Bab 113) Merasa MenangSaking asyiknya memikirkan keluarga sang suami, membuat perjalanannya terasa begitu cepat. Kini ia sudah sampai di tempat tujuan. Hanum membelokkan mobilnya masuk ke halaman bangunan bertingkat dua yang cukup besar itu.Bangunan itu terdiri dari beberapa toko. Toko milik Hanum ada di deretan nomor dua. Di atas pintu terpampang tulisan yang cukup besar, NAJMI STORE. Najmi adalah nama belakang Hanum yang berarti bintang.Waktu baru menunjukkan pukul 08.00 pagi, tetapi Nita dan Haikal sudah stand by di toko. Lelaki muda itu bahkan mulai merapikan barang-barang yang tidak terletak pada tempatnya, sementara Nita mulai sibuk membungkus. Sesekali ia mengecek buku catatan yang tergeletak di lantai di samping tempat duduknya. Kurir akan datang mengambil barang pada pukul 10.00 pagi."Halo, Jagoan!" Haikal melambaikan tangan.Balita berusia tujuh bulan itu melonjak-lonjak. Hanum menepuk pundak putranya."Adzkar main sama Mama dulu ya. Om Haikal nya lagi sibuk." Hanum bal
Bab 114) Kebodohan IsmahHari semakin beranjak siang. Ismah baru saja selesai memasak tatkala suara motor berhenti di halaman rumah. Wanita tua itu bergegas keluar. Dia mendapati Mila yang memakai seragam sekolah. Gadis itu melepas sepatunya, kemudian melangkah masuk ke dalam."Ah, syukurlah kamu datang, Mila. Mama sudah masak enak untuk kalian," ujar wanita tua itu sambil menjejeri langkah putrinya."Oh, ya? Benarkah?" sahut gadis itu gembira. Perutnya memang sudah lapar sejak tadi."Segera ganti bajumu dan panggil Zainab dan Zaid kemari. Kita akan makan siang bersama!" perintah Ismah."Baiklah, Ma." Mila masuk ke dalam kamarnya. Namun, alangkah terkejutnya gadis itu saat melihat suasana kamar yang berantakan."Ma, kenapa kamarku acak-acakan?! Tadi pagi saat aku berangkat sekolah, kamar ini masih rapi. Siapa yang masuk ke dalam kamarku?" teriak Mila. Matanya menatap horor tumpukan pakaian di ranjang dan buku-bukunya yang letaknya tak beraturan di meja belajarWanita tua itu seketika
Bab 115) Rugi Berkali-kali LipatSelesai berganti pakaian, Mila segera berlalu meninggalkan kamarnya. Tak lupa membawa kartu ATM serta ponsel. Gadis itu berjalan cepat. Da tak mau membuang lebih banyak waktu lagi."Kak Zainab!" teriak Mila saat ia berada di depan pintu rumah itu."Ada apa, Mila?" Zainab muncul dari ruang dalam. Selembar handuk membungkus kepalanya. Sepertinya wanita itu baru saja mandi dan berganti pakaian.Mila melangkah masuk ke dalam rumah dengan nafas masih ngos-ngosan, lalu duduk begitu saja di lantai dengan kaki berselonjor. Gadis itu menyerahkan kartu ATM yang semula berada dalam genggaman tangannya."Apa ini, Mila?" tanya Zainab mengerutkan dahi."Mama sudah membuat kecerobohan, Kak," adu gadis itu."Ceroboh gimana?" Mila menceritakan apa yang barusan terjadi, tentang ibu mereka yang begitu bodoh menyetujui cara pembayaran lewat transfer dan malah menyerahkan kartu ATM kepada orang yang membeli barang-barang bekas Hanum."Apa?! Jadi kita nggak akan dibayar?"
Bab 116) Zaid SakitHanum baru saja selesai menidurkan Adzkar. Balita tampan itu tertidur pulas di atas kasur lipat yang biasa di pakainya jika beristirahat. Wanita itu tersenyum menatap wajah damai putranya, lalu mulai membuka laptop.Kini ia harus melanjutkan pekerjaannya kembali. Hanum mulai berselancar di dunia maya, memposting beberapa model gamis dan jilbab, lalu membuka akun online shop-nya. Lagi-lagi ada beberapa orderan masuk. Sembari mengucap hamdalah, ia memprint data-data itu, kemudian beranjak ke lantai bawah dan menyerahkan lembaran kertas kepada Nita.Di depan toko ada beberapa pengunjung. Mereka dilayani oleh Desy. Hanum melambaikan tangan. Anak buahnya yang satu ini membalas seraya tersenyum.Hanum kembali menapaki anak-anak tangga, naik ke lantai atas. Laptopnya masih saja menyala. Namun, baru saja ia duduk, tiba-tiba ponselnya berdering."Kak Husna," gumamnya seraya menggulir layar. Hanum mulai memutar video kiriman Husna."Astagfirullah...." Hanum buru-buru menguca
Bab 117) Ke Rumah SakitWaktu belum menunjukkan pukul 09.00 malam. Zainab menggedor pintu rumah Farhan. Untungnya penghuni rumah belum tidur, sehingga tak sampai 10 menit semuanya sudah siap. Zainab membimbing Zaid ke mobil dan mereka segera meluncur ke puskesmas yang terletak sekitar 3 km dari rumah. Wajah Zaid semakin pucat. Terkadang dia memegang perutnya. Ada rasa yang tidak enak semakin mendera, nyaris tak tertahankan. Sesekali ia meringis. "Sakit sekali ya, Nak?" bisik Zainab mengusap bahu putranya. Namun anak lelaki itu hanya diam. Mereka sudah sampai di halaman puskesmas dan segera masuk ke dalam. Zaid berbaring di ranjang. Seorang lelaki berpakaian putih-putih nampak memeriksa kondisi anak itu. Keningnya lantas berkerut. "Apakah dia sering mimisan?" tanyanya kepada Zainab "Iya, Dok. Dia memang mimisan," jawab Zainab apa adanya. Raut wajah lelaki itu seketika berubah. Dia menggelengkan kepala, kemudian melepas stetoskop di telinganya. "Ibu, saya belum bisa memastikan, k
Bab 118) Ajakan Yasmin "Sudahlah, Ma. Biarkan saja Fahri dan Hanum. Mereka juga sudah terlanjur datang kesini. Toh kita juga tidak mengundangnya. Mereka datang atas kemauan sendiri, tidak ada yang menyuruh," ucap Zainab melerai. Wanita itupun menjauh dari ranjang dan duduk di samping ibunya. "Ini semua gara-gara Yanti. Kenapa juga Yanti harus memberi kabar? Lagi pula Mama rasa, Zaid ini tidak apa-apa. Sampai saat ini hasil dari lab belum juga keluar. Tak ada yang harus kita khawatirkan. Sia-sia saja kamu jauh-jauh membawa Zaid kemari, malah cuman buang-buang uang! Emangnya kamu punya banyak uang? Udah merasa kaya kamu?!" omel wanita tua itu. Zainab beranjak dan menyeret ibunya keluar dari ruangan bercat putih itu. Ekor matanya melirik Fahri dan Hanum yang tengah berbicara dengan putranya. "Lepas, Zainab! Kenapa kamu jadi kasar sama Mama sih?!" sentak Ismah mengibaskan tangannya dengan kasar. "Ma, ini rumah sakit. Tolong jangan berbicara keras. Kasihan Zaid. Zaid itu sakit, Ma. Buk
Bab 119) Hasil Tes Lab"Aku sudah bercerai dari Zidan. Sekarang aku bebas," ujar Yasmin tanpa beban. Dia mengerling manja yang ditanggapi oleh Fahri dengan mengalihkan pandangan ke arah lain.Hanum berdecak kesal, menatap jijik Yasmin Apa-apaan ini? Hamil di luar nikah, kemudian menikah disaat kandungan sudah membesar. Bukannya tobat, tapi malah makin menjadi. Apa nggak sadar kalau ia sudah menjadi menjadi seorang ibu, yang sikapnya secara tidak langsung menjadi contoh bagi anaknya?Hanum menggamit tangan sang suami, bersiap mengajaknya pergi. Namun genggaman tangan Fahri justru semakin erat."Kenapa sampai bercerai, Yasmin? Bukankah perceraian itu dibenci oleh Tuhan?" usik Fahri."Karena aku tidak mencintainya," jawab Yasmin. Lagi-lagi gayanya sangat santai, seolah tanpa dosa karena mencampakkan Zidan begitu saja."Kalau kamu tidak mencintainya, kenapa kamu menikah?" sergah Hanum tak habis pikir, sedemikian mudahnya Yasmin mempermainkan sebuah pernikahan."Hanum, tahu apa kamu tenta
Bab 120) Tak Ada Salahnya Mencoba"Tapi bagaimana dengan biaya kita sehari-hari selama di sini? Ini baru Mama dan kamu, belum lagi jika Mila dan Faiz datang," keluh wanita tua itu. Faiz memang tidak masalah, tetapi Mila? Pasti akan menambah bebannya. Ismah berani taruhan. Kalaupun Mila menyusul kesini, jelas bukan dalam rangka membantu merawat keponakannya, tapi paling-paling hanya minta uang untuk jalan-jalan menikmati keindahan ibukota provinsi ini."Kalau memang nggak berkepentingan, ya nggak usah datanglah. Lagi pula ngapain Mama mengharapkan Mila dan Faiz? Mila sekolah, bahkan sekarang hampir ujian. Sementara Faiz sibuk kerja. Paling-paling yang menemani kita di sini cuma Yanti," tukas Zainab menerangkan."Tapi tetap saja itu perlu biaya, Nab. Kamu pikir Mama tidak tahu jika kamu berhutang sama Farhan. Iya, kan? Itu hutang, harus dibayar. Uang dari mana buat bayar, sementara gaji kamu tidak seberapa?" Ismah mengingatkan."Hanya Zaid satu-satunya yang kumiliki sekarang ini dan ak
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.
Bab 219) Jatuh Tertimpa Tangga"Bi Nab tuh!" seru Adzkar dengan bahasa bocah."Bibi Zainab terjatuh?!" pekik Hanum kaget. Kepala mungil itu mengangguk.Hanum buru-buru mengucap istighfar kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sembari menggendong Adzkar, ia segera berlari kecil menuju rumah sebelah.Sudah lebih dari 3 bulan Zainab menderita stroke. Sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Dia tidak bisa melakukan apapun. Separuh tubuhnya dari tengah sampai ke bawah mati rasa. Hanum, Mila dan Husnalah yang akhirnya merawat wanita itu. Untuk meringankan pekerjaannya, terpaksa Hanum membawa serta bibi Diah untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mungkin menghandle semuanya sendirian. Mengurus rumah, mengasuh Adzkar, merawat Zainab, sekaligus mengerjakan pekerjaannya di Najmi Store. Bahkan kini, pekerjaan Hanum bertambah, yaitu menjadi konten kreator di sebuah aplikasi. Bermula dari keisengannya mengunggah video-video Adzkar yang tengah belajar menghafal Al-Qur'an. Tern
Bab 218) Peringatan Terakhir Merasa tak ada lagi respon dari istrinya, Fahri memilih melangkah menuju kamar mandi. Dia melepas seluruh pakaiannya, melemparkannya ke keranjang cucian, lalu mengguyur tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sembari mengguyur tubuhnya, bayangan raut wajah istrinya yang datar menari-nari di benak Fahri. Dia tahu, sulit bagi Hanum untuk mempercayainya lagi setelah selama bertahun-tahun, janji hanya tinggal janji. Namun dia tak bisa menampik, kenyataan bahwa dia memang tidak bisa terlalu tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, karena waktu itu masih ada ibunya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ajaran yang melekat kuat di alam bawah sadarnya, membuatnya tunduk dengan mutlak. Sejauh yang bisa ia lakukan hanya sekedar mencari jalan tengah, meski pada akhirnya Hanum juga yang harus mengalah dan berkorban. Kini sudah saatnya ia bertindak. Ibunya sudah meninggal dunia. Apalagi yang mesti ia perhatikan? Darah memang lebih kental daripada air, tetapi jika air l
Bab 217) Kita Lihat Saja NantiMila menatap nanar saat mobil yang membawa kakak madunya pergi dari rumah ini. Sampai di titik akhir, Mila tetap menolak. Dia takkan pernah sudi menerima tawaran Herlita untuk menjadi asisten pribadinya. Bekerja merupakan hal yang berat bagi Mila dan itu bukan tujuan hidupnya. Selamanya dia bercita-cita untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, sementara urusan pekerjaan dan nafkah itu urusan laki-laki, urusan suami. Sudah cukup ia menyaksikan mendiang ibunya harus pontang panting kerja di sawah sambil mengurus rumah, suami, anak-anak, bahkan mertua.Bekerja itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Mila. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lelahnya ibunya saat pulang dari sawah. Setelah pulang dari sawah pun tetap tidak bisa beristirahat, karena harus mengurus rumah, anak-anak dan mertua.Dia tidak mau nasib buruk ibunya menimpa dirinya pula. Dia harus mencari suami orang kaya, agar hidupnya terjamin. Dan sekarang keinginan itu tercapai, walaupun keny