“Kamu yakin? Kita bisa cari tempat lain,” tanya Ben setelah suara musik di ruangan yang mereka masuki tidak terlalu menggema. Ia berjalan mengikuti Thalia dengan waspada, berhati-hati agar tidak menyenggol kerumunan di sekitar. “Tawaranku masih berlaku. Ayo, kita cari restoran saja. Semahal apa pun itu, akan kubayar.”
Thalia lantas terkekeh. Tubuhnya berbalik sebentar hanya untuk menarik tangan Ben, memintanya untuk mempercepat langkah. “Aku tahu sekarang kamu sudah kaya, tapi kita tidak boleh ke restoran.”
Ben mengerutkan kening kebingungan. Otaknya tidak bisa bekerja dengan maksimal di tempat yang terlalu ramai seperti ini, apalagi kini ia tepat berada di belakang Thalia yang berdandan dengan sedikit berbeda dari beberapa jam lalu.
Mantan istrinya itu saat ini dengan sengaja mem
“Nanti setelah Ayah dapat uang, kita langsung beli di pasar, ya.” “Beneran?” “Bener, dong. Kapan Ayah bohong sama Alisya?” Alisya kecil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi depannya yang ompong. Jejak coklat cair menghiasi sekitar bibirnya, membuatnya semakin terlihat menggemaskan. “Tapi Ayah udah izin sama Ibu?” Ben yang baru saja hendak menggantungkan pakaiannya ke dalam lemari tanpa pintu miliknya tanpa sengaja menyenggol setumpuk gantungan baju yang baru ia beli. Belasan gantungan yang terbuat dari kawat itu berjatuhan, membuat Ben segera memungutinya dengan panik sambil melirik ke sana kemari. Ia terkekeh dengan canggung sebelum menjawab pertanyaan Alisya. “Gak perlu. Ibu pasti mau juga.” “Mau apa?” Wajah Alisya berubah sumringah mendapati Thalia telah berdiri di depan pintu kamar mereka. Dengan lincah kaki-kaki kecilnya berlari menghampiri sang ibu yang lantas menangkapnya ke dalam pelukan hangat. Berbeda dengan gadis kecil itu, Ben justru terlihat terkejut dengan
Lima tahun berlalu begitu saja sejak pertama kali Thalia mengancam Ben untuk bercerai. Setelah dipikir-pikir lagi, wanita itu telah bertahan cukup lama hingga akhirnya benar-benar memutuskan untuk mengakhiri pernikahan mereka berdua. Ben merasa sangat menyesal setiap kali memikirkan betapa tersiksanya Thalia selama berusaha mempertahankan keluarga mereka agar tetap utuh. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Thalia sungguh telah berjuang semaksimal mungkin.Ben hampir saja terpejam menikmati semilir angin yang berembus pelan. Sebisa mungkin ia menikmati waktunya berjalan kaki di jalanan sepi setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh menggunakan kendaraan umum. Sayangnya, pikirannya masih penuh oleh kesedihan masa lalu serta pengakuan dari Thalia yang mabuk tempo hari hingga sulit baginya untuk benar-benar relaks. Perasaan bersalah juga semakin menghantui setelah ia sadar bahwa ia telah menunda penyelidika
“Aku selalu menunggu saat yang tepat untuk memberitahukan identitasmu, tapi sayangnya, sejak pertama kali kita bertemu pun aku sudah cukup tua, mudah lupa, dan sering ragu.” Setelah beberapa jam berlalu, Rossa akhirnya kembali bisa berbicara dengan lancar tanpa membutuhkan terlalu banyak jeda. Perempuan lanjut usia itu menyingkirkan beberapa kardus berdebu yang berada di sekitar mereka.Terlalu terpana melihat bagian dalam gudang Panti Asuhan yang tidak pernah ia masuki membuat Ben hampir saja membiarkan Rossa melakukan pekerjaan berat seorang diri. Dengan terburu-buru ia mengambil alih kardus-kardus di tangan Rossa. “Usia hanyalah angka. Baik dulu maupun sekarang, kamu masih tetap cantik dan bersinar,” pujinya dengan sangat tulus. Senyum hangat berkembang di wajahnya.Rossa menggelengkan kepala, tidak percaya pada apa yang didengarnya.
“Rossa, tenang dulu. Coba beritahu aku, benda apa sebenarnya yang kamu cari?”Entah sudah keberapa kalinya Ben bertanya seperti itu, tetapi Rossa tidak kunjung menjawab dengan pasti. Perempuan paruh baya itu hanya terus mengatakan bahwa ia harus menemukan sesuatu yang ia sendiri tidak tahu apa itu. Mereka bahkan sudah mengelilingi Panti Asuhan sebanyak tiga kali, memasuki setiap ruangan serta mengintip setiap celah dan tempat tersembunyi. Namun, hasilnya nihil. Rossa terus saja kebingungan dan gelisah.“Aku merasa aku harus menemukannya.” Lagi-lagi Rossa hanya memberikan jawaban yang sama.Putus asa, akhirnya Ben menuntun Rossa menuju gedung utama, tempat di mana anak-anak serta para pengasuh lain berkumpul. Tidak butuh waktu lama untuknya menemukan Mayang yang tengah membacakan buku untuk pa
“Harga sudah termasuk semua furnitur di dalamnya. Bisa dilihat, interior griya tawang ini jauh lebih moderen dan artistik dibandingkan griya tawang lainnya yang hanya bisa menawarkan luas bangunan dan desain trendy tanpa memikirkan kenyamanan,” ujar seorang wanita berpakaian formal dan rapi. Rambutnya digulung ke belakang hingga tidak ada satu helai pun jatuh menyentuh pundak. Senyum ramah tidak pernah satu kali pun meninggalkan wajahnya. “Jendela floor-to-ceiling ini pas sekali menghadap ke utara, memperlihatkan pemandangan pegunungan jauh di belakang perkotaan yang menambah kenyamanan saat bersantai di ruang tengah.”Ben hanya mendengarkan sambil menganggukkan kepala. Kedua kaki pria itu melangkah dengan malas di atas lantai parket kayu yang berkilauan. Pikirannya telah melambung jauh dari tempat raganya berada.Sang wanita yang sama sekali tidak menyadari diamnya Ben terus saja mempromosikan tempat tinggal mewah yang baru Ben lihat pertama kali seumur hidup. “Bagian ceiling sepenuhn
Suara jarum jam dinding menambah rasa kesal Ben yang sedari tadi hanya bisa duduk di tempat. Secangkir kopi hitamnya tidak lagi mengepulkan asap, cangkirnya pun tidak terasa hangat saat ia sentuh. Ben melirik ke arah pelayan kafe yang berdiri di belakang meja, menatapnya dengan pandangan waspada.Ben tidak sepenuhnya menyalahkan pelayan itu. Biar bagaimanapun, dirinya yang datang dengan pakaian serba hitam serta memilih untuk duduk di kursi paling sudut pasti terlihat sangat mencurigakan. Apalagi sudah tiga jam lebih berlalu sejak kedatangannya. Jika Ben menjadi sang pelayan, Ben mungkin sudah mengusir pelanggan sepertinya sekarang.“Dia bilang tengah hari, tapi di mana dia sekarang?” gerutu Ben sambil memeriksa kembali surat anonim yang terus ia genggam. Tubuh besarnya bergerak gelisah, menimbulkan suara berderit pada kursi kayu tua yang didudukiny
Salah satu alis Ben otomatis terangkat saat melihat gadis dengan mata sembap di depannya. Gadis itu sibuk mengusap kedua matanya sendiri lalu mengatur napas, membiarkan Ben berdiri dalam kebingungan cukup lama. Lampu papan nama sebuah warung makan yang cukup tua berkedip tepat di atas kepala mereka. Sesekali angin yang bertiup kencang membuat papan itu menimbulkan suara berderit, Ben sempat berpikir untuk mengajak gadis itu pindah ke tempat lain, tetapi gadis itu telah bicara lebih dulu.“Maaf. Tadi aku terlalu terkejut. Aku tidak pernah menyangka kamu benar-benar datang,” ujar sang gadis yang sampai saat ini belum bisa menatap langsung kedua mata Ben. “Aku sudah lama memperhatikanmu sejak atasanku bercerita tentang kemungkinan keberadaan anak pasangan artis fenomenal favorit orang tuaku. Mungkin ini akan terdengar aneh, tapi aku sungguh tidak punya maksud apa pun saat mengikutimu. Aku ju
“Di dunia ini banyak sekali pria sepertinya. Hanya bisa menggertak dengan mengandalkan tubuh besar dan penampilan sangar, padahal sebenarnya lemah dan tidak berguna.” Seorang pria yang tengah sibuk memotong beberapa balok es terus menggerutu tanpa memedulikan lawan bicaranya yang hanya bergumam sambil menimbang berember-ember ikan segar. “Aku tidak mengerti kenapa begitu banyak orang menghormatinya. Kalau bukan karena butuh uang, aku tidak akan ada di sini!”Bruk!Salah satu balok es yang masih berukuran panjang jatuh begitu saja setelah tergelincir dari tahan sang pria penggerutu, membuat pria itu berteriak frustrasi. Ia hancurkan potongan balok yang kini telah terbelah menjadi dua menggunakan kapak. “Sial! Di luar sini kita harus bekerja keras untuk menambah kekayaan preman sialan itu! Dia pasti sedang bersantai dengan nyaman saa
Pertanyaan Thalia terus terngiang di benak Ben bahkan setelah hari berganti. Ben merasa tidak terlalu terganggu akan hal itu, tetapi ia tetap memikirkannya karena masih ada hal kecil yang mengganjal. Apakah Ashana juga bertanya-tanya seperti Thalia? Mereka berdua bukan lagi remaja yang menomorsatukan perasaan di atas semuanya. Mereka tetap bersama murni karena mereka cukup cocok satu sama lain. Keberadaan Ashana membuat Ben tidak terlalu tenggelam dalam kesibukan, menyeimbangkan antara waktu istirahat dengan waktu bekerja. Sebaliknya, dengan hadirnya Ben di kehidupan Ashana, gadis itu dapat menjadi sedikit lebih serius dalam menjalani hidup, berhati-hati dalam mengambil keputusan, serta menghargai setiap kejadian baik yang datang kepadanya. Ben merasa cukup dengan semua itu, tidak ada lagi yang ia harapkan. Rasanya tidak perlu melabeli hubungan mereka berdua dengan sebuah nama. “Oke. Segitu dulu untuk hari ini.” Ashana yang sedari tadi berkutat dengan laptopnya berseru. Ia lalu men
Ben sulit memercayai apa yang sedang dilihatnya.Garry, pria yang mulanya bertubuh tinggi semampai, terlihat tegap dan menawan ke mana pun ia berjalan, kini terduduk lesu di atas kursi roda berjok hitam. Kedua kakinya terlihat cukup kurus di balik celana kain coklat tua, kemeja di tubuhnya terlihat sangat longgar, hingga bagian lengannya harus digulung ke atas. Ketampanan di wajahnya luntur, hampir tidak bersisa, bersamaan dengan kantung mata yang menebal, serta kulit yang kusam. Pipi pria itu juga terlihat tirus, membuat rahangnya menonjol dengan aneh.Sebelumnya Ben benar-benar percaya bahwa Garry adalah seorang model profesional yang sedang menyamar jadi orang biasa, tetapi sekarang pria itu bahkan tidak terlihat seperti pria dewasa yang sehat. Apa orang di hadapannya ini benar-benar Garry yang Ben kenal? Ben sulit memproses kenyataan ini.
“Padahal kamu tidak perlu ikut,” ujar Ben ketika ia berjalan menyusuri pemakaman bersama Ashana di sampingnya. “Kamu pasti sibuk. Pergi saja. Nanti kuhubungi.”Ashana merengut. “Apa maksudmu aku tidak perlu ikut? Aku mungkin tidak punya kesempatan untuk lebih mengenal Alisya, tetapi aku sempat cukup dekat dengan Rossa. Tanpamu pun aku tetap akan datang kemari.”“Tapi ayahmu ….”“Ayahku akan baik-baik saja.” Senyum Ashana terlihat begitu lebar dan ceria meski suasana di sekitar mereka terasa sedikit sendu. “Dia sudah jauh berubah lebih baik, apalagi setelah Ibu lebih banyak memperhatikannya. Aslam juga sekarang bersikap lebih perhatian. Akhirnya keluargaku terasa utuh sekarang.”Ben mendengarka
Harum semerbak bunga berwarna putih, krem, dan coklat lembut membelai indra penciuman siapa pun yang datang. Ruangan dengan penerangan yang cukup terang tetap terasa hangat dengan adanya kain-kain yang disusun sedemikian rupa di setiap dinding. Tidak lupa dekorasi yang menyerupai gambaran surga juga memanjakan mata ke mana pun melihat. Pajangan angsa putih serta kue tar besar dan bertingkat yang ditempatkan di tengah-tengah ruangan menjadi pusat perhatian kedua setelah altar besar yang dibangun dengan kayu-kayu eksotik. Suasananya memukau sekaligus syahdu. Sedikitnya tamu yang datang menambah kesan intim dari acara yang akan diadakan hari ini. Namun, Ben sendiri belum melihat secara langsung ruangan besar itu, sebab ia masih berada di ruangan lain yang jauh lebih kecil untuk mempersiapkan diri. Ia berbalik ke kanan dan kiri di depan cermin besar di hadapannya. Kedua tangannya terus membetulkan letak dasi kupu-kupu coklat yang melengkapi kemeja krem serta jas hitamnya. “Kamu terlihat
Denver merapikan pakaian yang dikenakannya sambil terus berjalan penuh percaya diri. Panas terik matahari membuat hampir sekujur tubuhnya basah oleh keringat, tetapi ia sama sekali tidak berniat untuk melepas jas luar apalagi berganti baju dengan yang lebih nyaman. Baju kantoran ini telah menjadi kebanggaannya selama beberapa bulan terakhir. Perlambang keberhasilannya mendapat pekerjaan setelah empat tahun lamanya mengejar ketertinggalan dalam pendidikan.Waktu begitu cepat berlalu. Denver yang dulu mungkin akan berkeluh kesah karena tidak ingin dirinya dan orang di sekitarnya cepat menua. Akan tetapi, semua perubahan yang terjadi beberapa tahun belakangan ini sungguh luar biasa, membuat Denver justru tidak sabar untuk melihat masa depan seperti apa lagi yang tengah menantinya.“Pagi, Pak!” sapa pemuda itu kepada seorang pria berseragam yang berjaga
“Aku terus berkelana, mencari petunjuk. Ternyata semuanya lebih mudah sekaligus lebih sulit dari yang kubayangkan,” ucap Denver sambil menunduk. Kini ia telah duduk di samping makam ayahnya. Keberadaan Ben yang juga duduk berhadapan dengannya membuatnya sedikit lebih berani untuk menghadap sang ayah. “Ternyata banyak keluarga yang juga menjadi korban Elina di desa kami. Aku tidak perlu mencari terlalu jauh, tapi mereka juga tidak tahu banyak. Bahkan kebanyakan di antara mereka masih percaya kalau anak gadis mereka sedang bekerja di suatu kantor yang layak. Beberapa kali aku diusir karena mencoba mengatakan kebenarannya.”Ben mengangguk dalam diam. Entah bagaimana situasi saat ini berubah menjadi lebih menyesakkan dari sebelumnya. Dadanya terasa sempit seolah-olah semua yang Denver beberkan adalah kisahnya sendiri. Ia sungguh sulit percaya bahwa remaja di bawah umur seperti Denver te
“Ibu! Ibu! Jangan seperti ini! Tolong jawab aku!” Denver sungguh tidak dapat memercayai apa yang terjadi. Baru beberapa detik lalu ibunya menangis tersedu-sedu, lalu mengapa sekarang sang ibu terdiam membeku seolah-olah kesadarannya tidak ada lagi ada di sana?Semuanya terlalu berat untuk Denver tanggung. Ia baru saja menguatkan diri untuk memberitahu orang tuanya bahwa ada kemungkinan Sherly sudah meninggal dunia di suatu tempat, tetapi kemudian ia mendapati bahwa ayahnya telah terbujur kaku serta ibunya yang sudah kehilangan akal karena semua penderitaan ini. Apa dunia begitu ingin menghancurkan keluarganya? Mengapa musibah datang bertubi-tubi? Padahal yang mereka lakukan selama ini hanyalah berusaha menjalani hidup sebaik mungkin.Saking sakitnya penderitaan yang dialami Denver, ia sampai tidak lagi merasakan apa-apa. Alam bawah sadarnya menumpul
Suasana hening yang menyesakkan. Tidak peduli seberapa segar angin yang bertiup, Ben tidak bisa bernapas lega sepenuhnya. Hamparan tanah merah yang berhias batu berukirkan nama-nama mereka yang telah menyudahi masa hidup mereka di dunia, di mana pun terlihat sama. Ben menelan ludah dengan gugup, ia hampir bisa merasakan rasa tanah di lidahnya dari bau rerumputan basah yang memasuki hidungnya. Pandangannya beredar tanpa tahu harus melihat ke mana. Baru kali ini ia mendatangi pemakaman bukan untuk mengunjungi makam Alisya. “Posisinya sedikit jauh, di ujung,” ucap Denver seakan-akan ia tahu bahwa Ben bertanya-tanya sejak tadi. “Awalnya aku khawatir, karena aku tidak punya cukup uang untuk membayar biaya pemakaman. Hanya dari sumbangan. Tapi ternyata cukup untuk mendapatkan posisi yang sepi dan nyaman.” Ben mengangguk dalam diam. Orang lain mungkin akan heran mendengar Denver begitu memikirkan posisi pemakaman untuk orang terkasihnya. ‘Orangnya sudah mati, mengapa susah-susah mencarikan
Ashana menarik napas panjang untuk yang kesepuluh kali hari ini. Atau yang kesebelas? Hitungannya mulai berantakan sejak ia sampai di depan Kantor Polisi. Suasana kantor yang hening tetapi penuh oleh orang-orang yang sibuk berlalu-lalang membuatnya resah. Kalau saja ia belum membulatkan tekad sejak kemarin, mungkin Ashana sudah putar balik dan pergi menjauh sejak tadi.Bekas-bekas luka yang ada di beberapa titik tubuhnya berdenyut pelan. Seakan-akan mencoba mengingatkannya akan tujuan utama kedatangannya. Ashana memang tidak lagi merasakan sakit karenanya, tetapi semua itu cukup untuk membuatnya tidak bisa berdiam di tempat.“Jangan ragu lagi!” gumamnya kepada diri sendiri. Sedikit berbisik karena khawatir akan mengundang perhatian yang tidak diinginkan. “Ben mendapatkan keadilan yang dia perjuangkan. Aku juga pasti bisa.”