Bab 143) Menggadaikan Sawah (2)"Kamu memang selalu berbelit-belit. Bilang saja kalau kamu tidak mau membantu Mama, padahal dengan membantu Mama kamu akan mendapat keuntungan lebih. Mama memintamu membantu itu tidak gratis!" Suara Ismah kembali meninggi.Ah, sikap manisnya barusan ternyata hanya sesaat. Begitu mudahnya Ismah kembali ke sikap aslinya, pemarah dan arogan."Bukan begitu, Ma." Hanum menelan ludah, berusaha membasahi tenggorokannya. "Aku pasti akan bantu Mama, tapi masalahnya sawah itu punya Mila dan itu menyangkut masa depannya juga. Sudah sewajarnya jika Mila harus dilibatkan, setidaknya Mila harus tahu dan Mama minta izin dulu untuk menggadaikan sawahnya, walaupun uangnya buat kepentingan Mila sendiri. Aku nggak mau sembarangan, lagi pula ke depannya aku tidak mau disalahkan. Aku tidak mau seandainya nanti Mila ngamuk-ngamuk karena sawahnya....""Banyak omong kamu ya! Sudah! Sekarang kalian boleh pergi. Nanti kalau Mila sudah pulang, Mama akan bilang kepadanya. Tapi ka
Bab 144) Keputusan HanumBerhubung merasa tidak enak menjelaskan semuanya lewat telepon, akhirnya Fahri dan Hanum kembali ke kampung itu seminggu kemudian. Capek?Tentu saja, tetapi kali ini adalah akhir pekan sehingga Fahri tidak perlu ambil cuti lagi.Ismah dan Zainab menyambut kedatangan keduanya dengan penuh harapan. Tentu saja, karena mereka melihat wajah Hanum dan Fahri yang berseri. Buat Ismah dan Zainab, ini adalah pertanda baik. Bahkan hari ini Ismah sampai mau menggendong cucunya, satu hal yang tak pernah ia lakukan kecuali dulu saat mengunjungi rumah orang tua Hanum untuk yang pertama kali, saat Adzkar masih bayi."Bagaimana, Hanum? Kamu bersedia, kan?" todong Ismah tak sabar."Aku bersedia, Ma, tapi....." "Alhamdulillah...." Suara Ismah dan Zainab berbarengan. Mereka saling berpandangan. Terbayang di benaknya uang 25 juta yang akan segera mereka belanjakan untuk mempersiapkan acara pesta perkawinan Mila. Keinginan mereka untuk menyelenggarakan pesta besar-besaran akan se
Bab 145) Rencana YasminHarapan Ismah yang semula layu karena keputusan Hanum kini mulai mekar kembali.Yasmin.Tak pernah terpikirkan oleh Ismah akan sosok itu. Yasmin memang tidak pernah muncul kembali ke kampung ini setelah ia pergi tempo hari. Dia pikir ia sudah kehilangan kontak dengan Yasmin. Ismah tidak menyangka jika Zainab masih menyimpan nomor ponsel wanita itu.Zainab menggulir layar kemudian segera mendial nomor Yasmin. Panggilan segera tersambung dan senyum Ismah kian merekah saat mengetahui kesediaan wanita itu."Ah, akhirnya masalah bisa selesai. Begini kan enak. Kita tidak perlu lagi mengharapkan Hanum," komentar Ismah saat ia mengekor langkah Zainab menuju dapur. Mereka bermaksud akan menyiapkan makan malam."Iya juga ya, Ma. Kok kita sampai nggak kepikiran dari awal untuk minta bantuan Yasmin saja? Kalau minta bantuan sama Hanum mah, jangan harap. Berurusan sama Hanum cuma menguras emosi saja. Mama masih ingat, kan, tadi dia bilang apa?" cibir Zainab. Dia mengambil
Bab 146) Analisa Rudi"Apa? Gudang kebakaran?!"Wanita itu langsung melupakan hasratnya untuk mandi. Dia segera bergegas memasukkan barang-barang penting ke dalam tas, kemudian berganti pakaian. Yasmin meraih tubuh putrinya, Tania dan segera mengunci pintu rumah, setengah berlari menuju mobilnya.Untung saja mobil itu mesinnya sudah ia panaskan sebelumnya, sehingga tak memakan waktu lama kemudian dia sudah bisa meninggalkan rumahnya menuju tempat usaha yang berjarak sekitar 5 km.Api masih membumbung tinggi saat ia datang, melahap apa saja yang masih tersisa. Yasmin tertunduk lemas di tanah, menyaksikan bangunan yang selama ini menjadi tempat ia mencari nafkah rata dengan tanah. Tercium aroma kain yang terbakar bersama dengan hawa panas yang menyergap kulitnya.Rudi berlari kecil menyambut kedatangan Yasmin, menariknya agar menjauh dari tempat itu."Apa yang sudah terjadi, Rudi?" Suara Yasmin bergetar."Aku tidak tahu, Mbak. Yang jelas ketika aku bangun tidur, aku merasa panas di seke
Bab 147) Berita Buruk"Kamu yakin akan mengambil dekorasi model begini?" Mulut Zainab ternganga melihat harga yang tertera di di layar ponsel. Foto dekorasi pelaminan itu terlihat sangat bagus, mewah dan elegan, tapi harganya...?"Yakin dong, Kak. Aku sangat menyukai ini. Dekorasi model ini sama dengan acara kawinannya si Ratih kemarin. Aku juga pengen, Kak," rengek Mila."Tapi harganya, Mila?! Kamu tidak lihat, berapa harga dekorasi ini? Kenapa tidak cari yang lebih murah saja?" tawar Zainab."Tapi itu sudah sepaket, Kak. Rias pengantin, baju pengantin, terus dekorasi kamar pengantin, juga dekorasi dan rias untuk acara antaran jujuran. Semua udah komplit," bantah Mila. Dia tidak mau tahu. Kakak dan ibunya harus menyetujui, karena dia tidak mau kalah dengan Ratih, temannya yang anak orang kaya itu."Tapi itu totalnya 20 juta, Mila. Kenapa tidak cari paket yang lebih murah? Cari yang 15 juta saja. Kakak rasa itu juga tidak kalah bagus," ujar Zainab mulai gusar. "Kalau paket yang 15 ju
Bab 148) Menuruti Hanum "Apa? Gudang kamu kebakaran?" Ismah merebut ponsel Zainab. "Iya. Ini musibah, Ma. Maaf banget, aku jadi tidak bisa membantu kalian, tapi nanti pas hari H, aku usahakan datang ke pesta kawinannya Mila dan...." Tut. Sambungan telepon langsung diputuskan sepihak oleh Ismah. Wajah keriput wanita itu seketika merah padam. "Bagaimana ini, Ma?" tanya Mila dan Zainab berbarengan. Mila menatap gelisah layar ponsel. Dia baru saja selesai membuat janji ketemu dengan Mbak Resti, sementara Zainab menatap nanar catatan rencana belanjaannya. "Kurang ajar! Ini pasti tidak benar. Ini pasti hanya akal-akalan Yasmin supaya ia bisa mengelak dari Mama. Dia memang tidak mau membantu Mama!" pekik Ismah tak terima. "Tidak, Ma. Ini benar. Gudang Yasmin memang kebakaran." Zainab buru-buru menggulir layar. "Coba lihat." Zainab mendekatkan ponsel kepada ibunya. Yasmin membuat status di aplikasi dengan menayangkan video saat gudangnya kebakaran. "Jadi benar?" Tubuh Ismah seketik
Bab 149) Keren Tapi Hasil Malak"Ngapain sih pakai foto prewedding segala? Mila, kamu jangan menghamburkan uang untuk keperluan yang tak penting!" Fahri mengingatkan."Kakak sih kurang update. Sekarang udah zamannya, Kak. Sebelum pernikahan itu, harus foto prewedding dulu. Nanti foto itu akan ditaruh di undangan. Jadi undangan kita akan terlihat eksklusif, bukan cuman undangan yang gimana, gitu.... Kalau nggak ada foto kita di undangan kan kelihatan nggak berkelas," sahut Mila cemberut. Dia masih tak bergerak dari tempatnya berdiri dengan posisi tangan menadah macam pengemis saja."Emangnya kamu butuh berapa, Mila?" tanya Hanum akhirnya. Dia memutar bola matanya malas. Tangannya bergerak mengambil remote untuk membuka jendela kaca mobilnya."Satu juta, Kak. Itu pun aku ambil paket yang murah saja. Jadi nanti lokasi pemotretannya nggak di luar kota, cuman di sekitar sini saja. Makanya bisa dapat murah. Kita kan harus hemat," sahut Mila."Hemat gundulmu! Tetap saja uang satu juta itu ad
Bab 150) Salah Langkah"Kenapa, hmmm...? Kamu terlihat kaget. Memangnya ada yang salah dengan kedatanganku?" selidik Andi. Wajah adik tirinya itu terlihat tegang."Tidak apa-apa, Bang." Zidan tergagap. Dia mempersilahkan Andi masuk ke dalam. Zidan menutup pintu, sementara Andi langsung ngeloyor menuju sofa di sudut ruangan.Ruangan bercat abu-abu ini minim hiasan, hanya ada meja dan kursi kerja untuk Zidan, satu set sofa dan sebuah lemari. Sepintas terlihat begitu sederhana untuk ukuran ruang kerja CEO seperti Zidan."Ada masalah apa?" selidik lelaki itu."Tidak ada masalah apapun di pabrik. Baik dari sistem produksi maupun quality control, semuanya terkendali," sahut Zidan. Dia berpikir, Andi menanyakan soal kinerjanya."Bukan itu maksud Abang. Zidan, sepertinya kamu memiliki masalah dalam hidupmu...."Zidan menggeleng cepat. "Aku akan menyelesaikannya sendiri. Abang tidak perlu turut campur.""Bukan begitu maksud Abang, Zidan. Abang hanya tidak ingin kamu salah langkah!""Salah lang
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.
Bab 219) Jatuh Tertimpa Tangga"Bi Nab tuh!" seru Adzkar dengan bahasa bocah."Bibi Zainab terjatuh?!" pekik Hanum kaget. Kepala mungil itu mengangguk.Hanum buru-buru mengucap istighfar kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sembari menggendong Adzkar, ia segera berlari kecil menuju rumah sebelah.Sudah lebih dari 3 bulan Zainab menderita stroke. Sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Dia tidak bisa melakukan apapun. Separuh tubuhnya dari tengah sampai ke bawah mati rasa. Hanum, Mila dan Husnalah yang akhirnya merawat wanita itu. Untuk meringankan pekerjaannya, terpaksa Hanum membawa serta bibi Diah untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mungkin menghandle semuanya sendirian. Mengurus rumah, mengasuh Adzkar, merawat Zainab, sekaligus mengerjakan pekerjaannya di Najmi Store. Bahkan kini, pekerjaan Hanum bertambah, yaitu menjadi konten kreator di sebuah aplikasi. Bermula dari keisengannya mengunggah video-video Adzkar yang tengah belajar menghafal Al-Qur'an. Tern
Bab 218) Peringatan Terakhir Merasa tak ada lagi respon dari istrinya, Fahri memilih melangkah menuju kamar mandi. Dia melepas seluruh pakaiannya, melemparkannya ke keranjang cucian, lalu mengguyur tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sembari mengguyur tubuhnya, bayangan raut wajah istrinya yang datar menari-nari di benak Fahri. Dia tahu, sulit bagi Hanum untuk mempercayainya lagi setelah selama bertahun-tahun, janji hanya tinggal janji. Namun dia tak bisa menampik, kenyataan bahwa dia memang tidak bisa terlalu tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, karena waktu itu masih ada ibunya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ajaran yang melekat kuat di alam bawah sadarnya, membuatnya tunduk dengan mutlak. Sejauh yang bisa ia lakukan hanya sekedar mencari jalan tengah, meski pada akhirnya Hanum juga yang harus mengalah dan berkorban. Kini sudah saatnya ia bertindak. Ibunya sudah meninggal dunia. Apalagi yang mesti ia perhatikan? Darah memang lebih kental daripada air, tetapi jika air l
Bab 217) Kita Lihat Saja NantiMila menatap nanar saat mobil yang membawa kakak madunya pergi dari rumah ini. Sampai di titik akhir, Mila tetap menolak. Dia takkan pernah sudi menerima tawaran Herlita untuk menjadi asisten pribadinya. Bekerja merupakan hal yang berat bagi Mila dan itu bukan tujuan hidupnya. Selamanya dia bercita-cita untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, sementara urusan pekerjaan dan nafkah itu urusan laki-laki, urusan suami. Sudah cukup ia menyaksikan mendiang ibunya harus pontang panting kerja di sawah sambil mengurus rumah, suami, anak-anak, bahkan mertua.Bekerja itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Mila. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lelahnya ibunya saat pulang dari sawah. Setelah pulang dari sawah pun tetap tidak bisa beristirahat, karena harus mengurus rumah, anak-anak dan mertua.Dia tidak mau nasib buruk ibunya menimpa dirinya pula. Dia harus mencari suami orang kaya, agar hidupnya terjamin. Dan sekarang keinginan itu tercapai, walaupun keny