Ansel membawa Mona ke dalam pelukannya. Dia juga mengusap-usap punggung istrinya itu untuk memberikan ketenangan. "Kamu tidak usah khawatir, Sayang. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka mengusik hidup kita lagi!" Mata Ansel berkilat penuh tekad. Dia harus segera melayangkan sebuah peringatan keras pada orang itu. Jika tidak, seterusnya pasti Mona akan menjadi sasaran orang-orang itu dan tentu hal tersebut akan sangat menggangu istrinya. "Bagaimana kalau mereka ingin menyingkirkan aku juga?" Mona melepaskan pelukan Ansel dan bertanya dengan wajah yang sudah sembab karena menangis. Segera saja Ansel menggeleng untuk memberikan jawaban pada pertanyaan istrinya itu. "Kamu tidak perlu memikirkan apapun. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka menyentuhmu! Tidak selama aku masih hidup!" Mona merasa sangat terharu ketika mendengar perkataan Ansel. Hatinya yang semula gelisah dan juga gundah langsung merasa aman. Mungkin karena dia sangat mempercayai Ansel. Setelah menenangkan Mona,
Mona bertanya-tanya tentang berita yang dilihatnya pagi ini. Walaupun sudah beberapa jam berlalu, tapi semua masalah ini masih menjadi buah pikiran untuknya. Mona berjalan keluar kamar untuk menuju ke lantai bawah. Dia melewatkan ruang kerja Ansel dan memperhatikan keadaan sekitar. Hanya ada beberapa orang pelayan yang sedang mengerjakan tugas mereka masing-masing. Dan Mona merasa segan untuk sekadar bertanya. Tapi karena perasaan Mona yang semakin buruk, dia lalu berjalan menghampiri ruang kerja Ansel. Setelah sarapan pagi tadi, suaminya itu berada di sana bersama dengan Richard. Memang Ansel selama beberapa hari terakhir selalu bekerja di rumah. Dan itu semua karena kondisi Mona yang sudah mendekati hari melahirkan. Jadi Ansel tidak ingin meninggalkan Mona untuk pergi jauh-jauh. Mona mengetuk pintu beberapa kali. Setelah mendengar suara langkah mendekat, dia diam menunggu orang yang berjalan untuk membukakan pintu. Richard sedikit terkejut saat melihat Mona yang tengah berdiri
Di Bandara Internasional Kota A, sebuah pesawat milik kemiliteran yang di jaga oleh pesawat tempur baru saja mendarat. Bandara sudah ditutup sejak pagi untuk menyambut kedatangan orang super penting yang ada di pesawat tersebut. Di pintu masuk, ada banyak pria dengan tubuh tegap dan jas yang rapi sesekali mengecek jam di pergelangan tangan mereka. Setelah sekian lama, orang yang mereka tunggu-tunggu itu muncul. “Jenderal!!” Mereka semua yang ada di sana memberikan hormat pada sosok Jenderal tersebut, seorang pria yang usianya masih terbilang muda. Dialah Ansel. Ansel yang kini tampak gagah dan memesona, sangat berbeda dengan keadaannya yang nahas lima tahun lalu. Dulu, Ansel hanyalah seorang pecundang yang dihina dan juga diolok-olok oleh seluruh orang di Ibu Kota. Itu semua karena status sosial Ansel yang langsung merosot jatuh setelah ayahnya meninggal sebab terkena serangan jantung. Perusahaan milik ayah Ansel mengalami kebangkrutan karena ada sabotase dari pamannya sendir
“Iya, tapi tenang saja. Sebentar lagi mereka akan cerai, kok!” jawab ibu Mona, Lidia, dengan nada penuh kepuasan. Senyumnya menyiratkan kebencian yang terpendam. Ansel, yang sedang duduk di ruang tamu, langsung mengangkat sebelah alisnya. Perkataannya terngiang di telinganya, membuat darahnya mendidih. Apa maksud Lidia dengan bercerai? Ia menatap istrinya, Mona, yang hanya terdiam, matanya tak berani menatapnya kembali. Ansel merasa ada sesuatu yang disembunyikan darinya. “Siapa yang akan cerai, Ma?” tanyanya, berusaha menahan emosi yang berkecamuk di dalam dadanya. Lidia, tanpa segan, menatap Ansel dengan pandangan penuh kebencian, seolah ingin menusuknya. “Siapa lagi kalau bukan kamu dan Mona? Belagak bego kamu, ya! Ngapain sih kamu pulang? Harusnya kamu nggak usah pulang! Terus saja di medan perang sana! Kalau perlu mati sekalian!” cercanya dengan nada penuh kemarahan, suaranya menggema di ruangan. Ansel terhenyak, perasaan kecewa bercampur marah menyelimuti dirinya. Dia tahu ba
BUK! Riko terpental ke belakang, wajahnya penuh darah. Pukulan keras dari Ansel mengenai tepat sasaran, membuat hidung Riko patah dan mengeluarkan darah segar. “ANSEL!!” Mona dan Lidia menjerit panik melihat apa yang dilakukan Ansel. Di sudut ruangan, Defi menutup mulutnya, tak percaya pria yang selama ini dianggap rendah bisa bertindak seberani ini. Nasib perusahaan Keluarga Hartono kini benar-benar di ujung tanduk. Riko, berusaha bangkit, menatap Ansel dengan penuh kebencian. “Berani-beraninya kamu memukulku dengan tangan kotormu itu!” bentaknya, sambil menahan darah yang terus mengalir dari hidungnya. Ansel, dengan sorot mata dingin, menatap balik. “Kenapa aku harus takut pada orang seperti dirimu?” balasnya dengan suara yang tak bergetar sedikit pun, seolah Riko tak lebih dari seekor lalat baginya. Mona, panik, segera mengambil tisu dan memberikannya kepada Riko. “Pak Riko, maafkan suami saya. Dia tak seharusnya melakukan ini,” katanya, mencoba menenangkan situasi. A
qAnsel menatap layar ponselnya dengan serius saat panggilan masuk. Suaranya tenang saat diangkat. "Halo?" katanya. "Ada apa, Tuan Salim?" Tuan Salim, seorang tokoh berpengaruh yang pernah menyelamatkannya dari kehancuran, adalah pamannya yang baru dia kenal setelah bertahun-tahun. Dulu, Ansel hampir mati kelaparan di hutan setelah pemakaman ibunya. Namun, Tuan Salim melihat potensi besar dalam dirinya dan membawanya masuk ke dunia militer. “Aku ingin membicarakan sesuatu penting denganmu. Apakah kamu di rumah bersama istrimu?” Tanya Tuan Salim, suaranya tenang tetapi penuh makna. “Ya, ada masalah apa?” Ansel bertanya dengan hormat. Dia selalu menghormati Tuan Salim, seorang pria yang telah memberinya kesempatan kedua. Setelah bertahun-tahun tidak tahu, Ansel akhirnya mengetahui bahwa Tuan Salim adalah kakak dari ibunya yang telah lama pergi meninggalkan keluarga untuk menikahi ayahnya. Ini adalah rahasia keluarga yang selama ini disembunyikan oleh ibunya. “Seseorang akan data
Di Shycon Group, saat ini Mona sedang merasakan pening yang luar biasa. Kalau bukan karena Ansel, dia sudah mendapatkan dana untuk perusahaannya dari Riko saat ini. Saat hampir waktu pulang kerja, Defi, sang sekretaris Mona masuk kedalam ruangannya. Dia kemudian meletakkan sebuah amplop diatas meja Mona. “Apa ini?” tanya Mona. Keningnya berkerut membuka amplop tersebut. “Surat ini dikirimkan oleh seseorang bernama Wina. Katanya, bossnya meminta dia untuk memberikannya kepada Anda,” jawab Defi. “Bossnya?” Mona mengerutkan kening. Siapa orang yang mengirimkan surat ini? Perusahaannya saat ini sedang bermasalah, jadi tidak mungkin ada perusahaan yang mau bekerja sama dengannya. “Oke, kamu boleh keluar!” Setelah Defi keluar, Mona segera membuka surat itu. Dan matanya melihat ada sebuah cek, membuat jantungnya berdebar keras tak karuan. 3 miliar! Tulisan di atas cek itu adalah 3 miliar! Mona sangat terkejut, tapi dengan cek ini, dia bisa menyelesaikan masalah perusahaannya
“Rio! Apa maksudmu?!” teriak Mona marah. “Tidak mungkin kamu tidak mengerti dengan apa—“ Belum sempat Rio melanjutkan perkataannya, sebuah tamparan yang sangat keras melayang ke pipinya. “Kurang ajar! Beraninya kamu menamparku!!” teriak Rio marah memegang wajahnya, dia menatap Ansel tak percaya, karena tak menyangka pria yang dia anggap sampah itu berani menamparnya. Ansel acuh, dia bahkan mengangkat lengannya lagi, dan melayangkan pukalan untuk yang kedua kalinya. Rio berteriak kesakitan, melayangkan tangannya kepada Ansel. Tapi Ansel menahannya dan malah memelintir tangan Rio, hingga pekikan kesakitan semakin menggema keras. Rio berteriak kepada penjaga. “Apa yang kalian lihat! Cepat bantu aku! Hajar sampah ini!” Ansel kemudian menoleh kearah penjaga itu, menatap keduanya dengan tajam. Tubuh mereka bergetar ketakutan saat melihat tatapan Ansel, hingga terjatuh ke lantai. Mona terdiam melihat apa yang dilakukan oleh suaminya. Perasaan hangat muncul di hatinya. Kemudi
Mona bertanya-tanya tentang berita yang dilihatnya pagi ini. Walaupun sudah beberapa jam berlalu, tapi semua masalah ini masih menjadi buah pikiran untuknya. Mona berjalan keluar kamar untuk menuju ke lantai bawah. Dia melewatkan ruang kerja Ansel dan memperhatikan keadaan sekitar. Hanya ada beberapa orang pelayan yang sedang mengerjakan tugas mereka masing-masing. Dan Mona merasa segan untuk sekadar bertanya. Tapi karena perasaan Mona yang semakin buruk, dia lalu berjalan menghampiri ruang kerja Ansel. Setelah sarapan pagi tadi, suaminya itu berada di sana bersama dengan Richard. Memang Ansel selama beberapa hari terakhir selalu bekerja di rumah. Dan itu semua karena kondisi Mona yang sudah mendekati hari melahirkan. Jadi Ansel tidak ingin meninggalkan Mona untuk pergi jauh-jauh. Mona mengetuk pintu beberapa kali. Setelah mendengar suara langkah mendekat, dia diam menunggu orang yang berjalan untuk membukakan pintu. Richard sedikit terkejut saat melihat Mona yang tengah berdiri
Ansel membawa Mona ke dalam pelukannya. Dia juga mengusap-usap punggung istrinya itu untuk memberikan ketenangan. "Kamu tidak usah khawatir, Sayang. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka mengusik hidup kita lagi!" Mata Ansel berkilat penuh tekad. Dia harus segera melayangkan sebuah peringatan keras pada orang itu. Jika tidak, seterusnya pasti Mona akan menjadi sasaran orang-orang itu dan tentu hal tersebut akan sangat menggangu istrinya. "Bagaimana kalau mereka ingin menyingkirkan aku juga?" Mona melepaskan pelukan Ansel dan bertanya dengan wajah yang sudah sembab karena menangis. Segera saja Ansel menggeleng untuk memberikan jawaban pada pertanyaan istrinya itu. "Kamu tidak perlu memikirkan apapun. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka menyentuhmu! Tidak selama aku masih hidup!" Mona merasa sangat terharu ketika mendengar perkataan Ansel. Hatinya yang semula gelisah dan juga gundah langsung merasa aman. Mungkin karena dia sangat mempercayai Ansel. Setelah menenangkan Mona,
Setelah selesai menemani Mona makan, Ansel bergegas membawa istrinya itu untuk pulang. Mereka tak lanjut berbelanja karena Mona yang sudah lelah. Lagipula, Ansel tahu kalau istrinya itu sudah kehilangan minat."Sedih karena tidak jadi belanja?" Ansel bertanya pada Mona. Saat ini mereka sudah berada di dalam kamar. Dan istrinya itu sedang bersandar duduk di sofa.Dengan segera Mona menggelengkan kepalanya, lalu tersenyum lemah."Hanya sedikit menyayangkan waktu kita yang sudah terbuang sebelumnya. Memang lebih baik kalau aku mendengarkanmu!"Ansel mengusap pelan rambut Mona yang terurai. Dia juga memberikan senyuman yang menenangkan untuk istrinya tersebut."Mau belanja online saja? Atau aku menyuruh pelayan toko untuk membawa semua barang ke rumah, agar kamu bisa memilihnya?"Ansel sangat santai saat mengatakannya. Tak ada keraguan sedikitpun saat dia menyampaikan apa yang dia pikirkan untuk solusi ini. Dan tentu saja perkataan Ansel langsung mendapat gelengan kepala dari Mona."Tidak
Ponsel mahal yang berharga belasan juta itu langsung jatuh menghantam lantai dengan sangat keras. Bahkan layarnya sampai pecah dan kini ponsel tersebut mati total. Ansel diam menikmati reaksi wanita itu. Sedikit pelajaran padanya sudah cukup. Tapi yang sebenarnya terjadi, hal yang Ansel sebut sebagai sedikit itu nyatanya sangat besar bagi orang lain. Tidak hanya membuat para investor menarik dana dari proyek yang sudah dibicarakan sebelumnya, Ansel juga memasukkan perusahaan keluarga Sudrawan ke daftar hitam perusahaannya."Ba-bagaimana mungkin?" Wanita paruh baya itu bertanya dengan nada bingung dan penuh keraguan. Tubuhnya terasa limbung dan hampir saja ia terjatuh, kalau saja anaknya yang tengah hamil tak menangkapnya segera. "Ada apa, Ma?" Si perempuan hamil bertanya penasaran saat melihat wajah ibunya yang tampak sangat pucat. "Terjadi sesuatu! Pasti terjadi kekeliruan!" Saat si wanita paruh baya berteriak karena keterkejutannya, ponsel anaknya berdering. Dan itu adalah pang
Wanita paruh baya itu mundur beberapa langkah saat mendengar perkataan Ansel. Dalam benaknya, kini berputar-putar perkataan Ansel tentang mall ini."Mall ini milikmu?" Wanita paruh baya itu bertanya setelah berhasil mengendalikan diri dari keterkejutannya. Wanita hamil yang datang bersamanya memegangi lengan ibunya itu."Ma ... ayo kita pergi saja!" Si wanita hamil berusaha untuk membawa ibunya pergi dari sana. Dari pengamatannya, dia sedikit percaya dengan apa yang Ansel katakan tadi. Sebab para pegawai toko ini tampak sangat takut terhadap Ansel.Tapi bukannya menuruti perkataan anaknya, si wanita paruh baya itu malah menghempaskan tangan anaknya yang tengah hamil itu."Kamu jangan ikut-ikutan bodoh seperti mereka! Ingat, kita ini adalah keluarga Sudrawan yang terkaya nomor dua di kota ini! Dan mereka ..." Si wanita paruh baya menunjuk ke arah Ansel dan juga Mona. "Mereka itu hanya cucu menantu keluarga Hartono yang sudah bangkrut!"Ansel menghela napas saat melihat wanita keras ke
"Apa maksudnya? Kamu itu cuma menantu keluarga Hartono yang sudah bangkrut! Bahkan hanya seonggok sampah saja, tapi berani mengancamku?"Wanita paruh baya itu menantang Ansel dengan mata yang nyalang. Dia berlagak seperti tak kenal takut meskipun sebenarnya kakinya kini tengah gemetar karena ditatap seperti sebuah mangsa oleh Ansel. Sedangkan perempuan hamil yang bersama dengan wanita wanita paruh baya itu mencengkram lengan ibunya dengan kuat. Dia merasa takut, bahkan untuk sekadar menantang tatapan Ansel. Dan Mona... dia hanya diam melihat suaminya bertindak. Perasaan hangat yang muncul karena perlindungan suaminya, membuat perasaan Mona bertambah kuat setiap harinya. Dia benar-benar sudah jatuh dalam pesona Ansel yang tak terbantahkan."Tante, minta maaf pada istriku sekarang, atau kau benar-benar akan menyesali ini nanti?" Ansel menggandeng tangan Mona dengan jemarinya yang besar. Lengannya yang kokoh dan kuat menjadi tiang untuk Mona agar bisa berdiri dengan baik. Kakinya teras
Ansel dan juga Mona menoleh ke arah asal suara. Seorang wanita paruh baya bersama dengan seorang perempuan hamil, tengah berdiri menatap mereka dengan pandangan meremehkan.Mona tahu siapa wanita itu. Dia ingat, kalau wanita tersebut adalah anggota keluarga kelas tiga yang berada dibawah level keluarga Hartono.Karena suasana hati Mona sedang baik saat ini, jadi dia mengabaikan wanita tersebut, dan lanjut memilih pakaian bayinya. Dia memilih pakaian bayi laki-laki, sebab dari hasil USG yang sudah dilakukan berkali-kali, bayi yang Mona kandung berjenis kelamin laki-laki.Merasa kesal karena diabaikan, wanita paruh baya itu merebut baju bayi yang Mona pilih. Dengan pandangan mata tajam, wanita itu menghina Mona lewat tatapannya."Keluarga Hartono sudah bangkrut, kamu yakin bisa membeli pakaian bayi di toko besar ini? Bukannya suamimu itu hanya seorang tentara yang sudah dipecat?" Wanita itu kini menoleh ke arah Ansel yang berdiri di samping istrinya. Tapi ketika melihat raut wajah Anse
Ansel berusaha keras untuk melakukan yang terbaik. Dia mengurus perusahaan dengan baik, juga menemani paman Salim untuk berobat ke dokter.Rapat yang membahas tentang kepemimpinan Ansel juga sudah dilakukan. Para direksi perusahaan juga setuju untuk mengangkat Ansel menjadi pemimpin selanjutnya. Tentunya karena pengaruh Salim juga.Dan untuk merayakan hal itu, sebuah pesta yang lumayan tertutup dilakukan. Semua orang datang untuk berbagi kebahagiaan. Dan Ansel memimpin pesta itu dengan baik. Dia juga mengurusi orang-orang yang datang kesana, dan memastikan kalau mereka tidak akan membocorkan informasi tentang identitasnya.Setelah menyelesaikan rangkaian pesta yang terakhir, disinilah Ansel sekarang. Berada di kamar bersama dengan Mona."Istirahatlah, kamu pasti lelah!" Ansel membantu membuka resleting gaun Mona yang dirancang khusus untuknya. Istrinya itu terlihat lelah, tapi walaupun begitu senyuman terbaik masih terpantri jelas di wajahnya.Mona tak menjawab perkataan Ansel, dia
Ansel pulang ke rumah setelah selesai dengan semua urusan pemakaman Danu. Mona menyambutnya dengan membawakan secangkir teh."Terima kasih," ujar Ansel, sembari menerima cangkir teh tersebut. Dia juga bergeser untuk memberikan tempat pada Mona. Mona mengangguk kecil dan diam memperhatikan raut wajah suaminya. Dia tahu kalau sekarang Ansel sedang banyak pikiran. Mona penasaran dan ingin bertanya, tapi dia memilih diam dan membiarkan Ansel merasa lebih nyaman dulu."Kamu melihat beritanya di televisi?" Ansel membuka suara saat perasaannya terasa lebih baik. Dia meletakkan cangkir teh pemberian Mona ke atas meja.Mona mengangguk menjawab pertanyaan Ansel. Dia memang melihat berita tentang kematian Danu di televisi. Bahkan nama Danu juga trending di media sosial."Semua orang menyumpahinya, bahkan setelah kematiannya. Aku tidak tahu, harus bersedih atau bahagia." Ansel menunduk menggenang saat-saat bersama dengan orangtuanya. Bagaimana dia tertawa bahagia saat membahas hal-hal random be