Penampilan Olivia sungguh acak-acakkan. Wajahnya penuh lebam dan luka, rambutnya berantakan, pakaiannya begitu lusuh.
Daniel membanting ponsel yang baru saja digunakannya lalu ia hancurkan ponsel tersebut hingga berkeping-keping.
“Kau tahu mengapa ayahmu tidak memberikan perusahaan itu padamu? Karena perusahaan akan hancur ditanganmu,” cibir Olivia dengan suara parau.
Plak!
Satu tamparan mendarat di wajah Olivia, pria bertopeng di hadapannya terlihat marah walaupun yang tampak hanya bola matanya.
“Dasar jalang! Berani-beraninya kau meremehkan seorang Daniel. Kita tunggu saja apa kalian masih bisa mengucapkan salam perpisahan dengan damai, semua tergantung padanya. Lebih baik kau berdoa supaya pria bodoh itu bisa memilihmu.”
Beberapa saat kemudian, pintu berhasil didobrak jatuh hingga berdebam kencang di lantai. Terlihat bayangan William dengan sorot matanya yang tajam menatap pria bertopeng itu dengan penuh amarah. William berlari dan siap melesatkan tinjunya.
Pria itu terlambat untuk menghindar. Satu pukulan berhasil mengenai wajahnya hingga pria itu tersungkur di lantai.
“Aku sudah bilang urusan kita tidak ada hubungannya dengan Olivia,” pekik William, napasnya memburu kencang, tangannya kembali terkepal di udara bersiap melepaskan tinju kedua.
Namun kali ini Daniel berhasil menangkisnya lalu dengan cepat membalikkan serangan.
Tubuh William terpental ke belakang hingga membentur lemari kayu reyot dan menumpahkan seluruh benda diatasnya. William yang tidak sempat berdiri tertimpa berbagai macam benda dari lemari itu.
Olivia menjerit histeris, ia meronta-ronta berusaha melepaskan ikatan di tangan, tubuh dan kakinya, tetapi sia-sia, bahkan tenaganya sudah hampir habis. Ini benar-benar penyiksaan.
“Daniel hentikan!!!”
Daniel tidak menggubris sama sekali dan terus melancarkan serangan pada William hingga William terdesak.
Dengan air mata yang mulai menitik dari pelupuk matanya, Olivia terus berusaha melepaskan tali yang mengikat tubuhnya. Olivia terus menggesek-gesek tali pengikat itu pada bagian kursi yang patah hingga melukai pergelangan tangannya.
“Aku akan melakukan segala cara untuk mendapatkan perusahaan darimu dan cara baik sudah aku lakukan, kita sudah membuat kesepakatan tapi kau sendiri yang tidak menepatinya.” Daniel berjongkok di hadapan William yang kini tersungkur tak berdaya. “Aku tidak punya pilihan, kau sendiri yang memintaku melakukannya dengan rencana terburukku.”
Seringai kembali tersungging di wajah Daniel, lalu sebelah tangannya merogoh pisau yang sudah ia persiapkan. Daniel melesatkan pisau tersebut dengan cepat ke arah William tetapi sebuah kursi terlebih dahulu melayang dan menghantam tubuhnya dengan keras hingga kursi itu patah tak berbentuk.
“Sialan!” pekik Daniel yang kini tersungkur dan menjatuhkan pisau yang dipegangnnya.
Olivia melemparkan patahan kursi yang tersisa di tangannya dan langsung mengambil pisau di lantai lalu mendekati William dengan wajah cemas.
“Seharusnya kamu tidak datang Will, maafkan aku,” ujar Olivia tersedu-sedu, seraya membantu William untuk bangkit.
“Ini semua salahku Liv,” ucap William penuh penyesalan.
Darah segar mengalir di sudut bibir William, rambutnya acak-acakan, tubuhnya terbalut debu. Dengan susah payah William berusaha bangkit.
Namun belum sepenuhnya William bangkit Daniel yang diam-diam mendekati mereka langsung mengunci tubuh Olivia dan menggenggam kuat salah satu tangan Olivia yang menggenggam pisau.
William sontak terperanjat, tetapi baru saja ia melangkah Daniel langsunung mengarahkan dengan paksa pisau di tangan Olivia ke leher wanita itu sendiri.
Olivia merasakan tulang jari dan telapak tangannya remuk karena genggaman kuat Daniel. Olivia bahkan tidak bisa melepaskan pisau di tangannya sendiri.
“Pilihalah perusahaan atau nyawa kalian berdua?” ancam Daniel.
“Jangan tertipu Will, apa pun pilihanmu dia tetap akan menghabisi….”
“Tutup mulutmu atau pisau ini akan menorobos lehermu!”
William terdesak, ia tidak bisa menyerahkan perusahaan demi janji yang dia buat kepada mendiang Ibunya, tetapi nyawa Olivia dalam bahaya.
“Kalian ini sangat merepotkan.”
Tanpa memberi waktu William untuk berpikir sebilah mata pisau tiba-tiba menembus perut William. William terbelalak tidak menduganya sama sekali begitu pun dengan Olivia yang kini berdiri di hadapan William beserta pisau digenggamannya yang telah merobek jaringan tubuh suaminya itu.
Olivia sontak menjerit histeris, tubuhnya bergetar hebat, sekuat tenaga ia berusaha menahan agar pisau itu tidak menusuk lebih dalam ke dalam tubuh William, tetapi Daniel terus mendorongnya. Olivia tidak bisa menahan kekuatan pria itu dan hanya bisa menangis menatap William dengan rasa bersalah.
Daniel terkekeh, “Hei bukankah seharusnya kamu menusuknya lebih dalam dan membalaskan dendammu atas kematian kakakmu. Berterima kasihlah padaku karena aku telah membantumu melakukannya.”
“AAA! Tidak… Daniel hentikan aku mohon, aku tidak menginginkannya...,” isak Olivia.
“Jadi kamu memaafkannya? Bukankah mata harus dibalas dengan mata? Kalau begitu ucapkan kalau kau memaafkannya selagi ada kesempatan sebelum aku renggut nyawa kalian berdua” seru Daniel seraya tertawa seperti orang gila.
Olivia menggeleng dengan keras tangannya sudah tidak kuat lagi menahan bilah pisau. William bisa merasakan pisau digenggaman Olivia merobek jaringan kulitnya semakin dalam. Lalu sekelebat ingatan kelam 8 tahun lalu yang terkubur begitu lama dalam benak William mulai terlihat semakin jelas.
Situasi ini, tetesan darah yang terus mengalir deras keluar dari perutnya, sama seperti yang Selena alami 8 tahun lalu. “Daniel, kau….”
Daniel menghempaskan tubuh Olivia ke sudut ruangan lalu menarik pisau yang tertancap di perut William.
“Haruskan pisau ini aku tancapkan pada tubuhnya juga?” Daniel menyeringai lalu menoleh pada Olivia yang kini bersimpuh tidak berdaya dengan darah yang membalut tangannya.
Daniel melangkah menuju Olivia dengan pisau berlumur darah ditangannya. Dengan sisa tenaga yang William miliki, ia memegangi kaki Daniel dan memeluknya dengan kuat agar pria itu tidak bisa bergerak.
“Olivia, cepat pergi!”
Olivia menoleh dengan ketakutan yang terpancar dari kedua bola matanya. Sialnya tubuh Olivia tidak bisa bergerak dan malah bergetar semakin hebat ketika melihat darah yang mengalir dari tubuh William mulai memenuhi lantai di sekitarnya.
“Sangat menjijikan, kau lihat, ini akibat jika kau mengaggungkan cinta, kau hanya akan menjadi lemah dan bodoh. Jika kau hanya fokus pada dirimu sendiri, kau tidak perlu memikirkan keselamatan orang lain.” Daniel menatap jijik William juga Olivia.
Tanpa ampun Daniel memukuli William, Daniel bahkan meraih sebuah pipa besi di dekatnya dan menghantamkan benda itu sekuat tenaga pada tubuh William berkali-kali.
Namun, William tidak ingin menyerah walaupun dia sudah tidak bisa merasakan tubuhnya lagi, ia akan melindungi Olivia meskipun nyawa yang akan menjadi bayarannya.
“Olivia sadarlah! Cepat pergi!” pinta William dengan suaranya yang mulai melemah.
“Mati saja kalau begitu, supaya aku tidak perlu susah payah bersaing denganmu lagi.”
Daniel menghantamkan pipa besi itu tepat di kepala William hingga cengkraman William pada kakinya melemah. Melihat William sudah mendekati ajalnya tawa Daniel menggema memenuhi ruangan.
Pandangan William semakin kabur, kesadarannya perlahan lenyap, namun hatinya tiba-tiba berdenyut seolah baru menyadari sesuatu saat telinganya menangkap suara pria bertopeng itu. “Tidak, dia bukan Daniel….”
“Aku akan melindungimu sampai akhir Liv.”Olivia pikir ucapan William waktu itu hanya sebuah bualan atau godaan semata, tetapi ternyata pria itu bersungguh-sungguh pada ucapannya.Olivia memeluk lututnya dan menatap kosong nisan di hadapannya. Hati dan pikirannya begitu kalut, rasa bersalah, kecewa, amarah dan dendam bergejolak dalam hatinya hingga membuatnya terasa sesak.“Kak kenapa dia rela mempertaruhkan nyawanya demiku dan harus membuatku semakin merasa bersalah padamu?” isak Olivia dengan lemah.Olivia meremas kalung dengan liontin bulan yang menggantung di lehernya lalu menyeka air matanya dan beranjak pergi dari tempat itu menuju rumah sakit.Begitu tiba di sebuah ruang rawat terlihat William yang masih terbaring di atas tempat tidur. Sudah dua minggu matanya sempurna tertutup. Rentetan kejadian mengerikan dua minggu lalu kembali terputar dalam benak Olivia.Olivia menggenggam tangan William dengan erat, matanya mulai berair menatap suaminya.“Will, sampai kapan kamu akan tert
Olivia semakin meringkuk terpojok ketakutan di sudut ruangan dengan menutup kedua telingannya rapat-rapat seolah tidak mau mendengar suara Daniel sedikit pun.“Pergi dari sini atau perlu aku panggil satpam untuk mengusirmu!” pekik William dengan garang seraya menatap Daniel dengan tajam.“Kau tidak perlu repot-repot aku bisa pergi sendiri dan sampai jumpa lagi dalam waktu dekat.” Daniel menyeringai namun entah mengapa sorot matanya malah mengarah kepada Olivia, lalu ia pergi dengan tenang seolah tidak menciptakan keributan sama sekali.William mengeratkan jemari tangannya, menahan gejolak kemarahan yang terasa meluap-luap pada Daniel. Lalu dengan hati-hati William membantu Olivia untuk bangkit dan mendudukannya di sofa.Tubuh Olivia masih bergetar, matanya tertutup rapat, kedua tangannya masih menyumbat masing-masing lubang telinganya.Hati William mendadak terasa seperti diremas-remas, dengan pilu ia tatap wajah Olivia lalu ia rengkuh tubuh wanita itu dengan erat.“Apa yang pernah di
“Kenapa kamu berbohong padaku?” tanya William dengan tatapan intimidasinya yang tajam.“Apa maksudmu, aku tidak mengerti?” balas Olivia dengan suara bergetar.William mendengus, “Aku mencari tahu informasi tentang kalung ini. Kalung ini adalah edisi terbatas, hanya ada satu set dengan gelangnya dan dibeli atas namaku delapan tahun yang lalu. Jelas aku melihatmu memakainya, tapi kamu masih mengelak. Kenapa? Apa ada yang kamu sembunyikan?”Olivia menggigit bibirnya, semuanya sudah terlambat. Padahal belum 24 jam ia menjalankan rencananya tetapi William sudah menangkap basahnya.Tidak ada yang bisa disembunyikan lagi. Olivia pun menunduk lesu, dan kembali menangis dengan pilu.“Aku minta maaf Will, aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana menghadapimu dengan kondisimu yang seperti ini. Aku hanya takut kamu tidak akan bisa mencintaiku seperti sebelumnya karena kamu tidak memiliki ingatan apa pun tentangku.”William pun melunak, ia menurunkan kedua tangannya dan kembali menatap Olivia de
“Will, aku bawakan makan siang untukmu,” seru Olivia dari balik pintu ruangan seraya mengangkat sebuah tas kecil berisi makan siang dengan antusias. Wajah William yang sebelumnya terlipat karena lelah membaca dokumen-dokumen pekerjaan di atas meja seketika berseri saat beradu pandang dengan istrinya itu. William pun bangkit dari kursinya, ia langsung menarik Olivia masuk ke dalam ruangannya dan menutup pintu ruangan rapat-rapat. Olivia tersentak untuk sesaat karena tidak menduganya sama sekali tapi sedetik kemudian ia terkekeh sambil memukul dada bidang William. Sudah satu minggu sejak William kembali bekerja. Setelah keluar dari rumah sakit pria itu sudah tidak sabar ingin segera bekerja padahal Olivia berulang kali memintanya untuk beristirahat hingga William pulih sepenuhnya. Tetapi sikap keras kepala pria itu tidak bisa Olivia hentikan sama sekali.“Ayo makan siang bersama,” ujar Olivia.Namun alih-alih menjawab William malah merebut tas kecil berisi makan siang digenggaman Oli
‘Semua sudah siap tinggal menunggu waktu untuk eksekusi.’ Isi pesan dari kontak bernama Si Eksekutor.Bersamaan dengan Olivia selesai membaca pesan tersebut terdengar ketukan yang berasal dari kaca jendela mobilnya. Olivia langsung menurunkan kaca mobilnya dan terlihat Jimmy yang kini tengah berdiri menunggunya. “Masuklah,” perintah Olivia.“Kamu memilih tempat yang sepi untuk bertemu, aku kira kita akan berbicara di sini.”“Kalau ada karyawan William yang tidak sengaja lewat sini bagaimana? Semua tempat tidak ada yang aman."Jimmy pun mengalah lalu dengan berat hati masuk ke dalam mobil Olivia seraya memberikan secangkir kopi macchiato hangat pada Olivia dan menaruh kopi cappuccino miliknya lalu membiarkan wanita itu membawa dirinya pergi entah kemana. 20 menit perjalanan tidak ada pembicaraan. Jimmy yang terlihat kalut masih sibuk dengan pikirannya, menimbang-nimbang kalimat yang tepat untuk mengatakan unek-unek dalam hatinya. Sedangkan Olivia memilih untuk diam menunggu dan bers
“Aahh...,” Olivia meringis menahan sakit di pergelangan tangannya yang memerah akibat cekalan Jimmy. Olivia menoleh sekilas ke arah Jimmy, pria itu masih terkapar tak sadarkan diri sejak satu jam yang lalu. Lalu dengan lemah Olivia melangkah menuju meja makan di area dapur. Rambut Olivia masih berantakan bahkan pakaiannya cukup kacau. Binar dikedua bola mata Olivia sirna kemudian dengan perasaan dongkol Olivia meremas cangkir kopi yang terbuat dari plastik itu dan melemparnya ke tempat sampah. ‘Semua ini tidak ada dalam rencana dan pasti ada sesuatu di dalam kopi yang Jimmy minum.’Di saat yang bersamaan suara mobil tiba-tiba terdengar memasuki halaman rumah Olivia. Olivia mengerutkan keningnya lalu menyingkap gorden di area ruang depan dan terlihat mobil William di sana. Olivia mengalihkan padangannya kembali ke arah Jimmy. Sepertinya Olivia tahu bagaimana cara memanfaatkan kekacauan ini agar ia tidak dirugikan. Dengan tampilannya yang acak-acakan Olivia bergegas berjalan menuju
Olivia mengeratkan jemarinya dan menggigit bibir bawahnya. “Aku harus mencegah William menjawab kuis itu.”Olivia pun segera menghubungi William tetapi pria itu tidak mengangkatnya bahkan di layar yang menampilkan video William secara langsung tidak terlihat William menerima sebuah panggilan telepon darinya.“Daniel sialan dia meretas semuanya!”Tanpa membuang banyak waktu Olivia langsung berlari menuju mobilnya dan bergegas pergi menuju lokasi William. Sepanjang perjalanan Olivia terus berusaha menghubungi William tetapi nihil. Akhirnya Olivia beralih menghubungi Jimmy karena Olivia yakin ia bisa menghubunginya.“Ayo Jimmy angkatlah!”Alih-alih mendengar suara pria itu Olivia malah menerima suara dari operator. Berulang kali Olivia coba namun hasilnya tetap sama. Dengan kesal Olivia memukul kemudi mobilnya.“Ada apa ini? Kenapa aku tidak bisa menghubungi Jimmy juga?!” rutuk Olivia.Sesaat kemudian notifikasi kembali muncul, dengan cepat Olivia membukannya dan membagi pandangannya ant
Daniel menyeringai sambil memegangi pipinya yang terasa panas, “Untuk apa ini? Apa begini tanda terima kasihmu padaku?” cemooh Daniel.“Jangan pura-pura tidak tahu. Kamu menjebakku!”Pria licik itu malah terkekeh seraya melangkah mengelilingi ruangannya. “Sepertinya ada kesalahpahaman di antara kita.”Olivia mendengus tidak habis pikir, bisa-bisanya pria licik itu mengelak setelah semua yang dilakukannya.“Menaruh perangsan di dalam kopi yang dibeli Jimmy, dan diam-diam merekam apa yang terjadi malam itu di kediamanku padahal jelas-jelas aku sudah meminta si eksekutor untuk membatalakan rencana….”“Kamu terlalu bermain aman Olie. Apa kamu pikir dengan rencana membosankan yang kamu buat bisa berhasil meyakinkan William kalau si Jimmy itu sering menggodamu?” tukas Daniel gemas.Tentu saja Olivia ingin bermain aman dalam rencananya supaya semuanya berjalan dengan lancar. Olivia tidak mau terburu-buru dan gegabah tetapi pria itu malah merusak semuanya.Daniel kemudian mendekati Olivia dan
“Lalu bagaimana dengan Olivia?” pertanyaan lain yang Jimmy tidak siap untuk mendengar jawabannya. “Dia sedang merencanakan sesuatu untukku.” William tahu apa yang Olivia sedang rencanakan untuknya. Saat mengetahui hal itu William sempat berkali-kali menolak percaya pada kenyataan yang menimpanya. Namun akhirnya William bisa menerimanya. William mengalihkan pandangannya pada Jimmy, pria itu tampak tertekan dengan semua kenyataan yang baru saja ia terima saat ini. Terutama kenyataan tentang Olivia yang itu paasti paling mengusiknya. “Maaf aku memecatmu waktu itu, tapi rasanya itu keputusan yang tepat yang bisa aku lakukan,” ucap William, “Sepertinya kamu jadi sasaran empuk untuk menjebakku atau bisa jadi mereka tidak mau kamu berada di dekatku.” Jimmy memandangin William, “Dengan sendiri Anda bisa menjadi lemah,” imbuh Jimmy yang langsung di balas anggukan oleh William.“Jim, aku butuh bantuamu, karena itu aku menceritakan semua ini. Aku tidak tahu a
Jimmy terdiam dengan kening berkerut. Kalau dipikir-pikir surat elektronik yang Jimmy terima sebelumnya juga dari perusahaan teman dekat William. “Bagaimana kalau kamu tukar pertanyaannya?” celetuk William masih denagn ekspresinya yang datar. “Maksud Anda?” “Seperti.... Apa William benar-benar kehilangan ingatannya?” Jimmy sontak tertegun ia tidak bisa berkata-kata. William tidak perlu menyatakan lebih banyak fakta lebih lanjut tentang ingatannya karena rasanya Jimmy sudah dengan jelas mengetahui jawabannya saat ini. “Aku hanya pura-pura Jimmy,” imbuh William seraya melangkah lebih jauh ke dalam ruko kosong itu. Hening, Jimmy tidak menjawab apa-apa, wajahnya tampak bingung. Namun tentu saja William pasti memiliki alasan mengapa dia melakukan hal itu. “Mengapa Anda melakukannya?” akhirnya Jimmy bisa meluapkan rasa penasarannya. Namun di satu sisi entah mengapa Jimmy merasa takut untuk mendengar jawaban dari William. Seolah William sedan
“Kamera recorder itu bisakah kau menemukannya?” tanya Daniel pada Aldo. “Aku tidak tahu apapun tentang kamera recorder itu, memangnya apa yang penting dengan benda itu mengapa Anda mendadak sangat terusik dengan hal itu?” Daniel tidak menggubris rasa penasaran Aldo, hening untuk sesaat dan jelas sekali ia tengah gusar saat ini. “Cari saja sampai dapat, kau orang yang dekat dengan Selena pikirkanlah di mana wanita itu menyembunyikannya.” Tanpa menunggu jawaban dari Aldo, Daniel langsung memutus panggilannya. Tidak, sebenarnya Daniel tidak butuh jawaban apapun karena seperti sebuah kewajiban Aldo memang di paksa untuk menuruti semua perintahnya. Aldo terdiam di banding dengan penasaran pada kemungkinan lokasi Selena menyembunyikan kamera itu, Aldo lebih ingin tahu mengapa Daniel menginginkannya dan mengapa pria itu harus bertanya padanya? Mengapa Daniel tidak bertanya pada Olivia? Atau entahlah. Yang jelas sepertinya rekaman yang ada dalam video itu bisa mengancam pria kurang ajar it
“Pertanggung jawaban apa di sini yang kamu maksud?” tanya William dengan gugup.Olivia mendengus, “Kenapa kamu pura-pura tidak mengerti? Bukankah sebelumnya kamu menjawab dengan penuh percaya diri?” cibir Olivia, “Mata di bayar mata, nyawa dibayar nyawa, William,” tegas Olivia kemudian. William terdiam, tatapan matanya sulit di artikan setidaknya itu yang dipikirkan Olivia. Namun di satu sisi Olivia merasa bahwa ia juga sangat bodoh karena mengulangi pertanyaan yang bahkan sudah ia tahu jawabannya. Bukankah karena William mengingkari tanggung jawabnya sebagai pelaku yang membuat Olivia jadi harus merencanakan hal gila semacam ini? Di tengah lamunan Olivia tiba-tiba saja William mendekat dan menempatkan sebuah pisau ke dalam genggaman Olivia. Bola mata Olivia membulat menatap wajah William yang kini tampak pilu bahkan senyum getir tersemat di bibir William.“Apa yang—.”“Kalau menghukumku dengan cara seperti itu akan membuatmu hidup lebih damai maka l
Bagai petir di siang bolong begitulah celetukan Olivia menyerang William. Langkah William terhenti, ia berbalik menatap Olivia yang terbaring di atas tempat tidur dengan mata berkaca-kaca.“Kenapa kau melakukannya?!” pekik Olivia tiba-tiba.William tersentak hingga air mata yang tertahan di pelupuknya mengalir jatuh.“Apa yang Selena lakukan? Apa benar kau melakukannya?!!!” Olivia kembali menjerit. Lalu ia tarik kembali lengan William hingga mengikis jarak antara mereka.Olivia yang sudah bangkit dengan kasar mulai memukuli William tanpa terkendali diiringi jerit hatinya mengutarakan pertanyaan-pertanyaan yang menyesakkan hati dan pikirannya.Namun William hanya tergugu membiarkan Olivia memukulinya sampai puas untuk melepas bebas di hatinya. Alih-alih mencegahnya William malah terus berusaha memeluk Olivia dengan raut penyesalan yang tergambar di jelas di wajahnya. Hati William teriris pilu melih
Di tepi danau yang sepi dan hanya bercahayakan lampu temaram pinggir jalan Olivia berdiri sendirian di sana. Menatap kosong ke arah Danau dengan riak air yang tenang. Sudah 15 menit Olivia berada di sana menunggu seseorang yang belum kunjung datang.Olivia melempar sebuah batu ke dalam danau nerusaha mengusir rasa bosannya. Tak lama berselang seorang dengan hodie hitam serta topi dan masker berwarna senada mendekati Olivia.“Kau lama sekali,” celetuk Olivia seolah yakin seseorang yang menghampirinya adalah seseorang yang sedang ia tunggu.“Tidak mudah untuk lepas dari pengawasan Daniel, dia mengasai dari mana pun....”“Kau yang melakukannya, Aldo bukan pria keparat itu.”Aldo terdiam, “Aku tidak bisa mematikan atau melepas senua peretas itu walaupun aku pergi. Daniel akan curiga.”Olivia tidak menggubris ia tidak tertarik, kepalanya sudah penuh sesak dengan semua kejadian yang terjadi sejak kem
“Laba-laba!” jerit Olivia tiba-tiba seraya mengibas angin dengan heboh di sisi wajah William hingga menyenggol tangan William dan menjatuhkan sendok berisi es krim strawberry dari tangannya.Tidak berhenti sampai di situ Olivia juga menyenggol manguk es krim di meja hingga mangkuk itu jatuh ke lantai dan menumpahkan seluruh isinya.Kegaduhan pun tercipta hingga menarik perhatian semua pengunjung restoran juga para pegawai di sana.Tidak bisa, Olivia tidak bisa melakukannya. Perasaan tidak tega masih menjadi pemenang atas perdebatan dengan rasa dendamnya yang ada dalam hatinya.“Maaf aku mengacaukan semuanya.” Olivia menahan air matanya agar tidak tumpah buntut dari ketakutan yang menyelimuti hatinya.Para pelayan pun datang dan membersihkan semua kekacauan, baik William maupun Olivia meminta maaf atas keributan yang terjadi dan William mengganti rugi atas barang-barang yang pecah.Namun set
‘Kau yang mempersulit dirimu sendiri karena tidak mau mengakui perasaanmu....’ begitulah seingat Olivia ucapan William di beranda rumah sakit ini dua tahun lalu. Serupa dengan apa yang dikatakannya hari ini.“Apa yang kamu bicarakan?” tanya Olivia penuh selidik.“Maaf sepertinya aku berlebihan, aku tidak seharusnya berkata begitu padamu,” balas William, raut wajahnya kembali berubah senyumnya pun terukir semula, “Ayo kita makan siang, kamu belum makan dari semalam.”Apa mungkin ia menanggapinya terlalu berlebihan? Ya bisa jadi William hanya asal ucap saja karena kesal dan lelah, tapi tetap saja ucapannya terdengar janggal. Olivia buru-buru membuang pikirannya dan berjalan mengikuti William menuju restoran dekat rumah sakit.Baru saja Olivia tiba di sana tiba-tiba ada panggilan masuk dari Daniel di ponselnya.“Misi pertama. Kau tau kan kalau William alergi strawberry. Aku ingin kau memesan makana
“Sudahlah aku tidak mau membahasnya malah membuatku sakit kepala.”Olivia hendak beranjak namun Adela langsung mencekalnya, wanita itu terlihat kesal karena bagaimana mungkin Olivia bisa begitu bodoh dan menolak William.“Ok mungkin ini terlihat mustahil buatmu bisa bersatu dengan Pak Will, tapi hey!!” Adela menjentik-jentikkan jarinya tepat di depan wajah Olivia agar wanita itu segera sadar dari kebodohannya. “Kamu lupa kalo Pak Will tidak pernah memandang sesroang dari status sosial mereka? Tidak perlu jauh-jauh deh, lihat saja mantan pacarmu si Jimmy itu. Kalau Pak Will mempedulikan soal status sosial dalam pergaulannya, dia tidak akan mau berteman dekat dengan Jimmy sampai akhirnya membantu Jimmy yang hanya sekedar pelayan kafe kecil menjadi asisten pribadinya, bahkan kamu yang menceritakan itu semua Olivia!!!”“Kamu lupa juga saat Pak Will membantu membayar biaya perawatan ayahnya Jimmy saat mereka baru saling menge