Menuju kota besar di jawa timur, Fandi duduk dengan gayanya di mobil, Sementara Kila terus berdandan di setiap pemberhentian. Hingga mereka tiba di sebuah hotel megah di tengah kota Surabaya, Kila bahkan berjingkrak senang saat melihat betapa mewahnya kamar tidur merek, wanita itu seperti baru saja keluar dari goa."Kau suka?" Fandi memeluk nya dari belakang dan Kila berbalik mencium bibir Fandi dengan hangat."Aku suka, sangat suka." Ucapnya lembut, memang begitulah wanita bila di berikan kemewahan, dia akan tunduk dan jadi penurut."Jika begitu nikmatilah sayang, aku harus bekerja sekarang, ada tugas yang harus aku selesaikan sekarang." Ucap Fandi sembari melepaskan pelukan wanitanya."Apa aku harus di sini sendirian?" Ucap Kila memajukan bibirnya dengan manja.y"Kau mau kemana? pergi jalan-jalan?""Ya, aku ingin ke mall di Sekitar sini, aku tak membawa banyak baju, jadi bisa kan aku sedikit berbelanja.""Baiklah, tunggu sebentar." Ucap Fandi lalu memberikan kartu keemasan milik Yu
Senyum Kila menghilang saat Zui menantangnya dengan kalimat tak enak, dirinya yang sudah merasa kaya dan mapan, tak ingin terhina walau hanya sedikit saja."Minta maaf padaku!" Ucap Kila meninggikan wajahnya.Zui tersenyum kecut melihat betapa besarnya nyali wanita di hadapannya ini."Untuk apa aku meminta maaf? Apa yang membuatmu rugi?""Untuk sikapmu padaku, aku di sini pembeli sama sepertimu, jadi sikapmu membuatku rugi!"Zui menatap rendah wanita di hadapannya itu, melihat barang-barang yang sederhana melekat di tubuhnya bahkan tak ada satupun belanjaan di tangan."pembeli? barang apa yang kamu beli?" Zui bertanya dengan nada mengejek, membuat Kila salah tingkah karenanya."Aku, aku sedang memilih, jadi em jadi ya belum dapat barangku!" Kila menjawab dengan kesal.Zui menatapnya dengan remeh. "Bilang saja kamu tak mampu membeli barang di sini!" Ucap Zui meremehkan Kila lagi dan lagi."Kurang ajar sekali ucapanmu, menyebalkan!"Kila yang merasa tak terima langsung saja menjauh dan
Senyum Kila menghilang saat Zui menantangnya dengan kalimat tak enak, dirinya yang sudah merasa kaya dan mapan, tak ingin terhina walau hanya sedikit saja."Minta maaf padaku!" Ucap Kila meninggikan wajahnya.Zui tersenyum kecut melihat betapa besarnya nyali wanita di hadapannya ini."Untuk apa aku meminta maaf? Apa yang membuatmu rugi?""Untuk sikapmu padaku, aku di sini pembeli sama sepertimu, jadi sikapmu membuatku rugi!"Zui menatap rendah wanita di hadapannya itu, melihat barang-barang yang sederhana melekat di tubuhnya bahkan tak ada satupun belanjaan di tangan."pembeli? barang apa yang kamu beli?" Zui bertanya dengan nada mengejek, membuat Kila salah tingkah karenanya."Aku, aku sedang memilih, jadi em jadi ya belum dapat barangku!" Kila menjawab dengan kesal.Zui menatapnya dengan remeh. "Bilang saja kamu tak mampu membeli barang di sini!" Ucap Zui meremehkan Kila lagi dan lagi."Kurang ajar sekali ucapanmu, menyebalkan!"Kila yang merasa tak terima langsung saja menjauh dan
Pagi ini Raya kekebun lebih petang, setelah memasak sarapan untuk Mitia, wanita itu bergegas mengambil sayuran pesanan tetangganya kemarin sore. Dari jauh Raya melihat Mutia duduk di teras belakang sendiri, Raya masih sibuk di kebun saat gadis itu bangun dan duduk melihat hamparan sayuran di kebun miliknya, bahkan wajahnya nampak berseri, sepertinya tidur Mutia semalam lebih baik dari malam-malam sebelumnya.Setelah di rasa apa yang dia cari cukup, Raya berjalan kembali ke rumahnya."Ada nasi goreng di meja belakang, Mutia mau makan sekarang atau nanti?" Raya bertanya, dia berdiri di sisi gadis kecil itu setelah mengambil beberapa batang sawi untuk di tumis siang ini."Nanti saja tante, Mutia belum terlalu lapar, tante bawa apa itu?" Mutia bertanya, apa isi keranjang di tangan Raya."Sawi, hari ini kita akan masak sawi saja." Ucap Raya lalu duduk di sebelah Mutia, dia tau gadis kecil itu ingin bicara sesuatu."Ada apa? katakan saja apa yang ingin Mutia katakan pada tante." Raya langsu
Sementara Sri dan Satria sedang bersiap menemui Mutia, mereka menitipkan Lala pada Arman dan segera menempuh perjalanan cukup panjang untuk menemui Mutia."Apa semua baik?" Satria bertanya pada Sri setelah mereka diam cukup lama di jalan."Ya semua baik, aku hanya terus berpikir apakah nanti Mutia akan sedih bila kita masih harus meninggalkan nya di sana.""Aku kira dia akan mengerti." Ucap Satria tenang, menggenggam tangan Sri dan terus melihta ke depan.Hingga mobil mereka memasuki pelataran rumah Raya, Satria menghela napas kecil sebelum turun dan membuka pintu untuk Sri.Sebum mereka masuk, Raya bahkan sudah keluar menyambut dua sahabat nya dengan senyum ramah."Bagaimana perjalanan kalian?" Tanya Raya memeluk pasangan suami istri itu bergantian."Baik, aku baik sayang, bagaimana denganmu?" Sri berbalik bertanya, mengusap lembut punggung sahabat kecilnya itu."Aku baik, Mutia juga baik-baik saja."Satria tersenyum melihat kembali wajah ramah sahabat kecilnya itu."Terimakasih suda
Sementara Kila sempat merasa ragu saat kembali ke hotel tempatnya menginap, membawa tas dengan banyak brand ternama membuat dirinya panas dingin sekarang. Bukan tanpa alasan Kila merasa begitu, uang yang di habiskannya untuk membeli barang mewah ini bukanlah jumlah yang sedikit.Ragu sesaat kakinya tetap melangkah masuk juga, dirinya belum menemukan Fandi di kamar hotel, dengan langkah gontai, Kila masuk dan melepaskan belanjaannya ke lantai."Ark! Aku lelah!" Kila melempar kasar bobot tubuhnya ke atas sofa, dia menatap tas yang baru saja di belinya, seolah barang-barang itu berjajar menjelaskan nominalnya. Kepalanya kembali berdenyut hebat, klebatan apa yang terjadi di toko tadi membuatnya merasa marah."Siapa sih wanit itu? Bodohnya aku membeli semua barang itu, wanita sialan tadi membuat aku merasa jengkel sekali, kenapa aku bisa termakan Ucapan nya!" Kila merutuki kebodohannya itu, membiarkan dengan mudahnya dia terbawa emosi dan membeli barang-barang mewah."Sekarang apa yang har
"Kembalikan semua barang itu sekarang!" Fandi memberi perintah namun segera di bantah Kila"Aku tak mau!" Kila berkata dengan ketus, meski meras takut dirinya juga tak ingin Kehilangan harga diri."Apa maksudnya tak mau." Tanya Fandi kesal."Barang-barang ini aku beli karena rasa maluku di hina, dan di rendahkan di pusat perbelanjaan itu, sekarang bagaimana bisa aku kembalikan lagi apa yang baru saja aku beli, bisa malu aku!" Ucapnya ketus, tangannya melipat ke depan dengan tatapan ke luatmr jendela."Lalu untuk apa semua barang ini sekarang? kau akan pergi dengan enam tas sekaligus?""Bukan begitu juga, simpan saja semua barang itu sekarang, mungkin saja lain waktu kita akan membituhkannya." Ucap KiLa sedikit merayu berusaha memperbaiki keadaan yang sempat kacau karenannya."Kita? kau yang habiskan semua uang itu tanpa berpikir apapun, jadi kau yang harus bertanggung jawab!" Fandi berkacak pinggang, dia menatap kesal ke arah Kila."Bagaimana aku bisa bertanggung jawab sekarang?"****
Setelah bertemu Mutia, Satria dan Sri pulang kembali ke karanganyar, untuk sementar mereka tak dapat membawa Mutia kembali, sebab Aini pasti akan membuat masalah dan tak membiarkan ketenangan datang."Sebaiknya kita ke rumah Aini." Sri bicara setelah mereka menempuh hampir sengah perjalanan, membayangkan mata bening Mutia yang membawa luka, dirinya merada ada yang perlu di biacarakan dengan Aini."Kamu yakin akan ke sana?j"Ya, setidaknya aku Ingin meluhat wajah wanita tak tau diri itu, lama aku berpikir untuk menggunjunginya dalam waktu dekat, tapi akubtal ada alasam selain rada dendamku padanya, kamu tau kan sayang aku menahan diri karena dalam sadarnya 7 bamlke selalu minta aku memaafkan. Tapi sekarang aku ada alasan lain untuk datang ke sana." Ucap Sri dengan senyum lebarnya.Perjalanan panjang di lewati dengan lancar hingga mobil mereka masuk ke pelataran rumah Aini. Sri turu lebih dulu daan masul ke dalam. rumaah Aini."Aini!' Teriakan Sri bergema dalam ruang tamu, dirinya ingin
Jani mengambil foto di tangan Leon dan memperhatikan lebih jelas, gadis bermata abu itu memang nampak sanggat bahagia bersanding dengan seorang anak lelaki kecil dengan rambut menutup poninya."Ini_" Jani menghentikan kalimat nya dan menatap ke arah Leon."Ya, itu aku. Meski tak kamu ingat kita adalah sahabat kecil Jani..Kata Jani berkaca menatap ke arah Leon, memperhatikan setiap lekuk wajah lelaki nan tampan itu dengan seksama."Benarkah itu dirimu? sahabat yang kadang hadir dalam mimpiku, aku selalu bertanya itu kisah siapa, sebab ta ada yang aku ingat dari masa lalu ku selain karena sepenggal kisah yang ku denggar dari bapak yang membesarkan ku."Jani berkata dalam hati, air mata nya turun tanpa sadar, membuat wajahnya yang putih merona kemerahan sekarang."Ada apa sayang?" "Sekarang aku tau kenapa kamu begitu baik padaku." Ucap nya lirih.Ya, selama ini Jani selalu merasa bersyukur sebab masih di beri hidup lebih lama, mengucap terimakasih pada Leon dalam hatinya sebab memberin
"Karena kamu tau segalanya Jani, kamu kehilangan ingatanmu saat mengalami kecelakaan setelah bertemu dengan Lenzia, itu pertemuan terakhirmu, sebab Lenzia menghilang setelahnya." Leon menjelaskan dengan gamblang"Jadi aku pernah bertemu dengan Lenzia?""Ya, dan Aini mencoba juga untuk membunuhmmu."Sri dan Jani sama-sama terkejut, menghadapi kenyataan yang teramat berat sekarang. ""Dan wanita tadi adalah Aini? ." Ucap Jani membuat Sri menatap nya serius."Kalian sudah bertemu Aini?""Iya, kami tak sengaja bertemu dengannya saat aku turun membeli minum, dia hampir membunuh Jani.""Dia terus menyebut ku Lusia.""Ya karena itu yang dia tau, dia hanya mengenal nama Lenzia Jani." Leon kembali menjelaskan dan membuat Jani semakin diam."Dimana kalian bertemu Aini?" Sri penasaran."Di minimarket tengah hutan.""Begitu? aku harus segera mencarinya." Sri berdiri, dia ingin bicara lebih banyak namun Sepertinya Aini jauh lebih Penting sekarang."Sepertinya aku harus permisi dulu, kami sudah lam
Sri tersenyum menyetujui, dirinya memang harus mengatakan banyak hal pada Jani sekarang."Saya janji tidak akan memaksa, bila nona Lusia berkenan saya pergi, saya akan pergi." Ucap Sri jujur, dia tak ingin mengusik Lusia yang sedang sakit namun jika wanita itu meminta penjelasan, Sri tentu saja lebih senang mendengarnya."Baiklah, hanya sebentar saja, tanyakan saja apa yang ingin kamu dengar dan setelah itu istirahatlah."Jani tersenyum dan mengganggukkan kepala. "Terimakasih sayang, terimakasih." Ucap Jani dengan wajah merona, mereka lalu masuk ke dalam kamar Leon.Leon meletakkan Jani ke atas tempat tidur, Jani bersandar pada tempat tidur nya dan Leon menyelimuti wanita itu hingga menutupi sebagian tubuhnya yang putih. Sri duduk di sisi ranjang, melihat betapa Leon memperlakukan Jani dengan istimewa, dia yakin lelaki ini memang tulus mencintai Jani."Katakan segera yang ingin anda katakan." Leon bicara dengan tegas, tak ingin Janin terusik lebih lama lagi.Jani menyentuh lengan keka
"Wanita ini menyebutku Lusia, Leon." Ucap Jani pada Leon membuat Leon juga merasa tak tenang."Dia menyebut Lusia, Leon! Dia tau Lusia!!" Jani terdengar panik, memeluk Leon dalam ketakutan.Leon mendekap mendekap erat Jani, menatap menatap marah pada apa yanh baru saja Aini lakukan, dia tak mengenal Aini, namunn beraninya wanita otu bahkan menyakiti orang yang sangat dia lindungi."Bawa dia pergi!" Ucap Leon kesal, dia ingin membuat. perhitungan pada Aini, namun menenangkan Jani jauh lebih penting sekarang.Leon melihat Aini di bawa paksa pergi, sementara Jani yang ketakutan merosot terduduk di lantai pelataran, dia terus menatap Aini yang menjauh, tak dapat lagi berpikir biaik, Jani berharap semua yang di lalukan bisa membuat nya mengingat sesuatu."Kamu baik-baik saja sayangku?" Leon tertunduk, mendekap Jani penuh penyesalan."Harusnya aku tak meninggalkan mu sendirian. sayang." Ucapnya merutuki kebodohan nya sendiri.Jani menangis kencang, tangisan yang entah kenapa tiba-tiba saja
"Jauhkan tanganmu, siapa kamu!" Jani berteriak histeris, tatapannya melihat ke arah dalam minimarket"Kenapa kamu cantik? Aku benci saat kamu cantik!'" Ucap Aini kesal, tangannya terus mencoba menyentuh wajah Jani."Kemari kami sialan!" Aini meremas kuat kerah baju Jani, membuat ia gemetar karena histeris."Tidak!.... tidak!" Ucapnya kencang dan sebuah ingatan masa lalu kembali muncul....Jani melihat wanita berparas mirip dirinya berlari letakutan dengan perut membesar, entah apa yang sudah di lalui hingga gaun putih yang di kenakan berlumur darah dan tanah, dinginya malam bukanlah musuh terbesarnya, dia lebih takut jika bayi dalam dekapan itu lepas dari pelukan. "Jangan mencoba lari Lusia!" Teriakan itu begitu nyaringo dan lantang terdengar.Lusia gemetar dalam tangis, berjongkok pada rimbunya dedaunan kecil dan ilalang, berharap diri nya tak di temukan."Lusia!" Teriakan itu kembali terdengar, tubuh kecil Lusia semakin gemetar."Sabarlah sayang, mama akan membawamu pulang, kita ak
"Aku ingin tau apa yang terjadi Leon, aku mohon katakan sesuatu." Ucapnya meminta, segala hal yang menimpanya begitu menyiksa dan membuat dirinya bertanya."Perlahan saja sayang, kita akan bicara nanti." Ucap Leon lalu membawa Jani masuk ke dalam mobil mereka.Meninggalkan rumah kosong yang serasa tak asing bagi jani, rumah yang sepertinya sangat dia kenal namun tak bisa di ingat lebih baik.Mobil Leon membelah malam sunyi, melewati hutan yang lebat dengan hanya satu, ldua penerangan minim, mereka hanya berdua saat datang dan pergi, menyisakan kesunyian nyata setiap kali tak ada suara di antara mereka."Kenapa diam?" Tanya Leon, ia masih Melihat Jani terdiam Menatap ke luar jendela."Rasanya aku pernah ada di sini." Ucapnya sembari melihat ke arah rumah kosong di sisi jalan.Leon berhenti mendadak, menatap ke arah rumah kosong di sisinkanan mereka, rumah tangga memang sejak lama tak di tempati, namun kenapa Jani merasa pernah ada di sana?"Kamu yakin pernah ada di sana?"Jani mengangg
Aini menjerit di depan toko, dia takut sebab Fandi sudah meninggalkan dirinya sendiri di tempat asing, pegawai toko juga ketakutan sekarang, Aini bisa saja melukai orang karena tertekan. "Wanita murahan!" Tiba-tibsa saja kalimat itu keluar dari bibir Aini, dia teringat pernah menyebut nama itu begitu sering dulu.Aini terduduk di trotoar jalan, uang yang di genggamnya ia lepas begitu saja, ia menatap nanar ke jalan yang sepi, seakan dirinya bisa saja tenggelam dalam gelap.Aini mengingat betul dia pernah hidup mewah, namun entah kenapa sekarang semua hanya bergantung pada saat orang memberinya perhatian dan cinta. "Kenapa kamu pergi mas!" Aini menangis lagi, kali ini bayang wajah Arka suaminya tergambar jelas, lelaki itu bahkan telah damai sekarang.Aini begitu mengingat bagaimana Arka yang tak pernah berbuat jahat padanya dulu, masih menjadi lelaki yang menempati hatinya selain Satria. Dia bahkan rela menyingkirkan semua rintangan yang ada hanya untuk menempati ruang yang tak lagi
Sementara Fandi dengan perasaan tak menentu memutuskan pulang ke Solo, dia tak ingin mendapat masalah dengan bertemu lelaki seperti tuan Cien. Bergegas dia berjalan ke kamar dan melihat Kila tertidur dengan baju terbuka."Ada apa Sayang?" Kila bertanya dengan cemas, melihat Fandi membuka lemari baju dan mengemasi barangnya."Ayo pulang sekarang." Ucapnya kesal terus di tanya namun Kila masih tak memahami situasi yang ada."Kenapa mendadak pulang?""Ya karena kita memang harus pulang Kila!" Ucap Fandi kesal. "Bantu aku berbenah dan jangan banyak tanya!" Ucapnya lagi lalu melanjutkan lagi menata pakaiannya.Dengan kesal Kila medekat, menarik kopernya juga ke depan lemari dan ikut memasukkan barang-barangnya."Padahal kita baru berapa hari di sini!" Ucapnya ketus."Kalau kau mau di sini terus, silahlan! aku mau pulang!" Ucap Fandi lagi dengan nada tinggi, dia benci sekali saat Kila merajuk tanpa alasan.Fandi menatap Kila dengan wajah tak suka."Harus nya kau malu bilang begitu, aku suda
"Kau tau tempat ini?" Leon bertanya dengan alis terangkat.Jani menggelengkan kepalanya, meski merasa tak asing namun dirinya tak dapat mengenali lingkungan tempatnya barada sekarang."Aku tak tau, ada sesuatu di sini?" Jani berusaha mengingat, namun tak dapat menemukan serpihan cerita dari tempatnya berada sekarang."Ayo kita masuk, mungkin kamu akan menemukan jawabannya. " Ucap Leon membuka pintu mobil nya dan segera berjalan ke sisi yang lain."Ayo keluar." Ucap Leon lagi, menarik jemari kecil Jani keluar dari dalam mobil mereka."Aku tak mengerti." Jani masih mematung di tempat, takut bila Leon berbuat sesuatu yang mungkin membuat dirinya merasa kecewa."Kau hanya perlu mengikuti kata hatimu, tak ada yang perlu di mengerti Jani, aku tak akan pernah membuatmu merasa terluka, percayalah!" Ucap Leon meyakinkan wanita di hadapannya itu.Mata Jani keluar menelisik ke sekitar tempatnya berdiri, sebuah pelataran kecil dengan pohon mangga besar di dekat pagar rumah itu, membuat hati kecil