Fandi memarkir mobil mewahnya di sisi area pemakaman, melihat ke arah satu makam yang berada hampir di tengah. Dirinya memutuskan turun dari kendaraan dan berjalan masuk membawa seikat bunga lili putih di tangannya. Langkahnya berhenti di atas sebuah pusara, pusara yang selalu berganti dengan bunga baru setiap kali dirinya datang.
"Apakah mamamu selalu datang kemari La?" Fandi mengusap nisan bertuliskan nama anaknya itu.Fandi meletakkan bunga baru di sisi mawar putih yang terlihat sedikit layu, ia lalu membersihkan nisan yang basah karena hujan semalam dan membuang dedaunan yang jatuh di sekitarnya."Maafkan ayah ya sayang, ayah benar-benar menyesali kebodohan ayah." Ucapnya lirih sebelum akhirnya air mata itu turun membasahi wajahnya."Bagaimana bisa ayahmu meragukan anaknya sendiri, apa yang ada di kepala ayahmu ini La!" Ucapnya parau, merasakan dadanya kian sesak karena kekecewaan dan penyesalan yang dalam.Fandi lalu duduk di sisi maFandi membawa mobilnya mencari alamat yang di berikan Yuan, mobilnya berhenti di depan pagar sebuah rumah yang terlihat kosong dari luar, dia mengintip dari cela-cela besi dan melihat seseorang sedang membersihkan halaman rumah itu."Pak!" Panggilnya pada seseorang yang ada di dalam.nampak lelaki paruh baya berjalan mendekat dan membuka pagar kecil di sisi pintu utama."Cari siapa mas?"Fandi membuang sisa puntung rokok di tangan lalu berjalan mendekati lelaki berperawakan kecil itu. "Saya di minta datang ke sini oleh tuan Yuan." Lelaki itu berubah terkejut, menatap Fandi dengan seksama "Tuan Fandi ya?""Ya betul, kok bapak bisa kenal saya?""Ya karena orang tuan Yuan sudah memberi tahu, silahkan masuk dulu." Ucapnya lalu berlari kecil membuka pintu utama. "mobilnya bawa masuk saja tuan, nanti kehujanan." Ucapnya lagi sembari melihat awan gelap mulai bergulung di atas mereka.Fandi kembali ke dalam mobil, merasa ragu sebentar, dia kemudian menyadari lelaki itu masih menunggunya di s
Yuan berlutut di hadapan tuan Lee, ia sudah berada di sebuah ruangan dengan keadaan gelap dan penggap. tangan dan kaki nya terikat kuat, bahkan bila dia bisa lepas, tak akan mungkin dia dapat lari dari tempatnya sekarang berada."Jika kalian ingin membunuhku, lakukan segera, jika tidak aku akan membalas perlakuan kalian satu per satu!" Taun memberikan ancaman, meski mata nya tertutup, dirinya masih tak ingin terlihat kalah."Aku tak akan membunuhmu sekarang, terlalu mudah jika mati adalah sebuah hukuman!".Ucap Tuan Lee dengan dingin, dirinya tak pernah takut pada siapapun." Apa yang kalian inginkan dariku Lee?"tuan Lee membenarkan letak duduknya dan meminta orang membuka ikat kepala Yuan."Nampaknya nyalimu cukup besar Yuan!" Tuan Lee bicara sembari memberikan kode pada Zui untuk mendekat.yuan berusaha melihat dengan jelas, dalam gelap dia tak dapat melihat juga siapa yang sedang duduk di depannya atau sedang di ruangan seperti apa dirinya sekarang."Lepaskan aku sekarang!" Yuan bi
Keadaan rumah tuan Lee begitu memanas, yang lain ingin segera menyelesaikan semua dan kembali dengan tenang, sementara beberapa orang masih menerima apa yang di lakukan tuan Lee pada mereka."Aku ingin segera menemui Fandi!" Ucap Tuan Lee setelah keluar dari ruangan tempat orang-orangnya mengakui perbuatan mereka."Zui, berikan uang dan kekuasaan pada Fandi, aku akan lihat apa yang akan orang itu lakukan sekarang!" Ucap tuan Lee lagi, dia ingin membit Fandi merasa berkuasa sebelum akhirnya melemparkan orang itu ke lumpur yang hina.****Sementara di rumahnya Fandi bersiap seolah seluruh dunia dia genggam, pakaian terbaik nya di kenakan dengan bangga meninggalkan rumah ibunya."mas Fandi yakin kita akan pindah ke rumah baru?" Fani masih ragu, meski begitu dirinya tak kalah heboh membawa semua barang yang dia punya."Tentu saja, bahkan di sana ada mobil yang bisa kau pakai." Ucapnya berbangga diri.Fani tersenyum mendengar ucapan Fandi, sudah lama dia memimpikan punya mobil lagu, setela
Sri berencana membawa Lala keluar dari rumah sakit dengan aman, kesibukan Fandi pada hidup barunya membuat lelaki itu melupakan tujuanya untuk sesaat, dan itu membuat Sri segera mengambil keputusannya."Aku akan pulang ke rumah bapak." Sei bicara pada suaminya.Satfia meletakkan secangkir teh di tangan dan menatap lekat pada sang istri."Kerumah bapak? sekarang? jangan membuat masalah baru sayang."Sri menatap dengan tajam. "Aku tak sedang membuat masalah, tapu rumah bapak sekarang adalah yang paling aman."Sri bicara tak kalah serius, setelah lama dia berpikir sendiri, kondisi lala dan keadaan tak bisa memaksanya pergi jauh dari rumah sakit."Aku sudah temukan tepat yang baru, sebuah apartemen di Surabaya, dekat dengan rumah sakit dan fasilitas lain, aku kira kita bisa kesana."Satria kembali memberi tawaran.Sebenarnya, ini bukan hanya tentang tempat tinggal, tapi juga rumah yang bisa di tempati tanpa gangguan Fandi dan semua orangnya.Sri menggelengkan kepalanya perlahan. "Aku sudah
Yuan tak dapat berbuat banyak, amarah Tuan Lee sudah membuatnya dalam bahaya, dia bahkan tak lagi punya kendali pada semua usahanya, hartanya bahkan dirinya sendiri."Air... beri aku air!" Iya berucap lirih, sejak semalam dirinya tak mendapatkan minum dan saat sebuah cawan kecil penuh air di letakkan dekat pintu selnya, Yuan merangkak segera meminum air itu."Lagi, beri lagi! Hey mana kemari kan air itu!" Ucapnya merasa air yang baru saja dia teguk belum menghilangkan rasa dahaganya."satu gelas, hanya itu yang kamu dapat! Kalu lihat di sana, mereka mengawasi kita!" Ucap penjaga lelaki itu lalu pergi begitu saja."Aji*ng! Aku bukan hewan peliharaan tol*l, aku juga manusia!" Umpatnya kesal, membanting cawan kosong di tangannya.segera dia merangkak dan duduk bersandar pada dinding sel yang dingin, melirik di mana kamera itu di tunjuk tadi, kamera pengawas yang tak hanya melihatnya di dalam, tapi juga di luar."Kalian semua memang binatang! aku sudah memintaaa, bahkan bersujud untuk men
Yuan tak dapat berbuat banyak, amarah Tuan Lee sudah membuatnya dalam bahaya, dia bahkan tak lagi punya kendali pada semua usahanya, hartanya bahkan dirinya sendiri."Air... beri aku air!" Iya berucap lirih, sejak semalam dirinya tak mendapatkan minum dan saat sebuah cawan kecil penuh air di letakkan dekat pintu selnya, Yuan merangkak segera meminum air itu."Lagi, beri lagi! Hey mana kemari kan air itu!" Ucapnya merasa air yang baru saja dia teguk belum menghilangkan rasa dahaganya."satu gelas, hanya itu yang kamu dapat! Kalu lihat di sana, mereka mengawasi kita!" Ucap penjaga lelaki itu lalu pergi begitu saja."Aji*ng! Aku bukan hewan peliharaan tol*l, aku juga manusia!" Umpatnya kesal, membanting cawan kosong di tangannya.segera dia merangkak dan duduk bersandar pada dinding sel yang dingin, melirik di mana kamera itu di tunjuk tadi, kamera pengawas yang tak hanya melihatnya di dalam, tapi juga di luar."Kalian semua memang binatang! aku sudah memintaaa, bahkan bersujud untuk men
Sri hanya bisa menatap Lala yang terpaku di atas ranjangnya, gadis itu baru saja terbangun dari tidur dan belum menyapa dirinya. setelah kepindaha mereka ke rumah kastil, Sri selalu verusaha menemani hari-hari sang putri. Melihat wajah sang anak yang polos, Sri selalu berharap ada sebuah keajaiban menuntun nya kembali pada kondisi Lala yang ceria seperti dahulu."Kenapa kakiku nggak bisa gerak?" Lirih gadis kecil itu bicara, Sri segera tersadar dari lamunan, menyadari Lala terbangun dengan ingatan yang kembali hilang, seakan sesuatu mencubit hatinya."Kaki Lala kan sedang sakit."Gadis kecil itu menatap ke arah ibunya. "tante siapa? kenapa ada di sini?"Sri terdiam menahan nyeri di dada, bahkan putrinya sendiri selalu saja bisa lupa pada dirinya.Dengan senyum hangat dan berusaha tegar, Sri menatap wajah kecil Lala. "Ini mama, mama Lala, apa Lala tidak ingat?." Bisiknya lembut dan mengusap wajah halus sang anak.Lala hanya diam menatap dua manik mata ibunya, setelah itu dia diam melih
Semakin hari kesehatan Lala semakin menurun, bahkan hari ini gadis kecil itu sama sekali tak ingat siapapun."Apa akan seperti ini terus?" Sri bertanya pada Satria, hatinya selalu terluka setiap kali Lala tak mengenalinya lagi."Ya, kita harus terus berdoa'a untuk Lala, kamu sudah mendapat penjelasan dari dokter dan beginilah keadaan Lala sekarang. Kita harus kuat sayang, Lala sedang berjuang."Sri tertunduk menahan nyeri, beberapa minggu dirinya sama sekali tak keluar dari rumah, bahkan nyaris meninggalkan semua urusnnya hanya untuk bisa menemani Lala , mungkinkah salah bila dirinya masih berharap Lala kembali sembuh."Aku dengar Fandi akan menikah." Satria memberi tahu Sri tentang kabar yang dia dengar.Sri menatap ke arah suaminya, mencari tau apakah kabar itu benar adanya."Apa yang ku dengar ini tak salah?""Tak ada yang salah, Aku mendengar memang dia akan menikah.".Kedua tangan Sri mengepal penuh amarah. "Aku tak perduli bagaimana dia akan menjalani hidup atau dengan siapa dia
Jani mengambil foto di tangan Leon dan memperhatikan lebih jelas, gadis bermata abu itu memang nampak sanggat bahagia bersanding dengan seorang anak lelaki kecil dengan rambut menutup poninya."Ini_" Jani menghentikan kalimat nya dan menatap ke arah Leon."Ya, itu aku. Meski tak kamu ingat kita adalah sahabat kecil Jani..Kata Jani berkaca menatap ke arah Leon, memperhatikan setiap lekuk wajah lelaki nan tampan itu dengan seksama."Benarkah itu dirimu? sahabat yang kadang hadir dalam mimpiku, aku selalu bertanya itu kisah siapa, sebab ta ada yang aku ingat dari masa lalu ku selain karena sepenggal kisah yang ku denggar dari bapak yang membesarkan ku."Jani berkata dalam hati, air mata nya turun tanpa sadar, membuat wajahnya yang putih merona kemerahan sekarang."Ada apa sayang?" "Sekarang aku tau kenapa kamu begitu baik padaku." Ucap nya lirih.Ya, selama ini Jani selalu merasa bersyukur sebab masih di beri hidup lebih lama, mengucap terimakasih pada Leon dalam hatinya sebab memberin
"Karena kamu tau segalanya Jani, kamu kehilangan ingatanmu saat mengalami kecelakaan setelah bertemu dengan Lenzia, itu pertemuan terakhirmu, sebab Lenzia menghilang setelahnya." Leon menjelaskan dengan gamblang"Jadi aku pernah bertemu dengan Lenzia?""Ya, dan Aini mencoba juga untuk membunuhmmu."Sri dan Jani sama-sama terkejut, menghadapi kenyataan yang teramat berat sekarang. ""Dan wanita tadi adalah Aini? ." Ucap Jani membuat Sri menatap nya serius."Kalian sudah bertemu Aini?""Iya, kami tak sengaja bertemu dengannya saat aku turun membeli minum, dia hampir membunuh Jani.""Dia terus menyebut ku Lusia.""Ya karena itu yang dia tau, dia hanya mengenal nama Lenzia Jani." Leon kembali menjelaskan dan membuat Jani semakin diam."Dimana kalian bertemu Aini?" Sri penasaran."Di minimarket tengah hutan.""Begitu? aku harus segera mencarinya." Sri berdiri, dia ingin bicara lebih banyak namun Sepertinya Aini jauh lebih Penting sekarang."Sepertinya aku harus permisi dulu, kami sudah lam
Sri tersenyum menyetujui, dirinya memang harus mengatakan banyak hal pada Jani sekarang."Saya janji tidak akan memaksa, bila nona Lusia berkenan saya pergi, saya akan pergi." Ucap Sri jujur, dia tak ingin mengusik Lusia yang sedang sakit namun jika wanita itu meminta penjelasan, Sri tentu saja lebih senang mendengarnya."Baiklah, hanya sebentar saja, tanyakan saja apa yang ingin kamu dengar dan setelah itu istirahatlah."Jani tersenyum dan mengganggukkan kepala. "Terimakasih sayang, terimakasih." Ucap Jani dengan wajah merona, mereka lalu masuk ke dalam kamar Leon.Leon meletakkan Jani ke atas tempat tidur, Jani bersandar pada tempat tidur nya dan Leon menyelimuti wanita itu hingga menutupi sebagian tubuhnya yang putih. Sri duduk di sisi ranjang, melihat betapa Leon memperlakukan Jani dengan istimewa, dia yakin lelaki ini memang tulus mencintai Jani."Katakan segera yang ingin anda katakan." Leon bicara dengan tegas, tak ingin Janin terusik lebih lama lagi.Jani menyentuh lengan keka
"Wanita ini menyebutku Lusia, Leon." Ucap Jani pada Leon membuat Leon juga merasa tak tenang."Dia menyebut Lusia, Leon! Dia tau Lusia!!" Jani terdengar panik, memeluk Leon dalam ketakutan.Leon mendekap mendekap erat Jani, menatap menatap marah pada apa yanh baru saja Aini lakukan, dia tak mengenal Aini, namunn beraninya wanita otu bahkan menyakiti orang yang sangat dia lindungi."Bawa dia pergi!" Ucap Leon kesal, dia ingin membuat. perhitungan pada Aini, namun menenangkan Jani jauh lebih penting sekarang.Leon melihat Aini di bawa paksa pergi, sementara Jani yang ketakutan merosot terduduk di lantai pelataran, dia terus menatap Aini yang menjauh, tak dapat lagi berpikir biaik, Jani berharap semua yang di lalukan bisa membuat nya mengingat sesuatu."Kamu baik-baik saja sayangku?" Leon tertunduk, mendekap Jani penuh penyesalan."Harusnya aku tak meninggalkan mu sendirian. sayang." Ucapnya merutuki kebodohan nya sendiri.Jani menangis kencang, tangisan yang entah kenapa tiba-tiba saja
"Jauhkan tanganmu, siapa kamu!" Jani berteriak histeris, tatapannya melihat ke arah dalam minimarket"Kenapa kamu cantik? Aku benci saat kamu cantik!'" Ucap Aini kesal, tangannya terus mencoba menyentuh wajah Jani."Kemari kami sialan!" Aini meremas kuat kerah baju Jani, membuat ia gemetar karena histeris."Tidak!.... tidak!" Ucapnya kencang dan sebuah ingatan masa lalu kembali muncul....Jani melihat wanita berparas mirip dirinya berlari letakutan dengan perut membesar, entah apa yang sudah di lalui hingga gaun putih yang di kenakan berlumur darah dan tanah, dinginya malam bukanlah musuh terbesarnya, dia lebih takut jika bayi dalam dekapan itu lepas dari pelukan. "Jangan mencoba lari Lusia!" Teriakan itu begitu nyaringo dan lantang terdengar.Lusia gemetar dalam tangis, berjongkok pada rimbunya dedaunan kecil dan ilalang, berharap diri nya tak di temukan."Lusia!" Teriakan itu kembali terdengar, tubuh kecil Lusia semakin gemetar."Sabarlah sayang, mama akan membawamu pulang, kita ak
"Aku ingin tau apa yang terjadi Leon, aku mohon katakan sesuatu." Ucapnya meminta, segala hal yang menimpanya begitu menyiksa dan membuat dirinya bertanya."Perlahan saja sayang, kita akan bicara nanti." Ucap Leon lalu membawa Jani masuk ke dalam mobil mereka.Meninggalkan rumah kosong yang serasa tak asing bagi jani, rumah yang sepertinya sangat dia kenal namun tak bisa di ingat lebih baik.Mobil Leon membelah malam sunyi, melewati hutan yang lebat dengan hanya satu, ldua penerangan minim, mereka hanya berdua saat datang dan pergi, menyisakan kesunyian nyata setiap kali tak ada suara di antara mereka."Kenapa diam?" Tanya Leon, ia masih Melihat Jani terdiam Menatap ke luar jendela."Rasanya aku pernah ada di sini." Ucapnya sembari melihat ke arah rumah kosong di sisi jalan.Leon berhenti mendadak, menatap ke arah rumah kosong di sisinkanan mereka, rumah tangga memang sejak lama tak di tempati, namun kenapa Jani merasa pernah ada di sana?"Kamu yakin pernah ada di sana?"Jani mengangg
Aini menjerit di depan toko, dia takut sebab Fandi sudah meninggalkan dirinya sendiri di tempat asing, pegawai toko juga ketakutan sekarang, Aini bisa saja melukai orang karena tertekan. "Wanita murahan!" Tiba-tibsa saja kalimat itu keluar dari bibir Aini, dia teringat pernah menyebut nama itu begitu sering dulu.Aini terduduk di trotoar jalan, uang yang di genggamnya ia lepas begitu saja, ia menatap nanar ke jalan yang sepi, seakan dirinya bisa saja tenggelam dalam gelap.Aini mengingat betul dia pernah hidup mewah, namun entah kenapa sekarang semua hanya bergantung pada saat orang memberinya perhatian dan cinta. "Kenapa kamu pergi mas!" Aini menangis lagi, kali ini bayang wajah Arka suaminya tergambar jelas, lelaki itu bahkan telah damai sekarang.Aini begitu mengingat bagaimana Arka yang tak pernah berbuat jahat padanya dulu, masih menjadi lelaki yang menempati hatinya selain Satria. Dia bahkan rela menyingkirkan semua rintangan yang ada hanya untuk menempati ruang yang tak lagi
Sementara Fandi dengan perasaan tak menentu memutuskan pulang ke Solo, dia tak ingin mendapat masalah dengan bertemu lelaki seperti tuan Cien. Bergegas dia berjalan ke kamar dan melihat Kila tertidur dengan baju terbuka."Ada apa Sayang?" Kila bertanya dengan cemas, melihat Fandi membuka lemari baju dan mengemasi barangnya."Ayo pulang sekarang." Ucapnya kesal terus di tanya namun Kila masih tak memahami situasi yang ada."Kenapa mendadak pulang?""Ya karena kita memang harus pulang Kila!" Ucap Fandi kesal. "Bantu aku berbenah dan jangan banyak tanya!" Ucapnya lagi lalu melanjutkan lagi menata pakaiannya.Dengan kesal Kila medekat, menarik kopernya juga ke depan lemari dan ikut memasukkan barang-barangnya."Padahal kita baru berapa hari di sini!" Ucapnya ketus."Kalau kau mau di sini terus, silahlan! aku mau pulang!" Ucap Fandi lagi dengan nada tinggi, dia benci sekali saat Kila merajuk tanpa alasan.Fandi menatap Kila dengan wajah tak suka."Harus nya kau malu bilang begitu, aku suda
"Kau tau tempat ini?" Leon bertanya dengan alis terangkat.Jani menggelengkan kepalanya, meski merasa tak asing namun dirinya tak dapat mengenali lingkungan tempatnya barada sekarang."Aku tak tau, ada sesuatu di sini?" Jani berusaha mengingat, namun tak dapat menemukan serpihan cerita dari tempatnya berada sekarang."Ayo kita masuk, mungkin kamu akan menemukan jawabannya. " Ucap Leon membuka pintu mobil nya dan segera berjalan ke sisi yang lain."Ayo keluar." Ucap Leon lagi, menarik jemari kecil Jani keluar dari dalam mobil mereka."Aku tak mengerti." Jani masih mematung di tempat, takut bila Leon berbuat sesuatu yang mungkin membuat dirinya merasa kecewa."Kau hanya perlu mengikuti kata hatimu, tak ada yang perlu di mengerti Jani, aku tak akan pernah membuatmu merasa terluka, percayalah!" Ucap Leon meyakinkan wanita di hadapannya itu.Mata Jani keluar menelisik ke sekitar tempatnya berdiri, sebuah pelataran kecil dengan pohon mangga besar di dekat pagar rumah itu, membuat hati kecil