Bab 134) Macet"Sudah, sudah, jangan berdebat. Tidak dengar apa, Fahri lagi membaca doa?" Bunda Nia lekas menengahi. Wanita tua itu segera menggenggam tangan Hanum, memintanya untuk diam."Maaf, Bun," lirih Hanum. Mendadak ia merasa bersalah karena terbawa emosi.Wanita berwajah keriput itu hanya melempar senyum.Hanum memundurkan letak duduknya agak ke pojok, karena Adzkar semakin aktif. Dia merengek ingin memainkan piring-piring berisi hidangan. Pembacaan doa selesai dan hidangan pun segera di bawa ke ruang depan."Kamu makan dulu, Sayang. Belum makan, kan?" tegur Fahri meraih putranya dari gendongan istrinya. Saat itu acara sudah selesai dan para tamu sudah pulang."Belum, Kak. Tunggu acaranya selesai, biar bisa gantian sama Kakak. Dari tadi anak ini sangat aktif. Kalau nggak dijagain bisa-bisa dia mengacau seisi dapur." Senyumnya kecut."Justru itu. Lebih baik dia makan ikut kamu. Kamu makan, Adzkar juga makan. Kamu bisa makan sambil menyuapi Adzkar. Beres, kan? Nggak perlu nunggu
Bab 135) Apakah Itu Yang Dinamakan Cinta?Entah wanita itu bisa mengenalinya atau tidak, tetapi Zidan jelas mengenali Hanum, karena ia seringkali mendengar Yasmin menyebut nama itu. Lucunya, justru Yasmin menyebut Hanum sebagai pelakor. Yasmin menganggap Hanum sebagai dalang, penyebab gagalnya perjodohan dengan Fahri tempo hari. Zidan juga pernah melihat foto pernikahan Fahri dengan Hanum dari ponsel Yasmin yang sehari-hari memang tidak terkunci.Hubungan Fahri dengan Yasmin memang rumit, meski Zidan merasa lebih rumit lagi hubungannya dengan Yasmin. Menjadi suami bayaran bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Zidan merasa sudah mempermainkan pernikahan. Salah satu sudut hatinya merasa jika ini salah. Dia ingin sekali memperbaikinya. Namun Yasmin keras kepala dan tetap berpegang teguh bahwa Zidan hanyalah suami bayaran, suami yang ia bayar untuk menutupi aibnya.Apakah ia memang terlalu muda untuk Yasmin atau karena ia miskin? Jika miskin yang menjadi penghalang, bukankah Fahri pun jug
Bab 136) Menjaga Warisan PapaAndi mengeluarkan sebuah map dari dalam tas yang di bawanya, lantas menyodorkannya ke hadapan Zidan."Papa tidak pernah melupakan kalian. Papa sengaja menahan diri untuk tidak menemui kalian, bukan karena takut sama Mami Windy. Memang, Mami Windy lah yang selama ini memegang kendali atas perusahaan Papa, tetapi itu bukan satu-satunya alasan kenapa Papa tidak pernah menemui kamu dan Mama Ratih," jelas Andi gamblang."Lalu?" sela Zidan acuh. Dia menatap sekilas map tersebut tanpa ada minat untuk membukanya."Papa sengaja menunggu waktu yang tepat untuk menemui kalian, yaitu saat dia, kamu dan Mama Ratih sudah siap untuk kembali bertemu. Sayangnya Mama Ratih keburu meninggal dunia. Papa mempersiapkan semua ini untuk kamu, karena Papa tahu kamu juga masa depannya. Ini adalah aset Papa, khusus untuk kamu. Aset yang tidak pernah diketahui oleh Mami Windy. Dan Papa menyerahkan ini kepadaku menjelang akhir hayatnya. Terimalah, ini milikmu." Andi meletakkan map it
Bab 137) Awal Dari Pencapaian"Ide apalagi sih, Ma?" Hanum menatap malas ibunya, bibirnya mengerucut. "Jangan mengada-ngada, Ma. Banyak hal yang sudah terjadi tapi tak ada yang bisa menyadarkan mereka. Selalu saja aku yang disalahkan atas segala hal buruk yang menimpa mereka. Aku nggak tahu harus gimana lagi, Ma.""Setiap manusia itu punya harapan untuk berubah," balas Filza."Kapan berubahnya, coba?" Hanum memejamkan matanya sesaat. Rasa lelah yang mendera sepanjang perjalanan membuatnya mengantuk. Tanpa sadar ia merebahkan diri di bahu sang ibunda."Aku tuh nggak muluk-muluk, Ma. Cukup mereka tidak menggangguku. Aku juga tidak butuh pujian ataupun support. Aku hanya ingin mereka diam atas apa yang aku lakukan. Oke, kalau cara hidupku tidak sama dengan mereka, tapi bisa nggak sih mereka diam dan membiarkan aku hidup dengan caraku sendiri?"Hanum menghembuskan nafasnya. Hembusan nafas yang terasa di kulit wajah Filza membuat hati wanita setengah baya itu trenyuh. Dia tahu selama ini H
Bab 138) Mengikuti Jejak HanumBahkan Hanum masih sempat mengajak Adzkar untuk mampir di taman bermain. Mereka benar-benar menikmati perjalanannya kali ini, sebelum akhirnya harus berhadapan dengan orang-orang yang bakalan menguras emosi dan perasaan. Hanum tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya, meski reaksi ibu mertua dan ipar-iparnya sudah bisa ia tebak.Selepas dari taman bermain, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini Fahri sengaja memakai jalur fery, sehingga ia bisa istirahat sejenak selama berada di kapal penyeberangan itu. "Hanum!" teriak Husna menyongsong kedatangan Hanum. Kedua wanita itu berpelukan."Wow.... Aku tidak menyangka kamu datang, padahal kan ini acara tidak penting-penting amat. Aku kira kamu datang pas akan akad nikah saja." Wanita itu berbisik. Dia menggiring Hanum masuk ke dalam rumahnya, alih-alih menuju rumah ibu mertuanya."Sebenarnya itu cuma alasan aja. Intinya sih aku ingin menemui kalian," balas Hanum. Dia duduk begitu saja
Bab 139) Acara Lamaran Untuk Mila Selepas ashar, semua anggota keluarga sudah berkumpul. Hanum dan Fahri, Zainab, Faiz dan Husna, kecuali Diana dan Aziz, karena mereka tak mungkin datang. Ada juga beberapa tetangga yang diundang. Ismah nampak bahagia dan mengumbar cerita tentang calon menantunya kali ini. Tak lupa memuji-muji Mila yang ia nilai pandai mencari calon suami. Tak lama mereka menunggu. Sebuah mobil berwarna silver memasuki halaman. Senyum Ismah seketika surut saat tidak melihat calon besannya, haji Badrudin di antara orang yang datang. Hanya terlihat seorang lelaki tua yang belakangan diketahui Ismah sebagai sepupu haji Badrudin. Dia merupakan lelaki satu-satunya, sementara nampak dua orang wanita paruh baya di belakangnya. Ada lagi seorang wanita berusia kira-kira 30 tahunan tampak berjalan mengiringi di belakang dua wanita paruh baya itu. Setelah mengucapkan salam dan basa-basi sebentar, mereka semua duduk saling berhadapan. "Maksud kedatangan kami adalah untuk melama
Bab 140) Perkara Jujuran"Ya, memangnya siapa lagi?" tegas Ismah mengacungkan telunjuknya ke arah Hanum. "Untuk urusan seperti ini, kamulah yang paling bisa diandalkan.""Tolonglah, Ma. Jangan bawa-bawa Hanum," sela Fahri."Tapi dia menantu Mama yang paling kaya....""Tapi bukan berarti dia harus menanggung semuanya. Ini nggak adil untuk Hanum. Sudahlah, Ma. Jangan memaksakan diri untuk menyelenggarakan acara besar yang kita tidak sanggup menanggung biayanya. Sudah tahu cuman diberi jujuran segitu, ya jangan macam-macam. Kita bikin acara sederhana saja.""Loh, loh! Kamu ini bagaimana sih? Mau ditaruh di mana muka Mama di hadapan keluarga besar kita? Kaum kerabat kita pasti akan menanyakan kenapa anak bungsu Mama hanya di nikahkan secara sederhana. Malu, Fahri!""Tapi dari mana biayanya, Ma? Uang 15 juta itu hanya cukup untuk dekorasi dan pelaminan saja, belum lagi belanja dan keperluan yang lain. Memangnya kalian semua di sini mau menanggung semua kekurangannya?" Fahri menatap Faiz da
Bab 141) Kemarahan Zainab"Benar, Ma. Aku lihat Ilham masih kerja ikut orang tuanya. Apa tidak lebih baik, jika ada uang lebih buat memodali mereka saja?" timpal Faiz. "Buat apa juga kita harus mikir modal? Urusan modal itu urusan keluarganya Ilham. Kita ini pihak perempuan," kilah wanita tua itu."Kalau Mama merasa kita dari pihak perempuan, seharusnya Mama bisa adil dong kepada menantu perempuan mama. Jangan paksa Hanum dan Husna untuk ikut andil membiayai pesta perkawinan Mila. Mereka kan dari pihak perempuan. Aku dan kak Faiz lah yang menjadi pihak lelaki. Kalau memang aku dan kak Faiz hanya bisa bantu sekedarnya, ya udah. Segitu saja, Ma. Kita bikin pesta sederhana saja ya," bujuk Fahri. Jemarinya meraih tangan ibunya yang ditepis kasar oleh Ismah.Wanita itu membalikkan tubuh membelakangi anak dan menantunya, kemudian bergegas masuk ke dalam kamar, meninggalkan anak dan menantunya yang hanya bisa saling berpandangan."Kalian sih. Tuh, kan? Akhirnya Mama marah," sergah Zainab se
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.
Bab 219) Jatuh Tertimpa Tangga"Bi Nab tuh!" seru Adzkar dengan bahasa bocah."Bibi Zainab terjatuh?!" pekik Hanum kaget. Kepala mungil itu mengangguk.Hanum buru-buru mengucap istighfar kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sembari menggendong Adzkar, ia segera berlari kecil menuju rumah sebelah.Sudah lebih dari 3 bulan Zainab menderita stroke. Sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Dia tidak bisa melakukan apapun. Separuh tubuhnya dari tengah sampai ke bawah mati rasa. Hanum, Mila dan Husnalah yang akhirnya merawat wanita itu. Untuk meringankan pekerjaannya, terpaksa Hanum membawa serta bibi Diah untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mungkin menghandle semuanya sendirian. Mengurus rumah, mengasuh Adzkar, merawat Zainab, sekaligus mengerjakan pekerjaannya di Najmi Store. Bahkan kini, pekerjaan Hanum bertambah, yaitu menjadi konten kreator di sebuah aplikasi. Bermula dari keisengannya mengunggah video-video Adzkar yang tengah belajar menghafal Al-Qur'an. Tern
Bab 218) Peringatan Terakhir Merasa tak ada lagi respon dari istrinya, Fahri memilih melangkah menuju kamar mandi. Dia melepas seluruh pakaiannya, melemparkannya ke keranjang cucian, lalu mengguyur tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sembari mengguyur tubuhnya, bayangan raut wajah istrinya yang datar menari-nari di benak Fahri. Dia tahu, sulit bagi Hanum untuk mempercayainya lagi setelah selama bertahun-tahun, janji hanya tinggal janji. Namun dia tak bisa menampik, kenyataan bahwa dia memang tidak bisa terlalu tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, karena waktu itu masih ada ibunya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ajaran yang melekat kuat di alam bawah sadarnya, membuatnya tunduk dengan mutlak. Sejauh yang bisa ia lakukan hanya sekedar mencari jalan tengah, meski pada akhirnya Hanum juga yang harus mengalah dan berkorban. Kini sudah saatnya ia bertindak. Ibunya sudah meninggal dunia. Apalagi yang mesti ia perhatikan? Darah memang lebih kental daripada air, tetapi jika air l
Bab 217) Kita Lihat Saja NantiMila menatap nanar saat mobil yang membawa kakak madunya pergi dari rumah ini. Sampai di titik akhir, Mila tetap menolak. Dia takkan pernah sudi menerima tawaran Herlita untuk menjadi asisten pribadinya. Bekerja merupakan hal yang berat bagi Mila dan itu bukan tujuan hidupnya. Selamanya dia bercita-cita untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, sementara urusan pekerjaan dan nafkah itu urusan laki-laki, urusan suami. Sudah cukup ia menyaksikan mendiang ibunya harus pontang panting kerja di sawah sambil mengurus rumah, suami, anak-anak, bahkan mertua.Bekerja itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Mila. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lelahnya ibunya saat pulang dari sawah. Setelah pulang dari sawah pun tetap tidak bisa beristirahat, karena harus mengurus rumah, anak-anak dan mertua.Dia tidak mau nasib buruk ibunya menimpa dirinya pula. Dia harus mencari suami orang kaya, agar hidupnya terjamin. Dan sekarang keinginan itu tercapai, walaupun keny