“Hmm ….” Ashana bergumam sendiri sambil melihat pantulannya di depan cermin. Keningnya berkerut, kedua tangannya tidak henti-hentinya menarik ujung bagian lengan bajunya agar menutupi bekas-bekas luka di kulitnya. “Yang ini pun sama saja. Apa aku tidak punya baju berlengan lebih panjang? Mungkin sebaiknya aku samarkan luka-luka ini dengan riasan.”
Akhirnya, ia mengambil pakaian yang tergeletak di atas lantai kamar. Sebuah kaus tanpa lengan serta kemeja bermotif kotak-kotak samar berwarna jingga. Ia memadukannya dengan sebuah rok rimpel yang sedikit melebihi lutut. Paduan pakaian itu membuat bagian lengan serta kakinya terpampang dengan jelas, bekas luka gores serta lebam terlihat di beberapa titik. Ashana meraih salah satu alas bedak miliknya dan mulai menutupi bekas lukanya satu per satu.
Selagi melakukan semua itu, kakinya tidak
Tumpukan kertas dan map di hadapannya tidak kunjung berkurang meski ia menatapnya selama berjam-jam. Perih mulai menyerang kedua matanya, mau tidak mau Ben menutup mata sambil bersandar di kursi ternyaman yang pernah ia duduki. Kursi dengan sandaran yang didesain sedemikian rupa untuk menopang punggungnya itu terasa nyaman, Ben hampir merasa berada di rumah sendiri jika saja setelan jas yang dikenakannya tidak menyesakkan dirinya.“Kenapa semua orang senang sekali dengan kehidupan seperti ini?” Untuk kesekian kalinya Ben mempertanyakan hal ini lalu membuka matanya dengan malas. Lagi-lagi apa yang dilihatnya hanyalah meja penuh berkas serta ruang kantornya yang terlalu luas untuk ia tempati sendiri.“Karena lelahnya bekerja di dalam gedung berpendingin ruangan lebih baik dari meregang otot di bawah terik matahari,” celetuk seorang wanita
Jari-jari Ben menekan pangkal hidungnya dengan kuat hingga meninggalkan bekas kemerahan, sementara tangannya yang lain masih memegang ponsel. Judul berita yang tengah ia baca ditulis menggunakan jenis huruf tebal serta ukuran yang cukup besar, dalam keadaan menyipitkan mata pun Ben masih bisa membacanya.“Apa-apaan artikel ini?” Ia bicara sendiri dengan geram. “Isinya seperti sampah! Bisa-bisanya tulisan seperti ini dimuat di halaman berita daring.”Tanpa menunda lagi, Ben menghubungi salah satu nomor di daftar kontak miliknya. Tatapan matanya mengusir seorang karyawan yang baru saja memasuki ruangan setelah mengetuk pintu berkali-kali. “Aku sibuk. Ada urusan mendadak. Kembalilah ke tempatmu dulu!” perintahnya dengan tegas.Karyawan itu tampak ragu-ragu melaksanakan perintah
Pemandangan di luar jendela terlihat tidak jauh berbeda dengan apa yang selalu dilihatnya di rumah. Orang-orang berlalu lalang, sibuk dengan kegiatan masing-masing, saling menyapa saat berpapasan, bercanda dan tertawa di bawah sinar matahari pagi yang menyehatkan. Hanya saja, kini ada lebih banyak tanaman hijau di luar sana, serta air mancur yang sengaja dibangun di tengah-tengah untuk menambah suasana menenangkan.Thalia terus memaksakan dirinya untuk fokus kepada pemandangan itu. Meskipun pinggangnya sudah mulai pegal karena duduk terlalu lama, serta lehernya berteriak memintanya untuk menoleh ke arah lain, ia tetap enggan mengalihkan perhatian. Takut kalau-kalau suasana hatinya akan segera berubah jika ia sadar di mana ia berada saat ini.Sampai akhirnya, kedua mata lelahnya menatap ke bawah, memperhatikan kasur tempatnya duduk. Tempat tidur berbingkai kayu
“Ben? Kau datang?” Thalia menggosok kedua matanya berkali-kali, berharap sosok di depannya tidak menghilang begitu saja. “Kenapa diam saja? Katakan sesuatu, Ben! Agar aku tahu ini benar-benar dirimu.”Isak tangis kembali lolos dari bibirnya. Berbagai kenangan indah yang tiba-tiba saja menyerang membuatnya kewalahan, ia sampai harus kembali menutup matanya karena merasa pusing. Sosok Ben kecil yang selalu menatap ingin tahu kepadanya, sosok Ben remaja yang tersenyum gembira mengajaknya bermain, hingga sosok gagah Ben yang pernah menikahinya. Semua bayangan itu berkelebatan di balik kelopak mata Thalia, enggan menghilang meskipun Thalia tahu bahwa ini bukan saatnya untuk tenggelam dalam masa lalu.Namun, ia terlanjur terjebak. Apalagi kini ada suara tawa Alisya yang ikut bercampur di sana. Otomatis Thalia tersenyum, entah kapan teakhir kal
“Apa? Ulang tahun?” Ben bertanya dengan ketus. ”Bukannya panti ini sudah lama melarang orang-orang untuk merayakan perayaan apa pun di sini?”Mayang menghela napas berat. “Benar. Sejak beberapa tahun lalu sudah tidak pernah ada yang datang kemari untuk itu. Orang-orang hanya akan memberi sumbangan tanpa embel-embel apa pun atau datang untuk mengajak anak-anak bermain. Tapi ….”“Tapi apa?”“Sepertinya kali ini yang mengajukan permintaan itu berasal dari keluarga terpandang. Rossa tetap memintaku untuk menolaknya baik-baik, tapi kupikir tidak ada salahnya kita pertimbangkan dulu. Lagipula, belum tentu juga akan terjadi hal buruk. Tidak semua orang tega memberikan bingkisan tidak layak kepada anak-anak.”Ben
“Itu dari Rumah Sakit Jiwa tempat Thalia dirawat.” Ben berkata dengan suara pelan setelah ia menyudahi panggilan. Tatapannya terlihat kosong selama ia mencerna informasi yang baru saja diterimanya. “Aku tidak tahu kenapa mereka sampai menghubungiku.”“Berarti yang Abrar katakan benar, dia membutuhkanmu.” Ashana menganggukkan kepala lalu mengepalkan tangan, layaknya seorang pelajar yang baru saja menemukan jawaban dari soal ujian yang sulit. “Tunggu apa lagi, Ben? Apa kamu ingin kepala Rumah Sakit menghubungimu dulu baru kamu mau datang?”Tanpa aba-aba, Ashana meraih tangan Ben dan menarik pria itu sambil berjalan cepat. Mulanya Ben mengikutinya tanpa bertanya, masih tenggelam dalam pikirannya sendiri, hingga akhirnya ia berhenti. Tenaga Ashana yang tidak seberapa lantas tidak lagi dapat menyeretnya.
Rasanya Ben ingin putar balik. Kekhawatirannya sia-sia, karena Thalia tampak sangat baik-baik saja.“Jarang sekali ada anggota keluarga yang mengunjungi pasien di sini,” ujar staf Rumah Sakit Jiwa sebelum ia melenggang pergi. “Pasien di sini sangat membutuhkan dukungan lebih dari apa pun. Senang rasanya masih ada yang memedulikan anggota keluarga mereka yang sakit.”Ben terkejut mendengar itu. Sang staf pasti tahu bahwa Ben bukan lagi bagian dari keluarga Thalia, sebagaimana yang tertulis dalam formulir pengunjung, jadi kenapa ia berkata seperti itu? Ben pikir ia harus menyangkal, tetapi mendadak lidahnya kelu.“Oh! Aku juga akan tunggu di ruang tunggu saja.” Ashana lebih dulu berbicara. “Jangan khawatir, aku tidak akan menunggu terlalu lama. Begitu bosan, aku akan langsung
“Ayah! Sudah kunci pintunya belum?”Ben yang tengah berbaring di atas karpet mengintip dari balik lengannya yang ia tempatkan di atas mata. Melihat anak gadisnya tengah berdiri sambil menyilangkan tangan. “Hmm … sudah, kok,” jawab pria itu sambil kembali terpejam. Menikmati hawa dingin malam yang diam-diam masuk dari celah tipis di bawah pintu. Seharian ini ia telah bekerja sangat keras di bawah sinar terik matahari, serta meminum cukup banyak minuman beralkohol untuk melawan rasa frustrasi yang biasa menyerangnya di minggu-minggu sibuk seperti ini. Dinginnya malam menjadi penyejuk setiap ototnya yang kelelahan.“Beneran?”“Iya.”“Kalau gitu, ini apa?” Tanpa mengalihkan pandangan dari Ben sedikit pun, Ali
Pertanyaan Thalia terus terngiang di benak Ben bahkan setelah hari berganti. Ben merasa tidak terlalu terganggu akan hal itu, tetapi ia tetap memikirkannya karena masih ada hal kecil yang mengganjal. Apakah Ashana juga bertanya-tanya seperti Thalia? Mereka berdua bukan lagi remaja yang menomorsatukan perasaan di atas semuanya. Mereka tetap bersama murni karena mereka cukup cocok satu sama lain. Keberadaan Ashana membuat Ben tidak terlalu tenggelam dalam kesibukan, menyeimbangkan antara waktu istirahat dengan waktu bekerja. Sebaliknya, dengan hadirnya Ben di kehidupan Ashana, gadis itu dapat menjadi sedikit lebih serius dalam menjalani hidup, berhati-hati dalam mengambil keputusan, serta menghargai setiap kejadian baik yang datang kepadanya. Ben merasa cukup dengan semua itu, tidak ada lagi yang ia harapkan. Rasanya tidak perlu melabeli hubungan mereka berdua dengan sebuah nama. “Oke. Segitu dulu untuk hari ini.” Ashana yang sedari tadi berkutat dengan laptopnya berseru. Ia lalu men
Ben sulit memercayai apa yang sedang dilihatnya.Garry, pria yang mulanya bertubuh tinggi semampai, terlihat tegap dan menawan ke mana pun ia berjalan, kini terduduk lesu di atas kursi roda berjok hitam. Kedua kakinya terlihat cukup kurus di balik celana kain coklat tua, kemeja di tubuhnya terlihat sangat longgar, hingga bagian lengannya harus digulung ke atas. Ketampanan di wajahnya luntur, hampir tidak bersisa, bersamaan dengan kantung mata yang menebal, serta kulit yang kusam. Pipi pria itu juga terlihat tirus, membuat rahangnya menonjol dengan aneh.Sebelumnya Ben benar-benar percaya bahwa Garry adalah seorang model profesional yang sedang menyamar jadi orang biasa, tetapi sekarang pria itu bahkan tidak terlihat seperti pria dewasa yang sehat. Apa orang di hadapannya ini benar-benar Garry yang Ben kenal? Ben sulit memproses kenyataan ini.
“Padahal kamu tidak perlu ikut,” ujar Ben ketika ia berjalan menyusuri pemakaman bersama Ashana di sampingnya. “Kamu pasti sibuk. Pergi saja. Nanti kuhubungi.”Ashana merengut. “Apa maksudmu aku tidak perlu ikut? Aku mungkin tidak punya kesempatan untuk lebih mengenal Alisya, tetapi aku sempat cukup dekat dengan Rossa. Tanpamu pun aku tetap akan datang kemari.”“Tapi ayahmu ….”“Ayahku akan baik-baik saja.” Senyum Ashana terlihat begitu lebar dan ceria meski suasana di sekitar mereka terasa sedikit sendu. “Dia sudah jauh berubah lebih baik, apalagi setelah Ibu lebih banyak memperhatikannya. Aslam juga sekarang bersikap lebih perhatian. Akhirnya keluargaku terasa utuh sekarang.”Ben mendengarka
Harum semerbak bunga berwarna putih, krem, dan coklat lembut membelai indra penciuman siapa pun yang datang. Ruangan dengan penerangan yang cukup terang tetap terasa hangat dengan adanya kain-kain yang disusun sedemikian rupa di setiap dinding. Tidak lupa dekorasi yang menyerupai gambaran surga juga memanjakan mata ke mana pun melihat. Pajangan angsa putih serta kue tar besar dan bertingkat yang ditempatkan di tengah-tengah ruangan menjadi pusat perhatian kedua setelah altar besar yang dibangun dengan kayu-kayu eksotik. Suasananya memukau sekaligus syahdu. Sedikitnya tamu yang datang menambah kesan intim dari acara yang akan diadakan hari ini. Namun, Ben sendiri belum melihat secara langsung ruangan besar itu, sebab ia masih berada di ruangan lain yang jauh lebih kecil untuk mempersiapkan diri. Ia berbalik ke kanan dan kiri di depan cermin besar di hadapannya. Kedua tangannya terus membetulkan letak dasi kupu-kupu coklat yang melengkapi kemeja krem serta jas hitamnya. “Kamu terlihat
Denver merapikan pakaian yang dikenakannya sambil terus berjalan penuh percaya diri. Panas terik matahari membuat hampir sekujur tubuhnya basah oleh keringat, tetapi ia sama sekali tidak berniat untuk melepas jas luar apalagi berganti baju dengan yang lebih nyaman. Baju kantoran ini telah menjadi kebanggaannya selama beberapa bulan terakhir. Perlambang keberhasilannya mendapat pekerjaan setelah empat tahun lamanya mengejar ketertinggalan dalam pendidikan.Waktu begitu cepat berlalu. Denver yang dulu mungkin akan berkeluh kesah karena tidak ingin dirinya dan orang di sekitarnya cepat menua. Akan tetapi, semua perubahan yang terjadi beberapa tahun belakangan ini sungguh luar biasa, membuat Denver justru tidak sabar untuk melihat masa depan seperti apa lagi yang tengah menantinya.“Pagi, Pak!” sapa pemuda itu kepada seorang pria berseragam yang berjaga
“Aku terus berkelana, mencari petunjuk. Ternyata semuanya lebih mudah sekaligus lebih sulit dari yang kubayangkan,” ucap Denver sambil menunduk. Kini ia telah duduk di samping makam ayahnya. Keberadaan Ben yang juga duduk berhadapan dengannya membuatnya sedikit lebih berani untuk menghadap sang ayah. “Ternyata banyak keluarga yang juga menjadi korban Elina di desa kami. Aku tidak perlu mencari terlalu jauh, tapi mereka juga tidak tahu banyak. Bahkan kebanyakan di antara mereka masih percaya kalau anak gadis mereka sedang bekerja di suatu kantor yang layak. Beberapa kali aku diusir karena mencoba mengatakan kebenarannya.”Ben mengangguk dalam diam. Entah bagaimana situasi saat ini berubah menjadi lebih menyesakkan dari sebelumnya. Dadanya terasa sempit seolah-olah semua yang Denver beberkan adalah kisahnya sendiri. Ia sungguh sulit percaya bahwa remaja di bawah umur seperti Denver te
“Ibu! Ibu! Jangan seperti ini! Tolong jawab aku!” Denver sungguh tidak dapat memercayai apa yang terjadi. Baru beberapa detik lalu ibunya menangis tersedu-sedu, lalu mengapa sekarang sang ibu terdiam membeku seolah-olah kesadarannya tidak ada lagi ada di sana?Semuanya terlalu berat untuk Denver tanggung. Ia baru saja menguatkan diri untuk memberitahu orang tuanya bahwa ada kemungkinan Sherly sudah meninggal dunia di suatu tempat, tetapi kemudian ia mendapati bahwa ayahnya telah terbujur kaku serta ibunya yang sudah kehilangan akal karena semua penderitaan ini. Apa dunia begitu ingin menghancurkan keluarganya? Mengapa musibah datang bertubi-tubi? Padahal yang mereka lakukan selama ini hanyalah berusaha menjalani hidup sebaik mungkin.Saking sakitnya penderitaan yang dialami Denver, ia sampai tidak lagi merasakan apa-apa. Alam bawah sadarnya menumpul
Suasana hening yang menyesakkan. Tidak peduli seberapa segar angin yang bertiup, Ben tidak bisa bernapas lega sepenuhnya. Hamparan tanah merah yang berhias batu berukirkan nama-nama mereka yang telah menyudahi masa hidup mereka di dunia, di mana pun terlihat sama. Ben menelan ludah dengan gugup, ia hampir bisa merasakan rasa tanah di lidahnya dari bau rerumputan basah yang memasuki hidungnya. Pandangannya beredar tanpa tahu harus melihat ke mana. Baru kali ini ia mendatangi pemakaman bukan untuk mengunjungi makam Alisya. “Posisinya sedikit jauh, di ujung,” ucap Denver seakan-akan ia tahu bahwa Ben bertanya-tanya sejak tadi. “Awalnya aku khawatir, karena aku tidak punya cukup uang untuk membayar biaya pemakaman. Hanya dari sumbangan. Tapi ternyata cukup untuk mendapatkan posisi yang sepi dan nyaman.” Ben mengangguk dalam diam. Orang lain mungkin akan heran mendengar Denver begitu memikirkan posisi pemakaman untuk orang terkasihnya. ‘Orangnya sudah mati, mengapa susah-susah mencarikan
Ashana menarik napas panjang untuk yang kesepuluh kali hari ini. Atau yang kesebelas? Hitungannya mulai berantakan sejak ia sampai di depan Kantor Polisi. Suasana kantor yang hening tetapi penuh oleh orang-orang yang sibuk berlalu-lalang membuatnya resah. Kalau saja ia belum membulatkan tekad sejak kemarin, mungkin Ashana sudah putar balik dan pergi menjauh sejak tadi.Bekas-bekas luka yang ada di beberapa titik tubuhnya berdenyut pelan. Seakan-akan mencoba mengingatkannya akan tujuan utama kedatangannya. Ashana memang tidak lagi merasakan sakit karenanya, tetapi semua itu cukup untuk membuatnya tidak bisa berdiam di tempat.“Jangan ragu lagi!” gumamnya kepada diri sendiri. Sedikit berbisik karena khawatir akan mengundang perhatian yang tidak diinginkan. “Ben mendapatkan keadilan yang dia perjuangkan. Aku juga pasti bisa.”