Bab 126) Makan Di RestoranUntung saja tidak ada kendaraan di depan dan di belakangnya yang kebetulan lewat, sehingga Yasmin terhindar dari kecelakaan. Namun ia harus menghentikan mobilnya sejenak. Sembari menggendong Tania, ia turun dari mobil. Wanita itu mengamati mobil kesayangannya."Hampir saja," gurutu wanita itu. Mobil ini baru saja dibelinya, sebagai pengganti mobil kesayangannya yang telah ia jual untuk modal usaha. Tentu tidak semewah mobil yang dulu, tapi lumayanlah bisa untuk mobilitasnya sehari-hari, termasuk menemui Fahri yang kini tinggal di daerah pinggiran sebuah kota kecil yang berjarak sekitar 3 jam perjalanan dari kota Banjarmasin.Kali ini ia berusaha lebih tenang. Yasmin mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Dia tidak mau mati konyol, lagi pula ia masih sayang dengan mobilnya, tak ingin kembali kesialan menimpa hidupnya. Sudah cukup selama ini. Yasmin menarik nafasnya dalam-dalam. Dia mengusap kepala putrinya. Kepala Tania tertunduk, tampaknya ia sud
Bab 127) Apakah Ini Yang Dinamakan Jodoh?Setelah memasukkan stroller ke bagasi mobil, Yasmin masuk ke dalam mobil, kemudian segera pergi meninggalkan tempat itu. Tak ia hiraukan laki-laki itu yang terus berusaha menahannya. Yasmin sudah memberi waktu sebanyak lima menit, tetapi lelaki itu sepertinya terlalu kepo dengan kehidupan pribadinya. Pembicaraan yang sangat memuakkan bagi Yasmin. Jika dipikir-pikir, lelaki itu malah mirip dengan Zidan yang ikut campur dengan urusan pribadinya, padahal seharusnya Zidan mengerti batasannya sebagai suami bayaran dan di luar itu ia tidak punya hak apapun dengan apa yang dilakukan oleh Yasmin."Hah ada-ada saja. Dasar lelaki kurang kerjaan. Penampilan doang yang keren, tapi sikapnya kayak emak-emak biang gosip. Dia pikir dia siapa, sampai ingin tahu siapa bapaknya Tania, kapan Tania lahir, berapa umur Tania? Apa haknya tanya-tanya begituan?" Wanita itu mengangkat bahu sembari terus mengemudi. Pertanyaan mengenai ayah Tania merupakan hal yang pali
Bab 128) Kabar Dari Mila Hanum tidak menanggapi, justru membuka pintu mobil dan segera keluar. Dia melangkah bergegas menuju rumah dan mendapati sang putra tengah asyik bermain diawasi oleh Bibi Diah. Beruntung tampaknya ibunya tidak membawa Adzkar ke butik. Hanum pamit kepada dua orang asisten rumah tangga di rumah ini, lalu buru-buru pergi. Fahri membawa mobilnya dengan kecepatan rendah menuju arah luar kota. Di kiri kanan jalan penuh pepohonan seperti hamparan permadani hijau sejauh mata memandang. Mereka mulai masuk daerah dataran tinggi, tetapi meskipun begitu, jalanan yang mereka lalui kondisinya cukup bagus. "Kita mau ke mana, Kak?" cicit Hanum. "Yang jelas ke restoran dulu, Soalnya perutku sudah berdemo minta diisi sejak tadi." Tawa lelaki itu berderai. "Kalau memang lapar, kenapa tidak makan? Seperti tidak ada makanan saja di rumah." Bibir wanita itu mengerucut. "Aku lebih perlu makan kamu ketimbang mengisi perutku," sahutnya santai. "Ish...." Hanum mencubit keras lenga
Bab 129) Tak Ada Yang Mesti DisalahkanTak seorang pun yang peduli dengan kedatangan mereka. Mereka hanya menoleh sekilas, kemudian segera memalingkan wajah, acuh tak acuh. Fahri langsung bergabung dengan rombongan orang-orang yang bergerombol tengah bersiap-siap menuju ke mushola untuk menyalatkan jenazah. Sementara Hanum berinisiatif melangkah ke dapur sembari tetap menggendong putranya."Kenapa Kak Husna tidak segera memberitahu kami segera jika Zaid meninggal?" lirihnya saat menemukan wanita itu tengah mengupas bawang di dapur. "Mama dan Kak Zainab melarang kami mengabari kalian," sahut Husna berbisik tanpa menjeda pekerjaannya. Ekor matanya melirik beberapa wanita kerabat mereka yang duduk di sekitar tempat ini, terlihat berbisik-bisik saat Hanum menyeruak masuk.Selain keluarga mereka dan orang-orang di kampung ini, tak ada yang tahu alasan kenapa Fahri lebih memilih tinggal di tempat istrinya, ketimbang membina kampung ini. Para kerabat lain yang tinggal di luar kampung ini ha
Bab 130) Permintaan MilaMila menerobos masuk begitu saja tanpa peduli Hanum yang masih melongo di depan pintu. Gadis itu menepuk pundak Hanum, lalu mendorong pelan tubuh itu, sehingga ia bisa menutup pintu depan rumah ini."Kak, besok adalah batas waktu pembayaran uang untuk ujian akhir dan aku belum bayar. Mama tidak bisa membayarkannya karena lagi tidak punya uang," jelas Mila setelah keduanya duduk berhadapan."Oh begitu ya?" Beberapa detik kemudian ia segera menyadari satu hal. Video call Mila saat mereka berada di restoran, kemudian kaitannya dengan larangan Ismah dan Zainab untuk memberitahu tentang kabar meninggalnya Zaid."Pantas saja Mila memberitahu kami. Rupanya ia punya kepentingan sendiri. Tapi untunglah Mila melanggar larangan ibu dan kakaknya, daripada akhirnya kami tidak tahu sama sekali," ucap Hanum dalam hati. "Nanti kesannya di depan keluarga besar, kami tidak peduli dengan keponakan sendiri. Kan tambah repot." Dia kembali bermonolog."Baiklah, Mila. Nanti kakak
Bab 131) Memodali HusnaSesaat Hanum terdiam, mencerna apa yang diucapkan oleh Husna. Husna benar. Seseorang yang tidak pernah berjualan pasti akan merasa malu untuk menawarkan barang dagangannya. Husna bukanlah Hanum yang sudah terbiasa dengan dunia marketing. Memang tidak terlalu mudah bagi orang dengan karakter introvert seperti Husna."Ya sudahlah, Kak. Gimana kalau Kakak aku modalin saja? Kemarin kan semua peralatan bekas aku jualan dulu udah dijual sama Mama, jadi nanti kita ke toko, beli kompor dan lain-lainnya, bisa di bantu oleh kak Faiz juga," tawar Hanum akhirnya."Ya, begitu juga bagus." Husna gembira. Akhirnya keinginannya akan tercapai.Dulu dia sempat kesal karena semua peralatan Hanum dijual oleh ibu mertuanya, padahal Hanum sudah menjanjikan itu kepadanya. Rengekan Yurni yang ingin berjualan di sekolahnya juga membuatnya pusing. Mereka tak punya uang untuk modal. Semua uang habis untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk membayar cicilan motor yang dipakai oleh Mila, patu
Bab 132) Menepati Janji "Membantu orang tua itu tidak melulu perkara uang, Bu Ida. Banyak cara lain untuk membantu." Hanya itu kata-kata Hanum. Dia memilih untuk mengangkat beberapa barang yang berada di teras rumah itu. Wanita itu merengut. Beberapa tetangga saling berpandangan, entah sepakat atau tidak dengan kata-kata Hanum. Sementara Ismah langsung memilih pergi setelah menantunya masuk ke dalam rumah itu. "Awas ya, Kak Husna. Jangan sampai bocor kepada siapapun jika modal semua ini dari aku. Khawatirnya nanti Mama berulah lagi," lirih wanita itu mengingatkan. Sejujurnya ia masih menyayangkan insiden tempo hari saat sang ibu mertua menjual barang-barangnya. Lebih dari sekedar itu, Ismah tidak juga sadar, padahal tempo hari dia sudah tertipu. Niat hati ingin mendapatkan uang banyak, tapi ternyata hanya uang 100 ribu yang bisa diterimanya. Ismah tak juga menyadari jikalau semua itu merupakan teguran dari Tuhan untuknya. "Beres lah. Kamu tenang saja, jangan khawatir." Husna mene
Bab 133) Anakku Makan AmpasKeduanya mengulum senyum tanpa sedikitpun menanggapi, melainkan langsung melangkah mendekati Bunda Nia. Masing-masing mengambil sebuah pisau dapur, kemudian mengiris sayur kol, wortel dan timun. Hari ini Zainab akan membuat acar sayur sebagai pendamping lauk. Lauk utama untuk acara malam ini adalah ayam masak karih."Sabar, tidak usah ditanggapi. Kalian nggak salah kok. Biarkan saja anjing menggonggong, tetapi kafilah akan tetap berlalu," bisik Bunda Nia. Namun bisa terdengar di telinga Hanum dan Husna."Udah kebal, Bun," lirih Husna seraya melirik ibu mertua dan kakak iparnya."Ya, karena kamu yang lebih duluan masuk ke dalam keluarga ini, tentunya jauh lebih paham," lirih Bunda Nia, setelah itu tertawa kecil."Bunda bisa aja," gurau Hanum menimpali.Ketiganya tertawa bersamaan seolah tanpa beban. Derai tawa yang ternyata menarik perhatian Ismah yang tengah asyik membumbui ayam di sebuah baskom besar."Apa ada yang lucu? Kenapa kalian ini ketawa-ketiwi? La
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.
Bab 219) Jatuh Tertimpa Tangga"Bi Nab tuh!" seru Adzkar dengan bahasa bocah."Bibi Zainab terjatuh?!" pekik Hanum kaget. Kepala mungil itu mengangguk.Hanum buru-buru mengucap istighfar kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sembari menggendong Adzkar, ia segera berlari kecil menuju rumah sebelah.Sudah lebih dari 3 bulan Zainab menderita stroke. Sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Dia tidak bisa melakukan apapun. Separuh tubuhnya dari tengah sampai ke bawah mati rasa. Hanum, Mila dan Husnalah yang akhirnya merawat wanita itu. Untuk meringankan pekerjaannya, terpaksa Hanum membawa serta bibi Diah untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mungkin menghandle semuanya sendirian. Mengurus rumah, mengasuh Adzkar, merawat Zainab, sekaligus mengerjakan pekerjaannya di Najmi Store. Bahkan kini, pekerjaan Hanum bertambah, yaitu menjadi konten kreator di sebuah aplikasi. Bermula dari keisengannya mengunggah video-video Adzkar yang tengah belajar menghafal Al-Qur'an. Tern
Bab 218) Peringatan Terakhir Merasa tak ada lagi respon dari istrinya, Fahri memilih melangkah menuju kamar mandi. Dia melepas seluruh pakaiannya, melemparkannya ke keranjang cucian, lalu mengguyur tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sembari mengguyur tubuhnya, bayangan raut wajah istrinya yang datar menari-nari di benak Fahri. Dia tahu, sulit bagi Hanum untuk mempercayainya lagi setelah selama bertahun-tahun, janji hanya tinggal janji. Namun dia tak bisa menampik, kenyataan bahwa dia memang tidak bisa terlalu tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, karena waktu itu masih ada ibunya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ajaran yang melekat kuat di alam bawah sadarnya, membuatnya tunduk dengan mutlak. Sejauh yang bisa ia lakukan hanya sekedar mencari jalan tengah, meski pada akhirnya Hanum juga yang harus mengalah dan berkorban. Kini sudah saatnya ia bertindak. Ibunya sudah meninggal dunia. Apalagi yang mesti ia perhatikan? Darah memang lebih kental daripada air, tetapi jika air l
Bab 217) Kita Lihat Saja NantiMila menatap nanar saat mobil yang membawa kakak madunya pergi dari rumah ini. Sampai di titik akhir, Mila tetap menolak. Dia takkan pernah sudi menerima tawaran Herlita untuk menjadi asisten pribadinya. Bekerja merupakan hal yang berat bagi Mila dan itu bukan tujuan hidupnya. Selamanya dia bercita-cita untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, sementara urusan pekerjaan dan nafkah itu urusan laki-laki, urusan suami. Sudah cukup ia menyaksikan mendiang ibunya harus pontang panting kerja di sawah sambil mengurus rumah, suami, anak-anak, bahkan mertua.Bekerja itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Mila. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lelahnya ibunya saat pulang dari sawah. Setelah pulang dari sawah pun tetap tidak bisa beristirahat, karena harus mengurus rumah, anak-anak dan mertua.Dia tidak mau nasib buruk ibunya menimpa dirinya pula. Dia harus mencari suami orang kaya, agar hidupnya terjamin. Dan sekarang keinginan itu tercapai, walaupun keny