Yuliana bersiap, ia lalu kembali masuk ke kamar Amran, melihat Lusi dan anaknya sudah berganti baju Yuliana berjalan mendekat."Ibu mau bicara!" Ucapnya pelan lalu duduk bersama di tengah mereka berdua.Amran hanya diam, namun melihat ke arah ibunya sebentar. Yuliana bisa merasakan ketakutan sang anak menggengam tangan Amran dengan erat." Sekarang sudah bukan waktunya lagi ibu menyalahkanmu Mram, semalam ibu bilang pada polisi bahwa Jani pamit kerumah orang tuanya setelah kalian bertengkar.""Ibu bilang kami bertengkar?" Lusi bertanya pada mertuanya."Ya, mau bagaimana lagi, beberapa orang jelas melihat Amran menyeret tubuh Jani malam itu!"Mereka saling pandang, tentu saja terkejut, Amramln merasa tak ada yang melihat, namun ternyata ia salah duga."Mereka pasti akan menanyai kalian nanti, jawab saja sama seperti yang ibu katakan!" Ucap Yuliana lagi lalu menatap anak dan menantunya."Bagaimana jika mereka memenjarakan aku bu?""Apa kamu membunuh Jani?" Yuliana bertanya pada Amran da
Amran duduk dengan Lusi, menatap seorang lelaki yang terus mencecarnya dengan pertanyaan yang sama, cukup lama mereka duduk di sana, hingga kesal sendiri.Satu jam lebih Yuliana berada di depsn rumah sakiy, hingga ia di bantu warga berembuk untuke membawa pulang jenazah beridentitas Jani lebih dulu."Mari bu, kita pulang dulu." Yuliana di minta lebih dulu mengurus pemakaman menantunya.Sementara hatinya bimbang, ingin dirinya pergi menyusul Amran yang entah di bawa ke mana oleh dua lelaki bersragam itu.Mau tak mau Yuliana ikut pulang, memakamkan jasad yang di sebut menantunya itu lebih penting sekarang, ia tak ingin terlihat semakin tak perduli dengan Jami meskipun sudah tiada."Anak dan menantu ibu masih di periksa, sebaiknya kita kubur dulu menantu ibu." Seorang warga memberi tahu Yuliana, namu kalimat yang ia lontarkan justeru tedengar lucu."Menantu-menantu terus, yang jelas lah kalau bicara!" Ucap satu warga lagi, beberapa warga memang datang dengan mobil berbeda bersama rombon
Yuliana masuk dengan katakutan, matanya kosong dan terrus bergidik kala melihat peti itu di bawa masuk ke dalam rumahnnya. Ia tak mau dekat-dekat dengan jenazah itu lagi, orang-orang membawanya masuk ke kamar, dia masibjgemetar saat di dudukan di sisi ranjang."mbak Yul, ada apa, mbak Yul nggak apa-apa?"Seorang tetangga bertanya karena melihat Yuliana gemetar dan menatap kosong ke depan."Aku ambilkan minum dulu mbk, mbak Nur nggak apa-apa kan nunggu si sini dulu?" Seorang tetangga lain bertanya, sebab hanya mereka berdua yang membanyu Yuliana masuk ke dalam kamar."iya, nggak apa-apa mbak, ambilkan mbak Yul teh hangat kalau ada." Ucapnya meminta lalu dia di tinggal sendiri bersama Yuliana"Jangan dekat-dekat, nanti dia datang!" Bisik Yuliana pada tetangga yang membantunya ke kamar."Dia? Dia siapa mbak yang datang?""itu, hantu Jani datang, baunya wangi sekali lalu petinya bergerak kencang, jasadnya mungkin mau keluar membalas dendam!" Ucapnya membuat bulu kuduk meremang."mbak, jang
Bapak Jani berjalan ke pemakaman, menunggu jenazah anaknya datang ke sana, lelaki itu duduk di bawah pohon sementara Jani hanya mampu melihatnya tanpa bisa berbuat apapun.Tak lama jenazah datang, beberapa orang ikut mengantar Jenazah itu. Jani masih bersembunyi di balik pepohonan, menyaksikan Sari yang begitu bergaya dengan kaca mata hitamnya, gadis itu hanya melihat dari sisi liang lahat.Jani tak melihat Amran dan istri keduanya, yang ada hanya Yuliana dan Sari yang bahkan tak terlihat sedih atau kehilangan. Satu-satunya yang menangis hingga proses pemakaman selesai hanyalah Bapaknya sendiri. Lelaki itu masih menunggu dari sisi seberang pemakaman, tak lagi mendekat dan menggangu proses pemakaman."Bahkan kematianku tak membuat dirimu perduli mas! Segala kesakitan ini akan aku ingat, aku bawa bersama rasa sakit yang akan aku rasakan selama proses perubahan diriku." Ucap Jani dalam hati."Sampai kapan kamu akan di sini?" Leon sudah berdiri di sisi Jani, mobilnya menunggu di luar pema
Mau tak mau, Yuliana tetap mengadakan kirim do'a. Ia menghindari pembahasan buruk tentang keluarganya, di tambah Amran tak juga pulang sejak tadi siang. Bisik-bisik dan gunjingan tentang keluarganya masih terdengar juga di tengah acara kirim do'a, sayangnya Yuliana tak bisa berbuat banyak, ia yang biasanya bisa mengamuk karena di hina, sekarang diam meski beberapa kali kalimat tetangganya memerahkan telinga.Malam itu cukup banyak yang datang, ia hanya memberi roti dan teh hangat untuk sajian, sebab di hari setelah pemakaman orang masih maklum bila si empunya rumah belum bisa menjamu dengan layak. Esok baru ia akan pikirkan makanan apa yang akan di berikan lagi, jika tak ingin mendapat gunjingan lebih banyak, tentunya harus bisa memberi lebih layak."Kami permisi dulu bu!" Setelah kirim doa selesai, para tetangganya mulai berpamitan pulang.Yuliana mencob tersenyum, meski serasa wajahnya tak lagi ada harga. Sari bahkan tak mau keluar dari kamar meski berkali-kali Yuliana mengetuk pint
Pesawat tiba di bandara Internasional Singapore, mereka tiba di apartemen dan segera merapikan diri."Kita akan ke rumah sakit sore ini, bi Marni bisa menemanimu di sana selama aku pergi." Ucap Leon sembari menarik kopernya ke dalam kamar."Pergi, memang kamu mau ke mana?"Leon tak menjawab, dia memilih masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya.Jani yang merasa terbiasa dengan sikap dingin sang tuan muda memilih acuh dan masuk juga ke dalam kamar yang sudah di sedikan untuknya.Hingga sore menjelang, mereka sudah keluar apartemen. Jani di jembut sebuah mobil menuju ke rumah sakit bersama Leon juga duduk di dekatnya."Aku akan mengantarmu ke rumah sakit, setelahnya mungkin beberapa hari ke depan aku akan pergi.""Kemana?" Tanya Jani, ia tak ingin di tinggalkan di negara asing sendirian."Kamu tak perlu tau.""Aku harus tau, kamu bertanggungnjawab padaku Leon, aku tak mau di tinggal sendirian di sini!"Leon tersenyum sinis. "Aku bukan suamimu yang pengecut itu Jani, aku tak akan menin
Kesal, tentu saja. Siapa yang tak marah saat harga dirinya di rendahkan di depan muka orang banyak. Jika bisa ingin rasanya Lusi mengumpat balik mereka semua, satu persatu meneror mereka juga, bahkan mungkin membalas perlakuan mereka yang menurutnya kejam.Langkahnya gontai menapaki jalanan pulang, perutnya kosong sejak kemarin bahkan untuk mengisinya dengan telur saja dia tak bisa."Menyedihkan sekali, bayangku setelah menikah akan hidup nyaman, makan enak, tinggal gratis, tapi bahkan sekarang beli lauk saja sulit sekali!" Ucapnya kesal, ia menyentuh perutnya yang melilit perih.Ia merasa setelah menikah justeru hidupnya jadi mengenaskan, lebih enak saat dirinya hanya jadi selingkuhan, bahkan Amran biasa mengajaknya makan enak di luar."Bakso mang!" Teriaknya saat melihat tukang bakso melintas di dekatnyaDengan cepat ia mendekat dan liurnya memenuhi rongga mulut saat bau kaldu menyebar terbawa uap panasnya."Berapa seporsi?""Dua belas ribu neng."Lusi diam, menimbang bagaimana dia
Tuan Wang berpamitan, meski wajahnya menunjukkan ketidaksukaan atas ucapan Leon yang terlalu terbuka, namun mereka masih bersikap ramah."Kamu ingin menghancurkan Ayahmu Leon?" Airlangga terlihat begitu marah saat kembali ke dalam rumahnya, Renata sang istri merengkuh lengan suaminya, ia takut Airlangga kehilangan kendali."Casandra adalah putri bungsu tuan Wang, mereka menginginkan menantu sejak lama dan putrinya kagum padamu sejak kalian masih sama-sama sekolah.""Kagum?" Leon bertanya sebab ia tak merasa pernah mengenal Casandra bahkan mengingat gadis itu pernah satu sekolah dengannya."Ayah mungkin salah dengar, aku tak merasa pernah melihatnya, bagaimana dia bisa bikang kagum?"Airlangga berjalan mendekati Leon. "Bagaimana kamu akan kenal seseorang, jika sepanjang yang kamu ingat hanyalah kenangan kecilmu itu!" Ucap sang ayah seolah meremehkan kenangan berharga sang anak."Ayah tak akan tau betapa berartinya kenangan itu untukku!" Leon sedikit tersinggung dengan cara sang ayah me
Jani mengambil foto di tangan Leon dan memperhatikan lebih jelas, gadis bermata abu itu memang nampak sanggat bahagia bersanding dengan seorang anak lelaki kecil dengan rambut menutup poninya."Ini_" Jani menghentikan kalimat nya dan menatap ke arah Leon."Ya, itu aku. Meski tak kamu ingat kita adalah sahabat kecil Jani..Kata Jani berkaca menatap ke arah Leon, memperhatikan setiap lekuk wajah lelaki nan tampan itu dengan seksama."Benarkah itu dirimu? sahabat yang kadang hadir dalam mimpiku, aku selalu bertanya itu kisah siapa, sebab ta ada yang aku ingat dari masa lalu ku selain karena sepenggal kisah yang ku denggar dari bapak yang membesarkan ku."Jani berkata dalam hati, air mata nya turun tanpa sadar, membuat wajahnya yang putih merona kemerahan sekarang."Ada apa sayang?" "Sekarang aku tau kenapa kamu begitu baik padaku." Ucap nya lirih.Ya, selama ini Jani selalu merasa bersyukur sebab masih di beri hidup lebih lama, mengucap terimakasih pada Leon dalam hatinya sebab memberin
"Karena kamu tau segalanya Jani, kamu kehilangan ingatanmu saat mengalami kecelakaan setelah bertemu dengan Lenzia, itu pertemuan terakhirmu, sebab Lenzia menghilang setelahnya." Leon menjelaskan dengan gamblang"Jadi aku pernah bertemu dengan Lenzia?""Ya, dan Aini mencoba juga untuk membunuhmmu."Sri dan Jani sama-sama terkejut, menghadapi kenyataan yang teramat berat sekarang. ""Dan wanita tadi adalah Aini? ." Ucap Jani membuat Sri menatap nya serius."Kalian sudah bertemu Aini?""Iya, kami tak sengaja bertemu dengannya saat aku turun membeli minum, dia hampir membunuh Jani.""Dia terus menyebut ku Lusia.""Ya karena itu yang dia tau, dia hanya mengenal nama Lenzia Jani." Leon kembali menjelaskan dan membuat Jani semakin diam."Dimana kalian bertemu Aini?" Sri penasaran."Di minimarket tengah hutan.""Begitu? aku harus segera mencarinya." Sri berdiri, dia ingin bicara lebih banyak namun Sepertinya Aini jauh lebih Penting sekarang."Sepertinya aku harus permisi dulu, kami sudah lam
Sri tersenyum menyetujui, dirinya memang harus mengatakan banyak hal pada Jani sekarang."Saya janji tidak akan memaksa, bila nona Lusia berkenan saya pergi, saya akan pergi." Ucap Sri jujur, dia tak ingin mengusik Lusia yang sedang sakit namun jika wanita itu meminta penjelasan, Sri tentu saja lebih senang mendengarnya."Baiklah, hanya sebentar saja, tanyakan saja apa yang ingin kamu dengar dan setelah itu istirahatlah."Jani tersenyum dan mengganggukkan kepala. "Terimakasih sayang, terimakasih." Ucap Jani dengan wajah merona, mereka lalu masuk ke dalam kamar Leon.Leon meletakkan Jani ke atas tempat tidur, Jani bersandar pada tempat tidur nya dan Leon menyelimuti wanita itu hingga menutupi sebagian tubuhnya yang putih. Sri duduk di sisi ranjang, melihat betapa Leon memperlakukan Jani dengan istimewa, dia yakin lelaki ini memang tulus mencintai Jani."Katakan segera yang ingin anda katakan." Leon bicara dengan tegas, tak ingin Janin terusik lebih lama lagi.Jani menyentuh lengan keka
"Wanita ini menyebutku Lusia, Leon." Ucap Jani pada Leon membuat Leon juga merasa tak tenang."Dia menyebut Lusia, Leon! Dia tau Lusia!!" Jani terdengar panik, memeluk Leon dalam ketakutan.Leon mendekap mendekap erat Jani, menatap menatap marah pada apa yanh baru saja Aini lakukan, dia tak mengenal Aini, namunn beraninya wanita otu bahkan menyakiti orang yang sangat dia lindungi."Bawa dia pergi!" Ucap Leon kesal, dia ingin membuat. perhitungan pada Aini, namun menenangkan Jani jauh lebih penting sekarang.Leon melihat Aini di bawa paksa pergi, sementara Jani yang ketakutan merosot terduduk di lantai pelataran, dia terus menatap Aini yang menjauh, tak dapat lagi berpikir biaik, Jani berharap semua yang di lalukan bisa membuat nya mengingat sesuatu."Kamu baik-baik saja sayangku?" Leon tertunduk, mendekap Jani penuh penyesalan."Harusnya aku tak meninggalkan mu sendirian. sayang." Ucapnya merutuki kebodohan nya sendiri.Jani menangis kencang, tangisan yang entah kenapa tiba-tiba saja
"Jauhkan tanganmu, siapa kamu!" Jani berteriak histeris, tatapannya melihat ke arah dalam minimarket"Kenapa kamu cantik? Aku benci saat kamu cantik!'" Ucap Aini kesal, tangannya terus mencoba menyentuh wajah Jani."Kemari kami sialan!" Aini meremas kuat kerah baju Jani, membuat ia gemetar karena histeris."Tidak!.... tidak!" Ucapnya kencang dan sebuah ingatan masa lalu kembali muncul....Jani melihat wanita berparas mirip dirinya berlari letakutan dengan perut membesar, entah apa yang sudah di lalui hingga gaun putih yang di kenakan berlumur darah dan tanah, dinginya malam bukanlah musuh terbesarnya, dia lebih takut jika bayi dalam dekapan itu lepas dari pelukan. "Jangan mencoba lari Lusia!" Teriakan itu begitu nyaringo dan lantang terdengar.Lusia gemetar dalam tangis, berjongkok pada rimbunya dedaunan kecil dan ilalang, berharap diri nya tak di temukan."Lusia!" Teriakan itu kembali terdengar, tubuh kecil Lusia semakin gemetar."Sabarlah sayang, mama akan membawamu pulang, kita ak
"Aku ingin tau apa yang terjadi Leon, aku mohon katakan sesuatu." Ucapnya meminta, segala hal yang menimpanya begitu menyiksa dan membuat dirinya bertanya."Perlahan saja sayang, kita akan bicara nanti." Ucap Leon lalu membawa Jani masuk ke dalam mobil mereka.Meninggalkan rumah kosong yang serasa tak asing bagi jani, rumah yang sepertinya sangat dia kenal namun tak bisa di ingat lebih baik.Mobil Leon membelah malam sunyi, melewati hutan yang lebat dengan hanya satu, ldua penerangan minim, mereka hanya berdua saat datang dan pergi, menyisakan kesunyian nyata setiap kali tak ada suara di antara mereka."Kenapa diam?" Tanya Leon, ia masih Melihat Jani terdiam Menatap ke luar jendela."Rasanya aku pernah ada di sini." Ucapnya sembari melihat ke arah rumah kosong di sisi jalan.Leon berhenti mendadak, menatap ke arah rumah kosong di sisinkanan mereka, rumah tangga memang sejak lama tak di tempati, namun kenapa Jani merasa pernah ada di sana?"Kamu yakin pernah ada di sana?"Jani mengangg
Aini menjerit di depan toko, dia takut sebab Fandi sudah meninggalkan dirinya sendiri di tempat asing, pegawai toko juga ketakutan sekarang, Aini bisa saja melukai orang karena tertekan. "Wanita murahan!" Tiba-tibsa saja kalimat itu keluar dari bibir Aini, dia teringat pernah menyebut nama itu begitu sering dulu.Aini terduduk di trotoar jalan, uang yang di genggamnya ia lepas begitu saja, ia menatap nanar ke jalan yang sepi, seakan dirinya bisa saja tenggelam dalam gelap.Aini mengingat betul dia pernah hidup mewah, namun entah kenapa sekarang semua hanya bergantung pada saat orang memberinya perhatian dan cinta. "Kenapa kamu pergi mas!" Aini menangis lagi, kali ini bayang wajah Arka suaminya tergambar jelas, lelaki itu bahkan telah damai sekarang.Aini begitu mengingat bagaimana Arka yang tak pernah berbuat jahat padanya dulu, masih menjadi lelaki yang menempati hatinya selain Satria. Dia bahkan rela menyingkirkan semua rintangan yang ada hanya untuk menempati ruang yang tak lagi
Sementara Fandi dengan perasaan tak menentu memutuskan pulang ke Solo, dia tak ingin mendapat masalah dengan bertemu lelaki seperti tuan Cien. Bergegas dia berjalan ke kamar dan melihat Kila tertidur dengan baju terbuka."Ada apa Sayang?" Kila bertanya dengan cemas, melihat Fandi membuka lemari baju dan mengemasi barangnya."Ayo pulang sekarang." Ucapnya kesal terus di tanya namun Kila masih tak memahami situasi yang ada."Kenapa mendadak pulang?""Ya karena kita memang harus pulang Kila!" Ucap Fandi kesal. "Bantu aku berbenah dan jangan banyak tanya!" Ucapnya lagi lalu melanjutkan lagi menata pakaiannya.Dengan kesal Kila medekat, menarik kopernya juga ke depan lemari dan ikut memasukkan barang-barangnya."Padahal kita baru berapa hari di sini!" Ucapnya ketus."Kalau kau mau di sini terus, silahlan! aku mau pulang!" Ucap Fandi lagi dengan nada tinggi, dia benci sekali saat Kila merajuk tanpa alasan.Fandi menatap Kila dengan wajah tak suka."Harus nya kau malu bilang begitu, aku suda
"Kau tau tempat ini?" Leon bertanya dengan alis terangkat.Jani menggelengkan kepalanya, meski merasa tak asing namun dirinya tak dapat mengenali lingkungan tempatnya barada sekarang."Aku tak tau, ada sesuatu di sini?" Jani berusaha mengingat, namun tak dapat menemukan serpihan cerita dari tempatnya berada sekarang."Ayo kita masuk, mungkin kamu akan menemukan jawabannya. " Ucap Leon membuka pintu mobil nya dan segera berjalan ke sisi yang lain."Ayo keluar." Ucap Leon lagi, menarik jemari kecil Jani keluar dari dalam mobil mereka."Aku tak mengerti." Jani masih mematung di tempat, takut bila Leon berbuat sesuatu yang mungkin membuat dirinya merasa kecewa."Kau hanya perlu mengikuti kata hatimu, tak ada yang perlu di mengerti Jani, aku tak akan pernah membuatmu merasa terluka, percayalah!" Ucap Leon meyakinkan wanita di hadapannya itu.Mata Jani keluar menelisik ke sekitar tempatnya berdiri, sebuah pelataran kecil dengan pohon mangga besar di dekat pagar rumah itu, membuat hati kecil