"Mas Evan?"
Sontak seluruh kekuatan yang ada di dalam diri Nara menghilang, hingga membuat secarik kertas yang ada di dalam genggamannya terjatuh begitu saja. Rasa sesak dan pedih seketika menyeruak masuk ke dalam tubuhnya, seiring dengan munculnya sesosok pria yang tak lagi asing di matanya.Pria itu adalah sosok yang tengah ditunggu-tunggu kabarnya selama ini. Dia sedang merangkul mesra pinggang seorang wanita, bahkan tak ragu untuk mengecup dahi wanita tersebut di depan para tamu undangan dan wartawan berita."Tidak! Ini tidak mungkin! Kenapa Mas Evan bisa bersama wanita itu?" gumamnya dengan tetes air mata yang mulai turun secara bersamaan.Nara mencoba mengatur napasnya yang terasa sesak, sambil berupaya berjalan menerobos beberapa orang yang tengah berdiri dengan memegangi ponsel mereka. Orang-orang di sekitarnya mulai menatap ke arahnya dengan tatapan aneh, tetapi ia tak peduli. Hatinya sudah sungguh tak karuan, berkat kenyataan yang sangat mengejutkan ini."Mas Evan!" teriak Nara menghentikan acara.Perempuan berpakaian sederhana itu semakin melangkah maju ke depan, hingga membuat semua pasang mata tertuju padanya. Seketika suasana yang tadinya terasa bahagia dan khidmat pun kini berubah menjadi menegang, berkat sebuah interupsi yang datang secara tiba-tiba."Kamu mau menikah lagi, Mas?" Kedua manik mata Nara bertubrukan langsung dengan tatapan Evan, yang nampak sangat terkejut ketika menyadari keberadaannya."Sial! Kenapa gadis kuno itu bisa ada di sini?" gumam Evan pelan, dengan rahang yang seketika mengeras.Kedua netra Evan membulat, hingga dirinya refleks melangkah menghampiri seorang perempuan yang sama sekali tak pernah ia harapkan kedatangannya. Salah satu tangan pria itu pun terlihat terkepal kuat, seolah tengah bersiap untuk menghajar seseorang yang telah merusak rencananya."Awhh! Lepaskan, Mas!" Nara berusaha memberontak, tetapi sayang tenaganya jauh lebih kecil. Tubuhnya terhempas begitu saja ke sebuah pilar besar yang ada di sampingnya, hingga membuat seluruh mata yang menyaksikannya terkejut bukan main.Sorot mata gelap itu sama sekali tak menghiraukannya, Evan sama sekali tak suka rencananya di gagalkan. Tanpa memberikan jeda, ia semakin mencengkram pergelangan tangan Nara sampai memerah. Evan seolah tak mempunyai hati, padahal wanita yang ada di hadapannya itu adalah seseorang yang pernah menjadi istrinya."Mau apa kau ke sini? Kenapa kau bisa tahu tempat ini?" tanya Evan dengan nada serendah mungkin, agar percakapannya tak terdengar oleh siapa pun yang ada di sekitarnya selain Nara. Ia tak begitu menyadari, jika kini hampir seluruh kamera tengah tertuju padanya."Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu, Mas!" hentak Nara dengan suara yang terdengar bergetar hebat."Untuk apa kamu ada di sini? Apa kamu benar-benar ingin menikahi perempuan itu, Mas? Apa ini alasannya kamu menceraikan aku? Jawab aku, Mas! Tolong jelaskan semuanya padaku! Apa salah aku, Mas!" teriaknya sekali lagi dengan perasaan yang sepenuhnya hancur.Sementara Evan, pria itu hanya mendengkus pelan. Ia melempar pandangannya ke arah lain sesaat, hingga netranya kembali tertuju pada wanita yang ada di hadapannya dengan diiringi seutas senyum menyeringai di wajahnya."Ini, lihatlah! Kau lihat cincin di jariku ini!" ucap Evan sambil menunjukkan sebuah cincin baru yang melingkar di jari manisnya, tepat di hadapan wajah Nara."Aku memang sudah menikah dengan Bella! Dia adalah artis pendatang baru yang sangat cantik, yang tentunya sangat berbeda jauh denganmu!" lanjutnya tanpa merasa bersalah sedikit pun."Lagi pula, apa masalahnya denganmu? Apa kau telah lupa, kalau kita sudah bercerai? Ingat! Kau ini bukan lagi istriku, jadi kau sama sekali tak berhak melarangku!"Plakk!Sebuah tamparan keras seketika mendarat begitu saja tepat di wajah tampan pria itu. Sorot mata Nara memancarkan gelombang emosi dan juga kekecewaan, dengan deru napas yang semakin menggebu."Kamu benar-benar tega, Mas!" ujar Nara dengan netra basahnya yang berapi-api. "Bisa-bisanya kamu mencampakkan aku, setelah menggadaikan rumah satu-satunya harta peninggalan almarhum ayahku!"Evan mendelik tak percaya, hingga satu tangannya langsung menarik kencang rambut hitam yang ada di hadapannya. Ia menjambak rambut Nara tanpa perasaan, hingga akhirnya pria itu menyadari berbagai tatapan yang tengah menatap ke arahnya."Sial! Kau benar-benar sudah mempermalukanku, Nara!" geramnya tertahan semakin emosi.Sedetik kemudian, Nara merasa tubuhnya terhempas. Ia didorong oleh mantan suaminya hingga terjatuh, sampai akhirnya datang beberapa petugas keamanan yang seketika menarik paksa tubuhnya dengan begitu kasar."Dia ini adalah perempuan kampungan yang mengaku-ngaku sebagai istriku! Jadi tolong jauhkan dia dari tempat ini, karena aku tidak mau acara pernikahanku rusak karenanya!" ucap Evan yang semakin menarik atensi orang-orang di sekitarnya.Kini satu per satu sorot kamera mulai mengarah ke arah Nara. Silaunya berbagai lampu sorot kamera, membuat gadis desa itu semakin tertunduk dengan menahan rasa malu. Ingin rasanya Nara berteriak menjerit, melepas segala kekesalan pada Evan. Namun sayangnya, saat ini tubuhnya sudah terlebih dahulu terhuyung ke belakang dan hampir terjatuh di saat kedua orang pria berbadan besar semakin menahan pergerakannya."Lepas! Dia pembohong! Dia yang telah membohongiku!" ujar Nara memberontak.Namun sayangnya, hanya dengan satu tarikan saja kini tubuh Nara berhasil diseret menjauh. Perempuan itu dibawa dengan cara yang tak manusiawi, hingga beberapa saat kemudian tubuhnya pun dilempar begitu saja ke pinggir jalanan."Pergilah dari sini! Jangan pernah ganggu acara pernikahan atasan kami, atau kau benar-benar kami laporkan pada petugas rumah sakit jiwa!" usir petugas keamanan itu, dan langsung pergi meninggalkan Nara tanpa rasa iba.Dengan langkah gontai, Nara pun melangkah menjauh dari tempat pernikahan yang telah membuat hatinya perih. Seumur hidupnya, ia sama sekali tak pernah membayangkan akan dipermalukan dan diperlakukan seperti ini oleh pria yang pernah amat dicintainya."Apa salahku Tuhan? Kenapa hidupku harus seperti ini?"Langkah Nara terhenti di sebuah jalanan panjang yang cukup ramai, sampai akhirnya ia kembali melanjutkan langkahnya hendak menyebrang dengan tatapan kosong. Tujuannya tak jelas, semua sisi jalanan yang ada di sekitarnya benar-benar terlihat sangat asing di matanya."Kenapa kamu begitu tega padaku, Mas? Kamu benar-benar jahat! Apa aku harus menyusul ayah di alam sana, agar aku bisa kembali merasa bahagia seperti dulu?" gumam Nara kembali, dengan pandangan yang sudah mulai kabur dan tubuh yang kian lunglai.Seketika perempuan itu terjatuh di tengah jalan, tanpa disadari oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Untuk saat ini Nara benar-benar pasrah, ia sama sekali tak lagi mempunyai hasrat untuk hidup. Hingga seketika, pandangannya pun berubah menghitam dan tak ada lagi yang bisa dilihatnya."Ayah, jemput aku di surga ya?""Hey! Hey! Jangan mati dulu!" ucap seseorang yang seketika membuat Nara mengerang lemah.Tubuhnya yang sudah terlalu lemas, membuat Nara tak bisa bergerak bahkan menoleh. Hingga perlahan-lahan, kedua netranya yang sudah terpejam pun kini mulai terbuka dengan pandangan yang kurang begitu jelas."Siapa kamu?" tanya Nara pelan dengan bibir yang sudah pucat.Pria itu tak menjawabnya, melainkan langsung mengangkat tubuh Nara dan memindahkannya ke tempat yang lebih aman. Nara direbahkan di dalam sebuah mobil yang sudah terbuka, dan langsung disodorkan oleh sebotol air mineral yang baru saja dilepaskan segelnya.Pria itu memegangi botol minuman Nara, hingga telapak tangannya bersentuhan langsung dengan punggung tangan dingin perempuan tersebut. Pandangannya saling bertemu dengan netra merah yang masih basah, membuat manik matanya bisa sedikit banyak mendalami apa yang telah dirasakan oleh perempuan itu."Kenapa kamu menolongku?" tanya Nara tiba-tiba yang langsung membuat dahi pria itu menger
"Di mana ini?"Sebuah pertanyaan itu terlontar dari bibir Nara, ketika kendaraan mewah milik Dimas sampai pada suatu tempat yang sangat asing di matanya. Ada beberapa logo stasiun TV yang terpajang pada beberapa mobil di hadapannya, dan juga ada sebuah kerumunan besar yang menimbulkan rasa ingin tahunya."Apa kamu sudah membawa seluruh surat-suratnya?" tanya Dimas yang malah melontarkan pertanyaan lain.Nara mengangguk, hingga membuat rambut hitam indahnya bergerak menutupi sebagian wajahnya. Dimas yang melihatnya pun langsung refleks membenarkan tatanan rambut itu, sampai seketika pandangannya kembali bertemu."Cantik," gumam pria itu tanpa sadar, tepat di hadapan Nara. Satu sudut bibirnya terangkat, hingga kembali menampilkan sebuah lesung pipi kecil di pipi kanannya.Untuk sesaat Dimas terlihat mengagumi kecantikan Nara. Bulu mata lentik alami, bibir merah merona, sungguh membuat fokusnya teralihkan. Dimas memperhatikan lama wajah Nara yang kini telah berbalut polesan makeup tipis,
"Sudah puas kau, Nara!"Plakk!Nara seketika terkejut, di saat Bella tiba-tiba hadir di hadapannya. Ia pikir wanita itu sudah pergi meninggalkan tempat ini, tetapi nyatanya tidak. Kini Bella malah menemukan tempat persembunyiannya dari kejaran para wartawan, dan berdiri di hadapannya dengan tatapan yang berapi-api."Apa-apaan ini? Kenapa kau menamparku?" tanya Nara sambil memegangi salah satu pipinya yang terasa panas."Kau bertanya, Nara? Kau pikir aku akan diam saja setelah kau mempermalukanku di depan para wartawan? Hah?" ujar Bella dengan tatapan yang kian menusuk tajam ke arah Nara. Langkahnya semakin maju, hingga membuat Nara semakin terpojokkan."Kau ini aneh, Bella! Seharusnya kau berterima kasih kepadaku, karena aku sudah membongkar semua kebusukan suami barumu di awal seperti ini! Bukan malah berbalik menyerangku, seolah-olah aku penjahatnya di sini!"Tangan Nara bergerak hendak mendorong bahu wanita itu, tetapi sayangnya Bella malah menarik terlebih dahulu rambutnya. Geraka
"Hmmphh!"Nara tercekat, ketika tiba-tiba saja ada yang membekap mulutnya dan langsung menarik tubuhnya menjauh. Ia berusaha melawan, tetapi sayang tubuhnya malah seketika terangkat melayang ke atas."Ssstt! Jangan berisik!" bisik sesosok pria dengan hoodie hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Pria itu membawa Nara bersembunyi di balik tumpukan drum kosong, dengan terus menutup mulutnya agar tak lagi mengeluarkan suara. Sampai akhirnya langkah Evan dan Bella terdengar semakin mendekat, dan kedua orang tersebut terlihat terus berlalu-lalang tak jelas di hadapannya."Sepertinya dia sudah kabur, Mas!""Akhh! Sial! Biar nanti kita beri pelajaran perempuan kampungan itu lagi! Biar bagaimanapun dia harus bertanggung jawab atas aksi nekatnya tadi!" ujar Evan kesal, sambil kembali menuruni anak tangga bersama Bella.Melihat situasi yang sudah mulai aman, pria misterius itu pun akhirnya melepaskan dekapannya pada Nara. Tak lupa juga ia membuka penutup kepalanya, dan menampakkan wajahnya lan
"Sebenarnya kamu siapa, Mas?"Dengan tangan yang sedikit bergetar, Nara pun langsung memutuskan untuk memisahkan foto itu dari bingkainya. Ia melipatnya menjadi dua bagian, dan mengantonginya di dalam saku celana."Sebaiknya aku harus segera tanyakan ini pada Mas Dimas nanti," putusnya sambil menyeka sekilas tetes air matanya yang sempat terjatuh.Sementara tanpa sepengetahuan Nara, Dimas sedang terlibat dalam situasi yang cukup tegang dengan seorang wanita di dalam ruangan kerjanya. Wanita itu menuntut banyak hal pada pemilik rumah produksi DMS Hitz tersebut, karena tak terima dengan keputusan sepihak perusahaan yang baru saja memberhentikannya secara sementara beberapa saat yang lalu."Tetapi kenapa harus tiba-tiba seperti ini keputusannya, Pak? Saya sangat merasa dirugikan di sini!""Maaf, Bella. Seperti yang sudah tertera di perjanjian kontrak awal, DMS Hitz tidak pernah menyukai artis yang terlibat dalam kasus. Ini hanya untuk sementara, sampai semua kasusmu menemui titik terang.
"Aku mau .... Awhh!"Seketika Nara terpeleset, dan hampir terjatuh andai saja tak ada Dimas yang langsung cepat tanggap menggapai tubuhnya."Jangan terburu-buru," bisik Dimas tepat di samping telinga Nara. Bahu perempuan itu seketika terangkat sekilas, mencoba menahan rasa geli yang seketika menjalar di tubuhnya.Selang tiga jam setelah kakinya dipijat oleh salah satu asisten rumah tangga Dimas, Nara pun mengerenyitkan dahinya ketika melihat beberapa gaun cantik yang tiba-tiba saja sudah ada di hadapannya. Ia menoleh ke kiri dan kanan, hingga terdengar suara langkah seseorang yang mulai memasuki area kamarnya."Sudah bangun?" tanya Dimas yang seketika langsung duduk di tepian ranjang. "Apa sudah lebih baik?" Dimas menatap ke arah kedua kaki Nara yang masih tertutupi oleh selimut. Sorot mata pria itu selalu terlihat tajam, hingga membuat Nara beringsut dari tempat tidur dan menganggukkan kepalanya tanpa berani berkata-kata."Bagus, kalau begitu sekarang pilihlah dari beberapa gaun yan
Napas Bella seketika tercekat, ketika mendapati sorot mata tajam dan dingin ke arahnya. Sama halnya dengan Nara, yang sedetik kemudian langsung memanfaatkan momen ini untuk terlepas dari jeratan Evan."Atau apa, Bella? Apa yang akan kau lakukan pada wanitaku?"Deggh!Jantung Nara benar-benar berhenti, di saat Dimas menarik salah satu lengannya dan langsung merangkulnya dengan begitu posesif. Tak hanya itu, pria tersebut juga terus menyentuh dan mengusap bahunya sangat lembut dan membunuhi kecupan singkat di sana.Sumpah demi apa pun, Nara tak kuasa dengan sensasi aneh yang seketika menjalar di seluruh tubuhnya! Rasanya ia ingin pingsan saja detik ini!"Ap–apa maksudmu, Pak? Dia wanita bayaran yang kau sewa?" tanya Bella terbata-bata, dengan kedua mata yang hampir tak berkedip memandangi interaksi dekat antara Nara dan Dimas.Siapa yang tidak terkejut, atau bahkan cemburu dan iri dengan perempuan yang berhasil dekat dengan Dimas? Pria pemilik rumah produksi yang cukup terkenal itu, mem
Kedua netra Nara seketika terbelalak, bahkan kini satu per satu peluh mulai membasahi tubuhnya. Tatapan Dimas yang kini mulai menajam ke arahnya, seolah membuktikan bahwa ucapan pria itu tak main-main. Bahkan detik ini Dimas kian mengikis jaraknya, dengan satu tangan yang semakin melingkar sempurna di pinggangnya."Dia ... Dia telah mengejekku sebagai wanita bayaran, Mas!"Satu sudut bibir Dimas kembali terangkat, ketika Nara sekarang bisa lebih lantang berbicara di hadapan Bella. Kini ia semakin menarik perempuan tersebut ke dalam pelukannya, dengan sesekali menghirup aroma wangi yang menguar dari tengkuk perempuan tersebut. Dimas mengarahkan tatapannya secara sinis ke arah Bella, dan juga ke arah beberapa wanita yang nampak sangat iri dengan Nara."Maaf, Bella. Sepertinya kesalahanmu itu tidak bisa lagi dimaafkan, terlebih ini bukanlah kesalahan pertamamu. Bukankah saya sudah memberikanmu peringatan pertama sebelumnya?" ucap Dimas yang sedikit menyindir tentang video pertengkaran da
"Nara? Hey? Bangun, Sayang! Tolong bangun!"Sayup-sayup suara terdengar, membuat Nara perlahan membuka kedua netranya. Dengan menahan rasa sakit di sekujur tubuh, Nara langsung melihat sekeliling. Dahinya mengernyit kala menyadari sekitarnya yang terbalik, hingga setelahnya mendapati seutas senyum tulus dari seseorang yang sama sekali tak disangkanya."Mas? Mas, aku ... Awhh!""Sabar, Sayang! Tolong berikan Melody dulu," ucap Dimas pelan, seraya mengulurkan kedua tangannya.Dengan situasi yang masih terhimpit, Nara pun berusaha menyerahkan Melody yang tengah menangis pada sang suami. Dirinya berusaha tenang, meski saat ini ia melihat Evan yang masih belum tersadar dengan beberapa bercak kemerahan di dahinya.Mobil yang ditumpangi Nara memang sempat terpelanting cukup jauh. Mobil itu rusak berat dalam kondisi yang terbalik, setelah Evan sempat dengan cepat memutar setir kendaraan di saat Bella berusaha menabraknya.Ah, iya. Mengingat Bella, bagaimana keadaan wanita itu sekarang? Nara t
Keesokan harinya berita tentang pembunuhan Haris pun kian tersebar meluas ke seluruh penjuru setiap kota. Beberapa stasiun televisi dan media cetak pun tak luput menyorotinya, terlebih sebuah nama yang ikut terseret dalam kasus pembunuhan pengusaha kaya raya itu adalah seorang mantan artis papan atas yang telah dinikahi oleh pemilik rumah produksi terkenal yang kini sedang berada di ambang kebangkrutan.Anara Aditya, nama itulah yang kini menjadi puncak pembicaraan seluruh orang. Kini wanita itu telah menjadi buronan polisi, terlebih setelah Bella mengungkapkan berbagai keterangan mengejutkan yang sangat menghebohkan publik.Ada yang yang percaya begitu saja dengan mudah, dan ada juga yang sama sekali tak menyangka. Sama halnya dengan apa yang dirasakan oleh Dimas saat ini. Pria itu semakin memijat pelipisnya yang terasa sangat pusing, seraya terus berusaha melacak keberadaan sang istri dengan secepat mungkin."Bagaimana? Apa kau telah mendapatkan kabar tentang keberadaannya?" tanya D
Suara mobil polisi langsung berbunyi setelahnya. Di mana hal tersebut tentu membuat Nara dan Bu Inah menoleh panik. Rasanya percakapan mereka tak bisa diteruskan lagi, sehingga dengan cepat Evan segera memutar dan menyuruh ketiga perempuan berbeda generasi itu untuk masuk ke dalam mobilnya."Baiklah, kita jalan sekarang!"Tak ada lagi perdebatan, Bu Inah dan Nara pun akhirnya duduk terdiam bersisian. Saat ini yang terpenting memang hanyalah kabur sejauh mungkin. Nara tentu tak mungkin menyerah begitu saja, karena pasti Bella akan membuatnya terlihat bersalah di hadapan seluruh orang dengan seluruh upaya yang dilakukannya."Maaf karena telah membuat kalian berdua seperti ini," lirih Nara pelan, tepat setelah menidurkan Melody di dekapannya.Dengan mencoba menahan tangisnya, Nara mengeratkan pelukannya pada sang buah hati. Bibirnya bergetar, menahan semua rasa pening dan sakit. Sehingga membuat Bu Inah yang melihatnya pun tak tega, dan segera langsung memeluk dan menenangkannya."Tidak
Bella tersenyum sekilas sebelum akhirnya berlari dan berteriak seolah mencari pertolongan. Sementara Nara, wanita itu masih terdiam dengan ekspresi syok yang tak dapat ditahannya lagi. Seluruh tubuhnya benar-benar membeku, melihat Haris tergeletak tak berdaya di hadapannya dengan cairan kental kemerahan yang mengalir dengan deras dari belakang tengkuknya."Tidak! Apa yang harus aku lakukan?!"Nara berteriak dengan sekujur tubuh yang bergetar ketakutan. Sungguh, sebenarnya ia ingin segera pergi dari tempat ini. Namun di sisi lain, dirinya juga tak tega meninggalkan Haris begitu saja sebelum benar-benar memastikan pria itu telah ditangani oleh tangan yang tepat."Stop! Jangan sentuh dia! Sebaiknya kau sekarang segera pergi dari tempat ini, Nara!"Nara terperanjat, kala mendengar suara Evan yang tergesa-gesa dan mendapatkan tarikan dari pria itu. Entah sejak kapan mantan suaminya tersebut ada di tempat ini, dirinya tak tahu. Yang jelas saat ini Evan sama sekali tak memberikannya jeda wak
Dengan langkah tergesa-gesa, Nara langsung mengecek satu persatu semua nomor pintu kamar hotel yang telah dilewatinya. Ia sungguh tak sabar ingin segera bertemu dengan sang suami, apalagi tadi di telepon Bella sempat menangis sesenggukan tanpa menjelaskan sebab."Kamar 207! Tidak salah lagi ini pasti tempatnya!" Nara bergumam pelan, sambil melihat ke arah celah pintu yang tak tertutup rapat tersebut. Dirinya merasa sangat penasaran, tetapi ragu ingin masuk begitu saja atau tidak. Biar bagaimanapun Nara bukanlah wanita yang polos, ia tahu hal apa saja yang biasa dilakukan jika seorang wanita dan pria berada di dalam kamar hotel yang sama. Terlebih tadi, Bella sempat mengabarkan bahwa suaminya itu dalam keadaan yang mabuk berat."Tidak! Aku harus percaya dengan Mas Dimas!" gumam wanita itu berusaha membuyarkan pikiran buruknya.Dengan menarik napas terlebih dahulu, Nara pun akhirnya mengetuk pintu. Ia berusaha mempersiapkan mental sebelum mengetahui apa pun yang tengah terjadi di dalam
Sementara itu di sebuah hotel di pusat kota, terdapat seorang pria yang tengah tertidur dengan pulas di atas sebuah ranjang besar dengan pakaiannya yang terlihat sedikit acak-acakan. Seorang wanita yang baru saja membawanya ke tempat ini terlihat tersenyum penuh kemenangan, hingga akhirnya tatapannya pada pria itu teralihkan berkat panggilan masuk dari seseorang."Bagaimana?" tanya seseorang dari sambungan telepon."Semuanya berjalan sesuai rencana! Tapi, aku masih kesal denganmu! Kenapa sangat mendadak seperti ini sih? Karenamu aku jadi tidak mempunyai persiapan yang lebih, sehingga aku hanya memasukkan obat tidur saja dalam minumannya!"Wanita itu berdecak kesal, karena perintah mendadak yang ditujukan padanya. Andai saja lawan bicara teleponnya ini mengutarakan rencananya dari jauh-jauh hari, sudah pasti dirinya memasukkan obat lain yang akan membuat malamnya detik ini menjadi lebih panas dan menyenangkan."Hahaha! Itu semua salahmu yang tidak cekatan!" ejek sosok lelaki itu dari
"Tunggu!"Nara berteriak, mencegah kepergian Bi Inah. Dengan tergesa-gesa, ia langsung menahan salah satu tangan perempuan paruh baya tersebut seraya menatapnya dengan penuh harap."Tidak bisakah semua ini dibicarakan secara baik-baik terlebih dahulu, Mas? Biar bagaimanapun kita harus selesai masalah ini dengan kepala dingin, bukan seperti di saat situasi tegang dan kacau seperti ini!" pintanya dengan pandangan yang mulai berkaca-kaca.Masih dengan adanya Melody di dekapannya, Nara melangkah menghampiri sang suami. Ia berharap agar Dimas bisa merubah keputusannya, atau setidaknya pria itu mau memberikan kelonggaran waktu sebelum benar-benar mengusir Bi Inah dari tempat ini.Walau sebenarnya Nara tahu bahwa sekarang suaminya sedang sangat hancur dan terkejut dengan semua kenyataan ini, akan tetapi tetap saja dirinya tidak mau membiarkan semua masalah ini semakin memburuk. Menurutnya semua itu masih bisa dibicarakan dengan baik-baik, meskipun pastinya sangat sulit sekali mengalahkan ego
"Apa maksudmu? Kenapa Bi Inah bisa akan tahu itu? Jangan sembarang asal tuduh Darren!"Dimas tiba-tiba muncul dari balik pintu dengan tatapan tajamnya yang penuh menyelidik. Langkahnya yang perlahan pasti mendekat, kian membuat nyali perempuan paruh baya yang sudah lama mengabdikan dirinya pada keluarga besar itu pun semakin menciut. Bi Inah sekarang hanya bisa menunduk dalam, tanpa bisa berkata-kata atau pun membela dirinya sendiri."Aku? Asal tuduh?" ucap Darren tak terima."Ya! Kau jelas mengada-ngada! Mana mungkin orang seperti Bi Inah tahu tentang perusahaan ayahku yang telah direbut oleh orang tuamu!"Darren tersenyum miring setelahnya. Ia mengamati sesaat wajah Bi Inah yang semakin terlihat ketar-ketir, dan kembali memusatkan perhatiannya pada sang saudara sepupu."Lebih baik kau sekarang pulang, Darren! Kedatanganmu sangat mengganggu rumah ini! Apalagi sekarang sudah ada Melody yang sangat sensitif dengan suara keributan!" tegas Dimas tepat di hadapan wajah Darren yang bergemi
"Ada apa, Sayang? Apa yang telah mengganggu pikiranmu?" Dimas akhirnya bertanya seraya mendekap pelan tubuh sang istri dari belakang. Selama di perjalanan pulang tadi, ia memang sempat memperhatikan istrinya yang terus terdiam dan seperti tengah memikirkan sesuatu. Namun sayang yang didapatkannya saat ini hanyalah sebuah gelengan singkat, dan usapan lembut di lengannya.Dalam kepala cantiknya, Nara memang masih terbayang-bayang dengan ucapan Evan dan Bella. Dirinya berpikir, apakah benar ia hanya memanfaatkan suaminya saja? Apakah dirinya memang sejahat itu? Lalu, bagaimana jika suatu saat nanti suaminya yang sangat baik padanya ini akan berpaling pada wanita lain yang jauh lebih baik darinya? Entah kenapa Nara semakin merasa tak percaya diri, seiiring dengan bayang-bayang ucapan Bella dan Evan yang terus menggema di telinganya."Sayang? Apa yang telah aku tidak ketahui?" tanya Dimas sekali lagi, seraya mencuri sebuah kecupan singkat di bibir merah menggo