"Hmmphh!"
Nara tercekat, ketika tiba-tiba saja ada yang membekap mulutnya dan langsung menarik tubuhnya menjauh. Ia berusaha melawan, tetapi sayang tubuhnya malah seketika terangkat melayang ke atas.
"Ssstt! Jangan berisik!" bisik sesosok pria dengan hoodie hitam yang menutupi sebagian wajahnya.
Pria itu membawa Nara bersembunyi di balik tumpukan drum kosong, dengan terus menutup mulutnya agar tak lagi mengeluarkan suara. Sampai akhirnya langkah Evan dan Bella terdengar semakin mendekat, dan kedua orang tersebut terlihat terus berlalu-lalang tak jelas di hadapannya.
"Sepertinya dia sudah kabur, Mas!"
"Akhh! Sial! Biar nanti kita beri pelajaran perempuan kampungan itu lagi! Biar bagaimanapun dia harus bertanggung jawab atas aksi nekatnya tadi!" ujar Evan kesal, sambil kembali menuruni anak tangga bersama Bella.
Melihat situasi yang sudah mulai aman, pria misterius itu pun akhirnya melepaskan dekapannya pada Nara. Tak lupa juga ia membuka penutup kepalanya, dan menampakkan wajahnya langsung di hadapan perempuan yang tadi sempat merasa sangat ketakutan tersebut.
"Huftt! Syukurlah! Akhirnya kamu datang juga, Mas!" ucap Nara dengan mengusap sekilas keringat di wajahnya. "Aku pikir—"
"Ssstt! Sudahlah, lebih baik kita segera ke mobil sekarang," potong Dimas yang seketika keluar dari tempat persembunyiannya.
"Tapi, Mas. Kakiku—"
"Biar aku gendong!" sela Dimas lagi, yang langsung tanpa basa-basi kembali membopong tubuh wanita itu.
Dengan penuh hati-hati Dimas menuruni anak tangga, membuat Nara refleks mengalungkan kedua lengannya di leher pria tersebut. Di setiap langkahnya, kedua netra Dimas selalu awas mengawasi sekitar. Hingga akhirnya ia berhasil turun, dan menemui seorang anak buah kepercayaannya yang telah menunggunya di bawah.
"Bagaimana?" tanyanya singkat, tanpa menurunkan Nara terlebih dahulu.
"Aman, Tuan. Mereka berdua telah pergi dari tempat ini, sekitar lima menit yang lalu."
"Bagus, kalau begitu kembalilah. Biar aku yang menyetir mobilku sendiri!" perintahnya yang langsung dipatuhi oleh anak buahnya.
Dimas membawa Nara masuk kembali ke dalam mobilnya, dan mulai mengendarai kendaraan roda empatnya dengan sesekali melihat ke arah Nara yang sedang meringis kesakitan. Ia berusaha mencari rute tercepat, dan memberhentikan kendaraannya tepat di depan sebuah gedung bertingkat yang cukup megah di kotanya.
"Mas, sepertinya aku bisa jalan sendiri. Aku malu dilihat oleh banyak orang," tutur Nara dengan sedikit berbisik, ketika ia menyadari berbagai tatapan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Namun sayang, Dimas tak mengindahkan hal tersebut. Ia terus membawa Nara melewati beberapa para karyawannya, dan menurunkan perempuan itu dengan penuh hati-hati di atas sebuah sofa besar yang ada di dalam ruangan kerjanya.
"Tolong bawakan handuk kecil dan juga satu baskom air dingin," perintah Dimas pada seseorang dari sambungan telepon kantor.
Untuk saat ini, Nara tak lagi bisa memprotes segala perlakuan pria itu. Perhatiannya kini telah teralihkan pada ruangan besar, dengan beberapa piala yang terlihat sangat berkilau dan juga berbagai fasilitas mewah yang ada di dalam ruang kerja pria tersebut. Hingga akhirnya, Nara cukup terkejut ketika melihat Dimas bertekuk lutut di hadapannya dan meraih salah satu kakinya.
"Apa ini sakit?"
"Tidak, Mas. Hanya sedikit saja," jawab Nara dengan sedikit menggeleng.
"Cih! Itu sama saja, namanya tetap sakit!" ujar Dimas melihat sekilas ke arah pintunya yang terbuka.
Seseorang perempuan muncul dengan membawakan sejumlah barang yang telah Dimas minta sebelumnya. Hingga akhirnya, Nara sedikit mengerenyitkan dahinya ketika mendapati pria itu kembali duduk bersimpuh di hadapannya dan mulai mengompres kakinya secara perlahan-lahan.
"Kenapa kamu tidak menyuruh anak buahmu saja, Mas?" tanya Nara yang seketika penasaran.
"Apa? Maksudmu untuk melakukan ini?" Dimas kembali mengompres pergelangan kaki Nara dengan sangat telaten, hingga membuat perempuan itu kembali mengangguk mengiyakan.
"Tidak apa-apa, ini hanya sebagai bentuk tanggung jawabku saja. Biar bagaimanapun ini juga kesalahanku, karena telah terlambat menghampirimu."
Untuk sesaat Nara terdiam, ketika mendengar jawaban itu keluar dari mulut Dimas. Lagi-lagi cara Dimas memperlakukannya, sangat berbeda jauh dengan Evan. Perhatian Dimas, terlihat sangat penuh dan tulus. Hingga pria itu semakin sempurna, dengan berbagai kecukupan yang memenuhi kehidupannya.
"Apa sekarang lebih baik?" tanya Dimas dengan sedikit mengusap pergelangan kaki Nara.
"Sudah, Mas. Terima kasih! Tentu ini sudah jauh lebih baik, dari pada hatiku yang sekarang."
Nara menundukkan pandangannya, hingga membuat Dimas perlahan-lahan mencoba mengangkat dagu perempuan itu ke atas. Gerakannya terhenti, ketika dua manik matanya saling bertemu. Sampai akhirnya, netra yang tadinya sudah terlihat berkaca-kaca kini mulai meneteskan air matanya.
Pecah sudah tangis Nara. Jika sedang berhadapan langsung dengan Evan dan Bella, mungkin Nara bisa berpura-pura untuk kuat. Akan tetapi, jika sudah berhadapan dengan Dimas? Tentu perempuan itu tak bisa terus bersandiwara menutupi segala kerapuhannya.
"Ternyata selama ini Mas Evan dan artis perempuan itu telah bekerja sama, Mas. Selama ini mereka berdua telah bekerja sama untuk menghancurkan hidupku!" lirihnya sesak, sambil memegangi dada.
Dimas langsung memberikan perempuan itu sebuah pelukan hangat, dan usapan pelan yang amat menenangkan. Sesaat setelah tangis Nara mereda, Dimas pun mulai meraih kedua tangan perempuan itu dan menggenggamnya dengan erat. Kedua netra cokelatnya menatap dalam ke arah Nara, seolah hendak menyampaikan sesuatu yang amat serius.
Tokkk! Tokkk! Tokkk!
Ucapan Dimas terpaksa tak jadi terlontar, berkat sebuah ketukan yang terus-menerus berbunyi. Merasa ada sesuatu yang cukup janggal, pria itu pun beranjak dari tempatnya dan mengintip dari balik jendela. Ia cukup terkejut dengan kedatangan seorang wanita yang tak diduganya, hingga akhirnya Dimas kembali berjalan ke arah Nara dan membopong perempuan tersebut ke sebuah ruangan rahasia yang di tempat kerjanya.
"Sebaiknya kamu tunggu di sini dulu," ucapnya yang langsung meninggalkan Nara yang tengah terduduk heran.
Nara mencoba mengintip sesaat, tetapi sayangnya Dimas langsung dengan cepat menutup rapat pintu tersebut.
"Huftt! Sebenarnya ada apa sih? Padahal sepertinya aku kenal dengan suara wanita tadi," batin Nara yang entah kenapa kembali teringat dengan Bella.
Sebenarnya Nara ingin berusaha mendengar percakapan apa yang sedang dibicarakan oleh Dimas dan wanita yang tak sempat dilihatnya itu, tetapi sayang ruangan tempat beradanya saat ini adalah ruangan yang kedap suara. Sehingga saat ini, Nara pun hanya bisa memperhatikan sekilas ruangan yang memiliki nuansa hitam putih itu dengan kedua netranya.
"Foto itu?" gumam Nara tak percaya, sambil mengusap kedua matanya.
Perhatian Nara seketika teralih pada sebuah foto kecil yang ada di hadapannya, hingga akhirnya ia segera meraih foto tersebut dan mengamati sesosok perempuan yang ada di sana dengan perasaan yang penuh keterkejutan.
"Tidak! Ini tidak mungkin! Bagaimana bisa foto ini ada di sini?"
"Sebenarnya kamu siapa, Mas?"Dengan tangan yang sedikit bergetar, Nara pun langsung memutuskan untuk memisahkan foto itu dari bingkainya. Ia melipatnya menjadi dua bagian, dan mengantonginya di dalam saku celana."Sebaiknya aku harus segera tanyakan ini pada Mas Dimas nanti," putusnya sambil menyeka sekilas tetes air matanya yang sempat terjatuh.Sementara tanpa sepengetahuan Nara, Dimas sedang terlibat dalam situasi yang cukup tegang dengan seorang wanita di dalam ruangan kerjanya. Wanita itu menuntut banyak hal pada pemilik rumah produksi DMS Hitz tersebut, karena tak terima dengan keputusan sepihak perusahaan yang baru saja memberhentikannya secara sementara beberapa saat yang lalu."Tetapi kenapa harus tiba-tiba seperti ini keputusannya, Pak? Saya sangat merasa dirugikan di sini!""Maaf, Bella. Seperti yang sudah tertera di perjanjian kontrak awal, DMS Hitz tidak pernah menyukai artis yang terlibat dalam kasus. Ini hanya untuk sementara, sampai semua kasusmu menemui titik terang.
"Aku mau .... Awhh!"Seketika Nara terpeleset, dan hampir terjatuh andai saja tak ada Dimas yang langsung cepat tanggap menggapai tubuhnya."Jangan terburu-buru," bisik Dimas tepat di samping telinga Nara. Bahu perempuan itu seketika terangkat sekilas, mencoba menahan rasa geli yang seketika menjalar di tubuhnya.Selang tiga jam setelah kakinya dipijat oleh salah satu asisten rumah tangga Dimas, Nara pun mengerenyitkan dahinya ketika melihat beberapa gaun cantik yang tiba-tiba saja sudah ada di hadapannya. Ia menoleh ke kiri dan kanan, hingga terdengar suara langkah seseorang yang mulai memasuki area kamarnya."Sudah bangun?" tanya Dimas yang seketika langsung duduk di tepian ranjang. "Apa sudah lebih baik?" Dimas menatap ke arah kedua kaki Nara yang masih tertutupi oleh selimut. Sorot mata pria itu selalu terlihat tajam, hingga membuat Nara beringsut dari tempat tidur dan menganggukkan kepalanya tanpa berani berkata-kata."Bagus, kalau begitu sekarang pilihlah dari beberapa gaun yan
Napas Bella seketika tercekat, ketika mendapati sorot mata tajam dan dingin ke arahnya. Sama halnya dengan Nara, yang sedetik kemudian langsung memanfaatkan momen ini untuk terlepas dari jeratan Evan."Atau apa, Bella? Apa yang akan kau lakukan pada wanitaku?"Deggh!Jantung Nara benar-benar berhenti, di saat Dimas menarik salah satu lengannya dan langsung merangkulnya dengan begitu posesif. Tak hanya itu, pria tersebut juga terus menyentuh dan mengusap bahunya sangat lembut dan membunuhi kecupan singkat di sana.Sumpah demi apa pun, Nara tak kuasa dengan sensasi aneh yang seketika menjalar di seluruh tubuhnya! Rasanya ia ingin pingsan saja detik ini!"Ap–apa maksudmu, Pak? Dia wanita bayaran yang kau sewa?" tanya Bella terbata-bata, dengan kedua mata yang hampir tak berkedip memandangi interaksi dekat antara Nara dan Dimas.Siapa yang tidak terkejut, atau bahkan cemburu dan iri dengan perempuan yang berhasil dekat dengan Dimas? Pria pemilik rumah produksi yang cukup terkenal itu, mem
Kedua netra Nara seketika terbelalak, bahkan kini satu per satu peluh mulai membasahi tubuhnya. Tatapan Dimas yang kini mulai menajam ke arahnya, seolah membuktikan bahwa ucapan pria itu tak main-main. Bahkan detik ini Dimas kian mengikis jaraknya, dengan satu tangan yang semakin melingkar sempurna di pinggangnya."Dia ... Dia telah mengejekku sebagai wanita bayaran, Mas!"Satu sudut bibir Dimas kembali terangkat, ketika Nara sekarang bisa lebih lantang berbicara di hadapan Bella. Kini ia semakin menarik perempuan tersebut ke dalam pelukannya, dengan sesekali menghirup aroma wangi yang menguar dari tengkuk perempuan tersebut. Dimas mengarahkan tatapannya secara sinis ke arah Bella, dan juga ke arah beberapa wanita yang nampak sangat iri dengan Nara."Maaf, Bella. Sepertinya kesalahanmu itu tidak bisa lagi dimaafkan, terlebih ini bukanlah kesalahan pertamamu. Bukankah saya sudah memberikanmu peringatan pertama sebelumnya?" ucap Dimas yang sedikit menyindir tentang video pertengkaran da
Keesokan harinya, langkah kaki Nara terdengar buru-buru meniti sebuah anak tangga. Napasnya terdengar sedikit tersengal, begitu pula dengan tetes keringat yang mulai terlihat di keningnya. Kedua netranya memandang sekitar, dan berhenti tepat di sebuah pintu besar yang ada di hadapannya.Tokkk! Tokk!"Permis—""Masuk!"Nara menghela napasnya pelan, sebelum akhirnya salah satu tangannya tergerak meraih kenop pintu dan mendorongnya secara perlahan. Sebelumnya ia telah menduga, pasti sosok pria pemilik ruangan itu akan sangat marah padanya karena telah terlambat datang satu jam dari waktu yang telah ditentukan sebelumnya."Maaf, Mas. Aku—"Cupp!"Sudah tidak apa-apa, lebih baik kita langsung berangkat sekarang," sela Dimas yang ternyata tanggapannya sangat jauh di luar ekspektasi.Nara pikir Dimas akan sangat marah, tetapi nyatanya tidak. Pria itu malah dengan santainya mengecup pucuk kepalanya, hingga membuat dirinya membeku untuk beberapa saat. Akhir-akhir ini Dimas memang selalu bersik
Kedua netra Nara menajam, setelah dirinya mendorong salah satu meja yang ada di sampingnya ke arah Evan. Ia akhirnya terlepas dari jeratan Evan, dan segera membalikkan keadaan dengan cara mendorong tubuh pria itu."Ingat ya, Mas! Mulai detik ini aku berikan peringatan padamu! Jangan pernah menuduhku yang macam-macam, kalau tidak mau hidupmu semakin hancur!" ancam Nara dengan hati yang kian berapi-api."Cih! Sampai kapan pun aku tidak akan hancur di tanganmu dan juga selingkuhanmu itu, Nara!" balas Evan yang masih mempunyai nyali."Asal kamu tahu, dulu aku sama sekali tidak mengenal Mas Dimas. Aku bertemu padanya, tepat di hari kau menikah dengan Bella, setelah kau berhasil merendahkanku di depan orang banyak dan mencampakkanku begitu saja! Dia pria yang sangat baik, dan tentu sangat berbeda jauh dengan pria berengsek sepertimu!" jelas dengan memberikan tamparan terakhir di wajah pria tersebut.Tanpa mau berbasa-basi lagi, Nara pun akhirnya langsung meninggalkan Evan yang masih belum b
Satu bulan setengah telah berlalu, tak terasa Nara bisa menyerap semua pembelajaran akting dari salah satu orang suruhan Dimas dengan begitu baik dan cepat. Perlahan-lahan, rating sinetron yang dimainkannya merambat maju ke peringkat yang paling tinggi. Nara sukses memainkan perannya, hingga kini dirinya bisa mengalahkan popularitas Bella dalam waktu yang cukup singkat.Berbagai tawaran iklan pun kini mulai berdatangan silih-berganti. Termasuk di saat ini, Nara sedang tersenyum sambil menjelaskan beberapa produk kecantikan yang telah mengontrak dirinya sebagai brand ambassador."Mbak Nara! Apakah benar kalau selama ini Pak Dimas adalah satu-satunya orang yang ada di balik kesuksesan Anda? Lalu apa tanggapan Anda, dengan desas-desus kabar yang menyatakan bahwa Anda dan Pak Dimas telah tinggal satu atap tanpa menikah?"Deghh!Kedua netra Nara sempat membulat, di saat ia mendapati beberapa pertanyaan yang sama sekali tak ada hubungannya dengan launching produk baru yang sedang di iklann
Gleghh!Nara bersusah-payah menelan ludahnya sendiri, tepat di saat Dimas menyudahi bisikannya.Kedua netra perempuan itu membulat, dengan degup jantung yang kini berbunyi lebih cepat."Aku tidak main-main! Sekali saja itu semua terbukti, aku tidak akan segan-segan melakukan hal tersebut padamu!" tekan Dimas yang langsung melangkah pergi dari ruangan kerjanya sendiri.Setitik peluh, kini telah terlihat di wajah cantik Nara. Jujur, ia sama sekali tidak menyangka dengan ancaman yang telah dikeluarkan Dimas. Seluruh tubuhnya sampai benar-benar mematung tadi!"Seharusnya aku tidak takut, karena aku sama sekali tidak seperti itu. Tetapi, kenapa sekarang hatiku jadi tidak tenang?" batin Nara yang kini berusaha untuk berdiri dari tempat duduknya.Dengan langkah yang sedikit bergetar, akhirnya Nara pun keluar dari ruangan kerja Dimas. Dengan tangannya yang masih terasa dingin, kini ia tengah mencoba menghubungi Marvori agar pria itu bisa segera menjemputnya di sini."Maaf, sebelumnya. Tetapi,
"Nara? Hey? Bangun, Sayang! Tolong bangun!"Sayup-sayup suara terdengar, membuat Nara perlahan membuka kedua netranya. Dengan menahan rasa sakit di sekujur tubuh, Nara langsung melihat sekeliling. Dahinya mengernyit kala menyadari sekitarnya yang terbalik, hingga setelahnya mendapati seutas senyum tulus dari seseorang yang sama sekali tak disangkanya."Mas? Mas, aku ... Awhh!""Sabar, Sayang! Tolong berikan Melody dulu," ucap Dimas pelan, seraya mengulurkan kedua tangannya.Dengan situasi yang masih terhimpit, Nara pun berusaha menyerahkan Melody yang tengah menangis pada sang suami. Dirinya berusaha tenang, meski saat ini ia melihat Evan yang masih belum tersadar dengan beberapa bercak kemerahan di dahinya.Mobil yang ditumpangi Nara memang sempat terpelanting cukup jauh. Mobil itu rusak berat dalam kondisi yang terbalik, setelah Evan sempat dengan cepat memutar setir kendaraan di saat Bella berusaha menabraknya.Ah, iya. Mengingat Bella, bagaimana keadaan wanita itu sekarang? Nara t
Keesokan harinya berita tentang pembunuhan Haris pun kian tersebar meluas ke seluruh penjuru setiap kota. Beberapa stasiun televisi dan media cetak pun tak luput menyorotinya, terlebih sebuah nama yang ikut terseret dalam kasus pembunuhan pengusaha kaya raya itu adalah seorang mantan artis papan atas yang telah dinikahi oleh pemilik rumah produksi terkenal yang kini sedang berada di ambang kebangkrutan.Anara Aditya, nama itulah yang kini menjadi puncak pembicaraan seluruh orang. Kini wanita itu telah menjadi buronan polisi, terlebih setelah Bella mengungkapkan berbagai keterangan mengejutkan yang sangat menghebohkan publik.Ada yang yang percaya begitu saja dengan mudah, dan ada juga yang sama sekali tak menyangka. Sama halnya dengan apa yang dirasakan oleh Dimas saat ini. Pria itu semakin memijat pelipisnya yang terasa sangat pusing, seraya terus berusaha melacak keberadaan sang istri dengan secepat mungkin."Bagaimana? Apa kau telah mendapatkan kabar tentang keberadaannya?" tanya D
Suara mobil polisi langsung berbunyi setelahnya. Di mana hal tersebut tentu membuat Nara dan Bu Inah menoleh panik. Rasanya percakapan mereka tak bisa diteruskan lagi, sehingga dengan cepat Evan segera memutar dan menyuruh ketiga perempuan berbeda generasi itu untuk masuk ke dalam mobilnya."Baiklah, kita jalan sekarang!"Tak ada lagi perdebatan, Bu Inah dan Nara pun akhirnya duduk terdiam bersisian. Saat ini yang terpenting memang hanyalah kabur sejauh mungkin. Nara tentu tak mungkin menyerah begitu saja, karena pasti Bella akan membuatnya terlihat bersalah di hadapan seluruh orang dengan seluruh upaya yang dilakukannya."Maaf karena telah membuat kalian berdua seperti ini," lirih Nara pelan, tepat setelah menidurkan Melody di dekapannya.Dengan mencoba menahan tangisnya, Nara mengeratkan pelukannya pada sang buah hati. Bibirnya bergetar, menahan semua rasa pening dan sakit. Sehingga membuat Bu Inah yang melihatnya pun tak tega, dan segera langsung memeluk dan menenangkannya."Tidak
Bella tersenyum sekilas sebelum akhirnya berlari dan berteriak seolah mencari pertolongan. Sementara Nara, wanita itu masih terdiam dengan ekspresi syok yang tak dapat ditahannya lagi. Seluruh tubuhnya benar-benar membeku, melihat Haris tergeletak tak berdaya di hadapannya dengan cairan kental kemerahan yang mengalir dengan deras dari belakang tengkuknya."Tidak! Apa yang harus aku lakukan?!"Nara berteriak dengan sekujur tubuh yang bergetar ketakutan. Sungguh, sebenarnya ia ingin segera pergi dari tempat ini. Namun di sisi lain, dirinya juga tak tega meninggalkan Haris begitu saja sebelum benar-benar memastikan pria itu telah ditangani oleh tangan yang tepat."Stop! Jangan sentuh dia! Sebaiknya kau sekarang segera pergi dari tempat ini, Nara!"Nara terperanjat, kala mendengar suara Evan yang tergesa-gesa dan mendapatkan tarikan dari pria itu. Entah sejak kapan mantan suaminya tersebut ada di tempat ini, dirinya tak tahu. Yang jelas saat ini Evan sama sekali tak memberikannya jeda wak
Dengan langkah tergesa-gesa, Nara langsung mengecek satu persatu semua nomor pintu kamar hotel yang telah dilewatinya. Ia sungguh tak sabar ingin segera bertemu dengan sang suami, apalagi tadi di telepon Bella sempat menangis sesenggukan tanpa menjelaskan sebab."Kamar 207! Tidak salah lagi ini pasti tempatnya!" Nara bergumam pelan, sambil melihat ke arah celah pintu yang tak tertutup rapat tersebut. Dirinya merasa sangat penasaran, tetapi ragu ingin masuk begitu saja atau tidak. Biar bagaimanapun Nara bukanlah wanita yang polos, ia tahu hal apa saja yang biasa dilakukan jika seorang wanita dan pria berada di dalam kamar hotel yang sama. Terlebih tadi, Bella sempat mengabarkan bahwa suaminya itu dalam keadaan yang mabuk berat."Tidak! Aku harus percaya dengan Mas Dimas!" gumam wanita itu berusaha membuyarkan pikiran buruknya.Dengan menarik napas terlebih dahulu, Nara pun akhirnya mengetuk pintu. Ia berusaha mempersiapkan mental sebelum mengetahui apa pun yang tengah terjadi di dalam
Sementara itu di sebuah hotel di pusat kota, terdapat seorang pria yang tengah tertidur dengan pulas di atas sebuah ranjang besar dengan pakaiannya yang terlihat sedikit acak-acakan. Seorang wanita yang baru saja membawanya ke tempat ini terlihat tersenyum penuh kemenangan, hingga akhirnya tatapannya pada pria itu teralihkan berkat panggilan masuk dari seseorang."Bagaimana?" tanya seseorang dari sambungan telepon."Semuanya berjalan sesuai rencana! Tapi, aku masih kesal denganmu! Kenapa sangat mendadak seperti ini sih? Karenamu aku jadi tidak mempunyai persiapan yang lebih, sehingga aku hanya memasukkan obat tidur saja dalam minumannya!"Wanita itu berdecak kesal, karena perintah mendadak yang ditujukan padanya. Andai saja lawan bicara teleponnya ini mengutarakan rencananya dari jauh-jauh hari, sudah pasti dirinya memasukkan obat lain yang akan membuat malamnya detik ini menjadi lebih panas dan menyenangkan."Hahaha! Itu semua salahmu yang tidak cekatan!" ejek sosok lelaki itu dari
"Tunggu!"Nara berteriak, mencegah kepergian Bi Inah. Dengan tergesa-gesa, ia langsung menahan salah satu tangan perempuan paruh baya tersebut seraya menatapnya dengan penuh harap."Tidak bisakah semua ini dibicarakan secara baik-baik terlebih dahulu, Mas? Biar bagaimanapun kita harus selesai masalah ini dengan kepala dingin, bukan seperti di saat situasi tegang dan kacau seperti ini!" pintanya dengan pandangan yang mulai berkaca-kaca.Masih dengan adanya Melody di dekapannya, Nara melangkah menghampiri sang suami. Ia berharap agar Dimas bisa merubah keputusannya, atau setidaknya pria itu mau memberikan kelonggaran waktu sebelum benar-benar mengusir Bi Inah dari tempat ini.Walau sebenarnya Nara tahu bahwa sekarang suaminya sedang sangat hancur dan terkejut dengan semua kenyataan ini, akan tetapi tetap saja dirinya tidak mau membiarkan semua masalah ini semakin memburuk. Menurutnya semua itu masih bisa dibicarakan dengan baik-baik, meskipun pastinya sangat sulit sekali mengalahkan ego
"Apa maksudmu? Kenapa Bi Inah bisa akan tahu itu? Jangan sembarang asal tuduh Darren!"Dimas tiba-tiba muncul dari balik pintu dengan tatapan tajamnya yang penuh menyelidik. Langkahnya yang perlahan pasti mendekat, kian membuat nyali perempuan paruh baya yang sudah lama mengabdikan dirinya pada keluarga besar itu pun semakin menciut. Bi Inah sekarang hanya bisa menunduk dalam, tanpa bisa berkata-kata atau pun membela dirinya sendiri."Aku? Asal tuduh?" ucap Darren tak terima."Ya! Kau jelas mengada-ngada! Mana mungkin orang seperti Bi Inah tahu tentang perusahaan ayahku yang telah direbut oleh orang tuamu!"Darren tersenyum miring setelahnya. Ia mengamati sesaat wajah Bi Inah yang semakin terlihat ketar-ketir, dan kembali memusatkan perhatiannya pada sang saudara sepupu."Lebih baik kau sekarang pulang, Darren! Kedatanganmu sangat mengganggu rumah ini! Apalagi sekarang sudah ada Melody yang sangat sensitif dengan suara keributan!" tegas Dimas tepat di hadapan wajah Darren yang bergemi
"Ada apa, Sayang? Apa yang telah mengganggu pikiranmu?" Dimas akhirnya bertanya seraya mendekap pelan tubuh sang istri dari belakang. Selama di perjalanan pulang tadi, ia memang sempat memperhatikan istrinya yang terus terdiam dan seperti tengah memikirkan sesuatu. Namun sayang yang didapatkannya saat ini hanyalah sebuah gelengan singkat, dan usapan lembut di lengannya.Dalam kepala cantiknya, Nara memang masih terbayang-bayang dengan ucapan Evan dan Bella. Dirinya berpikir, apakah benar ia hanya memanfaatkan suaminya saja? Apakah dirinya memang sejahat itu? Lalu, bagaimana jika suatu saat nanti suaminya yang sangat baik padanya ini akan berpaling pada wanita lain yang jauh lebih baik darinya? Entah kenapa Nara semakin merasa tak percaya diri, seiiring dengan bayang-bayang ucapan Bella dan Evan yang terus menggema di telinganya."Sayang? Apa yang telah aku tidak ketahui?" tanya Dimas sekali lagi, seraya mencuri sebuah kecupan singkat di bibir merah menggo