Fandi memarkirkan mobilnya di depan rumah Aini, memperhatikan ke dalam pelataran rumah yang nampak sunyi. Dia lalu mengambil ponselnyandan menghubungi wanita itu.tut... tut... tut...Nada sambung terdengar, namun tak juga ada jawaban.Fandi turun dari mobilnya, ia masuk begitu saja setelah lama menelepon Aini dan tak mendapat jawaban."Kenapa pagarnya tak di kunci?" Fandi bergumam sendiri dan melangkah masuk ke pelataran rumah. Mobil Aini berada di pelataran rumahnya, namun hingga dirinya sampai ke ruang tengah, Aini tak juga terlihat."Aini!" Dia memanggil lagi, memutar seisi ruang bawah lalu pandangannya tertuju ke arah tangga."Apa dia ada di atas?" Fandi bertanya sendiri, kemudian dia mengambil langkah naik ke lantai dua, setelah memastikan tak ada siapapun yang bisa dia temui di bawah."Aini!" Teriaknya lagi, namun hanya suara air yang dia dengar dari sebuah ruangan."Aini!" Fandi mengetuk kamar itu dan lagi-lagi tak ada jawaban.Perlahan Fandi membuka pintu kamar dan terkejut
Fandi memakai kembali bajunya, Aini telah membuat dirinya lupa akan segala yang seharusnya dia urus."Maaf jika akhir nya seperti ini." Ucap Fandi sedikit menyesal, entah kenapa dia jadi lupa diri, bahkan membiarkan hawa nafsu menguasainya."Lupakan, di matamu aku memang wanita murahan kan?" Aini bicara seolah menyesali apa yang sudah terjadi."Aku tak pernah menyebutmu begitu, lagi pula untuk apa aku berpikir kau murahan, itu tak akan memberiku keuntungan." "Bohong! Bukankah kau menikmatinya?"Fandi memastikan bajunya kembali rapi, ia berdiri di depan kaca sebentar lalu berjalan keluar dari kamar wanita itu."Tentu saja, lelaki manapun akan menikmatinya sayang.""Sayang? seperti apa aku di matamu?""Entahlah, kau hanyalah wanita biasa dan hari ini aku tau kau hebat di atas ranjang."Kalimat dari Fandi seolah menghujam harga diri Aini."Jangn tersinggung, ini pujian Aini. Bukankah tuan Yuan juga tergila-gila pada dirimu?" Fandi menaikkan kedua alisnya, sementara Aini masih terdiam."
"Mutia mau tinggal di sini?" Sri kembali bertanya pada gadis kecil itu, ada rasa marah dalam dirinya setiap kali melihat Mutia, wajahnya selalu mengingatkan Sri pada Aini, namun gadis itu hanyalah anak kecil yang tak bisa di salah kan atas perbuatan mamanya."Iya mau. Tapi tante akan sering kesini?""Ya, hari libur tante akan datang. jika Mutia ingin pulang, bilang tante Raya, dia akan antar Mutia ke mama.".Dengan cepat Mutia menggelengkan kepalanya. "Tidak tante, Mutia nggak mau ke rumah mama lagi."Gadis itu perlahan membuka lengan dan perutnya, Sri terkejut saat mendapati luka lebam di semua sisi, dia bahkan memeriksa punggung Mutia yang penuh memar lama dan baru."Apa ini? apa yang sudah mamamu lakukan Mutia?" Sri menatap manik mata gadis kecil itu."Mama marah dan pukul Mutia.""Bagaiamana bisa mamamu marah dan memukulmu begini?" Sri benar-benar kehilangan kata, tak terbayang olehnya apa yang di alami Mutia ternyata begitu berat."Kemarilah sayang, biarkan tante memeluk mu." Uca
Sri membuka pintu dengan gemetar, gadis kesayangannya duduk di atas kursi roda dan menatapnya dengan senyuman."Mama... " Ucapnya lirih."Hay sayang." Sri melepaskan tas nya di lantai, berlari kecil memeluk sang putri.Bagi Sri waktunya dan Lala begitu berharga, terlebih panggilan "mama" itu keluar dari bibir Lala, entah esok atau sedetik kemudian gadis itu masih ingat dengannya atau tidak."Lala ingat mama?" Sri bertanya tanpa bisa membendung rasa bahagianya."Apa Lala selalu lupa sama mama? kenapa mama menangis?" Lala bertanya dengan polos, dia ikut sedih bila tau dirinya ternyata menyakiti mamanya sendiri."Oh sayangku, bukan begitu sayang, mama hanya senang Lala sudah lebih baik.""Lala tau mama berbohong, Lala lupa mama kan, iya kan ma?"Sri menggeleng dengan cepat. " Bukan, Lala hanya sering tidur karena obat, jadi mama senang Lala bisa duduk di sini dan tersenyum pada mama, mama kangen sama Lala.""Apa begitu? apakah begitu pa?"Sri menoleh ke belakang, Satria sudah berdiri di
"Ayo kita makan bersama!" Sri berseru, membawa semangkuk sup dengan iga sapi yang baunya menyebar ke ruangan atas.Lala tersenyum saat Satria membawanya keluar kamar, mereka memang tak bisa makan di bawah, Lala masih suka general setiap kali masuk dalam ruang kecil yang tertutup seperti lif rumah mereka, jadilah Satria mengatur segalanya di ruang tengah lantai dua.Arman bahkan tak bisa menyembunyikan rasa hatinya, melihat keluarga kecil sang nyonya kini begitu lengkap dengan kebahagiaan."Mama buat bubur ayam kesukaan Lala."Gadis itu tersenyum senang melihat semangkuk bubur yang dia rasa lama tak di jumpai."Man, kenapa hanya berdiri di situ, ayo makan kemari!" Satria memanggil Arman yang berdiri menatap ke arah meja.Arman terkejut saat sang tuan memanggilnya, merasa canggung dan tak enak hati dia mundur satu langkah "Terimakasih tuan, tapi tidak usah tuan, saya_""Jangan menolak man, nanti tuan besar marah, duduklah kemari dan kita makan bersama, kalian juga kemari, ayo kita makan
Mutia masih tak bisa memejamkan mata, hingga malam semakin larut, gadis kecil itu meringkuk dengan takut di bawah selimutnya yang hangat. Untuk pertama kalinya ia jauh dari sang ibu, meski ada rasa senang tak lagi merasa tertekan, satu sisi hatinya juga takut bila mamanya menggamuk atau menyakiti adiknya yang masih kecil. Bulir bening keluar dari manik matanya yang bulat, selama ini dia simpan semua sendiri, bahkan saat sang ibu terus memintanya menyakiti Lala dulu, Mutia merasa Sri tak akan membantunya.Gadis itu kemudian teringat beberapa waktu lalu saat hujan deras menguyur sekolahnya yang pulang lebih awal, Mutia berdiri di gerbang sekolah dan hampir berlari saat Sri datang mendekat."Tunggu Mutia, tunggu!" Sri meraih tangan kecil gadis itu, melihatnya takut, Sri membelai wajah Mutia dengan lembut."Tante mau apa?" Saat itu tubuh Mutia gemetar hebat, bahkan tangannya tak bisa memegang botol minum dengan benar."Jangan takut, tante hanya ingin menyapa. Mutia baik-baik saja?" Sri ya
Sri meninggalkan rumahnya dengan amarah yang tertahan, membayangkan wajah lelaki mantan suaminya itu membuat darahnya seakan mendidih di ujung kepala. Dengan segera ia meminta supirnya menuju pabrik teh tempat Fandi bekerja dulu. Lelaki itu masih menunggu di luar pabrik saat Sri sampai dan memasukkan mobilnya ke dalam. Fandi tentu saja tak datang sendiri, dia bersama beberapa orang yang Sri kenal adalah anak buah Yuan dulu.Sri turun dari mobil dan berjalan kembali ke area pintu masuk, melihat lelaki tak tau malu itu tersenyum dengan sombongnya di luar pagar pabrik yang di kunci lagi setelah Sri masuk."Hay nyonya Meilin, apakah begini caramu memperlakukan tamu? kami bahkan tak di izinkan masuk dan menunggu di dalam." Fandi berteriak dari luar pagar, memperlihatkan sikap arogannya dengan kesombongan yang justeru membuat Sri tersenyum geli."Tamu macam apa yang datang bahkan saat tuannya tak ada di tempat? kamu berteriak meminta di perlakukan baik, tapi lihat dirimu sendiri, apa kamu m
Fandi terduduk tanpa tenaga, seluruh tulangnya seolah lepas dari raga, Sri sudah membuat seluruh harga dirinya tergerus habis, bahkan ia nyaris tak lagi bisa berlagak sombong di depan orang-orang Yuan. Dan yang tak dapat Fandi lupakan adalah tatapan dingin mantan istri nya itu, seperti membawa mata pisau yang menghulus harga dirinya."Apa kita akan balas wanita itu?" Pengawal Yuan bertanya pada Fandi, dia juga merasa sakit hati di perlakukan begitu oleh seorang wanita."Tidak sekarang, wanita itu sangat berbahaya."Mereka masih berada di depan pabrik, duduk di dalam mobil yang bahkan belum beranjak dari tempatnya."Lalu kapan tuan? dia sudah menghina kita, apa tuan akan diam saja?"Fandi menatap dengan marah pada dua orang yang duduk di kursi depan."Jangan mengajari aku! Aku akan pikirkan bagaimana caranya membalas perlakuan wanita itu, sekarang jalankan saja mobilnya sebelum peluru mereka bersarang di kepala kalian!" Ucap Fandi kesal, dia masih bisa melihat beberapa orang di atas ge
Jani mengambil foto di tangan Leon dan memperhatikan lebih jelas, gadis bermata abu itu memang nampak sanggat bahagia bersanding dengan seorang anak lelaki kecil dengan rambut menutup poninya."Ini_" Jani menghentikan kalimat nya dan menatap ke arah Leon."Ya, itu aku. Meski tak kamu ingat kita adalah sahabat kecil Jani..Kata Jani berkaca menatap ke arah Leon, memperhatikan setiap lekuk wajah lelaki nan tampan itu dengan seksama."Benarkah itu dirimu? sahabat yang kadang hadir dalam mimpiku, aku selalu bertanya itu kisah siapa, sebab ta ada yang aku ingat dari masa lalu ku selain karena sepenggal kisah yang ku denggar dari bapak yang membesarkan ku."Jani berkata dalam hati, air mata nya turun tanpa sadar, membuat wajahnya yang putih merona kemerahan sekarang."Ada apa sayang?" "Sekarang aku tau kenapa kamu begitu baik padaku." Ucap nya lirih.Ya, selama ini Jani selalu merasa bersyukur sebab masih di beri hidup lebih lama, mengucap terimakasih pada Leon dalam hatinya sebab memberin
"Karena kamu tau segalanya Jani, kamu kehilangan ingatanmu saat mengalami kecelakaan setelah bertemu dengan Lenzia, itu pertemuan terakhirmu, sebab Lenzia menghilang setelahnya." Leon menjelaskan dengan gamblang"Jadi aku pernah bertemu dengan Lenzia?""Ya, dan Aini mencoba juga untuk membunuhmmu."Sri dan Jani sama-sama terkejut, menghadapi kenyataan yang teramat berat sekarang. ""Dan wanita tadi adalah Aini? ." Ucap Jani membuat Sri menatap nya serius."Kalian sudah bertemu Aini?""Iya, kami tak sengaja bertemu dengannya saat aku turun membeli minum, dia hampir membunuh Jani.""Dia terus menyebut ku Lusia.""Ya karena itu yang dia tau, dia hanya mengenal nama Lenzia Jani." Leon kembali menjelaskan dan membuat Jani semakin diam."Dimana kalian bertemu Aini?" Sri penasaran."Di minimarket tengah hutan.""Begitu? aku harus segera mencarinya." Sri berdiri, dia ingin bicara lebih banyak namun Sepertinya Aini jauh lebih Penting sekarang."Sepertinya aku harus permisi dulu, kami sudah lam
Sri tersenyum menyetujui, dirinya memang harus mengatakan banyak hal pada Jani sekarang."Saya janji tidak akan memaksa, bila nona Lusia berkenan saya pergi, saya akan pergi." Ucap Sri jujur, dia tak ingin mengusik Lusia yang sedang sakit namun jika wanita itu meminta penjelasan, Sri tentu saja lebih senang mendengarnya."Baiklah, hanya sebentar saja, tanyakan saja apa yang ingin kamu dengar dan setelah itu istirahatlah."Jani tersenyum dan mengganggukkan kepala. "Terimakasih sayang, terimakasih." Ucap Jani dengan wajah merona, mereka lalu masuk ke dalam kamar Leon.Leon meletakkan Jani ke atas tempat tidur, Jani bersandar pada tempat tidur nya dan Leon menyelimuti wanita itu hingga menutupi sebagian tubuhnya yang putih. Sri duduk di sisi ranjang, melihat betapa Leon memperlakukan Jani dengan istimewa, dia yakin lelaki ini memang tulus mencintai Jani."Katakan segera yang ingin anda katakan." Leon bicara dengan tegas, tak ingin Janin terusik lebih lama lagi.Jani menyentuh lengan keka
"Wanita ini menyebutku Lusia, Leon." Ucap Jani pada Leon membuat Leon juga merasa tak tenang."Dia menyebut Lusia, Leon! Dia tau Lusia!!" Jani terdengar panik, memeluk Leon dalam ketakutan.Leon mendekap mendekap erat Jani, menatap menatap marah pada apa yanh baru saja Aini lakukan, dia tak mengenal Aini, namunn beraninya wanita otu bahkan menyakiti orang yang sangat dia lindungi."Bawa dia pergi!" Ucap Leon kesal, dia ingin membuat. perhitungan pada Aini, namun menenangkan Jani jauh lebih penting sekarang.Leon melihat Aini di bawa paksa pergi, sementara Jani yang ketakutan merosot terduduk di lantai pelataran, dia terus menatap Aini yang menjauh, tak dapat lagi berpikir biaik, Jani berharap semua yang di lalukan bisa membuat nya mengingat sesuatu."Kamu baik-baik saja sayangku?" Leon tertunduk, mendekap Jani penuh penyesalan."Harusnya aku tak meninggalkan mu sendirian. sayang." Ucapnya merutuki kebodohan nya sendiri.Jani menangis kencang, tangisan yang entah kenapa tiba-tiba saja
"Jauhkan tanganmu, siapa kamu!" Jani berteriak histeris, tatapannya melihat ke arah dalam minimarket"Kenapa kamu cantik? Aku benci saat kamu cantik!'" Ucap Aini kesal, tangannya terus mencoba menyentuh wajah Jani."Kemari kami sialan!" Aini meremas kuat kerah baju Jani, membuat ia gemetar karena histeris."Tidak!.... tidak!" Ucapnya kencang dan sebuah ingatan masa lalu kembali muncul....Jani melihat wanita berparas mirip dirinya berlari letakutan dengan perut membesar, entah apa yang sudah di lalui hingga gaun putih yang di kenakan berlumur darah dan tanah, dinginya malam bukanlah musuh terbesarnya, dia lebih takut jika bayi dalam dekapan itu lepas dari pelukan. "Jangan mencoba lari Lusia!" Teriakan itu begitu nyaringo dan lantang terdengar.Lusia gemetar dalam tangis, berjongkok pada rimbunya dedaunan kecil dan ilalang, berharap diri nya tak di temukan."Lusia!" Teriakan itu kembali terdengar, tubuh kecil Lusia semakin gemetar."Sabarlah sayang, mama akan membawamu pulang, kita ak
"Aku ingin tau apa yang terjadi Leon, aku mohon katakan sesuatu." Ucapnya meminta, segala hal yang menimpanya begitu menyiksa dan membuat dirinya bertanya."Perlahan saja sayang, kita akan bicara nanti." Ucap Leon lalu membawa Jani masuk ke dalam mobil mereka.Meninggalkan rumah kosong yang serasa tak asing bagi jani, rumah yang sepertinya sangat dia kenal namun tak bisa di ingat lebih baik.Mobil Leon membelah malam sunyi, melewati hutan yang lebat dengan hanya satu, ldua penerangan minim, mereka hanya berdua saat datang dan pergi, menyisakan kesunyian nyata setiap kali tak ada suara di antara mereka."Kenapa diam?" Tanya Leon, ia masih Melihat Jani terdiam Menatap ke luar jendela."Rasanya aku pernah ada di sini." Ucapnya sembari melihat ke arah rumah kosong di sisi jalan.Leon berhenti mendadak, menatap ke arah rumah kosong di sisinkanan mereka, rumah tangga memang sejak lama tak di tempati, namun kenapa Jani merasa pernah ada di sana?"Kamu yakin pernah ada di sana?"Jani mengangg
Aini menjerit di depan toko, dia takut sebab Fandi sudah meninggalkan dirinya sendiri di tempat asing, pegawai toko juga ketakutan sekarang, Aini bisa saja melukai orang karena tertekan. "Wanita murahan!" Tiba-tibsa saja kalimat itu keluar dari bibir Aini, dia teringat pernah menyebut nama itu begitu sering dulu.Aini terduduk di trotoar jalan, uang yang di genggamnya ia lepas begitu saja, ia menatap nanar ke jalan yang sepi, seakan dirinya bisa saja tenggelam dalam gelap.Aini mengingat betul dia pernah hidup mewah, namun entah kenapa sekarang semua hanya bergantung pada saat orang memberinya perhatian dan cinta. "Kenapa kamu pergi mas!" Aini menangis lagi, kali ini bayang wajah Arka suaminya tergambar jelas, lelaki itu bahkan telah damai sekarang.Aini begitu mengingat bagaimana Arka yang tak pernah berbuat jahat padanya dulu, masih menjadi lelaki yang menempati hatinya selain Satria. Dia bahkan rela menyingkirkan semua rintangan yang ada hanya untuk menempati ruang yang tak lagi
Sementara Fandi dengan perasaan tak menentu memutuskan pulang ke Solo, dia tak ingin mendapat masalah dengan bertemu lelaki seperti tuan Cien. Bergegas dia berjalan ke kamar dan melihat Kila tertidur dengan baju terbuka."Ada apa Sayang?" Kila bertanya dengan cemas, melihat Fandi membuka lemari baju dan mengemasi barangnya."Ayo pulang sekarang." Ucapnya kesal terus di tanya namun Kila masih tak memahami situasi yang ada."Kenapa mendadak pulang?""Ya karena kita memang harus pulang Kila!" Ucap Fandi kesal. "Bantu aku berbenah dan jangan banyak tanya!" Ucapnya lagi lalu melanjutkan lagi menata pakaiannya.Dengan kesal Kila medekat, menarik kopernya juga ke depan lemari dan ikut memasukkan barang-barangnya."Padahal kita baru berapa hari di sini!" Ucapnya ketus."Kalau kau mau di sini terus, silahlan! aku mau pulang!" Ucap Fandi lagi dengan nada tinggi, dia benci sekali saat Kila merajuk tanpa alasan.Fandi menatap Kila dengan wajah tak suka."Harus nya kau malu bilang begitu, aku suda
"Kau tau tempat ini?" Leon bertanya dengan alis terangkat.Jani menggelengkan kepalanya, meski merasa tak asing namun dirinya tak dapat mengenali lingkungan tempatnya barada sekarang."Aku tak tau, ada sesuatu di sini?" Jani berusaha mengingat, namun tak dapat menemukan serpihan cerita dari tempatnya berada sekarang."Ayo kita masuk, mungkin kamu akan menemukan jawabannya. " Ucap Leon membuka pintu mobil nya dan segera berjalan ke sisi yang lain."Ayo keluar." Ucap Leon lagi, menarik jemari kecil Jani keluar dari dalam mobil mereka."Aku tak mengerti." Jani masih mematung di tempat, takut bila Leon berbuat sesuatu yang mungkin membuat dirinya merasa kecewa."Kau hanya perlu mengikuti kata hatimu, tak ada yang perlu di mengerti Jani, aku tak akan pernah membuatmu merasa terluka, percayalah!" Ucap Leon meyakinkan wanita di hadapannya itu.Mata Jani keluar menelisik ke sekitar tempatnya berdiri, sebuah pelataran kecil dengan pohon mangga besar di dekat pagar rumah itu, membuat hati kecil