Mutia masih tak bisa memejamkan mata, hingga malam semakin larut, gadis kecil itu meringkuk dengan takut di bawah selimutnya yang hangat. Untuk pertama kalinya ia jauh dari sang ibu, meski ada rasa senang tak lagi merasa tertekan, satu sisi hatinya juga takut bila mamanya menggamuk atau menyakiti adiknya yang masih kecil. Bulir bening keluar dari manik matanya yang bulat, selama ini dia simpan semua sendiri, bahkan saat sang ibu terus memintanya menyakiti Lala dulu, Mutia merasa Sri tak akan membantunya.Gadis itu kemudian teringat beberapa waktu lalu saat hujan deras menguyur sekolahnya yang pulang lebih awal, Mutia berdiri di gerbang sekolah dan hampir berlari saat Sri datang mendekat."Tunggu Mutia, tunggu!" Sri meraih tangan kecil gadis itu, melihatnya takut, Sri membelai wajah Mutia dengan lembut."Tante mau apa?" Saat itu tubuh Mutia gemetar hebat, bahkan tangannya tak bisa memegang botol minum dengan benar."Jangan takut, tante hanya ingin menyapa. Mutia baik-baik saja?" Sri ya
Sri meninggalkan rumahnya dengan amarah yang tertahan, membayangkan wajah lelaki mantan suaminya itu membuat darahnya seakan mendidih di ujung kepala. Dengan segera ia meminta supirnya menuju pabrik teh tempat Fandi bekerja dulu. Lelaki itu masih menunggu di luar pabrik saat Sri sampai dan memasukkan mobilnya ke dalam. Fandi tentu saja tak datang sendiri, dia bersama beberapa orang yang Sri kenal adalah anak buah Yuan dulu.Sri turun dari mobil dan berjalan kembali ke area pintu masuk, melihat lelaki tak tau malu itu tersenyum dengan sombongnya di luar pagar pabrik yang di kunci lagi setelah Sri masuk."Hay nyonya Meilin, apakah begini caramu memperlakukan tamu? kami bahkan tak di izinkan masuk dan menunggu di dalam." Fandi berteriak dari luar pagar, memperlihatkan sikap arogannya dengan kesombongan yang justeru membuat Sri tersenyum geli."Tamu macam apa yang datang bahkan saat tuannya tak ada di tempat? kamu berteriak meminta di perlakukan baik, tapi lihat dirimu sendiri, apa kamu m
Fandi terduduk tanpa tenaga, seluruh tulangnya seolah lepas dari raga, Sri sudah membuat seluruh harga dirinya tergerus habis, bahkan ia nyaris tak lagi bisa berlagak sombong di depan orang-orang Yuan. Dan yang tak dapat Fandi lupakan adalah tatapan dingin mantan istri nya itu, seperti membawa mata pisau yang menghulus harga dirinya."Apa kita akan balas wanita itu?" Pengawal Yuan bertanya pada Fandi, dia juga merasa sakit hati di perlakukan begitu oleh seorang wanita."Tidak sekarang, wanita itu sangat berbahaya."Mereka masih berada di depan pabrik, duduk di dalam mobil yang bahkan belum beranjak dari tempatnya."Lalu kapan tuan? dia sudah menghina kita, apa tuan akan diam saja?"Fandi menatap dengan marah pada dua orang yang duduk di kursi depan."Jangan mengajari aku! Aku akan pikirkan bagaimana caranya membalas perlakuan wanita itu, sekarang jalankan saja mobilnya sebelum peluru mereka bersarang di kepala kalian!" Ucap Fandi kesal, dia masih bisa melihat beberapa orang di atas ge
Dengan cepat Aini keluar setelah mengambil dompet daro dalam rumah, dia keluarkan motornya dari garasi samping dan segera menyalakannya lalu pergi keluar.Setelah memastikan Aini pergi, Satria masuk ke dalam rumah wanita itu, mematikan cctv Aini di kamar bawah tangga lalu memeriksa kamar anak-anak di lantai atas. Satria tak menemukan Mesya di sana, gadis kecil itu harusnya menangis atau tertawa jika masih di dalam rumah ini."Apa yang sudah terjadi pada Mesya? kemana dia sekarang?" Fandi lalu memeriksa lemari gadis itu, seluruh bajunya masih ada, artinya Aini tak mengirim pergi Mesya dari sisinya."Tapi di mana kamu mesya sayang?" Satria bertanya sendiri dan memutuskan untuk turun ke lantai bawah.Di lantai bawah, Satria mengambil rekaman cctv rumah Aini, dia ingin. melihat apa saja yang di lakukan wanita itu selama ini. Tak lama setelah itu Satria jelas mendengar suara motor Aini masuk ke pelataran, segera Satria kembali duduk di ruang tamu rumah wanita itu."Apa aku lama?""Tidak,
"Mesya pergi bersama pengasuhnya? Tapi siapa pengasuh Mesya?" Satria terus bertanya sendiri, lalu memutuskan meninggalkan rumah Aini, dirinya tiba-tiba ingin mampir sebentar ke rumahnya yangasoj berada di dalam satu kompleks dengan rumah Aini, Lama Satria tak datang ke rumah yang sudah kosong dan tak sempat lagi dia tenggok."Mungkin sebaiknya aku melihat ke rumah sebentar." Ucapnya dalam hati.Mobilnya lalu memutar, melewati taman dalam area perumahan yang selalu ramai dengan orang sekitar kompleks. Mata Satria tiba-tiba saja tertuju pada seorang gadis dengan rambut ikalnya berlari di tengah taman."Mesya!" Satria meyakini gadis kecil itu Mesya, di belakangnya ada seorang wanita muda mengikuti setiap langkah anak itu.Satria memutuskan mencari tempat parkir dan turun untuk menyapa keponakan nya itu. "Mesya!" Panggilnya dari jauh dan gadis itu tersenyum mengenali dirinya."Papa!" Teriaknya seperti biasa, panggilan yang selalu di dengar Satria setiap kali bertemu gadis kecil itu.Sat
Di malam sunyi yang dingin, angin berhembus membawa ancaman akan hilangnya nyawa dari raga. sebuah mobil berhenti di tepi tebing curam, suara ombak menghantam karang seakan memberi peringatan akan ancaman dan bahaya yang dia bisa berikan. Pintu mobil itu terbuka lebar dan keluarlah dua lelaki berjas hitam membawa paksa dua lelaki dengan kepala tertutup kain, mereka menyeretnya ke tepian tebing.Lelaki itu di paksa jongkok dengan tangan terikat dan sebentar kemudian penutup wajahnya di buka. Yuan menatap sayu tempat dirinya di bawa, setelah banyak penyiksaan dia dapat, Akhirnya dirinya terbang kembali ke negara asalnya.Tak lama sebuah mobil mewah berhenti di sana, Tuan Lee turun bersama Zui yang juga berpakaian serba hitam dengan sarung tangan karet menutupi telapak tangan mereka semua."Jangan bunuh saya tuan Lee!" Ucap seorang lelaki di samping Yuan dengan memelas saat menyadari tebing ini adalah tempat di mana pengkhianat dalam kelompoknya mendapatkan hukuman terakhir."Sayangnya s
Menuju kota besar di jawa timur, Fandi duduk dengan gayanya di mobil, Sementara Kila terus berdandan di setiap pemberhentian. Hingga mereka tiba di sebuah hotel megah di tengah kota Surabaya, Kila bahkan berjingkrak senang saat melihat betapa mewahnya kamar tidur merek, wanita itu seperti baru saja keluar dari goa."Kau suka?" Fandi memeluk nya dari belakang dan Kila berbalik mencium bibir Fandi dengan hangat."Aku suka, sangat suka." Ucapnya lembut, memang begitulah wanita bila di berikan kemewahan, dia akan tunduk dan jadi penurut."Jika begitu nikmatilah sayang, aku harus bekerja sekarang, ada tugas yang harus aku selesaikan sekarang." Ucap Fandi sembari melepaskan pelukan wanitanya."Apa aku harus di sini sendirian?" Ucap Kila memajukan bibirnya dengan manja."Kau mau kemana? pergi jalan-jalan?""Ya, aku ingin ke mall di Sekitar sini, aku tak membawa banyak baju, jadi bisa kan aku sedikit berbelanja.""Baiklah, tunggu sebentar." Ucap Fandi lalu memberikan kartu keemasan milik Yuan
Menuju kota besar di jawa timur, Fandi duduk dengan gayanya di mobil, Sementara Kila terus berdandan di setiap pemberhentian. Hingga mereka tiba di sebuah hotel megah di tengah kota Surabaya, Kila bahkan berjingkrak senang saat melihat betapa mewahnya kamar tidur merek, wanita itu seperti baru saja keluar dari goa."Kau suka?" Fandi memeluk nya dari belakang dan Kila berbalik mencium bibir Fandi dengan hangat."Aku suka, sangat suka." Ucapnya lembut, memang begitulah wanita bila di berikan kemewahan, dia akan tunduk dan jadi penurut."Jika begitu nikmatilah sayang, aku harus bekerja sekarang, ada tugas yang harus aku selesaikan sekarang." Ucap Fandi sembari melepaskan pelukan wanitanya."Apa aku harus di sini sendirian?" Ucap Kila memajukan bibirnya dengan manja.y"Kau mau kemana? pergi jalan-jalan?""Ya, aku ingin ke mall di Sekitar sini, aku tak membawa banyak baju, jadi bisa kan aku sedikit berbelanja.""Baiklah, tunggu sebentar." Ucap Fandi lalu memberikan kartu keemasan milik Yu
Jani mengambil foto di tangan Leon dan memperhatikan lebih jelas, gadis bermata abu itu memang nampak sanggat bahagia bersanding dengan seorang anak lelaki kecil dengan rambut menutup poninya."Ini_" Jani menghentikan kalimat nya dan menatap ke arah Leon."Ya, itu aku. Meski tak kamu ingat kita adalah sahabat kecil Jani..Kata Jani berkaca menatap ke arah Leon, memperhatikan setiap lekuk wajah lelaki nan tampan itu dengan seksama."Benarkah itu dirimu? sahabat yang kadang hadir dalam mimpiku, aku selalu bertanya itu kisah siapa, sebab ta ada yang aku ingat dari masa lalu ku selain karena sepenggal kisah yang ku denggar dari bapak yang membesarkan ku."Jani berkata dalam hati, air mata nya turun tanpa sadar, membuat wajahnya yang putih merona kemerahan sekarang."Ada apa sayang?" "Sekarang aku tau kenapa kamu begitu baik padaku." Ucap nya lirih.Ya, selama ini Jani selalu merasa bersyukur sebab masih di beri hidup lebih lama, mengucap terimakasih pada Leon dalam hatinya sebab memberin
"Karena kamu tau segalanya Jani, kamu kehilangan ingatanmu saat mengalami kecelakaan setelah bertemu dengan Lenzia, itu pertemuan terakhirmu, sebab Lenzia menghilang setelahnya." Leon menjelaskan dengan gamblang"Jadi aku pernah bertemu dengan Lenzia?""Ya, dan Aini mencoba juga untuk membunuhmmu."Sri dan Jani sama-sama terkejut, menghadapi kenyataan yang teramat berat sekarang. ""Dan wanita tadi adalah Aini? ." Ucap Jani membuat Sri menatap nya serius."Kalian sudah bertemu Aini?""Iya, kami tak sengaja bertemu dengannya saat aku turun membeli minum, dia hampir membunuh Jani.""Dia terus menyebut ku Lusia.""Ya karena itu yang dia tau, dia hanya mengenal nama Lenzia Jani." Leon kembali menjelaskan dan membuat Jani semakin diam."Dimana kalian bertemu Aini?" Sri penasaran."Di minimarket tengah hutan.""Begitu? aku harus segera mencarinya." Sri berdiri, dia ingin bicara lebih banyak namun Sepertinya Aini jauh lebih Penting sekarang."Sepertinya aku harus permisi dulu, kami sudah lam
Sri tersenyum menyetujui, dirinya memang harus mengatakan banyak hal pada Jani sekarang."Saya janji tidak akan memaksa, bila nona Lusia berkenan saya pergi, saya akan pergi." Ucap Sri jujur, dia tak ingin mengusik Lusia yang sedang sakit namun jika wanita itu meminta penjelasan, Sri tentu saja lebih senang mendengarnya."Baiklah, hanya sebentar saja, tanyakan saja apa yang ingin kamu dengar dan setelah itu istirahatlah."Jani tersenyum dan mengganggukkan kepala. "Terimakasih sayang, terimakasih." Ucap Jani dengan wajah merona, mereka lalu masuk ke dalam kamar Leon.Leon meletakkan Jani ke atas tempat tidur, Jani bersandar pada tempat tidur nya dan Leon menyelimuti wanita itu hingga menutupi sebagian tubuhnya yang putih. Sri duduk di sisi ranjang, melihat betapa Leon memperlakukan Jani dengan istimewa, dia yakin lelaki ini memang tulus mencintai Jani."Katakan segera yang ingin anda katakan." Leon bicara dengan tegas, tak ingin Janin terusik lebih lama lagi.Jani menyentuh lengan keka
"Wanita ini menyebutku Lusia, Leon." Ucap Jani pada Leon membuat Leon juga merasa tak tenang."Dia menyebut Lusia, Leon! Dia tau Lusia!!" Jani terdengar panik, memeluk Leon dalam ketakutan.Leon mendekap mendekap erat Jani, menatap menatap marah pada apa yanh baru saja Aini lakukan, dia tak mengenal Aini, namunn beraninya wanita otu bahkan menyakiti orang yang sangat dia lindungi."Bawa dia pergi!" Ucap Leon kesal, dia ingin membuat. perhitungan pada Aini, namun menenangkan Jani jauh lebih penting sekarang.Leon melihat Aini di bawa paksa pergi, sementara Jani yang ketakutan merosot terduduk di lantai pelataran, dia terus menatap Aini yang menjauh, tak dapat lagi berpikir biaik, Jani berharap semua yang di lalukan bisa membuat nya mengingat sesuatu."Kamu baik-baik saja sayangku?" Leon tertunduk, mendekap Jani penuh penyesalan."Harusnya aku tak meninggalkan mu sendirian. sayang." Ucapnya merutuki kebodohan nya sendiri.Jani menangis kencang, tangisan yang entah kenapa tiba-tiba saja
"Jauhkan tanganmu, siapa kamu!" Jani berteriak histeris, tatapannya melihat ke arah dalam minimarket"Kenapa kamu cantik? Aku benci saat kamu cantik!'" Ucap Aini kesal, tangannya terus mencoba menyentuh wajah Jani."Kemari kami sialan!" Aini meremas kuat kerah baju Jani, membuat ia gemetar karena histeris."Tidak!.... tidak!" Ucapnya kencang dan sebuah ingatan masa lalu kembali muncul....Jani melihat wanita berparas mirip dirinya berlari letakutan dengan perut membesar, entah apa yang sudah di lalui hingga gaun putih yang di kenakan berlumur darah dan tanah, dinginya malam bukanlah musuh terbesarnya, dia lebih takut jika bayi dalam dekapan itu lepas dari pelukan. "Jangan mencoba lari Lusia!" Teriakan itu begitu nyaringo dan lantang terdengar.Lusia gemetar dalam tangis, berjongkok pada rimbunya dedaunan kecil dan ilalang, berharap diri nya tak di temukan."Lusia!" Teriakan itu kembali terdengar, tubuh kecil Lusia semakin gemetar."Sabarlah sayang, mama akan membawamu pulang, kita ak
"Aku ingin tau apa yang terjadi Leon, aku mohon katakan sesuatu." Ucapnya meminta, segala hal yang menimpanya begitu menyiksa dan membuat dirinya bertanya."Perlahan saja sayang, kita akan bicara nanti." Ucap Leon lalu membawa Jani masuk ke dalam mobil mereka.Meninggalkan rumah kosong yang serasa tak asing bagi jani, rumah yang sepertinya sangat dia kenal namun tak bisa di ingat lebih baik.Mobil Leon membelah malam sunyi, melewati hutan yang lebat dengan hanya satu, ldua penerangan minim, mereka hanya berdua saat datang dan pergi, menyisakan kesunyian nyata setiap kali tak ada suara di antara mereka."Kenapa diam?" Tanya Leon, ia masih Melihat Jani terdiam Menatap ke luar jendela."Rasanya aku pernah ada di sini." Ucapnya sembari melihat ke arah rumah kosong di sisi jalan.Leon berhenti mendadak, menatap ke arah rumah kosong di sisinkanan mereka, rumah tangga memang sejak lama tak di tempati, namun kenapa Jani merasa pernah ada di sana?"Kamu yakin pernah ada di sana?"Jani mengangg
Aini menjerit di depan toko, dia takut sebab Fandi sudah meninggalkan dirinya sendiri di tempat asing, pegawai toko juga ketakutan sekarang, Aini bisa saja melukai orang karena tertekan. "Wanita murahan!" Tiba-tibsa saja kalimat itu keluar dari bibir Aini, dia teringat pernah menyebut nama itu begitu sering dulu.Aini terduduk di trotoar jalan, uang yang di genggamnya ia lepas begitu saja, ia menatap nanar ke jalan yang sepi, seakan dirinya bisa saja tenggelam dalam gelap.Aini mengingat betul dia pernah hidup mewah, namun entah kenapa sekarang semua hanya bergantung pada saat orang memberinya perhatian dan cinta. "Kenapa kamu pergi mas!" Aini menangis lagi, kali ini bayang wajah Arka suaminya tergambar jelas, lelaki itu bahkan telah damai sekarang.Aini begitu mengingat bagaimana Arka yang tak pernah berbuat jahat padanya dulu, masih menjadi lelaki yang menempati hatinya selain Satria. Dia bahkan rela menyingkirkan semua rintangan yang ada hanya untuk menempati ruang yang tak lagi
Sementara Fandi dengan perasaan tak menentu memutuskan pulang ke Solo, dia tak ingin mendapat masalah dengan bertemu lelaki seperti tuan Cien. Bergegas dia berjalan ke kamar dan melihat Kila tertidur dengan baju terbuka."Ada apa Sayang?" Kila bertanya dengan cemas, melihat Fandi membuka lemari baju dan mengemasi barangnya."Ayo pulang sekarang." Ucapnya kesal terus di tanya namun Kila masih tak memahami situasi yang ada."Kenapa mendadak pulang?""Ya karena kita memang harus pulang Kila!" Ucap Fandi kesal. "Bantu aku berbenah dan jangan banyak tanya!" Ucapnya lagi lalu melanjutkan lagi menata pakaiannya.Dengan kesal Kila medekat, menarik kopernya juga ke depan lemari dan ikut memasukkan barang-barangnya."Padahal kita baru berapa hari di sini!" Ucapnya ketus."Kalau kau mau di sini terus, silahlan! aku mau pulang!" Ucap Fandi lagi dengan nada tinggi, dia benci sekali saat Kila merajuk tanpa alasan.Fandi menatap Kila dengan wajah tak suka."Harus nya kau malu bilang begitu, aku suda
"Kau tau tempat ini?" Leon bertanya dengan alis terangkat.Jani menggelengkan kepalanya, meski merasa tak asing namun dirinya tak dapat mengenali lingkungan tempatnya barada sekarang."Aku tak tau, ada sesuatu di sini?" Jani berusaha mengingat, namun tak dapat menemukan serpihan cerita dari tempatnya berada sekarang."Ayo kita masuk, mungkin kamu akan menemukan jawabannya. " Ucap Leon membuka pintu mobil nya dan segera berjalan ke sisi yang lain."Ayo keluar." Ucap Leon lagi, menarik jemari kecil Jani keluar dari dalam mobil mereka."Aku tak mengerti." Jani masih mematung di tempat, takut bila Leon berbuat sesuatu yang mungkin membuat dirinya merasa kecewa."Kau hanya perlu mengikuti kata hatimu, tak ada yang perlu di mengerti Jani, aku tak akan pernah membuatmu merasa terluka, percayalah!" Ucap Leon meyakinkan wanita di hadapannya itu.Mata Jani keluar menelisik ke sekitar tempatnya berdiri, sebuah pelataran kecil dengan pohon mangga besar di dekat pagar rumah itu, membuat hati kecil