Setelah mengemasi barang-barangnya, Agnes pergi meninggalkan kediaman Keluarga Wistara. Henry melarangnya menggunakan mobil keluarga, sehingga Agnes memesan taksi online. Kini, taksi itu membawanya ke sebuah hotel tak jauh dari kantor Wistara Group. Saat menunggu taksi online tadi, Melisa sempat mencoba membujuk Agnes untuk mengalah kepada Henry. Tentu saja, Agnes menolak. Dia memang telah berubah banyak sejak Morgan kembali ke kehidupannya. Kini, seterjal apa pun jalan yang akan dihadapinya, dia siap menempuh jalan itu. Rencana Agnes adalah menginap di hotel selama beberapa hari. Sambil menggarap proyek, dia akan mencari kos-kosan atau rumah kontrakan, atau mungkin apartemen. Meski selama ini dia juga mendapatkan uang bulanan dari Henry seperti anggota-anggota Keluarga Wistara yang lain, nominalnya tidak begitu besar, dan dia pun tak diberi hak untuk ikut menikmati laba perusahaan. Akibatnya kini dia harus benar-benar cermat melakukan perhitungan. Hotel yang dipilihnya itu pun
Sesuatu yang menempel di bawah bagian belakang mobilnya Morgan meledak, mengagetkan para pengemudi mobil lain di sekitarnya. Mobil Morgan itu sendiri sempat terangkat bagian belakangnya, dan kini bagian itu terbakar. Dengan cepat, mobil tersebut keluar jalur, menabrak pagar pembatas jalan dan terguling-guling ke ngarai. Setelah berhenti terguling-guling, ada jeda waktu beberapa menit, lalu mobil itu pun meledak. Ledakan kedua ini jauh lebih hebat daripada yang tadi. Dan kini, yang terbakar adalah seluruh bagian mobil. Di kejauhan, menggunakan teropong, seseorang memindai lokasi ledakan kedua. Karena ledakan itu lumayan besar, asap kini membubung ke udara, menghalangi pandangannya. Dia masih terus memindai, mencari-cari sesuatu di antara asap tebal dan api yang berkobar itu. Tak juga menemukannya, dia menyerah, meletakkan teropongnya. Kemudian dia melakukan panggilan telepon. "Bos, mobilnya sudah hancur karena ledakan, tapi aku tak melihat sosok orang itu," katanya. [Pastika
Dua hari berlalu…Di sebuah ruas jalan di Kota HK, Jonas sedang mengemudikan mobilnya menuju rumah sakit tempat majikannya, Jonathan Weiss, dirawat.Jonathan telah menjalani operasi darurat pemasangan dan penyambungan kembali tulang kaki tiga hari yang lalu. Meski operasi berjalan lancar, diperkirakan akan butuh waktu tiga hingga empat bulan sampai Jonathan bisa menggunakan kakinya lagi seperti semula.“Semua ini gara-gara si keparat itu! Aku tak akan bisa menjalani sisa hidupku dengan tenang kalau aku belum melihat mayatnya dengan mata kepalaku sendiri!” gerutunya.Dendamnya kepada Morgan memang benar-benar akut. Dan dia yakin, saat ini Morgan masih berkeliaran di suatu tempat di kota ini.Tentu saja Jonas telah memerintahkan anak-anak buahnya untuk mencari Morgan, melakukan penelusuran di sekitar kawasan mobilnya Morgan meledak.Yang menghambat mereka, upaya pencarian itu harus mereka lakukan diam-diam, sebab di saat yang sama para polisi pun tampak melakukan hal yang sama.Mereka
Dua ratus orang lebih, dengan berbagai senjata di tangan, menyerang Morgan di saat yang bersamaan. Morgan memasang kuda-kuda. Sudah cukup lama sejak terakhir kali dia menghadapi ratusan orang seorang diri seperti ini. "Hiyaaaa!!"Teriakan penuh amarah orang-orang itu membelah malam yang sunyi di hutan tersebut. Namun, yang terdengar kemudian adalah teriakan yang berbeda. Tiga orang terlempar ke atas, lima orang terlempar ke lima arah berbeda, sepuluh orang terlempar ke danau. Itu semua terjadi dalam satu-dua detik saja.Apa yang terjadi itu cukup mengejutkan pasukannya Jonas. Terlebih lagi, Morgan kini membiarkan aura Dewa Perang-nya keluar. Serangan demi serangan tetap datang, tapi kini mulai ada orang-orang yang ragu. Gerakan mereka melambat dan fokus mereka berkurang. Morgan sendiri, sementara itu, sangat fokus dan mulai panas. Meski ratusan orang itu menyerangnya secara bersamaan, pada akhirnya hanya beberapa saja dari mereka yang berhadapan dengannya langsung. Mudah saja
Morgan mengerutkan kening. Polisi menuju ke rumahnya? Untuk apa. Berpikir sebentar, dia lalu membalas pesan chat Kris itu:[Pantau saja dulu. Awasi semua pergerakan mereka, tapi jangan lakukan apa pun.]Beberapa saat kemudian ponselnya kembali bergetar, tapi Morgan tak mengeceknya. Dia sedang fokus mengeluarkan dua peluru yang bersarang di tubuhnya itu, dan setelah itu menutupi luka tembak hingga nyaris tak pernah ada. Sambil bersandar di jok dan menarik-embuskan, Morgan mengambil ponselnya dan mengecek kotak masuk pesan. Kris mengatakan akan melakukan apa yang diperintahkannya, dan akan melapor sewaktu-waktu jika itu dianggap perlu. Morgan lantas menaruh kembali ponselnya di dasbor, dan berpikir, menduga-duga apa yang mengarahkan para polisi ke rumahnya. 'Mungkinkah ini ada hubungannya dengan insiden yang menimpaku dua hari yang lalu itu?' pikirnya. Tiba-tiba saja, titik-titik peristiwa muncul di benaknya, lalu terhubung satu sama lain dengan garis-garis imajiner. Dugaannya s
Mobil-mobil lapis baja itu berhenti di belakang tiga mobil patroli polisi.Suasana mendadak jadi menegangkan. Joseph dan Jimmy, juga polisi-polisi lain, menatap ke arah mobil-mobil itu dengan harap-harap cemas.Dan tentu saja, saat pintu mobil-mobil itu terbuka, yang keluar adalah sosok-sosok tentara.Seragam yang mereka kenakan menunjukkan kalau mereka bertugas di kota ini.Joseph tahu itu. Dan kini, kecemasannya menjadi-jadi.Dia mulai membayangkan hal buruk apa yang mungkin menimpanya setelah ini.“Ada apa ini? Kenapa ada polisi di rumah ini? Ada urusan apa kalian?” tanya seorang tentara yang berjalan mendekat.Dia adalah Kris. Sekilas dia melirik Morgan dan mendapati Morgan mengangguk.“Cepat jelaskan padaku, apa yang kalian lakukan di sini?” desak Kris.Polisi-polisi itu menatap Joseph dan Jimmy. Mereka tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi perlu meminta izin terlebih dulu.Akhirnya Joseph sendiri yang angkat bicara.“Kami sedang menyelidiki insiden ledakan mobil dua hari yang
Di dalam sebuah taksi online, Agnes menyandarkan punggung dan belakang kepalanya ke jok penumpang, sembari memejamkan mata. Kedua matanya sebenarnya sudah sepat, tetapi dia tak bisa tidur juga. Otaknya aktif. Dia terus memikirkan hal-hal yang membuatnya cemas. Saat ini, taksi online itu sedang membawa Agnes ke sebuah kedai kopi yang buka hingga tengah malam. Di sana, dia akan bertemu seseorang untuk bercerita kepadanya: Allina.Hubungan Agnes dengan Allina mulai terjalin setelah Allina membiarkannya—dan bahkan mengantarnya—pulang padahal wanita itu diperintahkan oleh Morgan untuk menjaganya tetap di rumah mewah itu. Beberapa hari kemudian mereka sempat bertemu di sebuah kafe, di mana Allina menyampaikan padanya pesan-pesan dukungan dari Morgan. Kali ini, dia akan mencoba mengulik informasi-informasi dari wanita itu, tentang Morgan. "Sudah sampai," kata si sopir taksi online. Agnes membuka matanya, menoleh ke jendela di sampingnya. Setelah memastikan tak ada barangnya yang ket
Livia terkejut mendapati Agnes ada di situ. Terlebih lagi, saat ini, dia sedang kencan dengan calon sugar daddy-nya.Dia pun menatap Agnes dengan kesal. Dia tak mau Agnes merusak rencananya yang sejauh ini terbukti berhasil.“Livia, siapa orang yang tak punya sopan santun ini? Dia temanmu?” tanya si pria berusia 40-an tahun itu.“Abaikan saja dia, Om. Sebenarnya dia ini adik iparku, tapi dia sudah diusir oleh ayahnya sendiri. Suaminya mantan narapidana. Wajar saja kalau dia tak punya sopan santun,” jelas Livia, melirik Agnes dengan benci.Giliran Agnes yang terkejut. Dia tahu Livia tak pernah menyukainya, tapi haruskah dia mengatakan sesuatu sejahat itu?“Oh, suaminya mantan narapidana? Pantas saja,” kata pria itu.“Iya, Om. Begitulah kalau punya pasangan kriminal. Kelakuannya tak bisa diharapkan. Makanya, Om, kita abaikan saja dia. Anggap saja dia tak ada,” tanggap Livia.Agnes menatap Livia tak percaya. Dan dia masih tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.“Livia, kenapa malam-mal