Share

78. Rahasia Alisya

Penulis: WealthyPetty
last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-29 18:00:04

“Nenek berhubungan dengan orang jahat.”

Kertas kusut di tangannya terasa lebih berat dari bongkahan besi. Kedua tangan Ben bergetar menahan beban mental yang tulisan di kertas itu berikan kepadanya, tetapi ia menolak untuk berhenti membaca. Setiap kata yang tergores merupakan curahan hati dari mendiang anak tunggalnya. Ia ingin memindahnya semuanya ke dalam kepala dan menyimpannya rapat-rapat.

“Aku sungguh tidak tahu harus apa.” Tulisan Alisya terlihat begitu berantakan, dengan jejak tinta mengotori halaman kertas putih. Setiap goresan di hurufnya tidak terlihat lurus dan tegas, melainkan penuh lekukan yang menunjukkan betapa bergetar jemari sang penulis saat menuliskannya. Bahkan beberapa kata tertulis dengan begitu tipis hingga sulit dibaca. “Preman itu … dia pasti juga mengancam Nenek, sama seperti Nenek mengancamku. Nene

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   79. Sesama Lelaki Gagal

    “Bukan dia, aku benar-benar yakin. Meskipun aku menutup mata terhadap apa pun yang dilakukan istriku selama ini, aku masih dapat mengingat siapa saja yang pernah berurusan dengannya. Salah satu kelemahan Elina adalah selalu menyimpan data para pegawainya di sembarang tempat tanpa waspada.” Pram terus menunduk selama berbicara. “Aku bahkan pernah melihat wajah Tony dan mengingatnya sampai sekarang. Aku yakin tidak pernah ada foto gadis ini di daftar Elina.”Ben hampir merasa bersalah saat ia mendapati dirinya menghela napas lega. Kedua tangannya yang mengambil kembali foto Ashana dari tangan Pram juga menunjukkan rasa takut yang sempat meliputi dirinya. Apa ia benar-benar sempat mengira bahwa orang yang dibayar Elina untuk meneror keluarganya adalah Ashana? Ashana yang selama ini telah memberikan banyak bantuan kepadanya secara cuma-cuma. Ashana yang tidak pernah meninggalkannya bahk

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-30
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   80. Siaran Berita Dramatis

    Korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, eksploitasi pegawai, penggelapan uang, pemalsuan dokumen, bisnis ilegal, dan percobaan pembunuhan. Tuntutan yang dikenakan kepada Elina seakan-akan tidak berujung. Tulisan yang berjalan cepat di bagian bawah layar televisi terus mengulang-ulang berita tentang wanita itu. Sebab hampir seluruh negeri terguncang oleh kenyataan bahwa ada seorang perempuan tua yang mampu melakukan semua kejahatan itu dalam waktu yang lama tanpa terdeteksi oleh pihak kepolisian.Sumber amarah masyarakat pun terbagi, bukan hanya kepada Elina tetapi juga kepada pihak berwajib yang dinilai lalai. Bukan hanya satu atau dua kali, melainkan sangat sering hingga hampir tidak ditemukan kasus yang berhasil dipecahkan dan diselesaikan sendiri oleh polisi di kota Patah dan sekitarnya. Setidaknya, begitulah yang disampaikan oleh penyiar di televisi.Ben menelan

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-31
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   81. Memanfaatkan Kedudukan

    Tidak pernah satu kali pun Ben membayangkan bahwa akan ada saat di mana kedua sudut bibirnya menahan tawa di depan seorang polisi. Saking menggelikannya situasi saat ini, berkali-kali Ben harus menggigit bagian dalam pipinya sendiri untuk mempertahankan ekspresi datar. Beberapa pegawai tampak mulai menyadari tingkah lakunya yang aneh sehingga beberapa kali melirik, sementara Kepala Polisi yang menjadi pusat perhatian utama terus saja berbicara dengan percaya diri.“Berita seperti ini pasti akan diminati banyak orang. Rating akan naik pesat dan kalian bisa untung besar,” ucap pria dengan seragam kebangaan itu. Tubuhnya duduk dengan sangat tegap, seolah-olah ada sebatang kayu panjang yang menyangga tulang belakangnya. Wajahnya sedikit menengadah, sehingga ia tampak seperti sedang memandang rendah orang-orang di

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-01
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   82. Beban Baru

    “Apa yang kamu lakukan? Cepat kemasi barang-barangmu!” Sifat kebapakan Sander langsung terlihat jelas begitu melihat Denver masih saja berleha-leha di atas ranjang Rumah Sakit. Remaja itu kini tidak lagi mengenakan seragam rawat inap. Penampilannya kembali berantakan seperti biasa dengan kaus belel serta celana jin robek-robek. Posisinya yang terus tengkurap dengan menimbun wajah ke bantal membuat Sander semakin meradang melihatnya. “Senang, ya? Kau tak mau pulang?”“Mana mungkin ada yang tidak senang jika tidur di tempat nyaman, dapat makanan gratis, dan dijaga serta dilayani 24 jam?” Sera berdiri di dekat pintu ruang rawat. Kedua matanya masih menatap tajam, sama seperti saat ia baru diselamatkan bersama Denver beberapa hari lalu.“Begitu, ya.” Sander mendecakkan lidah. “Mungkin aku harus bilang ke B

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-03
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   83. Jangan Berharap Kepadaku

    Ben turun dari mobil dengan gaya yang menurutnya biasa tetapi memesona. Warna mobilnya yang kali ini berwarna merah terang membuat penampilannya yang serba hitam terlihat jauh lebih mencolok. Sepatu bot abu muda yang kasual nan modis, celana cargo hitam, serta kaus berwarna serupa menekankan bentuk tubuhnya yang ideal. Mata sipit dan memukau miliknya tersembunyi di balik kaca mata hitam. Ben sungguh terlihat seperti pria matang idaman semua wanita, tetapi tempat tujuannya saat ini sama sekali tidak cocok dengan penampilannya. “Yeaay! Itu Ben!” Seorang anak perempuan yang tingginya hanya mencapai pinggang Ben berseru. Dua kaki mungil anak itu berlari menghampiri Ben, diikuti oleh banyak pasang kaki mungil lainnya hingga suara derap langkah mereka menggema. Ben membuka kaca matanya dan berusaha memasang ekspresi seramah mungkin. Ia membungkukkan badan dan menepuk puncak kepala sang gadis kecil. “Lihat, kan? Aku memenuhi janjiku.” “Iya!” jawab sang gadis kecil dengan riang. Senyumny

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-04
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   84. Banyak Uang dan Waktu Luang

    “Kenapa kamu diam begitu? Apa kamu tidak gemas melihatnya?” tanya Mayang sambil sedikit mengangkat bayi di tangannya. Memperlihatkan wajah bayi laki-laki yang tengah tidur nyenyak di pelukannya. “Aku tahu ini tidak patut dirayakan, tapi aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Anak ini sungguh menggemaskan.”Ucapan Mayang hampir tidak terdengar oleh Ben yang masih berdiri di dekat pintu masuk. Nina telah lama meninggalkannya untuk bermain bersama teman-temannya. Suasana begitu ramai oleh sorakan kegembiraan di sana-sini, tetapi wajah Ben justru terlihat semakin kusut seiring pikirannya memutar kembali kenangan yang sudah lama ia kubur.Suara tangisan Thalia yang familier, serta bahu wanita itu yang terus bergetar di dalam pelukannya, ternyata Ben masih mengingat semuanya seakan-akan semuanya baru terjadi kemarin. Kesedihan yang ia rasakan

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-05
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   85. Perpisahan

    Ashana menarik napas panjang untuk yang kesepuluh kali hari ini. Atau yang kesebelas? Hitungannya mulai berantakan sejak ia sampai di depan Kantor Polisi. Suasana kantor yang hening tetapi penuh oleh orang-orang yang sibuk berlalu-lalang membuatnya resah. Kalau saja ia belum membulatkan tekad sejak kemarin, mungkin Ashana sudah putar balik dan pergi menjauh sejak tadi.Bekas-bekas luka yang ada di beberapa titik tubuhnya berdenyut pelan. Seakan-akan mencoba mengingatkannya akan tujuan utama kedatangannya. Ashana memang tidak lagi merasakan sakit karenanya, tetapi semua itu cukup untuk membuatnya tidak bisa berdiam di tempat.“Jangan ragu lagi!” gumamnya kepada diri sendiri. Sedikit berbisik karena khawatir akan mengundang perhatian yang tidak diinginkan. “Ben mendapatkan keadilan yang dia perjuangkan. Aku juga pasti bisa.”

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-07
  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   86. Kemiskinan dan Kehancuran

    Suasana hening yang menyesakkan. Tidak peduli seberapa segar angin yang bertiup, Ben tidak bisa bernapas lega sepenuhnya. Hamparan tanah merah yang berhias batu berukirkan nama-nama mereka yang telah menyudahi masa hidup mereka di dunia, di mana pun terlihat sama. Ben menelan ludah dengan gugup, ia hampir bisa merasakan rasa tanah di lidahnya dari bau rerumputan basah yang memasuki hidungnya. Pandangannya beredar tanpa tahu harus melihat ke mana. Baru kali ini ia mendatangi pemakaman bukan untuk mengunjungi makam Alisya. “Posisinya sedikit jauh, di ujung,” ucap Denver seakan-akan ia tahu bahwa Ben bertanya-tanya sejak tadi. “Awalnya aku khawatir, karena aku tidak punya cukup uang untuk membayar biaya pemakaman. Hanya dari sumbangan. Tapi ternyata cukup untuk mendapatkan posisi yang sepi dan nyaman.” Ben mengangguk dalam diam. Orang lain mungkin akan heran mendengar Denver begitu memikirkan posisi pemakaman untuk orang terkasihnya. ‘Orangnya sudah mati, mengapa susah-susah mencarikan

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-08

Bab terbaru

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   93. Belum Berakhir

    Pertanyaan Thalia terus terngiang di benak Ben bahkan setelah hari berganti. Ben merasa tidak terlalu terganggu akan hal itu, tetapi ia tetap memikirkannya karena masih ada hal kecil yang mengganjal. Apakah Ashana juga bertanya-tanya seperti Thalia? Mereka berdua bukan lagi remaja yang menomorsatukan perasaan di atas semuanya. Mereka tetap bersama murni karena mereka cukup cocok satu sama lain. Keberadaan Ashana membuat Ben tidak terlalu tenggelam dalam kesibukan, menyeimbangkan antara waktu istirahat dengan waktu bekerja. Sebaliknya, dengan hadirnya Ben di kehidupan Ashana, gadis itu dapat menjadi sedikit lebih serius dalam menjalani hidup, berhati-hati dalam mengambil keputusan, serta menghargai setiap kejadian baik yang datang kepadanya. Ben merasa cukup dengan semua itu, tidak ada lagi yang ia harapkan. Rasanya tidak perlu melabeli hubungan mereka berdua dengan sebuah nama. “Oke. Segitu dulu untuk hari ini.” Ashana yang sedari tadi berkutat dengan laptopnya berseru. Ia lalu men

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   92. Sama-Sama Bernoda

    Ben sulit memercayai apa yang sedang dilihatnya.Garry, pria yang mulanya bertubuh tinggi semampai, terlihat tegap dan menawan ke mana pun ia berjalan, kini terduduk lesu di atas kursi roda berjok hitam. Kedua kakinya terlihat cukup kurus di balik celana kain coklat tua, kemeja di tubuhnya terlihat sangat longgar, hingga bagian lengannya harus digulung ke atas. Ketampanan di wajahnya luntur, hampir tidak bersisa, bersamaan dengan kantung mata yang menebal, serta kulit yang kusam. Pipi pria itu juga terlihat tirus, membuat rahangnya menonjol dengan aneh.Sebelumnya Ben benar-benar percaya bahwa Garry adalah seorang model profesional yang sedang menyamar jadi orang biasa, tetapi sekarang pria itu bahkan tidak terlihat seperti pria dewasa yang sehat. Apa orang di hadapannya ini benar-benar Garry yang Ben kenal? Ben sulit memproses kenyataan ini.

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   91. Hilang dan Kembali

    “Padahal kamu tidak perlu ikut,” ujar Ben ketika ia berjalan menyusuri pemakaman bersama Ashana di sampingnya. “Kamu pasti sibuk. Pergi saja. Nanti kuhubungi.”Ashana merengut. “Apa maksudmu aku tidak perlu ikut? Aku mungkin tidak punya kesempatan untuk lebih mengenal Alisya, tetapi aku sempat cukup dekat dengan Rossa. Tanpamu pun aku tetap akan datang kemari.”“Tapi ayahmu ….”“Ayahku akan baik-baik saja.” Senyum Ashana terlihat begitu lebar dan ceria meski suasana di sekitar mereka terasa sedikit sendu. “Dia sudah jauh berubah lebih baik, apalagi setelah Ibu lebih banyak memperhatikannya. Aslam juga sekarang bersikap lebih perhatian. Akhirnya keluargaku terasa utuh sekarang.”Ben mendengarka

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   90. Pernikahan

    Harum semerbak bunga berwarna putih, krem, dan coklat lembut membelai indra penciuman siapa pun yang datang. Ruangan dengan penerangan yang cukup terang tetap terasa hangat dengan adanya kain-kain yang disusun sedemikian rupa di setiap dinding. Tidak lupa dekorasi yang menyerupai gambaran surga juga memanjakan mata ke mana pun melihat. Pajangan angsa putih serta kue tar besar dan bertingkat yang ditempatkan di tengah-tengah ruangan menjadi pusat perhatian kedua setelah altar besar yang dibangun dengan kayu-kayu eksotik. Suasananya memukau sekaligus syahdu. Sedikitnya tamu yang datang menambah kesan intim dari acara yang akan diadakan hari ini. Namun, Ben sendiri belum melihat secara langsung ruangan besar itu, sebab ia masih berada di ruangan lain yang jauh lebih kecil untuk mempersiapkan diri. Ia berbalik ke kanan dan kiri di depan cermin besar di hadapannya. Kedua tangannya terus membetulkan letak dasi kupu-kupu coklat yang melengkapi kemeja krem serta jas hitamnya. “Kamu terlihat

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   89. Empat Tahun Kemudian

    Denver merapikan pakaian yang dikenakannya sambil terus berjalan penuh percaya diri. Panas terik matahari membuat hampir sekujur tubuhnya basah oleh keringat, tetapi ia sama sekali tidak berniat untuk melepas jas luar apalagi berganti baju dengan yang lebih nyaman. Baju kantoran ini telah menjadi kebanggaannya selama beberapa bulan terakhir. Perlambang keberhasilannya mendapat pekerjaan setelah empat tahun lamanya mengejar ketertinggalan dalam pendidikan.Waktu begitu cepat berlalu. Denver yang dulu mungkin akan berkeluh kesah karena tidak ingin dirinya dan orang di sekitarnya cepat menua. Akan tetapi, semua perubahan yang terjadi beberapa tahun belakangan ini sungguh luar biasa, membuat Denver justru tidak sabar untuk melihat masa depan seperti apa lagi yang tengah menantinya.“Pagi, Pak!” sapa pemuda itu kepada seorang pria berseragam yang berjaga

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   88. Dirimu yang Asli

    “Aku terus berkelana, mencari petunjuk. Ternyata semuanya lebih mudah sekaligus lebih sulit dari yang kubayangkan,” ucap Denver sambil menunduk. Kini ia telah duduk di samping makam ayahnya. Keberadaan Ben yang juga duduk berhadapan dengannya membuatnya sedikit lebih berani untuk menghadap sang ayah. “Ternyata banyak keluarga yang juga menjadi korban Elina di desa kami. Aku tidak perlu mencari terlalu jauh, tapi mereka juga tidak tahu banyak. Bahkan kebanyakan di antara mereka masih percaya kalau anak gadis mereka sedang bekerja di suatu kantor yang layak. Beberapa kali aku diusir karena mencoba mengatakan kebenarannya.”Ben mengangguk dalam diam. Entah bagaimana situasi saat ini berubah menjadi lebih menyesakkan dari sebelumnya. Dadanya terasa sempit seolah-olah semua yang Denver beberkan adalah kisahnya sendiri. Ia sungguh sulit percaya bahwa remaja di bawah umur seperti Denver te

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   87. Bertubi-tubi

    “Ibu! Ibu! Jangan seperti ini! Tolong jawab aku!” Denver sungguh tidak dapat memercayai apa yang terjadi. Baru beberapa detik lalu ibunya menangis tersedu-sedu, lalu mengapa sekarang sang ibu terdiam membeku seolah-olah kesadarannya tidak ada lagi ada di sana?Semuanya terlalu berat untuk Denver tanggung. Ia baru saja menguatkan diri untuk memberitahu orang tuanya bahwa ada kemungkinan Sherly sudah meninggal dunia di suatu tempat, tetapi kemudian ia mendapati bahwa ayahnya telah terbujur kaku serta ibunya yang sudah kehilangan akal karena semua penderitaan ini. Apa dunia begitu ingin menghancurkan keluarganya? Mengapa musibah datang bertubi-tubi? Padahal yang mereka lakukan selama ini hanyalah berusaha menjalani hidup sebaik mungkin.Saking sakitnya penderitaan yang dialami Denver, ia sampai tidak lagi merasakan apa-apa. Alam bawah sadarnya menumpul

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   86. Kemiskinan dan Kehancuran

    Suasana hening yang menyesakkan. Tidak peduli seberapa segar angin yang bertiup, Ben tidak bisa bernapas lega sepenuhnya. Hamparan tanah merah yang berhias batu berukirkan nama-nama mereka yang telah menyudahi masa hidup mereka di dunia, di mana pun terlihat sama. Ben menelan ludah dengan gugup, ia hampir bisa merasakan rasa tanah di lidahnya dari bau rerumputan basah yang memasuki hidungnya. Pandangannya beredar tanpa tahu harus melihat ke mana. Baru kali ini ia mendatangi pemakaman bukan untuk mengunjungi makam Alisya. “Posisinya sedikit jauh, di ujung,” ucap Denver seakan-akan ia tahu bahwa Ben bertanya-tanya sejak tadi. “Awalnya aku khawatir, karena aku tidak punya cukup uang untuk membayar biaya pemakaman. Hanya dari sumbangan. Tapi ternyata cukup untuk mendapatkan posisi yang sepi dan nyaman.” Ben mengangguk dalam diam. Orang lain mungkin akan heran mendengar Denver begitu memikirkan posisi pemakaman untuk orang terkasihnya. ‘Orangnya sudah mati, mengapa susah-susah mencarikan

  • Pembalasan Dendam Sang Duda Kaya   85. Perpisahan

    Ashana menarik napas panjang untuk yang kesepuluh kali hari ini. Atau yang kesebelas? Hitungannya mulai berantakan sejak ia sampai di depan Kantor Polisi. Suasana kantor yang hening tetapi penuh oleh orang-orang yang sibuk berlalu-lalang membuatnya resah. Kalau saja ia belum membulatkan tekad sejak kemarin, mungkin Ashana sudah putar balik dan pergi menjauh sejak tadi.Bekas-bekas luka yang ada di beberapa titik tubuhnya berdenyut pelan. Seakan-akan mencoba mengingatkannya akan tujuan utama kedatangannya. Ashana memang tidak lagi merasakan sakit karenanya, tetapi semua itu cukup untuk membuatnya tidak bisa berdiam di tempat.“Jangan ragu lagi!” gumamnya kepada diri sendiri. Sedikit berbisik karena khawatir akan mengundang perhatian yang tidak diinginkan. “Ben mendapatkan keadilan yang dia perjuangkan. Aku juga pasti bisa.”

DMCA.com Protection Status