derrt... derrttt..Tak lama ponselku berdering, Satria menghubungi dan aku segera mengangkatnya."Ya Tri?""Aku sudah di bawah, turunlah!" Ucap nya membuat aku terkejut.Aku pikir Satria hanya bergurau untuk mencariku, tapi ternyata dia benar-benar ada di bawah sekarang."kamu tak bercanda Tri? kamu menemukan aku?" Tanyaku masih tak percaya kegigihan lelaki satu ini."Aku tak bercanda Sri, sejak kapan aku bercanda saat mencarimu!" Ucapnya terdengar tak main-main."Baiklah, tunggu di sana, aku akan segera turun." Ucapku lalu mematikan panggilan.Bergegas aku turun ke bawah, sungguh aku begitu penasaran apa benar lelaki itu sudah ada di sana sekarang.Keluar dari lif aku berjalan ke restoran, Satria memang sudah berada di sana, duduk di dekat jendela dan diam seperti sedang menunggu seseorang."Halo tuan Iyan!" Aku menyapanya dan dia tersenyum saat melihat aku berdiri di sisi meja.Dengan cepat dia berdiri dan menarik kursi untuk aku duduk."Terimakasih." Ucapku lalu duduk menghadap kur
Setelah berhasil menggodaku Satria duduk diam memperhatikkan aku bekerja, sejak tadi matanya tak beralih menatapku, membuat aku jadi canggung bahkan untuk sekedar menggeser pantat ini."Aku hampir selesai Tri, jam berapa sekarang?" Kucoba menguasai diri agar tak terlihat konyol di hadapannya."Jam dua lebih, apa kita akan jemput Lala sekarang?""Bisa, aku sudah selesai juga. Tapi sebelum kita jemput Lala, aku ingin melihat dulu drama di bawah." Ucapku tak sabar.Arman baru saja memberi pesan bahwa Yola sudah selesai dan hampir sampai di hotel, sementara mas Fandi dan ibu sudah di bawah sejak setengah jam yang lalu. Mereka masih menunggu aku yang mengundang mereka datang."Aku sudah menghubungi Fandi dan ibunya untuk datang melihat sendiri bagaimana wanita kebanggan mereka bertingkah.""Kamu mengundang mereka kesini? Kamu sungguh-sungguh?""Aku sungguh-sungguh Tri, jangan membuat aku terlihat jahat sekarang!" Aku berdiri dan berjalan meninggalkan kamar hotel bersama Satria, lelaki itu
Tok... Tok..."Room service!"Klek!Suara kunci terdengar sekarang dan kepala seorang lelaki nampak keluar, mengintip dari balik kamar yang remang."Aku nggak pesan apa-apa mas, salah kamar ya?""Aku yang mengantarkan kejutan mas!" Yola tiba-tiba saja menunjukkan wajahnya, dan lelaki itu membelalak seakan tersetrum sesuatu.Hampir saja pintu kembali di tutup, namun pegawai hotel berhasil menahannya agar tetap terbuka."Buka mas!" Teriakan Yola membuat lelaki itu panik, namun sesaat ia sempat terdiam menatap Yola dari ujung rambut hingga kaki."Kenapa kamu di sini?" Tanya Haikal dengan pelan."Aku kesini untuk memberi kalian pelajaran, buka!" Teriak Yola lagi dan mas Fandi dengan tak sabar ikut mendorong pintu kamar ini.Brak!Hantaman daun pintu dan tembok terdengar, aku mengusap kesal dada ini, berharap mereka semua tak merusak properti hotelku.Lelaki itu pasrah dan mundur teratur membiarkan para tamu tak di undang itu masuk ke dalam. Ya, aku,Yola, ibu dan mas Fandi masuk hampir ber
"Betul kamu mencintai wanita ini mas?" Yola dengan berani bertanya pada suaminya dan Haikal masih diam seperti sedang memikirkan banyak hal."Katakan mas, katakan saja sebenarnya pada istrimu itu, kamu muak kan dengan penampilan nya yang kampungan, jujur saja mas!" Fani bahkan tanpa rasa malu menghasut Haikal di depan kami semua."Oh, jadi kamu muak dengan penampilanku mas? Katakan mas, jangan diam saja!" Yola mencecar suaminya."Mas, kenapa diam!" Yola bertanya lagi dan kali ini Haikal menatapnya sayu.Bukan begitu Yola! Aku, aku_" Haikal kembali terlihat ragu."Aku apa mas, katakan dengan jelas! Jika kamu memilihnya hanya karena kamu muak dengan penampilanku, harusnya kamu sadar diri juga mas, kamu yang membuat aku sibuk mengurus anak hingga lupa bagaimana caranya mengurus diri!"Haikal masi diam dan membuat Yola semakin tak sabar."Knepa masih diam? Jadi untuk memutuskan siapa yang ada di hatimu saja begitu sulit mas? Jika begitu bilang pada kedua orang tuaku bagaama perasan mu sek
Aku diam menatap ke sekitar halaman sekolah, bagitu ramai orang tua menjemput anak-anaknya, aku tak melihat mbak Aini sejak tadi, Satria juga terlihat mencari wanita itu sekarang."Om Iyan!" Aku menoleh, melihat Mutia sudah bergelayut manja dengan Satria, senyumku mengembang melihat gadis kecil itu manja pada omnya.Lelaki bertubuh kekar itu berjongkok mensejajarkan wajahnya dengan sang keponakan. "Mutia, mama mana?""Nggak tau om, kayaknya nggak jemput." Ucapnya polos.Aku sedikit sangsi, masak iya mbak Aini tak menjemput anaknya? Padahal wanita itu tak pernah absen bila berurusan dengan anaknya. "Om Iyan mau antar Mutia pulang tidak?" Gadis kecil itu menarik tangan Satria.Sesaat Satria melihatku, aku diam tak memberinya jawaban apapun, aku memang tak membenci Mutia, namun bagiku menyebalkam saja bila Lala harus mengalah untuk gadis yang bahkan tak menganggapnya teman. Lagi pula Satria datang kesini karena janjinya dengan Lala, jika dia memilih Mutia ya berarti aku akan memastik
Satria menggenggam tanganku erat, membawaku masuk ke pelataran rumah mbak Aini. Tatapan wanita itu tajam sekarang, bahkan aku melihat dia mendengus kesal saat aku masuk melewati pagar rumahnya."Kita perlu bicara mbak." Satria kini bicara dengan nada dingin tangannya tak lepas dari genggamanku."Bicara apa lagi? Aku rasa tak ada lagi yang perlu di bicarakan." Dia membuang wajahnya."Bicara tentang sikap mbak di sekolah Lala, bicara tentang bagaimana mbak Aini membuat Lala di musuhi banyak anak lain.""Sudah mengarang cerita apa kamu?" Mbak Aini langsung mengarahkan pertanyaan padaku.Aku masih diam menghargai Satria yang sejak tadi belum selesai bicara."Enak sekali ya hanya cerita sebentar langsung saja dapat pembelaan. Percaya saja kami dengan wanita ini?""Kenapa aku harus tak percaya mbak?""Iyan, aku fannkamubsudah lama saling kenal, bahkan ketika aku dan mas Arka masih berpacaran, kamu tau aku kan?""Iya, aku sangat tau mbak, tapi sayangnya tak ada yang lebih mengenal Sri dari a
Lala memang menjadikan rumah bapak sebagai tempatnya mengumpulkan banyak anak-anak di sekitar rumah kami untuk bermain bersama. Bahkan beberapa kali sembako rumah habis berpindah tangan segera. Meski rumah bapak cukup jauh dari per kampungan, ada satu rumah kecil dekat jalan yang memberikan Lala akses untuk membawa teman-teman kecilnya itu. Dia tau rumah besar tak di oerbolehkan memasukkan orang asing, karenanya dia bawa barang-barang dari rumah besat ke pondok kecil di luar jalan ke hutan."Lala nggak mau beli buat lala sendiri?" Satria beritanya.Gadis kecilku menggelengkan kepalanya perlahan. "Lala sudah punya semua, jadi Lala cuma mau mama dan om Tri menikah saja." Kalimatnya terdengar lirih, namun aku masih bisa mendengarnya dengan jelas.Aku dan Satria saling pandang, ada getar bahagia mendengar langsung anakku memberikan restu nya."Segera sayang, om Tri akan jadi papa Lala." Ucapnya terdengar begitu bahagia, dia bahkan tersenyum-senyum sendiri"Papa Tri itu panggilan yang bagu
Hari ini aku dan Satria punya janji bertemu untuk melihat segala persiapan yang sudah hampir selesai. Ya, dua hari lagi pernikahan kami di gelar, Bapak sudah berjanji akan pulang untuk menemani aku di pelaminan, rasanya tak sabar menunggu lelaki itu pulang dengan segera.Dert... Derrtt...Bunyi getaran ponsel membuat aku terkejut, aku sedang fokus memeriksa laporan yang masuk dalam email ku. Pesan dari mas Fandi masuk ke dalam nomor baruku, entah dari mana lelaki itu tau nomor ponselku yang baru, tapi pesan yang di kirimnya membuat aku bertanya sendiri.[Selamat atas pernikahanmu Sri, aku tau kamu tak akan mengundang mantan suami sepertiku untuk datang, karenanya bisakah kita bertemu untuk terakhir kali? Esok aku akan terbang ke Jepang Sri, mungkin akan lama untuk pulang kembali. Seorang teman menawari aku untuk kerja di sana dan aku rasa itu bukan hal yang buruk. Bisakah hari ini aku bertemu Lala di taman kota? Aku ada di sana sore nanti, semoga kamu mau mengabulakan permintaanku].
Jani mengambil foto di tangan Leon dan memperhatikan lebih jelas, gadis bermata abu itu memang nampak sanggat bahagia bersanding dengan seorang anak lelaki kecil dengan rambut menutup poninya."Ini_" Jani menghentikan kalimat nya dan menatap ke arah Leon."Ya, itu aku. Meski tak kamu ingat kita adalah sahabat kecil Jani..Kata Jani berkaca menatap ke arah Leon, memperhatikan setiap lekuk wajah lelaki nan tampan itu dengan seksama."Benarkah itu dirimu? sahabat yang kadang hadir dalam mimpiku, aku selalu bertanya itu kisah siapa, sebab ta ada yang aku ingat dari masa lalu ku selain karena sepenggal kisah yang ku denggar dari bapak yang membesarkan ku."Jani berkata dalam hati, air mata nya turun tanpa sadar, membuat wajahnya yang putih merona kemerahan sekarang."Ada apa sayang?" "Sekarang aku tau kenapa kamu begitu baik padaku." Ucap nya lirih.Ya, selama ini Jani selalu merasa bersyukur sebab masih di beri hidup lebih lama, mengucap terimakasih pada Leon dalam hatinya sebab memberin
"Karena kamu tau segalanya Jani, kamu kehilangan ingatanmu saat mengalami kecelakaan setelah bertemu dengan Lenzia, itu pertemuan terakhirmu, sebab Lenzia menghilang setelahnya." Leon menjelaskan dengan gamblang"Jadi aku pernah bertemu dengan Lenzia?""Ya, dan Aini mencoba juga untuk membunuhmmu."Sri dan Jani sama-sama terkejut, menghadapi kenyataan yang teramat berat sekarang. ""Dan wanita tadi adalah Aini? ." Ucap Jani membuat Sri menatap nya serius."Kalian sudah bertemu Aini?""Iya, kami tak sengaja bertemu dengannya saat aku turun membeli minum, dia hampir membunuh Jani.""Dia terus menyebut ku Lusia.""Ya karena itu yang dia tau, dia hanya mengenal nama Lenzia Jani." Leon kembali menjelaskan dan membuat Jani semakin diam."Dimana kalian bertemu Aini?" Sri penasaran."Di minimarket tengah hutan.""Begitu? aku harus segera mencarinya." Sri berdiri, dia ingin bicara lebih banyak namun Sepertinya Aini jauh lebih Penting sekarang."Sepertinya aku harus permisi dulu, kami sudah lam
Sri tersenyum menyetujui, dirinya memang harus mengatakan banyak hal pada Jani sekarang."Saya janji tidak akan memaksa, bila nona Lusia berkenan saya pergi, saya akan pergi." Ucap Sri jujur, dia tak ingin mengusik Lusia yang sedang sakit namun jika wanita itu meminta penjelasan, Sri tentu saja lebih senang mendengarnya."Baiklah, hanya sebentar saja, tanyakan saja apa yang ingin kamu dengar dan setelah itu istirahatlah."Jani tersenyum dan mengganggukkan kepala. "Terimakasih sayang, terimakasih." Ucap Jani dengan wajah merona, mereka lalu masuk ke dalam kamar Leon.Leon meletakkan Jani ke atas tempat tidur, Jani bersandar pada tempat tidur nya dan Leon menyelimuti wanita itu hingga menutupi sebagian tubuhnya yang putih. Sri duduk di sisi ranjang, melihat betapa Leon memperlakukan Jani dengan istimewa, dia yakin lelaki ini memang tulus mencintai Jani."Katakan segera yang ingin anda katakan." Leon bicara dengan tegas, tak ingin Janin terusik lebih lama lagi.Jani menyentuh lengan keka
"Wanita ini menyebutku Lusia, Leon." Ucap Jani pada Leon membuat Leon juga merasa tak tenang."Dia menyebut Lusia, Leon! Dia tau Lusia!!" Jani terdengar panik, memeluk Leon dalam ketakutan.Leon mendekap mendekap erat Jani, menatap menatap marah pada apa yanh baru saja Aini lakukan, dia tak mengenal Aini, namunn beraninya wanita otu bahkan menyakiti orang yang sangat dia lindungi."Bawa dia pergi!" Ucap Leon kesal, dia ingin membuat. perhitungan pada Aini, namun menenangkan Jani jauh lebih penting sekarang.Leon melihat Aini di bawa paksa pergi, sementara Jani yang ketakutan merosot terduduk di lantai pelataran, dia terus menatap Aini yang menjauh, tak dapat lagi berpikir biaik, Jani berharap semua yang di lalukan bisa membuat nya mengingat sesuatu."Kamu baik-baik saja sayangku?" Leon tertunduk, mendekap Jani penuh penyesalan."Harusnya aku tak meninggalkan mu sendirian. sayang." Ucapnya merutuki kebodohan nya sendiri.Jani menangis kencang, tangisan yang entah kenapa tiba-tiba saja
"Jauhkan tanganmu, siapa kamu!" Jani berteriak histeris, tatapannya melihat ke arah dalam minimarket"Kenapa kamu cantik? Aku benci saat kamu cantik!'" Ucap Aini kesal, tangannya terus mencoba menyentuh wajah Jani."Kemari kami sialan!" Aini meremas kuat kerah baju Jani, membuat ia gemetar karena histeris."Tidak!.... tidak!" Ucapnya kencang dan sebuah ingatan masa lalu kembali muncul....Jani melihat wanita berparas mirip dirinya berlari letakutan dengan perut membesar, entah apa yang sudah di lalui hingga gaun putih yang di kenakan berlumur darah dan tanah, dinginya malam bukanlah musuh terbesarnya, dia lebih takut jika bayi dalam dekapan itu lepas dari pelukan. "Jangan mencoba lari Lusia!" Teriakan itu begitu nyaringo dan lantang terdengar.Lusia gemetar dalam tangis, berjongkok pada rimbunya dedaunan kecil dan ilalang, berharap diri nya tak di temukan."Lusia!" Teriakan itu kembali terdengar, tubuh kecil Lusia semakin gemetar."Sabarlah sayang, mama akan membawamu pulang, kita ak
"Aku ingin tau apa yang terjadi Leon, aku mohon katakan sesuatu." Ucapnya meminta, segala hal yang menimpanya begitu menyiksa dan membuat dirinya bertanya."Perlahan saja sayang, kita akan bicara nanti." Ucap Leon lalu membawa Jani masuk ke dalam mobil mereka.Meninggalkan rumah kosong yang serasa tak asing bagi jani, rumah yang sepertinya sangat dia kenal namun tak bisa di ingat lebih baik.Mobil Leon membelah malam sunyi, melewati hutan yang lebat dengan hanya satu, ldua penerangan minim, mereka hanya berdua saat datang dan pergi, menyisakan kesunyian nyata setiap kali tak ada suara di antara mereka."Kenapa diam?" Tanya Leon, ia masih Melihat Jani terdiam Menatap ke luar jendela."Rasanya aku pernah ada di sini." Ucapnya sembari melihat ke arah rumah kosong di sisi jalan.Leon berhenti mendadak, menatap ke arah rumah kosong di sisinkanan mereka, rumah tangga memang sejak lama tak di tempati, namun kenapa Jani merasa pernah ada di sana?"Kamu yakin pernah ada di sana?"Jani mengangg
Aini menjerit di depan toko, dia takut sebab Fandi sudah meninggalkan dirinya sendiri di tempat asing, pegawai toko juga ketakutan sekarang, Aini bisa saja melukai orang karena tertekan. "Wanita murahan!" Tiba-tibsa saja kalimat itu keluar dari bibir Aini, dia teringat pernah menyebut nama itu begitu sering dulu.Aini terduduk di trotoar jalan, uang yang di genggamnya ia lepas begitu saja, ia menatap nanar ke jalan yang sepi, seakan dirinya bisa saja tenggelam dalam gelap.Aini mengingat betul dia pernah hidup mewah, namun entah kenapa sekarang semua hanya bergantung pada saat orang memberinya perhatian dan cinta. "Kenapa kamu pergi mas!" Aini menangis lagi, kali ini bayang wajah Arka suaminya tergambar jelas, lelaki itu bahkan telah damai sekarang.Aini begitu mengingat bagaimana Arka yang tak pernah berbuat jahat padanya dulu, masih menjadi lelaki yang menempati hatinya selain Satria. Dia bahkan rela menyingkirkan semua rintangan yang ada hanya untuk menempati ruang yang tak lagi
Sementara Fandi dengan perasaan tak menentu memutuskan pulang ke Solo, dia tak ingin mendapat masalah dengan bertemu lelaki seperti tuan Cien. Bergegas dia berjalan ke kamar dan melihat Kila tertidur dengan baju terbuka."Ada apa Sayang?" Kila bertanya dengan cemas, melihat Fandi membuka lemari baju dan mengemasi barangnya."Ayo pulang sekarang." Ucapnya kesal terus di tanya namun Kila masih tak memahami situasi yang ada."Kenapa mendadak pulang?""Ya karena kita memang harus pulang Kila!" Ucap Fandi kesal. "Bantu aku berbenah dan jangan banyak tanya!" Ucapnya lagi lalu melanjutkan lagi menata pakaiannya.Dengan kesal Kila medekat, menarik kopernya juga ke depan lemari dan ikut memasukkan barang-barangnya."Padahal kita baru berapa hari di sini!" Ucapnya ketus."Kalau kau mau di sini terus, silahlan! aku mau pulang!" Ucap Fandi lagi dengan nada tinggi, dia benci sekali saat Kila merajuk tanpa alasan.Fandi menatap Kila dengan wajah tak suka."Harus nya kau malu bilang begitu, aku suda
"Kau tau tempat ini?" Leon bertanya dengan alis terangkat.Jani menggelengkan kepalanya, meski merasa tak asing namun dirinya tak dapat mengenali lingkungan tempatnya barada sekarang."Aku tak tau, ada sesuatu di sini?" Jani berusaha mengingat, namun tak dapat menemukan serpihan cerita dari tempatnya berada sekarang."Ayo kita masuk, mungkin kamu akan menemukan jawabannya. " Ucap Leon membuka pintu mobil nya dan segera berjalan ke sisi yang lain."Ayo keluar." Ucap Leon lagi, menarik jemari kecil Jani keluar dari dalam mobil mereka."Aku tak mengerti." Jani masih mematung di tempat, takut bila Leon berbuat sesuatu yang mungkin membuat dirinya merasa kecewa."Kau hanya perlu mengikuti kata hatimu, tak ada yang perlu di mengerti Jani, aku tak akan pernah membuatmu merasa terluka, percayalah!" Ucap Leon meyakinkan wanita di hadapannya itu.Mata Jani keluar menelisik ke sekitar tempatnya berdiri, sebuah pelataran kecil dengan pohon mangga besar di dekat pagar rumah itu, membuat hati kecil