Setelah selesai menemani Mona makan, Ansel bergegas membawa istrinya itu untuk pulang. Mereka tak lanjut berbelanja karena Mona yang sudah lelah. Lagipula, Ansel tahu kalau istrinya itu sudah kehilangan minat."Sedih karena tidak jadi belanja?" Ansel bertanya pada Mona. Saat ini mereka sudah berada di dalam kamar. Dan istrinya itu sedang bersandar duduk di sofa.Dengan segera Mona menggelengkan kepalanya, lalu tersenyum lemah."Hanya sedikit menyayangkan waktu kita yang sudah terbuang sebelumnya. Memang lebih baik kalau aku mendengarkanmu!"Ansel mengusap pelan rambut Mona yang terurai. Dia juga memberikan senyuman yang menenangkan untuk istrinya tersebut."Mau belanja online saja? Atau aku menyuruh pelayan toko untuk membawa semua barang ke rumah, agar kamu bisa memilihnya?"Ansel sangat santai saat mengatakannya. Tak ada keraguan sedikitpun saat dia menyampaikan apa yang dia pikirkan untuk solusi ini. Dan tentu saja perkataan Ansel langsung mendapat gelengan kepala dari Mona."Tidak
Ansel membawa Mona ke dalam pelukannya. Dia juga mengusap-usap punggung istrinya itu untuk memberikan ketenangan. "Kamu tidak usah khawatir, Sayang. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka mengusik hidup kita lagi!" Mata Ansel berkilat penuh tekad. Dia harus segera melayangkan sebuah peringatan keras pada orang itu. Jika tidak, seterusnya pasti Mona akan menjadi sasaran orang-orang itu dan tentu hal tersebut akan sangat menggangu istrinya. "Bagaimana kalau mereka ingin menyingkirkan aku juga?" Mona melepaskan pelukan Ansel dan bertanya dengan wajah yang sudah sembab karena menangis. Segera saja Ansel menggeleng untuk memberikan jawaban pada pertanyaan istrinya itu. "Kamu tidak perlu memikirkan apapun. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka menyentuhmu! Tidak selama aku masih hidup!" Mona merasa sangat terharu ketika mendengar perkataan Ansel. Hatinya yang semula gelisah dan juga gundah langsung merasa aman. Mungkin karena dia sangat mempercayai Ansel. Setelah menenangkan Mona,
Mona bertanya-tanya tentang berita yang dilihatnya pagi ini. Walaupun sudah beberapa jam berlalu, tapi semua masalah ini masih menjadi buah pikiran untuknya. Mona berjalan keluar kamar untuk menuju ke lantai bawah. Dia melewatkan ruang kerja Ansel dan memperhatikan keadaan sekitar. Hanya ada beberapa orang pelayan yang sedang mengerjakan tugas mereka masing-masing. Dan Mona merasa segan untuk sekadar bertanya. Tapi karena perasaan Mona yang semakin buruk, dia lalu berjalan menghampiri ruang kerja Ansel. Setelah sarapan pagi tadi, suaminya itu berada di sana bersama dengan Richard. Memang Ansel selama beberapa hari terakhir selalu bekerja di rumah. Dan itu semua karena kondisi Mona yang sudah mendekati hari melahirkan. Jadi Ansel tidak ingin meninggalkan Mona untuk pergi jauh-jauh. Mona mengetuk pintu beberapa kali. Setelah mendengar suara langkah mendekat, dia diam menunggu orang yang berjalan untuk membukakan pintu. Richard sedikit terkejut saat melihat Mona yang tengah berdiri
Di Bandara Internasional Kota A, sebuah pesawat milik kemiliteran yang di jaga oleh pesawat tempur baru saja mendarat. Bandara sudah ditutup sejak pagi untuk menyambut kedatangan orang super penting yang ada di pesawat tersebut. Di pintu masuk, ada banyak pria dengan tubuh tegap dan jas yang rapi sesekali mengecek jam di pergelangan tangan mereka. Setelah sekian lama, orang yang mereka tunggu-tunggu itu muncul. “Jenderal!!” Mereka semua yang ada di sana memberikan hormat pada sosok Jenderal tersebut, seorang pria yang usianya masih terbilang muda. Dialah Ansel. Ansel yang kini tampak gagah dan memesona, sangat berbeda dengan keadaannya yang nahas lima tahun lalu. Dulu, Ansel hanyalah seorang pecundang yang dihina dan juga diolok-olok oleh seluruh orang di Ibu Kota. Itu semua karena status sosial Ansel yang langsung merosot jatuh setelah ayahnya meninggal sebab terkena serangan jantung. Perusahaan milik ayah Ansel mengalami kebangkrutan karena ada sabotase dari pamannya sendir
“Iya, tapi tenang saja. Sebentar lagi mereka akan cerai, kok!” jawab ibu Mona, Lidia, dengan nada penuh kepuasan. Senyumnya menyiratkan kebencian yang terpendam. Ansel, yang sedang duduk di ruang tamu, langsung mengangkat sebelah alisnya. Perkataannya terngiang di telinganya, membuat darahnya mendidih. Apa maksud Lidia dengan bercerai? Ia menatap istrinya, Mona, yang hanya terdiam, matanya tak berani menatapnya kembali. Ansel merasa ada sesuatu yang disembunyikan darinya. “Siapa yang akan cerai, Ma?” tanyanya, berusaha menahan emosi yang berkecamuk di dalam dadanya. Lidia, tanpa segan, menatap Ansel dengan pandangan penuh kebencian, seolah ingin menusuknya. “Siapa lagi kalau bukan kamu dan Mona? Belagak bego kamu, ya! Ngapain sih kamu pulang? Harusnya kamu nggak usah pulang! Terus saja di medan perang sana! Kalau perlu mati sekalian!” cercanya dengan nada penuh kemarahan, suaranya menggema di ruangan. Ansel terhenyak, perasaan kecewa bercampur marah menyelimuti dirinya. Dia tahu ba
BUK! Riko terpental ke belakang, wajahnya penuh darah. Pukulan keras dari Ansel mengenai tepat sasaran, membuat hidung Riko patah dan mengeluarkan darah segar. “ANSEL!!” Mona dan Lidia menjerit panik melihat apa yang dilakukan Ansel. Di sudut ruangan, Defi menutup mulutnya, tak percaya pria yang selama ini dianggap rendah bisa bertindak seberani ini. Nasib perusahaan Keluarga Hartono kini benar-benar di ujung tanduk. Riko, berusaha bangkit, menatap Ansel dengan penuh kebencian. “Berani-beraninya kamu memukulku dengan tangan kotormu itu!” bentaknya, sambil menahan darah yang terus mengalir dari hidungnya. Ansel, dengan sorot mata dingin, menatap balik. “Kenapa aku harus takut pada orang seperti dirimu?” balasnya dengan suara yang tak bergetar sedikit pun, seolah Riko tak lebih dari seekor lalat baginya. Mona, panik, segera mengambil tisu dan memberikannya kepada Riko. “Pak Riko, maafkan suami saya. Dia tak seharusnya melakukan ini,” katanya, mencoba menenangkan situasi. A
qAnsel menatap layar ponselnya dengan serius saat panggilan masuk. Suaranya tenang saat diangkat. "Halo?" katanya. "Ada apa, Tuan Salim?" Tuan Salim, seorang tokoh berpengaruh yang pernah menyelamatkannya dari kehancuran, adalah pamannya yang baru dia kenal setelah bertahun-tahun. Dulu, Ansel hampir mati kelaparan di hutan setelah pemakaman ibunya. Namun, Tuan Salim melihat potensi besar dalam dirinya dan membawanya masuk ke dunia militer. “Aku ingin membicarakan sesuatu penting denganmu. Apakah kamu di rumah bersama istrimu?” Tanya Tuan Salim, suaranya tenang tetapi penuh makna. “Ya, ada masalah apa?” Ansel bertanya dengan hormat. Dia selalu menghormati Tuan Salim, seorang pria yang telah memberinya kesempatan kedua. Setelah bertahun-tahun tidak tahu, Ansel akhirnya mengetahui bahwa Tuan Salim adalah kakak dari ibunya yang telah lama pergi meninggalkan keluarga untuk menikahi ayahnya. Ini adalah rahasia keluarga yang selama ini disembunyikan oleh ibunya. “Seseorang akan data
Di Shycon Group, saat ini Mona sedang merasakan pening yang luar biasa. Kalau bukan karena Ansel, dia sudah mendapatkan dana untuk perusahaannya dari Riko saat ini. Saat hampir waktu pulang kerja, Defi, sang sekretaris Mona masuk kedalam ruangannya. Dia kemudian meletakkan sebuah amplop diatas meja Mona. “Apa ini?” tanya Mona. Keningnya berkerut membuka amplop tersebut. “Surat ini dikirimkan oleh seseorang bernama Wina. Katanya, bossnya meminta dia untuk memberikannya kepada Anda,” jawab Defi. “Bossnya?” Mona mengerutkan kening. Siapa orang yang mengirimkan surat ini? Perusahaannya saat ini sedang bermasalah, jadi tidak mungkin ada perusahaan yang mau bekerja sama dengannya. “Oke, kamu boleh keluar!” Setelah Defi keluar, Mona segera membuka surat itu. Dan matanya melihat ada sebuah cek, membuat jantungnya berdebar keras tak karuan. 3 miliar! Tulisan di atas cek itu adalah 3 miliar! Mona sangat terkejut, tapi dengan cek ini, dia bisa menyelesaikan masalah perusahaannya