"Sialan, kamu, Mbak!" Siska mengumpat saat tangannya ditarik paksa Pak Adi. Setelah Siska keluar, aku meminta maaf pada pelanggan yang ada di sana atas keributan yang terjadi. Beruntung mereka semua maklum. Aku kembali ke atas dan Dila masih mengekoriku.
"Mbak, maksudnya tadi apa? Karyawan gudang? Jelaskan ke Dila, Mbak!" pinta Dila sesampainya kami di ruanganku. Dia langsung duduk dihadapanku dengan raut wajah penasaran. Aku tersenyum memandangnya. "Suami Mbak dan keluarganya menganggap Mbak sebagai karyawan gudang karena Mbak selalu keluar dari pintu samping dekat gudang!" jawabku. Dila masih terlihat belum puas dengan jawabanku. "Terus, kenapa Mbak gak cerita sama mereka, kalau sebenarnya Mbak yang punya butik ini?!" tanya Dila lagi. "Gak, Mbak gak mau! Kamu liat sendiri, kan gimana sikap adik ipar Mbak tadi. Kalau Mbak bilang, justru malah bikin tambah susah. Mereka akan besar kepala dan semena-mena. Biar saja, mereka berpikiran seperti itu," ucapku. "Apa itu juga salah satu alasan, Mbak gak pernah pulang bawa mobil?" Dila bertanya lagi. Masih tidak terima dengan jawabanku. "Yah, salah satunya itu juga. Tapi, lebih ke praktisnya aja, sih! Soalnya kan Mbak sering bolak-balik dari butik ke rumah. Lagian juga gak jauh!" jelasku pada Dila. "Bener-bener deh, Mbak, adik ipar Mbak itu gak ada akhlaknya! Sampe geram jadinya!" Dila emosi. "Sudah biasa seperti itu. Harus banyak stok sabar menghadapinya. Sudah, kamu jangan ikutan geram nanti malah kerjaannya gak konsen," ucapku. "Eh, iya jadi baper, Dila merasa menjadi orang yang tersakiti, Mbak," Dila cengengesan. "Ya sudah, balik sana! Lama-lama kamu di sini malah gak jadi kerja!" ucapku sambil tersenyum. "Siap, Bu Bos! Dila memberi hormat padaku. Aku tertawa melihat tingkah lakunya. Kemudian dia pamit kembali bekerja. Aku pun meneruskan pekerjaan yang tertunda tadi. Siang ini seperti biasa aku pulang untuk memasak makan siang. Saat aku tiba di rumah, ternyata Mas Nizam tidak di rumah. Kemana perginya dia. Bukannya istirahat, malah keluyuran. Aku segera ke dapur mempersiapkan makan siang. Kuatir keburu anak-anak pulang terlebih dahulu. Sedang asyik aku di dapur terdengar teriakan Mas Nizam dari depan. "Mahira, sini kamu!" teriaknya. Kuangkat tempe yang kugoreng dan mematikan kompor. Tergopoh-gopoh aku menuju depan. "Mahira!" teriaknya lagi. "Ada apa, sih Mas? Pulang bukannya ngucapin salam, malah teriak-teriak! Aku lagi masak nih!" jawabku. "Jangan banyak omong kamu! Kamu apain Siska sampe dia gak mau balik lagi ke rumah ini, hah!!!""Aku gak apa-apain dia, kok! Kalau dia gak mau pulang ke rumah ini malah bagus, bebanku berkurang satu!""Kamu!!! Dasar istri gak guna!" maki Mas Nizam. "Kamu kalau ngomong dipikir dulu, Mas! Dari dulu gaji istrimu yang gak guna ini dipake buat ngisi perutmu itu! Jadi berhenti memaki aku! Yang gak guna itu adik kamu! Datang ke butik buat keributan biar aku dipecat! Kamu jangan selalu dengar omongan Siska sampe kamu jadi zolim sama istri sendiri!""Aku lebih percaya pada Siska dibanding kamu! Sudah kubilang dia keluargaku! Kamu mempermalukan dia di depan orang-orang sama saja mempermalukan aku dan ibu!" bentak Mas Nizam. "Dia sendiri yang mau! Disuruh pergi masih ngotot juga! Terpaksa satpam bertindak! Udah ganggu kenyamanan orang lain," jawabku lantang. "Ngejawab terus kamu!" Mas Nizam mendekatiku. Reflek dia melayangkan tangannya ke pipiku. Beruntung aku bisa mengelak. Spontan pula aku mendorongnya hingga dia jatuh tersungkur. Mas Nizam meringis kesakitan. Sambil memegang lututnya, dia mencoba berdiri. "Sialan, istri sialan! Kamu berani ngedorong suamimu sendiri!" Mas Nizam semakin berang. "Kamu duluan yang mau nampar aku, Mas! Demi adik kamu itu, tega kamu mau nampar aku!" balasku tak kalah emosi. "Ada apa ini?" Tiba-tiba ibu pulang dan melihat perang mulut antara aku dan Mas Nizam."Ini, Bu, Mahira. Dia sudah bikin malu Siska di butik hingga Siska gak mau pulang lagi ke sini!"Ibu memandangku dengan tatapan tajam. Beliau mendekatiku kemudian langsung menampar pipiku. Aku yang tak siap terkejut dengan tamparan ibu. Mas Nizam tersenyum puas. "Kamu berani mempermalukan Siska! Dia itu anak kesayangan ibu!" ucap ibu emosi. Aku masih memegangi pipi yang masih terasa panas akibat tamparan ibu tadi. "Ira gak buat malu Siska! Dia sendiri yang datang cari keributan! Harusnya ibu bisa mendidik anak ibu dengan sopan santun!" balasku. Tak kuhiraukan bahwa di depanku ini adalah mertuaku. Gak akan aku segan lagi pada mereka. Gara-gara Siska mereka semua menyudutkanku dan aku gak bakalan terima gitu aja. "Kamu yang harus punya sopan-santun! Gak pernah dididik sama orang tua ya, kamu!" maki Ibu. "Ibu harusnya bercermin sebelum ibu ngomong kayak gitu!" balasku lagi. "Mahira, kamu ngejawab terus dari tadi!" bentak Mas Nizam. "Aku gak akan diam, Mas selama aku gak salah! Kalian yang selalu membuat gara-gara!" jawabku lagi. Mas Nizam berusaha mendekatiku. Sepertinya dia berniat untuk menamparku lagi. "Nizam, apa-apaan kamu!" Suara bentakan seseorang membuat Mas Nizam menghentikan niatnya. Ternyata yang datang Bang Rahman dan ibuku. "Bang …Bang Rahman!" ucap Mas Nizam dengan terbata-bata. Ibu mendekat dan memelukku. Bang Rahman menatap Mas Nizam yang tertunduk malu. "Jangan salahkan Nizam, Rahman! Adikmu itu sudah tidak sopan terhadap saya dan Siska! Udah bikin Siska malu sampe gak mau balik ke rumah ini lagi! Siapa yang gak emosi, adiknya digituin!" jawab ibu sambil memonyongkan bibirnya ke kanan dan kiri. "Ibu, maaf sebelumnya. Saya mengenal betul bagaimana sifat Mahira. Dia gak akan berbuat seperti itu kalau tidak tanpa sebab. Jadi, ibu dan Nizam seharusnya tidak langsung ambil tindakan dan menyalahkan satu pihak saja! Bisa saja Siska sendiri yang buat ulah!" ucap Bang Rahman dengan nada lembut. "Jadi kamu bilang Siska yang cari gara-gara! Siska itu anak baik, sopan gak seperti adik kamu itu!" ucap Ibu masih dengan emosi. "Cukup, Bu! Berhenti menyalahkan putri saya! Saya masih terima, Nizam cuek sama saya, tapi kalau sampai dia menyakiti Mahira saya gak akan diam saja!" timpal Ibuku tiba-tiba. "Nizam cuma mau kasih pelajaran sama Mahira, biar bisa menghormati saya dan Siska, apa itu salah?" tanya Ibu mertua. "Pelajaran apa, kalau hanya menyakiti! Saya yakin, Mahira gak salah, cuma kalian saja yang dasarnya cari masalah terus!" sahut ibuku. "Bela terus, biar besar kepala Mahira! Dibilangin suami malah ngelawan terus! Mau jadi istri durhaka, kamu?!" Ibu Mas Nizam semakin mencecarku. "Cukup, Bu! Ibu gak usah banyak bicara lagi! Saya selama ini diam bukannya saya tidak tau, bagaimana perlakuan ibu sekeluarga kepada anak saya!" balas Ibuku. Sepertinya Ibu benar-benar geram dengan mertuaku. 'Ya Allah, bagaimana ini? Bantu hamba ya Allah,' doaku dalam hati."Emang apa yang saya lakukan?! Udah deh, Bu, Mahira itu dididik yang bener biar jadi istri yang nurut sama suami!" ucap Ibu Mas Nizam dengan lantang. "Sebaiknya kita duduk dulu, harus dicari apa yang jadi masalahnya," ucap Bang Rahman dengan sabar. Kami semua duduk di sofa. Aku duduk di tengah antara Bang Rahman dan Ibuku. Di hadapan kami, Mas Nizam duduk bersebelahan dengan ibunya. "Nah, sekarang Mahira, jelaskan apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Bang Rahman dengan lembut. Kuceritakan semua dari mulai Siska yang datang cari keributan di butik, teriak-teriak gak jelas, hingga disuruh pergi tapi masih ngotot juga. Akhirnya satpam yang membawanya keluar. "Sekarang kamu Nizam, Siska ngadu apa sama kamu?!" tanya Bang Rahman. "Siska nelpon saya, Bang. Katanya, Mahira ngusir-ngusir dia sampe dia malu soalnya dia digiring sama satpam udah kayak tahanan aja. Dia gak mau balik lagi ke rumah ini karena sakit hati sama Mahira!" jelas Mas Nizam. "Tapi, dia gak ada bilang, kan apa yang dia
"Enak saja kamu nyuruh saya dan Siska tinggal di rumah sewa! Kalau Mahira gak suka tinggal bersama saya, dia aja yang pergi, kenapa harus saya? Ini rumah Nizam, lepas dari Mahira, rumah ini juga bakalan jadi milik Nizam!" ucap Ibu mertua dengan lantang. "Maaf ya, Bu! Rumah ini atas nama Ira karena DP dan biaya renovasinya semua murni dari uang Ibunya Ira. Gak ada sedikitpun uang Mas Nizam di sini!" timpalku. "Tapi, aku yang nyicil tiap bulan, kamu jangan lupa itu, Ra!" sungut Mas Nizam. "Kamu nyicil rumah? Coba kamu ingat, tiap bulan kamu kasih aku berapa? Satu juta tiga ratus, Mas. Masih besar uang bulanan yang kamu beri untuk ibu dibanding ke aku!""Iya, kan satu juta untuk rumah, tiga ratus untuk listrik dan air," sahut Mas Nizam tanpa perasaan bersalah. "Terus keperluan yang lain, anak dan makan dari mana?" tanya Ibuku. "Yah, dari Mahira dong, Bu! Dia kan sudah Nizam izinin kerja, wajib baginya bantu keuangan rumah," jawab Mas Nizam lagi. "Hebat bener kamu, Zam! Jadi, jatuhn
"Itu juga yang jadi pikiran Ira, Bu! Tadi ketika di butik, Mbak Melani nelepon Ira!" ucapku sambil berbisik. Takut terdengar Mas Nizam. "Kenapa dia nelepon kamu? Ini juga gara-gara dia, kan?" tanya Ibu dengan pelan-pelan. "Iya, tapi anehnya, Bu, dari cerita mbak Melani, sebenarnya Ibunya yang memaksa mereka tinggal di situ padahal mereka dapat rumah dinas. Dan mbak Melani pesan sama Ira berkali-kali, awasi gerak-gerik Siska. Kalau bisa Ibu mertua dan Siska jangan lama-lama tinggal di rumah ini, begitu pesannya, Bu! Tapi, mbak Melani gak ngejelasin alasan detilnya itu apa!" ucapku panjang lebar. "Benar-benar aneh dan membingungkan, ya?" tanya Ibu. Aku mengangguk membenarkan ucapan Ibu. "Kan pada di dapur, udah abang tebak dari tadi! Ngucap salam gak ada dijawab, asyik banget ngobrolnya," Tiba-tiba Bang Rahman muncul di dapur. "Eh, Bang sudah pulang, ya?" tanyaku. "Iya, Dek! Ibu sama kamu asyik ngobrol, gak tau kalau abang dah pulang!" rajuk Bang Rahman. Aku dan Ibu jadi malu mend
Dari butik, Bang Rahman mengantar kami pulang ke rumahku. Bang Rahman berjanji malam nanti akan mampir dan mengajak kami makan malam di luar. Siang ini dia harus ke hotel tempat acara perusahaannya dilangsungkan. Usai berpamitan pada kami, Bang Rahman langsung menuju hotel. Aku, Ibu dan anak-anak masuk ke dalam rumah. Ketika membuka pintu, kami terkejut melihat pemandangan di ruang tamu. Bekas roti, snack dan minuman soda berserakan di atas meja tamu. Belum bantal sofa yang sudah tergeletak di lantai. Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat keadaan ruang tamu. "Bu, kok berantakan banget ya, Bu? Tadi waktu kita pergi gak kayak gini kan, Bu?" tanya Kayla. "Gak tau ibu, Nak! Entah apa yang terjadi di rumah ini!" sahutku. Kami melangkah ke ruang tengah. Dan pemandangannya tidak jauh beda dengan di ruang tamu. Televisi menyala tanpa ada yang menonton. Sofa bed yang biasa tersusun rapi, berantakan semua. Dan tetap, bekas snack pun berserakan di atas karpet. Aku menarik napas dan memb
POV Author. "Kamu jangan sembarangan, Mbak! Jangan asal bicara!" tukas Siska. Dia terlihat gugup mendengar ucapan Mahira barusan. "Apanya yang sembarangan? Aku lihat sendiri kamu jalan sambil bergandeng mesra dengan pria tua, botak dan perutnya buncit!" jawab Mahira. Mahira tidak berbohong. Dia memang melihat Siska bersama pria tua itu saat dirinya berbelanja minggu lalu. Sebelum mengetahui bahwa Siska dan ibunya akan pindah ke rumahnya. Untung saja, Mahira berinisiatif mengambil foto Siska bersama pria itu. "Dia bos di tempatku bekerja!" jawab Siska. Dia begitu kuatir, Mahira akan mengatakan yang tidak-tidak pada Nizam. Bisa berantakan semua rencana ibunya. "Oh, ya! Jadi, sekarang Bos boleh ajak karyawan jalan, makan bergandengan dan mencium pipi di tempat umum!" ujar Mahira lagi. "A …aku hanya menemaninya makan!" elak Siska. "Oh, nemani makan sambil berpelukan?" sindir Mahira. "Kamu! Cukup, Mbak! Sekarang kamu mau apa, hah?" tantang Siska. "Aku mau kamu bersihkan semua yang k
Selesai juga pekerjaan yang diperintahkan Mahira pada Siska. Dia sekarang merebahkan diri di kamar. Terasa tubuhnya begitu penat membersihkan semuanya. Mahira yang baru saja selesai solat ashar memeriksa hasil kerja Siska. 'Lumayan, menghemat sedikit energiku' gumam Mahira dalam hati. "Wah, udah bersih ya, Bu! Gak berantakan lagi! Ibu juara kalau soal beres-beres!" puji Bila. Kayla, Bila dan Ibunya Mahira memilih duduk di depan tivi sambil selonjoran. "Iya, dong!" jawab Mahira dengan nada menyombongkan diri. Sentak Bila dan Kayla tertawa. Begitu juga dengan Bu Hartini, ibunya Mahira. "Cepat juga kamu nyelesein semuanya, Ra! Gak capek kamu?" tanya Bu Hartini. Mahira mengulum senyum mendengar pertanyaan ibunya. Kemudian dia mendekati Ibunya dan berbisik. Mahira menjelaskan semua yang telah terjadi. Dan memberitahukan Ibunya bahwa semua Siska yang ngeberesinnya. Bu Hartini tertawa mendengar penjelasan Mahira."Bagus, Ra! Hitung-hitung nebus dosa karena udah memfitnah kamu tadi!""Iy
"Kenapa, Mas dengan kulkasnya?" tanya Mahira dengan santai. "Kenapa kulkasnya dikunci? Aku mau minum air dingin!" bentak Nizam geram. "Maaf, Mas! Aku sengaja kunci kulkas karena aku baru saja menuhi isi kulkas itu dengan belanjaan yang dibeli Mas Rahman. Aku gak mau dong, kamu nanti ngambil apa yang udah dibelikan untuk aku dan anak-anak. Kan, sekarang kita makan masing-masing!" jawab Mahira. "Kamu benar-benar perhitungan sama suami!" "Jelas dong harus! Soalnya Mas juga gitu sama aku dan anak-anak! Mas selalu memberi apa yang Siska dan Ibu minta tanpa memikirkan perasaan kami jadi aku hanya meniru apa yang telah kamu ajarkan, Mas!" jawab Mahira. Dia, melipat kedua tangan di depan dada dan danau menikmati wajah kesal Nizam. "Sialan, kamu! Cepat buka kulkas ini!" titah Nizam. "Maaf, Mas gak bisa! Lagipula kulkas itu yang beli Ibu dan listriknya aku yang bayar, jadi kamu gak ada hak!" jawab Mahira. "Kalau begitu, apa gunanya kamu jadi istri? Percuma aku punya istri kalau kamu bers
"Kayla, cerita sama Ibu!" ucap Mahira dengan lembut. "Ayah beli bakso, Bu! Jadi Bila nanya, mana bakso untuk dia? Tapi kata Ayah, cuma beli untuk Tante Siska aja. Jadi Bila nangis. Kenapa Ayah tidak pernah membelikan kami makanan? Selalu Tante Siska saja. Ayah juga sering membentak kita berdua, Bu! Ayah nggak sayang sama kita!" ucap Kayla dengan mata berkaca-kaca sambil memeluk adiknya. "Benar, Mas yang Kayla katakan itu?" tanya Mahira seraya menatap tajam pada Nizam. "Emangnya kenapa kalau aku belikan untuk Siska? Mereka berdua kan tanggung jawab kamu! Jadi kalau mereka mau apa-apa, ya minta sama kamu, bukan ke aku!" jawab Nizam tanpa merasa bersalah. "Kamu itu kalau ngomong dipikir, Mas! Aku dan anak-anak sebenarnya tanggung jawab kamu! Tapi kamunya aja yang zolim sama istri dan anak-anak kamu. Lebih memilih memenuhi kebutuhan keluarga kamu daripada kami! Denger ya, Mas! Rezeki yang kamu berikan kepada keluarga kamu itu ada hak kami bertiga. Jadi jika kami tidak ridho kamu lihat
Semua mata tertuju pada Bu Susi. Bukan hanya karena kedatangannya yang tiba-tiba, tetapi juga karena ucapannya. "Kamu ngapain, Mel? Suruh Ibu pulang ke rumah lagi? Bukannya kamu yang mau tinggal di sana?" tanya Bu Susi pada Melani. "Mel nggak pernah bilang kalau kami mau tinggal di sana! Tapi Ibu sendiri yang memaksa untuk pindah ke rumah itu! Sekarang Mel mau kasih tahu Ibu, kalau Mel dan Mas Farhan dapat rumah dinas yang cukup besar. Jadi kami tidak akan pindah ke rumah itu! Sekarang nggak ada alasan lagi Ibu untuk menetap di rumah Nizam! Biarkan mereka membina rumah tangga mereka bersama anak-anaknya. Dan ibu bisa pulang ke rumah seperti sedia kala!" titah Melani. "Ibu nggak mau pindah lagi! Ibu capek! Mendingan di sini ada yang bantu ngurusin ibu. Ibu ini udah tua Mel, harusnya ibu nih, nggak perlu bekerja lagi!" ucap Bu Susi. "Siska kan, tinggal sama Ibu! Jadi apa gunanya anak perempuan Ibu itu, kalau dia nggak ngurusin ibu? Siska juga punya tanggung jawab, Bu! Mahira hany
"Mbak Melani!" Nizam tak percaya di ambang pintu berdiri Melani, kakak kandungnya beserta suaminya, Farhan. "Sekali kamu sentuh Mahira, Mbak laporin kamu ke polisi!" ancam Melani. Dia mendekati Mahira diikuti Farhan yang melangkah di belakangnya. "Mbak, kok malahan belain dia, sih? Yang adik Mbak itu aku, bukan Mahira!" protes Nizam. Dia tak percaya justru kakaknya sendiri membela istrinya. "Mbak membela bukan lihat dia adik Mbak atau siapa, tapi Mbak membela yang benar!" sahut Melani. "Mbak pikir dia benar? Dia udah nampar Nizam dua kali dan Nizam sedikitpun belum membalasnya! Apa Itu yang Mbak bela? Yang sudah kurang ajar pada suaminya?" cecar Nizam. "Mbak gak tau apa yang terjadi, tapi Mbak gak akan izinkan kamu main tangan pada istrimu!" balas Melani. "Ada apa ini?" Bu Hartini keluar dari kamar masih dengan menggunakan mukena. "Kenapa ribut sekali kedengarannya?" tanya Bu Hartini lagi. "Ibu!" sapa Melani. Dia kemudian mendekati Bu Hartini dan menyalaminya. "Melani,
Nizam baru saja akan ke kantin kantor. Siang ini memang dia tidak ingin pulang ke rumah untuk makan siang. Hatinya masih kesal karena kejadian pagi tadi. "Bisa-bisanya dia melakukan itu padaku! Dasar istri gak berguna!" maki Nizam dalam hati. "Hei, Bro! Tumben makan di kantin?" tanya Doni, rekan kerja Nizam satu divisi. "Iya, Mahira lagi gak enak badan, dia gak masak! Terpaksa aku makan di sini! Padahal kamu tau sendiri, kan, aku paling gak bisa makan di luar!" jelas Nizam. "Bilang aja, kamu pelit, Zam! Gak bisa makan di luar? Kayak orang gak tau kamu, aja!" cibir Doni dalam hati. "Oh, istrimu lagi sakit!" Doni manggut-manggut. "Iya," jawab Nizam. Doni dan Nizam memilih tempat di sudut ruangan. Baru saja Nizam hendak duduk di bangku kantin terdengar bunyi pesan masuk dari ponselnya. Nizam membuka pesan. Terlihat kiriman sebuah foto yang masih buram. Nizam kemudian menekan layar ponsel untuk memperjelas foto tersebut. Betapa dia terkejut melihat foto yang dikirimkan oleh S
"Ra, ibu tadi malam tidak sengaja terbangun. Saat ibu ingin mengambil wudhu untuk tahajud dan melewati kamar Siska, terdengar suara orang berbicara. Ibu penasaran sehingga Ibu menguping siapa yang dini hari seperti ini berbicara dengan Siska. Ternyata ibu mendengar suara suamimu, Nizam!" jelas Bu Hartini. Beliau menarik napas dan membuangnya perlahan. Mahira hanya diam mendengarkan penjelasan ibunya. "Dan kamu tahu, apa yang mereka bicarakan? Nizam meminta Siska melayaninya!" Mahira membelalakkan matanya tak percaya. "Apakah yang pernah kudengar itu benar adanya? Mereka ada hubungan?" batin Mahira. "Namun di situ Siska menolak dengan alasan capek dan besok dia harus bekerja. Dia menyuruh suamimu untuk meminta kamu yang melayaninya. Tapi suamimu menolak karena katanya dia tidak sedang mood dengan kamu! Ibu benar-benar nggak habis pikir, Ra! Mereka itu kan adik-kakak! Bagaimana bisa mereka melakukan hubungan terlarang seperti itu?!" Bu Hartini merasa heran. "Memang Ibu tidak meli
"Buat sarapan apa, Ra?" tanya Bu Hartini mendapati putrinya sedang mengaduk-aduk sesuatu di kuali. "Ini, Bu! Mi goreng! Yang biasa Ibu bikin untuk sarapan Ira sama Bang Rahman dulu." "Pake resep yang sama?" tanya Bu Hartini seraya tersenyum. "Iya, Bu! Sama! Mudah-mudahan rasanya gak beda jauh sama buatan Ibu!" ujar Mahira. Dia menuangkan kecap manis ke dalam kuali dan kembali mengaduknya. "Pasti sama rasanya kalau resepnya sama!" jawab Bu Hartini. Mahira tersenyum. "Ra, kamu sudah hubungi Dila, bilang kalau kamu gak datang lagi ke butik?" tanya Bu Hartini. Mahira menatap Ibunya. Dia mengecilkan api kompor dan duduk di hadapan Ibunya. "Bu, Ira udah ngomong sama Dila tapi Ira bilang kalau Ira sekarang gak bisa datang tiap hari. Nanti, dalam seminggu paling dua atau tiga kali Ira ke sana! Mas Nizam, kan kerja juga, Bu! Dia gak bakalan tau juga Ira pergi atau gak!" bisik Mahira. "Iya, juga, ya! Dia kan, pergi kerja pagi! Pulang juga siang pas makan. Oh ya, hari ini dan seter
"Ibu!" Nizam membelalakkan matanya. Dia langsung menurunkan tangannya yang sudah sempat terangkat. "Iya, saya! Emangnya kenapa?" tanya Bu Hartini sinis. Dia mendekati Mahira. "Bu …bukannya Ibu pulang sama Bang Rahman?" tanya Nizam gugup. "Kenapa kamu pikir saya akan pulang? Untuk membiarkan putri saya kamu sakiti lagi! Nggak akan pernah, Nizam!" jawab Bu Hartini emosi. "Nggak gitu, maksudnya, Bu! Mahira terlalu pelit jadi orang. Siska udah kelaparan dan minta makan. Dan Mahira nggak mau ngasih!" Nizam memberi alasan. "Kalian ini, orang bodoh atau memang orang yang pura-pura bodoh?! Kesepakatannya sudah jelas! Mahira tidak akan mengurus masalah makanan kalian lagi, tapi masih itu juga yang kalian protes! Heran, saya!" ucap Bu Hartini dengan ketua. "Ra, masuk ke dalam kamar!" titah Bu Hartini. Mahira menganggukkan kepala. Di kemudian langsung melangkah menuju kamarnya. "Ra, kasih dulu makanannya ke Siska!* seru Nizam. "Bayar!" ucap Mahira tanpa melihat Nizam. "Uangku yang
Bu Hartini kembali ke kamar cucu-cucunya. "Kenapa, Bu? Sepertinya kesal sekali setelah bertemu dengan besan!" goda Rahman. "Bukan lagi, Man! Bisa-bisa Ibu darah tinggi dibuatnya. Mulutnya itu, lho! Seenaknya ngatain Mahira dan bilang Ibu gak pernah mendidik anak Ibu! Lah, dia sendiri gimana? Emang sudah benar kelakuan anak-anaknya? Yang laki gak bertanggung jawab dan egois. Yang perempuan genit minta ampun! Kayak jadi orang tua yang paling benar aja!" tutuk Bu Hartini. "Sabar, Bu! Ibunya Mas Nizam emang kayak gitu. Dari dulu sifatnya gak berubah! Ira sebenarnya masih bertanya-tanya apa tujuan dia tinggal di rumah ini! Kayak ada sesuatu hal yang direncanakannya bersama Siska!" timpal Mahira. "Benar, Ra! Ibu juga ngerasa begitu! Dia dan anak perempuannya itu pasti memiliki niat yang jahat khususnya ke kamu!" sahut Bu Hartini. "Ibu, dan kamu, Ra!Jangan menuduh sebelum ada bukti! Itu namanya suudzhon!" tegur Rahman. "Kita gak nuduh, Bang! Hanya curiga! Abang bayangin aja! Siska
"Mahira, kamu di mana? Kenapa tidak ada makanan di atas meja?!" teriak Bu Susi. Mahira yang sedang berada di dalam kamar anak-anaknya bersama Rahman dan Bu Hartini sedikit terkejut mendengar teriakan Bu Susi, mertuanya. Karena mereka tidak mendengar ucapan salam dari luar. "Mahira, kamu dengar nggak, saya panggil? Kamu di mana sih? Budeg apa?!" teriak Bu Susi lagi. Mahira segera berdiri namun ditahan oleh Bu Hartini. "Biar ibu saja yang keluar! Kamu diam di sini!" titah Bu Hartini. "Baik, Bu!" jawab Mahira sambil menganggukkan kepala. Bu Hartini melangkah menuju pintu dan membukanya. Kemudian dia menghampiri besarnya yang sedang duduk di meja makan. "Bu Susi, baru pulang?" tanya Bu Hartini sambil melipat tangan di dada. "Ya, iyalah! Emangnya nggak lihat apa, saya baru nyampe?! Mana anak kamu? Suruh siapin makanan buat saya! Saya laper banget, tadi di toko nggak sempat makan!" jelas Bu Susi. "Saya nggak tau, soalnya nggak ada ucapan salam dari depan. Tiba-tiba terdengar te
"Saya nggak ada maksud nyakiti Mahira, Bang! Saya hanya minta Mahira menghapus status WAnya, hanya itu saja?" jawab Nizam ketakutan. Baru kali ini dia berhadapan dengan Rahman yang terlihat begitu emosi. "Apapun alasannya, kamu sudah berani menyakiti adik saya! Apalagi kalau saya tidak ada di sini! Bisa-bisa adik saya, kamu bunuh!" ucap Rahman dengan mata nyalang. "Bang, jangan gitu dong! Saya nggak akan mungkin sampai segitunya nyakitin Mahira. Sampe Abang menuduh saya sejahat itu! Semua ini terjadi karena Mahira yang memulainya terlebih dahulu. Saya merasa kesal karena sebagai suami saya tidak dianggap. Masa dia buat di status WA mau ganti suami. Maksudnya apa, coba?" tanya Nizam. "Kamu, kan bisa tanya baik-baik sama dia? Kenapa dia melakukan itu? Tidak akan mungkin ada asap jika tidak ada api! Sekarang abang mau tanya sama kamu, Mahira! Kenapa kamu membuat status seperti itu?" "Mas Nizam duluan, Bang! Dia buat status WA mau tukar tambah istri! Dipikirnya Mahira apaan? Dan