"Singatku, jika remaja sudah berkumpul, maka mereka akan lupa akan waktu yang terus berputar." bantah James.Mereka berdua kembali memperhatikan semua pengunjung yang datang, mencari kemungkinan yang terlupa saat fokus mereka terbagi. Namun, tiba-tiba Rima menarik tangan James, sehingga langkah lelaki itu terhenti. Kemudian menanyakan ada apa pada Rima yang diam dan terpaku, menatap tajam ke arah sudut ruangan."Bukankah itu anak kita, Mas?" tanya Rima dengan bibir bergetar.James langsung mentap ke arah yang dituju oleh Rima, dan terlihat amarah di wajah James. Pemandangan yang tersji di depannya sungguh membuat James meradang. Tanpa menunggu, James langsung mendekati Sherly dan menarik tangan anak gadisnya yang sedang memegang segelas minuman keras. Dengan kasar, James membuang gelas itu. James benar-benar tersulut emosinya. Kemudian, James menarik tangan Sherly dengan paksa."Mas, tenang dulu. jangan seperti ini," cegah RimaJames mengabaikan istrinya, dan terus menarik anaknya yan
Dengan malas, Sherly naik ke dalam mobil. Lalu, membanting pintunya dengan keras. Rima sampai terkejut, dan hanya bisa mengelus dadanya. Melihat kelakuan ayah dan anak yang sedang terbalut emosi.James meminta Rima untuk naik, agar mereka bisa segera pulang, dengan ragu Rima naik dan duduk di kursi depan. Sebenarnya dia ingin bersama Sherly, mencoba melakukan pendekatan, tapi sepertinya itu tidak mungkin untuk situasi saat ini. James langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi setelah Rima duduk di sampingnya, rasa kesalnya dia salurkan dengan meninjak pedal gas.Perjalanan pulang terasa sangat lama, karena James sempat salah arah. Membuatnya harus putar balik, dan membuat Rima tersenyum."Mas," rayu Rima dengan bergelayut manja di lengan kekar James."Enggak malu sama Sherly lagi?" tanya James, menggoda istrinya.Rima hanya memberi kode dengan melihat ke belakang, yang di mana Sherly sedang terlelap karena kelelahan. James tersenyum, mengingat Rima tidak lagi cemberut padanya
"Di hari pernikahan kita, terlalu banyak hal tidak terduga yang terjadi!" Suara James terdengar sedikit bergetar, dia benar-benar merasa bersalah pada Rima."Mas, kamu menikah denganku bukan hanya untuk memenuhi hasratmu saja, kan?" tanya Rima, dan dibalas dengan cengiran dari James. "Tapi lebih condong ke anak-anak yang sulit diatur dan pergaulan bebas di era digital ini," ungkap Rima, selanjutnya.James diam dan fokus pada setirnya, ada rasa yang tidak nyaman yang dilontarkan oleh Rima, meskipun hal itu benar adanya.Mobil berhenti di depan rumah ibu James, dengan cepat lelaki yang masi tampan di usianya itu menelepon asisten rumah tangga yang bekerja di sana. Tidak lama, pintu dibuka dan James langsung membawa Sherly ke dalam rumah ibunya. Sedangkan Rima di minta James untuk menunggu di dalam mobil."Bik, tolong jaa Sherly, ya, Ibu sebentar lagi pulang. Saya harus kembali ke rumah mertua saya," pesan James."Iya, Mas," jawab asisten rumah tangga ibunya, kemudia mereka berjalan ber
James mendekat dan menggapai tangan sang mertua, kemudian salim takzim. Sejenak melirik sang istri dan menghela napas panjang."Maaf, ya, Bu. Membuat kegaduhan, disaat seperti ini," lirih James.Sang menrtua menepuk pnggung tangan James, dan meminta menantunya untuk bebersih dan istirahat. James pun langsung ke kamar setelah istrinya mengangguk mengiyakan ucapan sang ibu.Rima memapah ibunya masuk ke dalam kamar, dan membantu sang ibu untuk berbaring. Kepedihan terpancar di matanya yang pandangannya mulai kabur, Rima pura-pura tidak melihatnya, jika tidak maka dirinya akan menangis melihat luka sang ibu. Rima berpamitan untuk memersihkan wajah dan tubuhnya."Nak," panggil Bu Halimah, ketika Rima akan berlalu.Rima mengurungkan niatnya dan duduk di samping sang ibu. Menatap sayu pada orang tua satu-satunya yang dia miliki. Rima melihat ada kepedihan di mata ibunya, ketika pandangan mereka beradu."Kamu harus benafr-benar menjaga keluarga barumu, jangan menyerah jika sesuatu ada diluar
Rima memanggil suaminya dengan lembut, lalu mengajaknya duduk. Kemudian, Rima memegang tangan James dan meletakkannya di pangkuannya."Mas, jangan pernah mengatakan maaf lagi, kita mulai dari awal, ya." Rima menepuk tangan james yang ada di pangkuannya.James seperti seorang yang sedang patah hati, dia memasang wajah yang sangat tidak enak dipandang, meskipun masih terlihat tampan. James menyandarkan kepalanya di bahu Rima sebagai penopangnya, hal ini membuat hati Rima berdenyut. Tubu Rima mengirimkan signal yang tidak biasa atas sentuhan yang dilakukan oleh James.Rima membiarkan James melepaskan rasa beban yang selama ini, ada dipundaknya. Membagi semua tanggung jawab padanya."Beruntungnya aku mendapatkan kamu sebagai istriku di saat seperti ini, jika aku memilih wanita lain, mungkin akan marah dengan berbagai kejadian saat pernikahan dan malah membuatku marah, bukannya tenang," puji James pada sang istri.James menghembuskan napas berat, tepat mengenai leher Rima. Membuat bulu kud
Satu bulan sudah pernikahan James dan Rima, yang nyaris membuat Sherly mendapatkan hukuman berat dari ayahnya.Sherly berusaha bersikap manis dan penurut, meski masih menyimpan rasa benci pada Rima. Dia berusaha menyembunyikan semuanya, semua karena nasehat dari sang nenek. dan saudara yang lainnya. Sesaat, Sherly mengakui kesalahnnya, kemudian dia kembali menyalahkan Rima yang merebut kasih sayang, James dan sang nenek dari dirinya dan sang adik."Papa berangkat dulu, ya. Kalian nanti akan diantar, Mag Iding. Soalnya, papa langsung berangkat ke bandara," pamit James, yang harus pergi ke luar kota. "Tolong jaga anak-anak, ya," sambung James pada Rima."InsyaaAllah, Mas." Rima menyambut tangan James yang disodorkan di depannya dan menciumnya.Rima mengikuti langkah James menuju ke depan. Mengantar kepergian suaminya dan langsung kembali lagi ke ruang makan, setelah James pergi."Mama, aku mau dibuatkian bekal lagi, dong!" seru Dion dengan semangat."Makanan enggak enak aja! Untuk apa b
Mobilpun melaju, meninggalkan Rima dengan kepedihan yang tidak ada obatnya. Rima hanya bisa pergi ke belakang rumah, untuk melampiaskan kekesalan yang ada di hatinya pada pohon yang di tanam sejak masih kecil.***Matahari mulasi tenggelam perlahan, menyambut gelap yang kian merayap. Rima mulai khawatir pada kedua anaknya, yang tidak memberikan kabar padanya sampai sekarang. Tanpa mau menunggu lagi, Rima memutuskan untuk menelepon terlebih dulu.[Halo, Pak Iding, kenapa belum pulang?]Rima langsung mencecar supir pribadi mereka.[Hmmmm, eeee, ini Bu, Hmmm Sherly belum ketemu!]Hampir saja, gelas yang dia pegang jatuh dari genggaman tangannya. Perasaan Rima makin tidak tenang, firasatnya sebelum sang suami pergi baru terjadi.[Dion di mana?]Terdengar, Pak Iding mnemberikan ponselnmya ke anak lelakinya. [Mama, dion belum ketemu dengan Kak Sherly. Tadi, kan mama suruh jaga Kak Sherly, jadi Dion berusaha mencari Kak Sherly sampai ketemu,]Ucapan polos Dion membuat Rima meneteskan air ma
[I--iya, Pak. Ada apa, ya! Saya ibunya,]Suara Rima bergetar, ketika menjawab pertanyaan orang yang ada di ujung telepon. Dia berpikir, anaknya itu membuat ulah dan berakhir dengan ditangkap polisi. Sang mertua yang melihat Rima panik, bertanya dengan isyarat dan dibalas dengan senyuman oleh sang menantu.[Kami minta, ibu datang ke rumah sakit Persahabatan Keluarga Depok. Lalu, ibu langsung saja ke lantai dua dan cari kamar mawar nomor 11,][Ada apa, ya, Pak dengan anak saya?"]tanya Rima sangat khawatir, pikirannya kini tidak bisa fokus. Karena tambahan informasi yang dia dengar.[Sebaiknya, ibu dan suami ibu datang saja ke sini. Penjelasan detail nanti akan kamiberikan.][Baik, Pak. Saya ke sana sekarang!]Rima mengakhiri panggilan telepon dan beranjak dari duduknya. Dengan tubuh gemetar, Rima ke kamarnya dan mengganti pakaian."Kamu mau kemana, Nak? Ada apa?" tanya sang mertua."Bu, aku harus ke rumah sakit!" jawab Rima buru-buru."Temanmu?" tambah sang mertua dan dibalas dengan
Rima melukai sedikit peni*s Dito, membuat remaja itu meringis kesakitan. "Baru tergores! Belum terpotong!" ancam RIma dan Dito hanya mengangguk. Rima kembali pergi, dengan membawa serta belati yang melukai Dito, sedangkan Dito memaki wanita yang tengah menyanderanya dengan kata-kata kasar. Remaja itu tidak menyangka, jika Rima bisa berbuat sejauh ini. Bahkan dirinya menjadi ciut berhadapan dengan ibu tiri dari remaja yang dia lece*hkan. "Brengsek!" teriaknya. Rima hanya tersenyum mendengar makian dari Dito, kemudian dia berjalan dengan cepat untuk keluar dari persembunyian. Kemudian dia membuka CCTV yang terhubung dengan laptopnya, menghidupkannya kembali dengan posisi semula, meski sedikit dimodifikasi. "Bu, sudah benarkan saya keluar dari sana?" tanya Bik Irah yang masih memegang alat pel. "Sempurna, Bik. Sekarang bibik masak aja, untuk sarapan kita," pinta Rima. "Besok saja membersihkannya, sehari enggak dibersihkan, enggak masalah." Rima menjawab sebelum Bik Irah bertanya, da
Pagi-pagi sekali, Rima keluar dari rumah. Menuju ke supermarket terdekat, mengambil beberapa cemilan, roti dan juga susu. Kemudian menuju kasir, untuk membayar semua yan sudah dibeli olehnya."Makasih, ya, Mbak!" ujarnya setelah sang kasir memasukkan semua belanjaan ke dalam kantong yang dibawa oleh Rima."Sudah semua, ya, bersama titipannya," balas sang kasir dengan lirih di ujung kata-katanya.Rima keluar dengan membawa kantong yang berisi penuh dengan semua aneka camilan, dan dia taahu, jika ada sepasang mata yang memperhatikannya dengan sangattajam, sembari berpura-pura memgang minuman."Kalian masih mengintaiku?" gumam Rima kesal.Ponsel Rima berbunyi, dan wanita itu langsung menerima panggilan dari ternyata dari Satria. Mantan kekasihnya itu menanyakan, apakah dirinya aman setelah menerima bingkisan darinya ataau tidak. Rima membaritahu Satria, jika dirinya aman dan sudah sampai di rumah.Semalam, Rima menanyakan tentang efek samping dari penggunaan obat itu pada Satria. Bagaima
"Bukan begitu, sayang. Aku_"Rima langsung memotong ucapan James dengan cepat."Sudahlah, Mas. Yang penting aku selalu jaga hati dan tubuhku hanya untuk kamu,"Rima langsung mengakhiri panggilan, dan meletakan ponselnya di atas meja. Mendengkus kesal, karena merasa tidak dihargai oleh suaminya sendiri."Bibik aja yang angkat!" ucap Rima malas. "Bilang saja, aku sedang tidak mau diganggu!" Rima menambahkan sedikit permintaan.Bik Irah mengangguk dan segera menerima panggilan dari James untuk kedua kalinya. Seperti dugaan Rima, Bik Irah bisa diandalkan. Rima meyakini, jika suaminya itu bertanya banyak hal pada Bik Irah. Terbukti jawaban dari wanita tua di sampingnya itu, yang kadang tersenyum dan terkadang terlihat khawatir."Siap, Pak!"Di akhir panggilannya, dan Bik Irah meletakkan ponsel Rima kembali di tempatnya semula."Apa aja yang ditanya Mas James, Bik?" Rima bertanya seperti menyelidik."Pak James hanya khawatir pada ibu, dan menanyakan apa ibu pernah pergi dalam waktu yang lam
Rima terlihat marah pada Satria, yang menyangkal tentang keterlibatan Sandi dalam kasus anak sambungnya. "Aku mendengar sendiri, jika dia menggauli Sherly dan mengatakan hal tidak senonoh padaku!" bantah Rima. "Tidak, yang aku tahu, dia tidak ikut dalam pencab*lan itu!" Satria masih kukuh pada ucapannya. "Dan kamu sudah tahu siapa saja yang melakukan hal bejad itu, kan?" tanya Satria kemudian. "Pergila, aku hanya meyakini apa yang memang terjadi dan kuketahui!" Rima pun tidak merubah keputusannya. "Jangan gegabah, nanti kamu salah sasaran!" ketus Satria. Lelaki itu, lalu berpamitan dan meninggalkan Rima yang masih yakin dengan apa yang akan direncanakannya. Sedangkan Satria menghela napas panjang, terlalu sulit untuk membuktikannya sekarang. Rima duduk di kursinya dan kembali menyesap teh lemon buatannya, Menatap jauh ke depan dengan pandangan kosong. "Bu, saya melihat diary milik non Sherly," bisik Bik Irah. Perhatian Rima teralihkan, meminta Bik Irah untuk mengambilnya. Wanit
Ayah Dito langsung memperintahkan anak buahnya untuk mengeledah seisi rumah dan melihat CCTV yang terpasang di rumah Rima. Sedangkan Rima dan Bik Irah duduk dengan santai di meja makan, bahkan Rima menyedu teh lemon hangat dan menyesapnya perlahan. Setengah jam mereka mencari dan berputar-putar dengan sangat teliti, tapi tidak menemukan apa yang mereka cari, dengan kesal ayah Dito mendekati Rima. Mengacungkan senjata dan mengancam wanita yang pura-pura lemah itu. "Cepat, katakan di mana anakku?" tanyanya dengan menekan ujung pist*lnya di pelipis Rima. Satria yang melihat itu tentu saja sangat geram, tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk saat ini, karena baju yang sedang dia kenakan. "Saya sudah mengijinkan bapak untuk mencari anak bapak di sini, dan apakah saya mengijinkan bapak untuk mengancam saya?" tanya Rima yang makin membuat emosi lelaki di depannya memuncak. "Kamu tidak tau siapa saya?" tanyanya dengan membentak Rima, dan matanya melotot sempurna. Sehingga memperlihatkan am
Rima langsung mengakhiri panggilan dan menatap remaja yang mulai sadar akan keberadaannya yang menyedihkan."Tante, Lepasin aku!" teriak Dito dan hanya ditangapi dengan senyum hina dari Rima.Dito terus memaki, ingin rasanya Rima membalasnya. Akan tetapi disadarkan oleh Bik Irah yang menanyakan tentang makanan yang dia bawa tadi.Rima berjalan ke meja, lalu mendekati Dito yang masih terus menhardiknya. Tatapan Rima, sebenarnya membuat nyali Dito sedikti ciut, tapi dia tidak mau kalah dari wanita yang dia anggap tidak ada apanya."Kamu butuh asupan untuk terus menghardikku, jika tidak kamu akan kelapan dan tidak ada yang bisa menolongmu. Bahkan harta orang tuamu yang sangat banyak itu! Ingat, kamu belum membuatku merasakan kenikmatan yang kamu tawarkan," ujar Rima dengan nada penuh penekanan.Dito diam, setelah mendengar penuturan Rima, mungkin dia berpikir, benar apa yang dikatakan Rima. Dirinya tidak akan bisa keluar dengan selamat, jika dirinya tidak memiliki tenaga.Rima meminta Bi
Rima meletakkan dompet Dito, dan menguyur tubuhnya berkali-kali. Sebenarnya dia tidak ingin melakukan hal yang menjijikkan, akan tetapi tuntutan dari pembalasan dendamnya, mengharuskan dirinya melakukan hal yang bertentangan dengan nuraninya.Sejenak Rima berpikir, dan satu ide muncul dalam benaknya dan ingin segera dia laksakan."Wooow, kamu cantik sekali," puji Dito, setelah Rima keluar dari kamar mandi.Rima tidak menyangka, remaja yang seusia Sherly sudah sangat mendewakan S*x. Seharusnya dia dan Sherly bisa menikmati masa-masa remaja yang menyenangkan."Tante, bisa ambilkan obat di saku depanku?" pinta Dito, yang masih tetap terikat dengan tubuh gemetaran.Dengan santai, Rima mengambil celana Dito yang tadi dia lepaskan dan dilempar jauh. kemudian mengambil sebuah plastik klip berukuran 7 x 10cm di dalam sakunya. Ketika melihatnya, Rima tau, obat apa yang dimaksud oleh Dito.Semua yang direncanakan Rima, berbeda dengan kenyataannya, tapi cukup membuat dirinya bersemangat. Dengan
Dengan susah payah, Rima dan pembantunya--Bik Irah, memindahkan Dito ke ruang rahasia yang ditemukan oleh Rima beberapa waktu lalu. "Bik, sebaiknya bibik pulang kampung saja. Jika terjadi sesuatu, bibik tidak akan terkena imbasnya," ujar Rima dengan menggenggam kedua tangan renta milik Bik Irah. "Sherly sudah seperti cucu bibik, dari dia lahir, besar, ditinggalkan ibunya, dan sekarang tertimpa kesialan gegara lelaki seperti ini, Bibik enggak akan biarkan mereka hidup dengan tenang." Dengan semangat dia menolak permintaan Rima. Rima menghembuskan napas kasar, dia tidak ingin orang lain mendapatkan masalah karena perbuatannya, tapi dirinya pun tidak bisa menjalankan sesuatunya seorang diri. "Kalau saja waktu itu bibik tidak melihat kemaluan yang ibu mut*lasi, maka bibik tidak akan pernah bisa membalaskan rasa sakit melihat orang yang disayang terluka!" tambah Bik Irah. Ya, waktu itu Rima pulang bersama Sherly dengan keadaan yang tidak pernah dia pikirkan. Rima terlihat tegar, setela
"Saat Mas James sudah mengucapkan ijab qobul, maka tanggung jawabku pun bertambah, termasuk membalas perlakuan mereka pada orang yang menyakiti anak-anak!" ujar Rima."Aku akan menungu kamu untuk di sisiku. Aku tidak rela kamu harus berkorban begitu banyak!" ujar Satria yang dibalas dengan senyuman sinis dari Rima.Satria tahu, Rima tidak akan mudah berpaling setelah menentukan apa yang dia mau. Jika pun berpaling, maka dia akan mempertimbangkan segala sesuatunya dengan sangat teliti. Seperti saat Rima menerima James dan menghilangkan kenangannya dengan Satria. lelaki bertubuh tegap itu hanya bisa mnegela napas, karena terlambat datang memenuhi janjinya. Saat ini, dia hanya ingin dekat dengan wanita yang dia jadikan belahan jiwa sejak dia berjanji pada Bu Halimah dulu.Rima sudah memastikan ikatan yang dibuatnya cukup kuat dan tidak mudah lepas, dia menatap remaja yang sangaqt angkuh diusianya saat ini. Tentu semuanya karena ajaran yang diberikan oleh kedua orang tuanya, dan juga cont