnya tumpah."Baiklah, kita cari tempat yang nyaman ya mbak." Aku turun dan membukakan pintu mobil mbak Lia. "Biar aku yang setir mbak." Ucapku dengan senyum. Mbak Lia mengeser duduknya ke samping kemudi. "Kita mau kemana Sri?" Dis bertanya."Cari tempat makan. Katanya Rere belum makan? Rere gak sekolah mbak?""Belum Sri, harusnya sudah masuk Playgrup, cuma mas Robi belum memberi izin."Aku terdiam, mengingat betapa keras kepa
Jani mengambil foto di tangan Leon dan memperhatikan lebih jelas, gadis bermata abu itu memang nampak sanggat bahagia bersanding dengan seorang anak lelaki kecil dengan rambut menutup poninya."Ini_" Jani menghentikan kalimat nya dan menatap ke arah Leon."Ya, itu aku. Meski tak kamu ingat kita adalah sahabat kecil Jani..Kata Jani berkaca menatap ke arah Leon, memperhatikan setiap lekuk wajah lelaki nan tampan itu dengan seksama."Benarkah itu dirimu? sahabat yang kadang hadir dalam mimpiku, aku selalu bertanya itu kisah siapa, sebab ta ada yang aku ingat dari masa lalu ku selain karena sepenggal kisah yang ku denggar dari bapak yang membesarkan ku."Jani berkata dalam hati, air mata nya turun tanpa sadar, membuat wajahnya yang putih merona kemerahan sekarang."Ada apa sayang?" "Sekarang aku tau kenapa kamu begitu baik padaku." Ucap nya lirih.Ya, selama ini Jani selalu merasa bersyukur sebab masih di beri hidup lebih lama, mengucap terimakasih pada Leon dalam hatinya sebab memberin
"Karena kamu tau segalanya Jani, kamu kehilangan ingatanmu saat mengalami kecelakaan setelah bertemu dengan Lenzia, itu pertemuan terakhirmu, sebab Lenzia menghilang setelahnya." Leon menjelaskan dengan gamblang"Jadi aku pernah bertemu dengan Lenzia?""Ya, dan Aini mencoba juga untuk membunuhmmu."Sri dan Jani sama-sama terkejut, menghadapi kenyataan yang teramat berat sekarang. ""Dan wanita tadi adalah Aini? ." Ucap Jani membuat Sri menatap nya serius."Kalian sudah bertemu Aini?""Iya, kami tak sengaja bertemu dengannya saat aku turun membeli minum, dia hampir membunuh Jani.""Dia terus menyebut ku Lusia.""Ya karena itu yang dia tau, dia hanya mengenal nama Lenzia Jani." Leon kembali menjelaskan dan membuat Jani semakin diam."Dimana kalian bertemu Aini?" Sri penasaran."Di minimarket tengah hutan.""Begitu? aku harus segera mencarinya." Sri berdiri, dia ingin bicara lebih banyak namun Sepertinya Aini jauh lebih Penting sekarang."Sepertinya aku harus permisi dulu, kami sudah lam
Sri tersenyum menyetujui, dirinya memang harus mengatakan banyak hal pada Jani sekarang."Saya janji tidak akan memaksa, bila nona Lusia berkenan saya pergi, saya akan pergi." Ucap Sri jujur, dia tak ingin mengusik Lusia yang sedang sakit namun jika wanita itu meminta penjelasan, Sri tentu saja lebih senang mendengarnya."Baiklah, hanya sebentar saja, tanyakan saja apa yang ingin kamu dengar dan setelah itu istirahatlah."Jani tersenyum dan mengganggukkan kepala. "Terimakasih sayang, terimakasih." Ucap Jani dengan wajah merona, mereka lalu masuk ke dalam kamar Leon.Leon meletakkan Jani ke atas tempat tidur, Jani bersandar pada tempat tidur nya dan Leon menyelimuti wanita itu hingga menutupi sebagian tubuhnya yang putih. Sri duduk di sisi ranjang, melihat betapa Leon memperlakukan Jani dengan istimewa, dia yakin lelaki ini memang tulus mencintai Jani."Katakan segera yang ingin anda katakan." Leon bicara dengan tegas, tak ingin Janin terusik lebih lama lagi.Jani menyentuh lengan keka
"Wanita ini menyebutku Lusia, Leon." Ucap Jani pada Leon membuat Leon juga merasa tak tenang."Dia menyebut Lusia, Leon! Dia tau Lusia!!" Jani terdengar panik, memeluk Leon dalam ketakutan.Leon mendekap mendekap erat Jani, menatap menatap marah pada apa yanh baru saja Aini lakukan, dia tak mengenal Aini, namunn beraninya wanita otu bahkan menyakiti orang yang sangat dia lindungi."Bawa dia pergi!" Ucap Leon kesal, dia ingin membuat. perhitungan pada Aini, namun menenangkan Jani jauh lebih penting sekarang.Leon melihat Aini di bawa paksa pergi, sementara Jani yang ketakutan merosot terduduk di lantai pelataran, dia terus menatap Aini yang menjauh, tak dapat lagi berpikir biaik, Jani berharap semua yang di lalukan bisa membuat nya mengingat sesuatu."Kamu baik-baik saja sayangku?" Leon tertunduk, mendekap Jani penuh penyesalan."Harusnya aku tak meninggalkan mu sendirian. sayang." Ucapnya merutuki kebodohan nya sendiri.Jani menangis kencang, tangisan yang entah kenapa tiba-tiba saja
"Jauhkan tanganmu, siapa kamu!" Jani berteriak histeris, tatapannya melihat ke arah dalam minimarket"Kenapa kamu cantik? Aku benci saat kamu cantik!'" Ucap Aini kesal, tangannya terus mencoba menyentuh wajah Jani."Kemari kami sialan!" Aini meremas kuat kerah baju Jani, membuat ia gemetar karena histeris."Tidak!.... tidak!" Ucapnya kencang dan sebuah ingatan masa lalu kembali muncul....Jani melihat wanita berparas mirip dirinya berlari letakutan dengan perut membesar, entah apa yang sudah di lalui hingga gaun putih yang di kenakan berlumur darah dan tanah, dinginya malam bukanlah musuh terbesarnya, dia lebih takut jika bayi dalam dekapan itu lepas dari pelukan. "Jangan mencoba lari Lusia!" Teriakan itu begitu nyaringo dan lantang terdengar.Lusia gemetar dalam tangis, berjongkok pada rimbunya dedaunan kecil dan ilalang, berharap diri nya tak di temukan."Lusia!" Teriakan itu kembali terdengar, tubuh kecil Lusia semakin gemetar."Sabarlah sayang, mama akan membawamu pulang, kita ak
"Aku ingin tau apa yang terjadi Leon, aku mohon katakan sesuatu." Ucapnya meminta, segala hal yang menimpanya begitu menyiksa dan membuat dirinya bertanya."Perlahan saja sayang, kita akan bicara nanti." Ucap Leon lalu membawa Jani masuk ke dalam mobil mereka.Meninggalkan rumah kosong yang serasa tak asing bagi jani, rumah yang sepertinya sangat dia kenal namun tak bisa di ingat lebih baik.Mobil Leon membelah malam sunyi, melewati hutan yang lebat dengan hanya satu, ldua penerangan minim, mereka hanya berdua saat datang dan pergi, menyisakan kesunyian nyata setiap kali tak ada suara di antara mereka."Kenapa diam?" Tanya Leon, ia masih Melihat Jani terdiam Menatap ke luar jendela."Rasanya aku pernah ada di sini." Ucapnya sembari melihat ke arah rumah kosong di sisi jalan.Leon berhenti mendadak, menatap ke arah rumah kosong di sisinkanan mereka, rumah tangga memang sejak lama tak di tempati, namun kenapa Jani merasa pernah ada di sana?"Kamu yakin pernah ada di sana?"Jani mengangg
Aini menjerit di depan toko, dia takut sebab Fandi sudah meninggalkan dirinya sendiri di tempat asing, pegawai toko juga ketakutan sekarang, Aini bisa saja melukai orang karena tertekan. "Wanita murahan!" Tiba-tibsa saja kalimat itu keluar dari bibir Aini, dia teringat pernah menyebut nama itu begitu sering dulu.Aini terduduk di trotoar jalan, uang yang di genggamnya ia lepas begitu saja, ia menatap nanar ke jalan yang sepi, seakan dirinya bisa saja tenggelam dalam gelap.Aini mengingat betul dia pernah hidup mewah, namun entah kenapa sekarang semua hanya bergantung pada saat orang memberinya perhatian dan cinta. "Kenapa kamu pergi mas!" Aini menangis lagi, kali ini bayang wajah Arka suaminya tergambar jelas, lelaki itu bahkan telah damai sekarang.Aini begitu mengingat bagaimana Arka yang tak pernah berbuat jahat padanya dulu, masih menjadi lelaki yang menempati hatinya selain Satria. Dia bahkan rela menyingkirkan semua rintangan yang ada hanya untuk menempati ruang yang tak lagi
Sementara Fandi dengan perasaan tak menentu memutuskan pulang ke Solo, dia tak ingin mendapat masalah dengan bertemu lelaki seperti tuan Cien. Bergegas dia berjalan ke kamar dan melihat Kila tertidur dengan baju terbuka."Ada apa Sayang?" Kila bertanya dengan cemas, melihat Fandi membuka lemari baju dan mengemasi barangnya."Ayo pulang sekarang." Ucapnya kesal terus di tanya namun Kila masih tak memahami situasi yang ada."Kenapa mendadak pulang?""Ya karena kita memang harus pulang Kila!" Ucap Fandi kesal. "Bantu aku berbenah dan jangan banyak tanya!" Ucapnya lagi lalu melanjutkan lagi menata pakaiannya.Dengan kesal Kila medekat, menarik kopernya juga ke depan lemari dan ikut memasukkan barang-barangnya."Padahal kita baru berapa hari di sini!" Ucapnya ketus."Kalau kau mau di sini terus, silahlan! aku mau pulang!" Ucap Fandi lagi dengan nada tinggi, dia benci sekali saat Kila merajuk tanpa alasan.Fandi menatap Kila dengan wajah tak suka."Harus nya kau malu bilang begitu, aku suda
"Kau tau tempat ini?" Leon bertanya dengan alis terangkat.Jani menggelengkan kepalanya, meski merasa tak asing namun dirinya tak dapat mengenali lingkungan tempatnya barada sekarang."Aku tak tau, ada sesuatu di sini?" Jani berusaha mengingat, namun tak dapat menemukan serpihan cerita dari tempatnya berada sekarang."Ayo kita masuk, mungkin kamu akan menemukan jawabannya. " Ucap Leon membuka pintu mobil nya dan segera berjalan ke sisi yang lain."Ayo keluar." Ucap Leon lagi, menarik jemari kecil Jani keluar dari dalam mobil mereka."Aku tak mengerti." Jani masih mematung di tempat, takut bila Leon berbuat sesuatu yang mungkin membuat dirinya merasa kecewa."Kau hanya perlu mengikuti kata hatimu, tak ada yang perlu di mengerti Jani, aku tak akan pernah membuatmu merasa terluka, percayalah!" Ucap Leon meyakinkan wanita di hadapannya itu.Mata Jani keluar menelisik ke sekitar tempatnya berdiri, sebuah pelataran kecil dengan pohon mangga besar di dekat pagar rumah itu, membuat hati kecil