Bab 120) Tak Ada Salahnya Mencoba"Tapi bagaimana dengan biaya kita sehari-hari selama di sini? Ini baru Mama dan kamu, belum lagi jika Mila dan Faiz datang," keluh wanita tua itu. Faiz memang tidak masalah, tetapi Mila? Pasti akan menambah bebannya. Ismah berani taruhan. Kalaupun Mila menyusul kesini, jelas bukan dalam rangka membantu merawat keponakannya, tapi paling-paling hanya minta uang untuk jalan-jalan menikmati keindahan ibukota provinsi ini."Kalau memang nggak berkepentingan, ya nggak usah datanglah. Lagi pula ngapain Mama mengharapkan Mila dan Faiz? Mila sekolah, bahkan sekarang hampir ujian. Sementara Faiz sibuk kerja. Paling-paling yang menemani kita di sini cuma Yanti," tukas Zainab menerangkan."Tapi tetap saja itu perlu biaya, Nab. Kamu pikir Mama tidak tahu jika kamu berhutang sama Farhan. Iya, kan? Itu hutang, harus dibayar. Uang dari mana buat bayar, sementara gaji kamu tidak seberapa?" Ismah mengingatkan."Hanya Zaid satu-satunya yang kumiliki sekarang ini dan ak
Bab 121) Memberi HarapanNamun tak ada tanggapan, hanya suara air yang mengalir, pertanda Hanum sudah memulai ritual mandinya.Sampai keduanya selesai makan malam, suasana canggung masih juga terasa. Fahri mengekor langkah istrinya nenuju kamar mereka."Sayang, katakan apa salahku? Kenapa hanya diam...?"Hanum tak menjawab, malah memberi isyarat suaminya untuk diam. Wanita itu menepuk punggung putranya, sebelah tangannya memegang botol dot. Bocah lelaki itu menyedot cairan kesukaannya sembari memejamkan mata.Setelah Adzkar tertidur, Hanum melepaskan dot dari mulut putranya, lalu mencium kening putranya penuh kasih sayang."Seharusnya Kakak bisa membedakan antara menolong dan memberi harapan." Hanum beringsut menjauh dari tubuh Adzkar, duduk di sisi sang suami."Memberi harapan?!" ulang Fahri. "Memberi harapan kepada siapa?" Sedetik kemudian ia ingat insiden rumah sakit. Memang, setelah mereka keluar dari rumah sakit dan sepanjang perjalanan, Hanum menjadi irit bicara."Yasmin?" Fahr
Bab 122) Tak Ada Cara LainYanti mempercepat langkahnya demi meraih Zaid dan memapahnya masuk ke dalam mobil, tak lupa ia menyelipkan amplop itu ke dalam saku celana Zaid. Biarlah. Semoga saja uang itu masih bermanfaat untuk adik tirinya. Jikalau Zainab tidak mau menerima, bukankah Zaid juga berhak menerima pemberian dari paman dan bibinya?Yanti menghela nafas lega. Syukurlah aksinya barusan tak ketahuan dua wanita itu, lantas memicu insiden yang tak diinginkan.Mobil berjalan memutar hingga akhirnya meluncur keluar dari areal parkir. Yanti melambaikan tangan sebelum mobil Farhan lenyap dari pandangannya. Selepas itu, ia pun melangkah menuju motor yang terletak tak jauh dari tempat ia berdiri.Dia harus pulang. Sudah tak ada lagi yang bisa dilakukannya kecuali berharap semoga Zaid baik-baik saja.Farhan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang, sesekali ia melirik ke belakang. Nampak Zaid duduk dengan tambahan bantal di belakang dan samping kanannya. Dia pun merasa iba. Tak tega
Bab 123) Menemani sarapanFahri baru saja menekan tombol berwarna hijau. Namun mendadak terdengar suara ketukan dari luar. Seorang lelaki muda yang bertugas membersihkan bangunan ini berdiri di depan pintu."Maaf Ustadz, ada yang mencari Ustadz di luar," beritahunya. Kepalanya tertunduk."Ada yang mencari saya?" Sepasang alisnya terangkat. Siapa yang mencarinya pagi-pagi begini? Fahri menekan ikon telepon berwarna merah di layar ponselnya."Betul Ustadz. Katanya dia keluarga Ustadz dari kampung," imbuhnya."Keluarga saya?" Benaknya langsung tertuju kepada Zaid. Sekarang hanya Zaid yang menjadi sumber masalah di keluarganya.Fahri bergegas melangkah keluar. Di luar suasana masih sepi. Belum terlihat aktivitas di sekitar tempat ini, kecuali mungkin di area asrama . Para santri sudah mulai melakukan aktivitas sejak pukul 04.00 pagi sebelum shalat subuh.Sesosok perempuan berjilbab nampak berdiri menyandar santai di samping mobil sembari menggendong seorang balita perempuan."Yasmin?" Fah
Bab 124) Cinta Itu Perlu Siasat"Kamu pikir bisa seenaknya begitu terhadap suami orang?!" Hanum melenggang begitu saja menghampiri dua orang yang tersentak kaget dengan kedatangannya, bahkan Fahri seketika berdiri. "Sayang...." Refleks lelaki itu meraih tangan istrinya. Namun segera ditepis oleh Hanum. "Lepas, Kak. Aku butuh bicara dengan wanita ini, supaya dia jangan semena-mena dan mau menghargai rumah tangga orang lain." Hanum meraih Tania dari pangkuan Yasmin kemudian melambaikan tangan kepada Bibi Diah yang juga tengah menggendong Adzkar. Hanum memberikan Tania kepada bibi Diah, kemudian menyuruhnya segera meninggalkan kedai. Yasmin mencoba mengejar putrinya, tapi segera dihadang oleh Hanum. "Tenanglah, anakmu aman dengan asisten rumah tanggaku. Dia tak akan berbuat jahat. Aku melakukan ini karena anakmu tidak perlu menonton pertengkaran orang tuanya. Sekarang mari kita duduk," ucap Hanum penuh penekanan. Dia menunjuk bangku di depannya. "Apa mau kamu, Hanum? Kenapa kamu bisa
Bab 125) Berenang Di Lautan CintaIstrinya benar. Andai saja malam itu Hanum tidak datang ke rumah haji Alwi dan menggagalkan pernikahannya dengan Yasmin, mungkin ceritanya akan berbeda. Dia akan kehilangan Hanum dan membina rumah tangga dengan Yasmin yang tidak pernah ia cintai, bahkan mungkin ia akan menganggap Tania seperti anak kandungnya sendiri, karena tidak tahu bahwa Tania sebenarnya bukan berasal dari benihnya.Sebagai seorang istri, Hanum memang cukup cerdik. Dia pun tidak menuruti egonya seperti wanita-wanita lain yang kalap saat mengetahui rencana suaminya akan menikah lagi. Justru ia selalu mencari solusi untuk mempertahankan rumah tangganya. Untuk hal yang satu itu, istrinya patut diacungi jempol."Seperti halnya Yasmin, Kakak pun juga di hadapkan oleh dua pilihan. Tetap memberi akses kepada Yasmin dan Tania untuk bertemu dan berhubungan dengan Kakak, tentu dengan resiko kehilangan aku dan Adzkar. Atau menutup rapat-rapat akses komunikasi dengan Yasmin dan Tania, demi te
Bab 126) Makan Di RestoranUntung saja tidak ada kendaraan di depan dan di belakangnya yang kebetulan lewat, sehingga Yasmin terhindar dari kecelakaan. Namun ia harus menghentikan mobilnya sejenak. Sembari menggendong Tania, ia turun dari mobil. Wanita itu mengamati mobil kesayangannya."Hampir saja," gurutu wanita itu. Mobil ini baru saja dibelinya, sebagai pengganti mobil kesayangannya yang telah ia jual untuk modal usaha. Tentu tidak semewah mobil yang dulu, tapi lumayanlah bisa untuk mobilitasnya sehari-hari, termasuk menemui Fahri yang kini tinggal di daerah pinggiran sebuah kota kecil yang berjarak sekitar 3 jam perjalanan dari kota Banjarmasin.Kali ini ia berusaha lebih tenang. Yasmin mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Dia tidak mau mati konyol, lagi pula ia masih sayang dengan mobilnya, tak ingin kembali kesialan menimpa hidupnya. Sudah cukup selama ini. Yasmin menarik nafasnya dalam-dalam. Dia mengusap kepala putrinya. Kepala Tania tertunduk, tampaknya ia sud
Bab 127) Apakah Ini Yang Dinamakan Jodoh?Setelah memasukkan stroller ke bagasi mobil, Yasmin masuk ke dalam mobil, kemudian segera pergi meninggalkan tempat itu. Tak ia hiraukan laki-laki itu yang terus berusaha menahannya. Yasmin sudah memberi waktu sebanyak lima menit, tetapi lelaki itu sepertinya terlalu kepo dengan kehidupan pribadinya. Pembicaraan yang sangat memuakkan bagi Yasmin. Jika dipikir-pikir, lelaki itu malah mirip dengan Zidan yang ikut campur dengan urusan pribadinya, padahal seharusnya Zidan mengerti batasannya sebagai suami bayaran dan di luar itu ia tidak punya hak apapun dengan apa yang dilakukan oleh Yasmin."Hah ada-ada saja. Dasar lelaki kurang kerjaan. Penampilan doang yang keren, tapi sikapnya kayak emak-emak biang gosip. Dia pikir dia siapa, sampai ingin tahu siapa bapaknya Tania, kapan Tania lahir, berapa umur Tania? Apa haknya tanya-tanya begituan?" Wanita itu mengangkat bahu sembari terus mengemudi. Pertanyaan mengenai ayah Tania merupakan hal yang pali
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.
Bab 219) Jatuh Tertimpa Tangga"Bi Nab tuh!" seru Adzkar dengan bahasa bocah."Bibi Zainab terjatuh?!" pekik Hanum kaget. Kepala mungil itu mengangguk.Hanum buru-buru mengucap istighfar kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sembari menggendong Adzkar, ia segera berlari kecil menuju rumah sebelah.Sudah lebih dari 3 bulan Zainab menderita stroke. Sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Dia tidak bisa melakukan apapun. Separuh tubuhnya dari tengah sampai ke bawah mati rasa. Hanum, Mila dan Husnalah yang akhirnya merawat wanita itu. Untuk meringankan pekerjaannya, terpaksa Hanum membawa serta bibi Diah untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mungkin menghandle semuanya sendirian. Mengurus rumah, mengasuh Adzkar, merawat Zainab, sekaligus mengerjakan pekerjaannya di Najmi Store. Bahkan kini, pekerjaan Hanum bertambah, yaitu menjadi konten kreator di sebuah aplikasi. Bermula dari keisengannya mengunggah video-video Adzkar yang tengah belajar menghafal Al-Qur'an. Tern
Bab 218) Peringatan Terakhir Merasa tak ada lagi respon dari istrinya, Fahri memilih melangkah menuju kamar mandi. Dia melepas seluruh pakaiannya, melemparkannya ke keranjang cucian, lalu mengguyur tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sembari mengguyur tubuhnya, bayangan raut wajah istrinya yang datar menari-nari di benak Fahri. Dia tahu, sulit bagi Hanum untuk mempercayainya lagi setelah selama bertahun-tahun, janji hanya tinggal janji. Namun dia tak bisa menampik, kenyataan bahwa dia memang tidak bisa terlalu tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, karena waktu itu masih ada ibunya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ajaran yang melekat kuat di alam bawah sadarnya, membuatnya tunduk dengan mutlak. Sejauh yang bisa ia lakukan hanya sekedar mencari jalan tengah, meski pada akhirnya Hanum juga yang harus mengalah dan berkorban. Kini sudah saatnya ia bertindak. Ibunya sudah meninggal dunia. Apalagi yang mesti ia perhatikan? Darah memang lebih kental daripada air, tetapi jika air l
Bab 217) Kita Lihat Saja NantiMila menatap nanar saat mobil yang membawa kakak madunya pergi dari rumah ini. Sampai di titik akhir, Mila tetap menolak. Dia takkan pernah sudi menerima tawaran Herlita untuk menjadi asisten pribadinya. Bekerja merupakan hal yang berat bagi Mila dan itu bukan tujuan hidupnya. Selamanya dia bercita-cita untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, sementara urusan pekerjaan dan nafkah itu urusan laki-laki, urusan suami. Sudah cukup ia menyaksikan mendiang ibunya harus pontang panting kerja di sawah sambil mengurus rumah, suami, anak-anak, bahkan mertua.Bekerja itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Mila. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lelahnya ibunya saat pulang dari sawah. Setelah pulang dari sawah pun tetap tidak bisa beristirahat, karena harus mengurus rumah, anak-anak dan mertua.Dia tidak mau nasib buruk ibunya menimpa dirinya pula. Dia harus mencari suami orang kaya, agar hidupnya terjamin. Dan sekarang keinginan itu tercapai, walaupun keny