Gleghh!Nara bersusah-payah menelan ludahnya sendiri, tepat di saat Dimas menyudahi bisikannya.Kedua netra perempuan itu membulat, dengan degup jantung yang kini berbunyi lebih cepat."Aku tidak main-main! Sekali saja itu semua terbukti, aku tidak akan segan-segan melakukan hal tersebut padamu!" tekan Dimas yang langsung melangkah pergi dari ruangan kerjanya sendiri.Setitik peluh, kini telah terlihat di wajah cantik Nara. Jujur, ia sama sekali tidak menyangka dengan ancaman yang telah dikeluarkan Dimas. Seluruh tubuhnya sampai benar-benar mematung tadi!"Seharusnya aku tidak takut, karena aku sama sekali tidak seperti itu. Tetapi, kenapa sekarang hatiku jadi tidak tenang?" batin Nara yang kini berusaha untuk berdiri dari tempat duduknya.Dengan langkah yang sedikit bergetar, akhirnya Nara pun keluar dari ruangan kerja Dimas. Dengan tangannya yang masih terasa dingin, kini ia tengah mencoba menghubungi Marvori agar pria itu bisa segera menjemputnya di sini."Maaf, sebelumnya. Tetapi,
Bughhh!Nara tercekat, ketika ada seseorang yang tidak sengaja menabrak dirinya dari belakang. Dengan segera ia pun berbalik, tanpa berani menampakkan wajahnya di hadapan Evan dan Bella."Mudah-mudahan saja mereka tidak mengenaliku," batin Nara dengan penuh harap.Setelah itu, entah kenapa tak terdengar percakapan lagi. Nara ingin berbalik untuk lebih mencari tahu, akan tetapi sayangnya ia juga tak mau terlalu mengambil resiko dengan berhadapan langsung dengan Evan dan Bella ketika sendirian seperti ini."Hmm, mungkin nanti aku akan bicarakan hal ini pada Mas Dimas," tutur Nara dalam hati, sambil memberanikan dirinya untuk berjalan ke arah kasir dan keluar dari area perbelanjaan itu.Untung saja saat ini Nara memakai sebuah masker dan kacamata, sehingga ia bisa sedikit menutupi identitasnya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Marvori? Apa sudah dengan urusan mobilnya? Kalau sudah, tolong jemput aku sekarang," ucap Nara dengan sesekali melihat ke arah sekelilingnya.***Setela
"Sebenarnya ada apa, Mas? Siapa penelepon itu?"Belum sempat menjawab, Dimas telah mengenakan jasnya kembali. Pria itu terlihat begitu terburu-buru, hingga memberhentikan langkahnya tepat di depan pintu."Kunci semua pintu dan jendela, dan jangan pernah membukanya kecuali aku yang datang!" ucap Dimas yang kian membuat Nara merasa kebingungan.Tanpa bisa bertanya-tanya lagi, pintu itu telah tertutup rapat. Dengan segera Nara pun ke sana, dan menguncinya tepat seperti apa yang telah kekasihnya sampaikan."Tapi aku tidak bisa diam begini saja! Ke mana Mas Dimas akan pergi? Sepertinya ada sesuatu yang penelepon itu katakan, hingga Mas Dimas langsung pergi tanpa mengembalikan ponselku," gumam Nara dengan perasaan tak tenang."Aku jadi takut, kalau Mas Dimas kenapa-kenapa di jalan. Dia benar-benar terlihat sangat terburu-buru dan emosi tadi," lanjutnya sambil terus mondar-mandir melangkah tidak menentu.Karena tak bisa lagi menahan rasa khawatirnya, akhirnya Nara pun mencoba menghubungi Mar
"Sampai kapan pun Nara tidak akan pernah kembali pada pria sialan sepertimu!"Bughhh!Berbagai hantaman berkali-kali kini telah mengenai wajah tampan Dimas. Pria itu kini tengah duduk tak berdaya, dengan kedua tangan yang telah terkunci rapat oleh dua orang berbadan besar yang ada di belakangnya.Licik! Evan benar-benar licik!Andai saja pria itu tak membawa teman-temannya, sudah pasti Dimas akan bisa membalikkan keadaan dengan mudah."Bagaimana rasanya? Apa ini sakit?" tanya Evan dengan senyum miringnya, dengan sedikit menekan luka lebam di dekat rahang tegas milik Dimas."Sial!"Rahang Dimas kini semakin mengeras, dengan tatapan yang semakin menusuk ke arah Evan. Ia tak mau menyerah begitu saja, dan terus berusaha melawan. Namun sayangnya, kekuatannya saat ini benar-benar tak seimbang dengan lima orang pria yang ada di sekelilingnya."Tadinya niatku ke tempat ini, hanya untuk bersenang-senang saja dengan Nara. Akan tetapi ...."Ucapan Evan terhenti sesaat, karena kini kedua netranya
"Akhh! Kenapa semuanya bisa seperti ini? Ini tidak mungkin 'kan, Dok?" Dimas terus berteriak, sambil terus memukul-mukul kedua kakinya yang terasa mati rasa. Ia sangat terpukul dengan penjelasan dokter, hingga tak bisa dengan mudah menerima semuanya."Mas?" panggil Nara yang langsung berlari dan memeluk erat kekasihnya itu.Air mata Nara tumpah begitu saja, seiring dengan hadirnya kenyataan yang sama sekali tak pernah diduganya. Ia sangat sedih, tetapi dirinya tahu pasti Dimas lebih terpuruk darinya.Sehingga saat ini, Nara hanya bisa membantu menguatkannya. Memeluknya, menenangkannya, dan terus berusaha memberi tahu kalau semuanya akan tetap baik-baik saja sampai ke depannya nanti.Hingga tak terasa, seminggu pun telah berlalu. Dimas berhasil menjalani hari-harinya yang cukup berat, dengan bantuan Nara yang selalu ada di sisinya. Termasuk pada saat ini, yaitu tepat di mana pria itu pulang dari rumah sakit dan hendak kembali tinggal di apartemennya."Kamu serius? Bagaimana jika nanti
Bohong jika tadi Dimas mengatakan hanya sebentar saja, karena kenyataannya kini sudah hampir satu jam lebih pria itu sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda ingin bangun dari tempat tidurnya.Dimas masih terlelap di dalam posisi yang sama seperti awal, yaitu mendekap erat seorang perempuan yang ada di pelukannya seolah menjadikannya sebagai bantal guling hidup.Sementara Nara, perempuan itu justru tak bisa tidur. Jantungnya terus berpacu dengan cepat, terlebih di setiap kali Dimas semakin mengeratkan pelukannya dan bermanja-manja di dalam tidurnya."Huftt! Bagaimana kamu bisa tidur dengan begitu nyenyak di saat jantungku terus berdebar tak karuan seperti ini, Mas?" keluh Nara yang mencoba bergerak, guna memberikan sedikit jarak aman.Jujur saja, sebenarnya Nara merasa tak nyaman. Di masa pernikahan dulunya saja, ia tak pernah sampai tidur dalam posisi yang seperti ini. Sehingga sekarang dirinya terlihat sangat begitu kaku, dan canggung."Hmm ...."Sebuah suara erangan, langsung membua
Selepas pertemuanya dengan Bella yang tidak disengaja, Nara pun terus-menerus memikirkan segala tuduhan yang telah dilontarkan oleh wanita itu padanya. Pikirannya tak pernah berhenti memikirkan hal tersebut, hingga ia tak sadar telah sampai tepat di depan apartemennya sendiri."Eh, Nyonya Nara? Sini, biar Bibi bantu bawakan barang belanjaannya," ucap salah seorang pembantu di apartemennya, yang langsung sigap membantunya menaruh beberapa bahan makanan ke dapur."Ada yang bisa bibi bantu lagi, Non?" tanya pembantu itu lagi, karena merasa tak enak telah membiarkan atasannya memasak sendirian di dapur."Hmm ... Sepertinya tidak, Bi. Bibi cukup jaga-jaga saja di sana, takut-takut nanti Mas Dimas membutuhkan bantuan," jawabnya dengan sedikit tersenyum, dan kembali melanjutkan aktivitasnya memotong beberapa sayur yang ada di hadapannya.Kalau urusan memasak, Nara memang cukup handal. Dari dulu ia selalu memasak untuk ayahnya, sehingga terbiasa melakukan semuanya sendiri. Hingga kurang lebih
Di sini tempatnya. Di sebuah restoran yang cukup mahal, kini Nara dan Dimas sedang duduk berhadap-hadapan dengan saling memandang satu sama lain.Nara mengerenyitkan dahinya, karena kekasihnya itu tak kunjung berbicara. Hingga akhirnya ia melihat kedatangan Marvori dari kejauhan, dengan membawa beberapa map cokelat yang entah apa isinya."Mas—""Tunggu sebentar, Nara," potong Dimas dengan cepat, sambil mengecek beberapa berkas bawaan dari Marvori.Ada beberapa lembar kertas bertinta di sana. Akan tetapi sayangnya, dari posisinya saat ini Nara tak bisa membaca isi tulisan tersebut. Sehingga kini, ia pun terdiam sambil menunggu Dimas mengecek kelengkapan semua dokumen itu."Nah, ini. Coba lihat semuanya," tutur pria itu akhirnya, yang memberikan semua kertas ditangannya pada sang kekasih.Nara meraih beberapa lembar kertas tersebut, dan melihat semuanya secara sekilas terlebih dahulu. Hingga kedua alisnya mengerenyit tak mengerti, dan mulai membaca satu per satu isi surat dokumen itu."
"Nara? Hey? Bangun, Sayang! Tolong bangun!"Sayup-sayup suara terdengar, membuat Nara perlahan membuka kedua netranya. Dengan menahan rasa sakit di sekujur tubuh, Nara langsung melihat sekeliling. Dahinya mengernyit kala menyadari sekitarnya yang terbalik, hingga setelahnya mendapati seutas senyum tulus dari seseorang yang sama sekali tak disangkanya."Mas? Mas, aku ... Awhh!""Sabar, Sayang! Tolong berikan Melody dulu," ucap Dimas pelan, seraya mengulurkan kedua tangannya.Dengan situasi yang masih terhimpit, Nara pun berusaha menyerahkan Melody yang tengah menangis pada sang suami. Dirinya berusaha tenang, meski saat ini ia melihat Evan yang masih belum tersadar dengan beberapa bercak kemerahan di dahinya.Mobil yang ditumpangi Nara memang sempat terpelanting cukup jauh. Mobil itu rusak berat dalam kondisi yang terbalik, setelah Evan sempat dengan cepat memutar setir kendaraan di saat Bella berusaha menabraknya.Ah, iya. Mengingat Bella, bagaimana keadaan wanita itu sekarang? Nara t
Keesokan harinya berita tentang pembunuhan Haris pun kian tersebar meluas ke seluruh penjuru setiap kota. Beberapa stasiun televisi dan media cetak pun tak luput menyorotinya, terlebih sebuah nama yang ikut terseret dalam kasus pembunuhan pengusaha kaya raya itu adalah seorang mantan artis papan atas yang telah dinikahi oleh pemilik rumah produksi terkenal yang kini sedang berada di ambang kebangkrutan.Anara Aditya, nama itulah yang kini menjadi puncak pembicaraan seluruh orang. Kini wanita itu telah menjadi buronan polisi, terlebih setelah Bella mengungkapkan berbagai keterangan mengejutkan yang sangat menghebohkan publik.Ada yang yang percaya begitu saja dengan mudah, dan ada juga yang sama sekali tak menyangka. Sama halnya dengan apa yang dirasakan oleh Dimas saat ini. Pria itu semakin memijat pelipisnya yang terasa sangat pusing, seraya terus berusaha melacak keberadaan sang istri dengan secepat mungkin."Bagaimana? Apa kau telah mendapatkan kabar tentang keberadaannya?" tanya D
Suara mobil polisi langsung berbunyi setelahnya. Di mana hal tersebut tentu membuat Nara dan Bu Inah menoleh panik. Rasanya percakapan mereka tak bisa diteruskan lagi, sehingga dengan cepat Evan segera memutar dan menyuruh ketiga perempuan berbeda generasi itu untuk masuk ke dalam mobilnya."Baiklah, kita jalan sekarang!"Tak ada lagi perdebatan, Bu Inah dan Nara pun akhirnya duduk terdiam bersisian. Saat ini yang terpenting memang hanyalah kabur sejauh mungkin. Nara tentu tak mungkin menyerah begitu saja, karena pasti Bella akan membuatnya terlihat bersalah di hadapan seluruh orang dengan seluruh upaya yang dilakukannya."Maaf karena telah membuat kalian berdua seperti ini," lirih Nara pelan, tepat setelah menidurkan Melody di dekapannya.Dengan mencoba menahan tangisnya, Nara mengeratkan pelukannya pada sang buah hati. Bibirnya bergetar, menahan semua rasa pening dan sakit. Sehingga membuat Bu Inah yang melihatnya pun tak tega, dan segera langsung memeluk dan menenangkannya."Tidak
Bella tersenyum sekilas sebelum akhirnya berlari dan berteriak seolah mencari pertolongan. Sementara Nara, wanita itu masih terdiam dengan ekspresi syok yang tak dapat ditahannya lagi. Seluruh tubuhnya benar-benar membeku, melihat Haris tergeletak tak berdaya di hadapannya dengan cairan kental kemerahan yang mengalir dengan deras dari belakang tengkuknya."Tidak! Apa yang harus aku lakukan?!"Nara berteriak dengan sekujur tubuh yang bergetar ketakutan. Sungguh, sebenarnya ia ingin segera pergi dari tempat ini. Namun di sisi lain, dirinya juga tak tega meninggalkan Haris begitu saja sebelum benar-benar memastikan pria itu telah ditangani oleh tangan yang tepat."Stop! Jangan sentuh dia! Sebaiknya kau sekarang segera pergi dari tempat ini, Nara!"Nara terperanjat, kala mendengar suara Evan yang tergesa-gesa dan mendapatkan tarikan dari pria itu. Entah sejak kapan mantan suaminya tersebut ada di tempat ini, dirinya tak tahu. Yang jelas saat ini Evan sama sekali tak memberikannya jeda wak
Dengan langkah tergesa-gesa, Nara langsung mengecek satu persatu semua nomor pintu kamar hotel yang telah dilewatinya. Ia sungguh tak sabar ingin segera bertemu dengan sang suami, apalagi tadi di telepon Bella sempat menangis sesenggukan tanpa menjelaskan sebab."Kamar 207! Tidak salah lagi ini pasti tempatnya!" Nara bergumam pelan, sambil melihat ke arah celah pintu yang tak tertutup rapat tersebut. Dirinya merasa sangat penasaran, tetapi ragu ingin masuk begitu saja atau tidak. Biar bagaimanapun Nara bukanlah wanita yang polos, ia tahu hal apa saja yang biasa dilakukan jika seorang wanita dan pria berada di dalam kamar hotel yang sama. Terlebih tadi, Bella sempat mengabarkan bahwa suaminya itu dalam keadaan yang mabuk berat."Tidak! Aku harus percaya dengan Mas Dimas!" gumam wanita itu berusaha membuyarkan pikiran buruknya.Dengan menarik napas terlebih dahulu, Nara pun akhirnya mengetuk pintu. Ia berusaha mempersiapkan mental sebelum mengetahui apa pun yang tengah terjadi di dalam
Sementara itu di sebuah hotel di pusat kota, terdapat seorang pria yang tengah tertidur dengan pulas di atas sebuah ranjang besar dengan pakaiannya yang terlihat sedikit acak-acakan. Seorang wanita yang baru saja membawanya ke tempat ini terlihat tersenyum penuh kemenangan, hingga akhirnya tatapannya pada pria itu teralihkan berkat panggilan masuk dari seseorang."Bagaimana?" tanya seseorang dari sambungan telepon."Semuanya berjalan sesuai rencana! Tapi, aku masih kesal denganmu! Kenapa sangat mendadak seperti ini sih? Karenamu aku jadi tidak mempunyai persiapan yang lebih, sehingga aku hanya memasukkan obat tidur saja dalam minumannya!"Wanita itu berdecak kesal, karena perintah mendadak yang ditujukan padanya. Andai saja lawan bicara teleponnya ini mengutarakan rencananya dari jauh-jauh hari, sudah pasti dirinya memasukkan obat lain yang akan membuat malamnya detik ini menjadi lebih panas dan menyenangkan."Hahaha! Itu semua salahmu yang tidak cekatan!" ejek sosok lelaki itu dari
"Tunggu!"Nara berteriak, mencegah kepergian Bi Inah. Dengan tergesa-gesa, ia langsung menahan salah satu tangan perempuan paruh baya tersebut seraya menatapnya dengan penuh harap."Tidak bisakah semua ini dibicarakan secara baik-baik terlebih dahulu, Mas? Biar bagaimanapun kita harus selesai masalah ini dengan kepala dingin, bukan seperti di saat situasi tegang dan kacau seperti ini!" pintanya dengan pandangan yang mulai berkaca-kaca.Masih dengan adanya Melody di dekapannya, Nara melangkah menghampiri sang suami. Ia berharap agar Dimas bisa merubah keputusannya, atau setidaknya pria itu mau memberikan kelonggaran waktu sebelum benar-benar mengusir Bi Inah dari tempat ini.Walau sebenarnya Nara tahu bahwa sekarang suaminya sedang sangat hancur dan terkejut dengan semua kenyataan ini, akan tetapi tetap saja dirinya tidak mau membiarkan semua masalah ini semakin memburuk. Menurutnya semua itu masih bisa dibicarakan dengan baik-baik, meskipun pastinya sangat sulit sekali mengalahkan ego
"Apa maksudmu? Kenapa Bi Inah bisa akan tahu itu? Jangan sembarang asal tuduh Darren!"Dimas tiba-tiba muncul dari balik pintu dengan tatapan tajamnya yang penuh menyelidik. Langkahnya yang perlahan pasti mendekat, kian membuat nyali perempuan paruh baya yang sudah lama mengabdikan dirinya pada keluarga besar itu pun semakin menciut. Bi Inah sekarang hanya bisa menunduk dalam, tanpa bisa berkata-kata atau pun membela dirinya sendiri."Aku? Asal tuduh?" ucap Darren tak terima."Ya! Kau jelas mengada-ngada! Mana mungkin orang seperti Bi Inah tahu tentang perusahaan ayahku yang telah direbut oleh orang tuamu!"Darren tersenyum miring setelahnya. Ia mengamati sesaat wajah Bi Inah yang semakin terlihat ketar-ketir, dan kembali memusatkan perhatiannya pada sang saudara sepupu."Lebih baik kau sekarang pulang, Darren! Kedatanganmu sangat mengganggu rumah ini! Apalagi sekarang sudah ada Melody yang sangat sensitif dengan suara keributan!" tegas Dimas tepat di hadapan wajah Darren yang bergemi
"Ada apa, Sayang? Apa yang telah mengganggu pikiranmu?" Dimas akhirnya bertanya seraya mendekap pelan tubuh sang istri dari belakang. Selama di perjalanan pulang tadi, ia memang sempat memperhatikan istrinya yang terus terdiam dan seperti tengah memikirkan sesuatu. Namun sayang yang didapatkannya saat ini hanyalah sebuah gelengan singkat, dan usapan lembut di lengannya.Dalam kepala cantiknya, Nara memang masih terbayang-bayang dengan ucapan Evan dan Bella. Dirinya berpikir, apakah benar ia hanya memanfaatkan suaminya saja? Apakah dirinya memang sejahat itu? Lalu, bagaimana jika suatu saat nanti suaminya yang sangat baik padanya ini akan berpaling pada wanita lain yang jauh lebih baik darinya? Entah kenapa Nara semakin merasa tak percaya diri, seiiring dengan bayang-bayang ucapan Bella dan Evan yang terus menggema di telinganya."Sayang? Apa yang telah aku tidak ketahui?" tanya Dimas sekali lagi, seraya mencuri sebuah kecupan singkat di bibir merah menggo