James kembali ke ruangannya dengan tergesa-gesa, takut didahului Rima. Sang asisten yang baru aktif kerja setelah liburan, merasa heran dengan kelakuan bosnya, ketika berpapasan.
"Pak James, untuk mitting dengan ...," Ucapan Heru terhenti karena diabaikan.
Heru ingin mengikuti James masuk ke dalam ruangan, tapi ada pemandangan aneh. Tidak pernah dia melihat seorang staf membawa berkas, ke dalam ruangan bosnya. Rasa kepo pun muncul dalam hatinya, ingin mengintip, tapi rasa takut lebih mendominasi.
"Pak Heru, itu si bos tumben menghukum orang! Lagi ada masalah apa sih?" tanya salah satu staf yang biasa jadi biang gosip di kantor.
Heru yang tidak tahu ada masalah hanya menggelengkan kepalanya, lalu mendekat ke ruangan bosnya. Perlahan, mengetuk pintu. Setelah terdengar suara bosnya mempersilahkan masuk, Heru membuka pintu dan masuk.
"Tutup lagi!" ujar James. Heru menuruti pinta bosnya.
"Pak, jam 5 kita ada pertemuan di Palm Court Four, dengan pihak vendor yang bermasalah!" lapor Heru, dan matanya melirik Rima yang sedang fokus mengerjakan pekerjaannya di meja yang berhadapan langsung denga James.
"Batalkan saja dan atur ulang! perintah James dengan nada tinggi.
"Baik, Pak!" sahut Heru.
Merasa ada yang tidak baik, Heru segera pamit dan mengambil berkas yang diperlukan. Tidak berani lagi dia bertanya, meski rasa penasarannya sangat tinggi.
"Heru, nanti malam temui saya di rumah, ya," pinta James, saat Heru berpamitan.
Heru menjawab oke, dan pergi berlalu.
James menatap Rima yang cemberut dengan intens dari kursi kebesarannya, berpura-pura memegang map. Rasanya, ingin sekali dia menerkam Rima seperti apa yang dia dengar tadi.
Tidak terasa, jam sudah menunjukan waktu pulang kantor. Namun, pekerjaan Rima belum selesai. Rasa kantuk menyerang, membuat Rima sering menguap.
"Sudah selesai?" tanya James, merasa kasihan melihat Rima.
"Belum!" jawab Rima kesal.
Rima sebenarnya ingin pergi dari hadapan James, tapi tanggung jawabnya belum selesai. Dia merasa tidak boleh mengeluh saat ini. Namun, ketika melihat James, semua rasa bercampur menjadi satu. Tentu saja mempengaruhi konsentrasinya bekerja dan tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat.
"Pak, saya ijin lanjutkan besok!" ketus Rima.
Terdengar helaan napas panjang dari James, yang tidak rela waktu kebersamaanya berakhir. Sudah dua tahun, James jatuh hati pada Rima dan tidak berani mendekatinya. Hanya bisa melihat dari kejauhan, dan menyapa sekedarnya saja.
"Ya, sudah!" balas James pasrah.
Rima dengan cepat membereskan pekerjaannya, lalu berdiri untuk berpamitan.Namun, suara James mengejutkannya
"Siapa yang nyuruh pulang?" cegah James.
Rima mematung, perasannya mulai tidak enak. Sikap James mendadak berubah, dan dia tidak berani memandang wajah James. Padahal, jika dia berani melirik saja. Senyum di wajah duda tampan itu sangat menggoda.
"Pulang dengan saya. Mama ingin kamu menemuinya!" titahnya.
"Tapi, Pak! Hmmm ... Nanti para pegawai akan tahu masalah kita!" seru Rima panik.
James menanggapi Rima dengan tawa yang menggelegar, lalu memasang wajah serius lagi. Mengatakan, jika apa kurang dirinya sehingga Rima malu mengakui dirinya seagai calon suami.
Rima yang enggan berdebat, diam. Memikirkan bagaimana caranya menghindari lelaki yang berkuasa di perusahaannya bekerja. Satu ide muncul di kepalanya, meskipun James tidak akan menyukainya, dia tidak peduli.
"Boleh saya ke toilet dulu?" tanya Rima.
"Pakai saja toilet di ruangan saya," jawab James santai.
"Jangan, Pak. Nanti timbul fitnah!" elak Rima
James akhirnya menyerah dan memperbolehkan Rima untuk ke toilet khusus karyawan, lalu mewanti-wanti gadis pujaannya untuk tidak pulang duluan. Rima hanya mengangguk patuh, meski ingin rasanya melepaskan kekesalnya saat ini.
Satu jam berlalu, Rima tidak kunjung kembali ke ruangan James. Rasa khawatir mulai menyelimuti James, ingin mencari, tapi tidak mungkin. Diambilnya ponsel, lalu mulai mencari nama Rima dan menghubunginya. Bertanya di mana dan mengapa tidak menemuinya lagi, dan dengan santainya Rima menjawab bahwa dirinya lupa dan saat ini dia hampir sampai di rumahnya. Rasa geli dan gemas bercampur menjadi satu, tapi James santai.
[Di rumah kamu enggak ada orang! Ibu tadi di jemput mama, makanya saya minta kamu ikut saya!]
Send
James tersenyum puas, ketika mengirimkan pesan untuk Rima.
Di tempat lain, Rima melongok saat membaca pesan masuk. Dia tetap tidak percaya, tapi hatinya ragu. Mana mungkin lelaki itu bercanda soal ibunya. Rima langsung menelepon ibunya. dan benar apa isi pesan James. Dengan terpaksa, Rima kembali ke kantornya untuk menemui James.
[Pak, tolong tunggu saya.]
Send
James tersenyum, melihat pesan balasan dari Rima. Sebenarnya, dia sudah menduga, jika Rima akan menolak dengan caranya. Sehingga James ada waktu untuk menyelesaikan sedikit pekerjaannya yang tertunda, karena memandangi wajah Rima.
[Pak, saya sudah ada di parkiran. Tolong jemput saya,]
Send
Rima gelisah, pesannya tidak ada yang di balas oleh James. Ingin dia pergi sendiri menjemput ibunya, sayangnya dia tidak mengetahui di mana rumah ibu James berada.
"Saya sudah menunggu kamu cukup lama!" tegur James mengejutkan Rima.
"Pak James sejak kapan di sana?" tanya Rima ketika James menepuk pundaknya.
Tanpa menjawab, James mengajak Rima masuk ke dalam mobilnya. Setelah seatbelt terpasang, mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Menerobos keheningan di antara mereka, dan menghindari detak jantung yang kian bertalu. James lupa cara menerkam yang sudah dia susun sejak tadi.
***
Setelah kejadian hari itu, Bu Halimah sering sekali dijemput oleh Bu Rina. Dengan alasan agar semakin dekat. Rima yang mulai pasrah dengan keadaan menerima semuanya perlahaan. Lagi pula, memang seharusnya dia sudah menikah di usianya sekarang.
"Pak, jika kita menikah. Ibu akan tinggal dengan siapa?" tanya Rima ketika mereka makan siang di luar kantor.
James sangat senang membahas masa depan dengan Rima, meski terkadang tidak di tanggapi oleh wanita pujaannya. James menjawab dengan pasti, jika ibu mereka akan tinggal bersama. Menghabiskan masa tua, bermain dengan cucu mereka.
Mendengar hal itu, Rima merasa lega. Benar apa yang ibunya pikirkan, jika James lelaki yang baik dan bertanggung jawab.
"Apa kamu masih ragu menikah dengan saya?" tanya James serius,
"Saya tidak ragu, Pak. Bapak mungkin yang ragu dengan saya!" jawab Rima.
"Bagai mana jika kita menikah bulan depan? Kamu bisa risegn mulai sekarang!" ujar James, sembari mengunyah makan siangnya.
Rima hanya mengangguk patuh. Sebenarnya Rima tidak asal menerima tawaran James, istikharahnya beberapa minggu ini mengarah ke lelaki idaman wanita yang memandangnya dan juga nasehat-nasehat ibunya yang takut jika Rahmadi akan terus berusaha mendekatinya.
***
Persiapan dilakukakan dengan cepat, setelah ke dua ibu mendengar berita yang di bawa oleh James. Bu Halimah yang paling bahagia, ketika putrinya mendengar semua nasehatnya.
"Saya terima nikah dan kawinnya, Rima binti Ardi Yusman dengan mas kawin sepetak tanah dan emas seberat !5gram, dibayar tunai!" ucap James tegas, setelah di pandu oleh penghulu.
Sah! Sah! Sah!
Suara saling menyahut terdengar menyentuh hati. Kebahagian terpancar dari semua wajah yang hadir, tapi tidak dengan para staf-staf wanita yang sangat memuja James.
Tiba-tiba, kebahagian itu harus terjeda,
"Pernikahan ini tidak sah!" teriak seseorang dari kejauhan.
"Pernikahan kalian tidak sah!" Suara Rahmadi menggelegar di ruangan yang dipenuhi orang-orang yang baru saja mengikuti akad nikah Rima dan James.James berdiri dan menatap tajam ke arah lelaki bertubuh tinggi, yang berdiri diambang pintu. Rambut ikal yang berantakan, bajunya lusuh dan dikenakan dengan asal-asalan, wajahnya yang terlihat tidak baik-baik saja. Seperti gemel di jalanan."Maksud kamu, apa?" tanya James meradang. Semua yang datang di sini, mereka menyaksikan akad kami dan mengatakan jika penikahan ini, sah! Baik secara agama, maupun secara negara!" imbuh James dengan emosi.James terkesan memberikan penekanan pada setiap kata-kata yang dia lontarkan, kemudian lelaki itu melengkungkan sudut bibirnya. Membuat lawan bicaranya emosi dan ingin sekali meninju wajah James yang mulus."Kamu menipu, Rima!" tuduh Rahmadi. Wajah Rima terlihat tegang, sejak kedatangan Rahmadi di acara pernikahannya yang sederhana. "Aku tidak memiliki hubungan dengan wanita yang menggangguku kemarin,
"Sherly!" panggil James, tapi tidak dihiraukan oleh putri remajanya. Sang nenek yang melihat itu, mau tidak mau turun tangan dengan kelakuan cucunya yang enggan berbaur dengan keluarga Rima. "Sherly, ayi sini!" Dengan suara bernada perintah tidak mau dibantah. Remaja itu diam dan menunduk, lalu mendekat tanpa membantah, duduk berdampingan dengan memasang wajah cemberut. Berbeda dengan Dion, terlihat sangat bersemangat dan selalu menempel pada Rima, yang terlihat sangat cantik hari ini. Sesi poto sudah berakhir dan semua acara sudah dijalani dengan lancar. Tiba-tiba beberapa tamu yang dikenal datang dan membuat James kaget. Pasalnya, James tidak pernah mengabarkan pada pegawainya, tentang pernikahannya dengan Rima. James berpikir jika saat ini hanya untuk acara keluarga dan tetangga saja. Salah satu pegawai dan teman James yang datang adalah Grace, wanita yang sangat menyukai James. Bahkan, rasa yang tumbuh pada hatinya sudah ada sejak James masih dalam ikatan pernikahan dengan istr
"Ah! Sekarang aku tahu!" ujar Grace dengan memasang mimik wajah mengejek. "Pasti permainan ranjangnya sangat hebat! Membuatmu mabuk kepayang, hingga mau menikahinya!" sambung Grace dengan suara yang menghina."Aku ..." Rima ingin menjawab ejekan Grace, tapi dicegah oleh James."Kamu istirahat saja di kamar," pinta James lembut.Rima langsung menuruti apa yang diminta oleh sang suami, tanpa satu patah katapun keluar dari bibirnya yang dihias dengan lipstik berwarna nude. Sesekali Rima melihat ke arah suaminya, dia seperti mengkhawatirkan hal yang tidak mungkin dilakukan oleh James. Lelaki yang dia pilih diakhir sujudnya, tidak ada penyesalan atas apa yang dia pilih."Ikut!" James meanarik tangan Grace, keluar dari rumah milik orang ftua Rima.Teman-teman grace mengikuti mereka dari belakang, mengantisipasi, jika James melakukan sesuatu di luar batas karena marah."Berani-beraninya kamu menghina istriku!" James mendorong Grace agar menjauh darinya.Untung saja teman-temannya masih ada s
James ingin marah, tapi dia urungkan. Mengingat, karena dirinyalah Grace jadi seperti ini. James diam dan melipat kedua tangannya di depan dada."Kamu terlalu bodoh!" cibir Grace.Wanita itu, kemudian duduk di tepi trotoar taman. Matanya memandang tajam ke arah James, batinnya meruntuki diri sendiri yang begitu terpesona oleh tampannya wajah James dan juga lembutnya perlakuan laki-laki di hadapannya. Namun, seketika hatinya remuk tidak bersisa, ketika kabar pernikahan James datang padanya. Apalagi, saat Grace mengetahui siapa yang bisa menyaingi dirinya merebut hati James, yaitu wanita yang penampilannya berbanding terbalik darinya dan orang yang selalu dia remehkan saat berada di kantor. "Aku ... Aku yang lebih baik darinya, James! Bukan dia, tapi aku!" tangis Grace pecah seketika.James berdecak mendengar ocehan Grace yang mulai tidak masuk akal baginya. Bukan hanya penampilan yang dicari olehnya, tetapi wanita yang mampu meluluhkan hatinya dan juga anak-anaknya yang mulai beranjak
Grace berjalan mendekati wanita paruh baya yang ternyata ibunya dan juga sahabat dari Bu Rina, mertua Rima. Grace tidak tahu, jika ibunya mengetahui apa yang dia perbuat. Meskipun tidak secara langsung, karena ibunya sedang berada di toilet, saat kejadian tadi. Wanita-wanita paruh baya itu, ternyata telah berteman cukup lama. Mereka terpisah oleh kesibukan masing-masing, Sejak remaja, mereka selalu berbagi semua cerita. Termasuk setelah berkeluarga, walaupun hanya melalui panggilan telepon. Bu Rina sangat senang, ketika temannya mengatakan jika anaknya menyukai lelaki yang bekerja di perusahaan yang sama dengan James dan terkejut setelah mengetahui bahwa anaknyalah yang dimaksud. Namun, Bu Rina tidak ingin memberi harapan pada temannya dan juga sang putri, karena keputusan dia serahkan pada sang putra dan Bu Yuyun--ibu dari grace memaklumi hal itu. "Sudah berapa kali ibu katakan, jika dia jodohmu, maka kamu tidak perlu bersusah payah merayunya! Karena Tuhan yang akan mendekatkan kal
James berjalan tanpa menoleh ke belakang, langkahnya diiringi oleh tangis Grace yang terdengar sangat terluka. Hati Grace tergores cukup dalam, tidak pernah dia bayangkan sebelumnya, jika James tidak mencintainya selama ini. Grace hanya bisa melihat punggung James menjauh, tidak bisa mendekatinya lagi. Jarak mereka sudah sangat jauh dan tidak mungkin kembali seperti dulu."Sudahlah! Kamu masih muda dan cantik. Mulailah perbaiki kebiasaan burukmu dan jangan pernah bilang aku tidak bisa!" ketus Bu Yuyun.Semua ucapan Bu Yuyun terkesan menyudutkan anaknya, tapi dia sangat mengetahui sikap dan sifat anak perempuannya yang keras kepala dan manja.Bu Rina yang sejak tadi hanya diam, kini mendekati Grace dan memeluknya dengan lembut. Menepuk pundak dan memberinya semangat,"Seperti kata James, kamu pasti akan mendapatkan yang terbaik dan kebahagiaan akan datang menjemputmu. Maafkan James, jika pernah memberikan harapan hampa untukmu!" bisik Bu Rina lembut.Grace merasakan ketulusan dari Bu R
Grace mendongak untuk memandang wajah remaja yang berdiri di depannya, wajah manisnya terlihat sangat serius. grace diam sejenak, mencerna apa yang baru saja didengarnya dari bibir mungil yang menggoda."Kamu Sherly, kan?" tanya Grace memastikan.Grace pangling dengan wajah ayu di depannya, sudah lama dia idak berjumpa dengan gadis kecil itu. Di depannya saat ini, gadis remaja yang memakai riasan tipis. Melontarkan kata yang tidak masuk akal.Sherly mengangguk, dan menyunggingkan senyuman sinis, tapi terlalu manis. Sehingga tetap saja terlihat cantik dan mempesona. Sherly mendekat dan duduk di samping Grace, membalas tatapan wanita yang lebi tua darinya."Tidak mungkin, Sherly. Papamu suda memilih wanita lain yang lebih baik dari tante menurutnya, padaal gadis itu sangat culun!" ujar Grace, tetap dengan rasa kesal yang masih tersisa."Itu hal yang sangat mudah, Tante! Kita buat mereka berpisah saja!" balas Sherly dengan penekanan disetiap kata-katanya,Mulut Grace menganga, dia tidak
Grace menghembuskan napas dengan gusar, meskipun tadi mengatakan tidak ingin memiliki James, tapi hatinya tidak bisa dia bohongi. Tawaran yang diberikan oleh Sherly sungguh sangat menggiurkan, bagi Grace yang masih menyimpan harapan untuk bersama James."Aaakh!" pekik Grace kesal, lalu dia berdiri dan berlari.Grace mendekati teman-temannya yang tadi menjauh saat ibunya datang memarahinya. Mereka memeluk Grace dan memberikan semangat untuknya.***Di tempat lain, James mengetuk pintu kamar istrinya dan mengucapkan salam. Setelah Rima menjawab salamnya, James masuk. lalu menutup lagi pintu kamarnya. James menghembuskan napas panjang dalam diam, ketika melihat istrinya duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong. Tatapan Rima fokus ke lemari buku yang ada di pojok kamarnya. James mendekat, duduk di samping Rima dan menggamit tangan istrinya. Akan tetapi, Rima tidak mengguris kehadiran lelaki yang sudah sah menjadi suaminya."Kamu marah?" tanya James."Tidak," jawab Rima ketus.James ter
Rima melukai sedikit peni*s Dito, membuat remaja itu meringis kesakitan. "Baru tergores! Belum terpotong!" ancam RIma dan Dito hanya mengangguk. Rima kembali pergi, dengan membawa serta belati yang melukai Dito, sedangkan Dito memaki wanita yang tengah menyanderanya dengan kata-kata kasar. Remaja itu tidak menyangka, jika Rima bisa berbuat sejauh ini. Bahkan dirinya menjadi ciut berhadapan dengan ibu tiri dari remaja yang dia lece*hkan. "Brengsek!" teriaknya. Rima hanya tersenyum mendengar makian dari Dito, kemudian dia berjalan dengan cepat untuk keluar dari persembunyian. Kemudian dia membuka CCTV yang terhubung dengan laptopnya, menghidupkannya kembali dengan posisi semula, meski sedikit dimodifikasi. "Bu, sudah benarkan saya keluar dari sana?" tanya Bik Irah yang masih memegang alat pel. "Sempurna, Bik. Sekarang bibik masak aja, untuk sarapan kita," pinta Rima. "Besok saja membersihkannya, sehari enggak dibersihkan, enggak masalah." Rima menjawab sebelum Bik Irah bertanya, da
Pagi-pagi sekali, Rima keluar dari rumah. Menuju ke supermarket terdekat, mengambil beberapa cemilan, roti dan juga susu. Kemudian menuju kasir, untuk membayar semua yan sudah dibeli olehnya."Makasih, ya, Mbak!" ujarnya setelah sang kasir memasukkan semua belanjaan ke dalam kantong yang dibawa oleh Rima."Sudah semua, ya, bersama titipannya," balas sang kasir dengan lirih di ujung kata-katanya.Rima keluar dengan membawa kantong yang berisi penuh dengan semua aneka camilan, dan dia taahu, jika ada sepasang mata yang memperhatikannya dengan sangattajam, sembari berpura-pura memgang minuman."Kalian masih mengintaiku?" gumam Rima kesal.Ponsel Rima berbunyi, dan wanita itu langsung menerima panggilan dari ternyata dari Satria. Mantan kekasihnya itu menanyakan, apakah dirinya aman setelah menerima bingkisan darinya ataau tidak. Rima membaritahu Satria, jika dirinya aman dan sudah sampai di rumah.Semalam, Rima menanyakan tentang efek samping dari penggunaan obat itu pada Satria. Bagaima
"Bukan begitu, sayang. Aku_"Rima langsung memotong ucapan James dengan cepat."Sudahlah, Mas. Yang penting aku selalu jaga hati dan tubuhku hanya untuk kamu,"Rima langsung mengakhiri panggilan, dan meletakan ponselnya di atas meja. Mendengkus kesal, karena merasa tidak dihargai oleh suaminya sendiri."Bibik aja yang angkat!" ucap Rima malas. "Bilang saja, aku sedang tidak mau diganggu!" Rima menambahkan sedikit permintaan.Bik Irah mengangguk dan segera menerima panggilan dari James untuk kedua kalinya. Seperti dugaan Rima, Bik Irah bisa diandalkan. Rima meyakini, jika suaminya itu bertanya banyak hal pada Bik Irah. Terbukti jawaban dari wanita tua di sampingnya itu, yang kadang tersenyum dan terkadang terlihat khawatir."Siap, Pak!"Di akhir panggilannya, dan Bik Irah meletakkan ponsel Rima kembali di tempatnya semula."Apa aja yang ditanya Mas James, Bik?" Rima bertanya seperti menyelidik."Pak James hanya khawatir pada ibu, dan menanyakan apa ibu pernah pergi dalam waktu yang lam
Rima terlihat marah pada Satria, yang menyangkal tentang keterlibatan Sandi dalam kasus anak sambungnya. "Aku mendengar sendiri, jika dia menggauli Sherly dan mengatakan hal tidak senonoh padaku!" bantah Rima. "Tidak, yang aku tahu, dia tidak ikut dalam pencab*lan itu!" Satria masih kukuh pada ucapannya. "Dan kamu sudah tahu siapa saja yang melakukan hal bejad itu, kan?" tanya Satria kemudian. "Pergila, aku hanya meyakini apa yang memang terjadi dan kuketahui!" Rima pun tidak merubah keputusannya. "Jangan gegabah, nanti kamu salah sasaran!" ketus Satria. Lelaki itu, lalu berpamitan dan meninggalkan Rima yang masih yakin dengan apa yang akan direncanakannya. Sedangkan Satria menghela napas panjang, terlalu sulit untuk membuktikannya sekarang. Rima duduk di kursinya dan kembali menyesap teh lemon buatannya, Menatap jauh ke depan dengan pandangan kosong. "Bu, saya melihat diary milik non Sherly," bisik Bik Irah. Perhatian Rima teralihkan, meminta Bik Irah untuk mengambilnya. Wanit
Ayah Dito langsung memperintahkan anak buahnya untuk mengeledah seisi rumah dan melihat CCTV yang terpasang di rumah Rima. Sedangkan Rima dan Bik Irah duduk dengan santai di meja makan, bahkan Rima menyedu teh lemon hangat dan menyesapnya perlahan. Setengah jam mereka mencari dan berputar-putar dengan sangat teliti, tapi tidak menemukan apa yang mereka cari, dengan kesal ayah Dito mendekati Rima. Mengacungkan senjata dan mengancam wanita yang pura-pura lemah itu. "Cepat, katakan di mana anakku?" tanyanya dengan menekan ujung pist*lnya di pelipis Rima. Satria yang melihat itu tentu saja sangat geram, tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk saat ini, karena baju yang sedang dia kenakan. "Saya sudah mengijinkan bapak untuk mencari anak bapak di sini, dan apakah saya mengijinkan bapak untuk mengancam saya?" tanya Rima yang makin membuat emosi lelaki di depannya memuncak. "Kamu tidak tau siapa saya?" tanyanya dengan membentak Rima, dan matanya melotot sempurna. Sehingga memperlihatkan am
Rima langsung mengakhiri panggilan dan menatap remaja yang mulai sadar akan keberadaannya yang menyedihkan."Tante, Lepasin aku!" teriak Dito dan hanya ditangapi dengan senyum hina dari Rima.Dito terus memaki, ingin rasanya Rima membalasnya. Akan tetapi disadarkan oleh Bik Irah yang menanyakan tentang makanan yang dia bawa tadi.Rima berjalan ke meja, lalu mendekati Dito yang masih terus menhardiknya. Tatapan Rima, sebenarnya membuat nyali Dito sedikti ciut, tapi dia tidak mau kalah dari wanita yang dia anggap tidak ada apanya."Kamu butuh asupan untuk terus menghardikku, jika tidak kamu akan kelapan dan tidak ada yang bisa menolongmu. Bahkan harta orang tuamu yang sangat banyak itu! Ingat, kamu belum membuatku merasakan kenikmatan yang kamu tawarkan," ujar Rima dengan nada penuh penekanan.Dito diam, setelah mendengar penuturan Rima, mungkin dia berpikir, benar apa yang dikatakan Rima. Dirinya tidak akan bisa keluar dengan selamat, jika dirinya tidak memiliki tenaga.Rima meminta Bi
Rima meletakkan dompet Dito, dan menguyur tubuhnya berkali-kali. Sebenarnya dia tidak ingin melakukan hal yang menjijikkan, akan tetapi tuntutan dari pembalasan dendamnya, mengharuskan dirinya melakukan hal yang bertentangan dengan nuraninya.Sejenak Rima berpikir, dan satu ide muncul dalam benaknya dan ingin segera dia laksakan."Wooow, kamu cantik sekali," puji Dito, setelah Rima keluar dari kamar mandi.Rima tidak menyangka, remaja yang seusia Sherly sudah sangat mendewakan S*x. Seharusnya dia dan Sherly bisa menikmati masa-masa remaja yang menyenangkan."Tante, bisa ambilkan obat di saku depanku?" pinta Dito, yang masih tetap terikat dengan tubuh gemetaran.Dengan santai, Rima mengambil celana Dito yang tadi dia lepaskan dan dilempar jauh. kemudian mengambil sebuah plastik klip berukuran 7 x 10cm di dalam sakunya. Ketika melihatnya, Rima tau, obat apa yang dimaksud oleh Dito.Semua yang direncanakan Rima, berbeda dengan kenyataannya, tapi cukup membuat dirinya bersemangat. Dengan
Dengan susah payah, Rima dan pembantunya--Bik Irah, memindahkan Dito ke ruang rahasia yang ditemukan oleh Rima beberapa waktu lalu. "Bik, sebaiknya bibik pulang kampung saja. Jika terjadi sesuatu, bibik tidak akan terkena imbasnya," ujar Rima dengan menggenggam kedua tangan renta milik Bik Irah. "Sherly sudah seperti cucu bibik, dari dia lahir, besar, ditinggalkan ibunya, dan sekarang tertimpa kesialan gegara lelaki seperti ini, Bibik enggak akan biarkan mereka hidup dengan tenang." Dengan semangat dia menolak permintaan Rima. Rima menghembuskan napas kasar, dia tidak ingin orang lain mendapatkan masalah karena perbuatannya, tapi dirinya pun tidak bisa menjalankan sesuatunya seorang diri. "Kalau saja waktu itu bibik tidak melihat kemaluan yang ibu mut*lasi, maka bibik tidak akan pernah bisa membalaskan rasa sakit melihat orang yang disayang terluka!" tambah Bik Irah. Ya, waktu itu Rima pulang bersama Sherly dengan keadaan yang tidak pernah dia pikirkan. Rima terlihat tegar, setela
"Saat Mas James sudah mengucapkan ijab qobul, maka tanggung jawabku pun bertambah, termasuk membalas perlakuan mereka pada orang yang menyakiti anak-anak!" ujar Rima."Aku akan menungu kamu untuk di sisiku. Aku tidak rela kamu harus berkorban begitu banyak!" ujar Satria yang dibalas dengan senyuman sinis dari Rima.Satria tahu, Rima tidak akan mudah berpaling setelah menentukan apa yang dia mau. Jika pun berpaling, maka dia akan mempertimbangkan segala sesuatunya dengan sangat teliti. Seperti saat Rima menerima James dan menghilangkan kenangannya dengan Satria. lelaki bertubuh tegap itu hanya bisa mnegela napas, karena terlambat datang memenuhi janjinya. Saat ini, dia hanya ingin dekat dengan wanita yang dia jadikan belahan jiwa sejak dia berjanji pada Bu Halimah dulu.Rima sudah memastikan ikatan yang dibuatnya cukup kuat dan tidak mudah lepas, dia menatap remaja yang sangaqt angkuh diusianya saat ini. Tentu semuanya karena ajaran yang diberikan oleh kedua orang tuanya, dan juga cont