Bab 28) Pembuktian"Tunggu!" Hanum berdiri tegak di depan pintu.Semua orang di ruangan itu menoleh, termasuk Fahri dan haji Alwi."Hanum." Lelaki itu berdiri, bergegas mendekati sang istri. Fahri meraih tangan mulus itu, mengajaknya masuk ke dalam rumah."Kenapa kamu menyusulku, Sayang?" tanya Fahri."Karena ada yang ingin aku sampaikan, supaya diketahui oleh semua orang yang hadir di sini, sebelum Kakak resmi melaksanakan akad nikah dengan Yasmin," ujar Hanum tegas. "Maksudmu apa, Hanum?" tanya haji Alwi. Lelaki setengah baya itu berinisiatif untuk membawa Hanum dan Fahri ke ruang tengah, tempat Ismah dan tamu perempuan lainnya sedang duduk berkumpul."Hanum?! Mau apa kamu ke sini?" Sontak perempuan tua itu berdiri dan menyeret Hanum dengan kasar. "Kamu mau mengacaukan acara ini, hah?""Tunggu, Ma," cegah Fahri sembari berusaha melepas cekalan ibunya di tangan istrinya. "Jangan berbuat kasar kepada istriku. Dia sudah cukup sakit hati dengan pernikahan mendadak ini. Jangan ditambah
Bab 29) Pembatalan Pernikahan"Aku tidak bisa, Yasmin. Mengertilah. Cinta itu tidak bisa dipaksakan," ujar Fahri sembari menatap Yasmin seperti mata pisau yang melukai wanita muda di depannya ini."Bukan aku tak mengenal belas kasihan. Tapi kamu harus tahu, Yasmin. Tidak semua keinginanmu harus tercapai, terlebih lagi dengan perkara jodoh. Terimalah kenyataan ini, maka itu akan mengurangi sedikit sakit hatimu."Sesaat Fahri menghela nafas, lantas melirik istrinya. Tangannya yang masih menggenggam jemari lentik itu ia angkat perlahan, lalu dikecupnya lembut. Perlakuan Fahri yang membuat Yasmin seketika memalingkan mukanya.Namun Fahri tidak peduli. Kedatangan sang istri yang tak terduga membuat ruang di dadanya menghangat, seperti hangat mentari yang menyinari bumi. Hanum datang dengan sukarela untuk membela dan membersihkan nama baiknya dari semua tuduhan dan fitnah. Bukankah ini luar biasa?Satu hal yang membuatnya sadar, jika seandainya ia menikahi Yasmin, itu sama artinya ia mengak
Bab 30) Dua Garis MerahIsmah menegakkan telinganya, berusaha mencari tahu apakah gerangan yang sedang dibicarakan oleh anak dan menantunya. Namun tak ada yang bisa dia dengar dengan jelas. Hanya suara tawa dan setelah itu bisik-bisik yang tak jelas. Perempuan itu mengusap dadanya. Kesal di hati masih terasa mendera.Kreet....Suara derit pintu yang terbuka dan sosok Fahri yang muncul di hadapannya, membuat perempuan tua itu terkejut. Spontan ia melangkah mundur, lalu menegakkan tubuh dan menatap putranya."Lho, Mama? Mama sudah pulang? Kok aku tidak dengar ya?" sapa Fahri. Dia meraih tangan tua itu dan menciumnya."Tentu saja kamu tidak dengar. Bukankah kamu sedang bercanda ria dengan istrimu, merayakan kemenangan setelah tidak jadi menikah dengan Yasmin?" sahut Ismah berapi-api.Perempuan tua itu bertepuk tangan. "Hebat sekali istrimu itu. Diam tapi menghanyutkan. Mama pikir ia diam saja di rumah meratapi nasib. Tapi ternyata ia malah berhasil menggagalkan pernikahan suaminya!"Fa
Bab 31) Terusir "Jawab pertanyaanku, Yasmin! Apakah benar ini adalah milikmu? Apakah kamu sedang hamil?" Rahma mengacungkan benda itu ke hadapan Yasmin."Iya, Bibi," jawab Yasmin pasrah. Sudah kepalang juga, tidak mungkin ia mengelak. Yasmin bangkit dari pembaringan, duduk dengan kaki berselonjor sembari memeluk guling.Plak!"Dasar pelacur!!" maki Rahma diiringi dengan sebuah tamparan keras yang mendarat di pipi Yasmin. Tubuh Yasmin kembali oleng ke samping nyaris telentang."Kamu benar-benar tidak bisa di beri hati, Yasmin. Sejak kecil aku pelihara dan sayang, tapi ini yang kamu lakukan? Kemarin aku masih menutup mata dengan semua kelakuanmu, tetapi sekarang? Kamu benar-benar telah membuat kami malu! Pantas saja ayahmu menyuruhmu untuk tinggal di sini. Kalian pikir rumah ini penampungan wanita hamil diluar nikah?!""Pantas saja kemarin kamu menjebak Fahri. Berarti ini sudah kamu rencanakan sebelumnya. Iya, begitu? Dasar wanita jalang! Rupanya kamu ingin Fahri yang menutupi aibmu, b
Bab 32) Buka Puasa BersamaSetelah menyalami Diana dan kedua anaknya, Aksa dan Reina, Hanum mulai mengeluarkan barang-barang yang berada di dalam mobil, lalu membawanya masuk ke dalam rumah. Barang-barang bawaan Diana dan keluarganya banyak sekali, hampir memenuhi separuh kapasitas mobil.Sementara itu Azis, suami Diana sudah duduk dengan secangkir kopi kesukaannya, mengobrol dengan Fahri.Beberapa bungkusan besar berisi bahan makanan langsung dibawa Hanum ke dapur."Hanum, di dalam bungkusan itu ada daging dan bumbu masak. Kamu langsung masukkan saja ke kulkas," tunjuk Diana pada bungkusan yang berada di tangan Hanum.Hanum mengangguk. Dia segera melangkah menuju kulkas."Banyak sekali bawaanmu, Diana," komentar Ismah."Ya, lumayan, Ma. Sekalian bagi-bagi rezeki. Kebetulan THR-nya Mas Azis sudah keluar." Diana tertawa renyah."Wah, beruntung sekali. Banyak ya, Nak?" Ismah antusias."Satu setengah kali gaji biasanya, Ma," jawab Diana."Bagus sekali, Diana. Tuh, kan? Kamu beruntung ba
Bab 33) Tidak Menunda PekerjaanSok alim? Hanum hanya tersenyum tipis menahan rasa geli dengan ucapan wanita tua itu. Masa iya, orang mendahulukan shalat sebelum mengerjakan pekerjaan lain di anggap sok alim? Bukannya sudah seharusnya kita mementingkan shalat lebih dari apapun? Akan tetapi biarlah, tak perlu di tanggapi serius. Hanum langsung masuk ke dalam kamarnya, kemudian segera berwudhu. 15 menit kemudian, wanita itu sudah keluar dari kamarnya dan melangkah menuju dapur. Dilihatnya Diana tengah sibuk mencuci piring. Hanum berjongkok di samping Diana bermaksud mengambil spons untuk menyabuni piring-piring kotor itu. "Tidak usah. Kamu ajari saja si Reina," tolak Diana bernada ketus. Dia menjauhkan wadah berisi cairan sabun dari jangkauan tangan Hanum. "Kak, aku cuma mau membantu. Tadi aku benar-benar izin mau shalat, bukannya menolak disuruh cuci piring," jelas Hanum. "Sama saja. Jadi wanita itu harus rajin, Hanum. Tidak baik menunda-nunda pekerjaan. Nanti kamu akan dianggap p
Bab 34) Kamu Mengundangku, Hanum?Tubuhnya seketika gemetar. Hanum mundur beberapa langkah, mengamati setiap sudut ruang sempit ini. Dia pun sangat terkejut saat melihat meja pendek yang biasa ia gunakan untuk meletakkan alat pemipih adonan tampak berada di salah satu sudut. Demikian juga kompor, wajan penggorengan besar, baskom plastik besar tempat ia biasa mengaduk adonan serta beberapa alat yang lain. "Jadi Mama menyembunyikan barang-barangku di sini?" gumamnya. Di benaknya kembali terbayang peristiwa lebih dari sebulan yang lalu saat ia mendapati barang-barangnya tidak berada ditempatnya.Hanum tidak pernah menyangka jika ternyata Zainab pun terlibat. Buktinya benda-benda ini ada di rumah Zainab, di ruang penyimpanan.Tak ingin terlalu keras berpikir, akhirnya Hanum segera mengambil setumpuk piring, kemudian segera keluar dari ruangan itu seolah tidak terjadi apa-apa. Dia tidak ingin terjadi keributan di momen lebaran ini. Hanum akan menunggu waktu yang tepat dan tetap bersabar u
Bab 35) Ada Yang Bisa Kakak Bantu?"Mana mungkin aku membiarkan tubuhmu kotor dan penuh lumpur sawah, Sayang?" Fahri membelai rambut istrinya yang sedikit lembab lantaran berkeringat usai percintaan panas barusan. "Sebagai lelaki, suamimu, aku tidak sekejam itu. Seorang lelaki yang baik akan memperlakukan istrinya dengan menyesuaikan kebiasaan dan cara hidup sang istri di masa gadisnya, di saat dia masih berada dalam pengasuhan kedua orang tuanya. Berhubung kamu memang tidak pernah ke sawah, ya sudah. Aku juga tidak akan menyuruhmu bekerja di sawah.""Hanya saja, Mama tidak bisa diajak kompromi, Sayang. Akan sangat sulit memberi pengertian Mama akan hal ini. Jadi mengertilah," tekan Fahri.Hanum menghela nafas berat. Dia menggenggam tangan sang suami, memainkan jemarinya yang terasa sedikit kasar. "Justru karena aku mengerti, jadi aku tidak pernah memusuhi Mama. Aku menyayangi Mama seperti aku menyayangi Mama Filza. Aku hanya minta sedikit saja pengertian Mama. Mulutnya itu loh, Kak.
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.
Bab 219) Jatuh Tertimpa Tangga"Bi Nab tuh!" seru Adzkar dengan bahasa bocah."Bibi Zainab terjatuh?!" pekik Hanum kaget. Kepala mungil itu mengangguk.Hanum buru-buru mengucap istighfar kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sembari menggendong Adzkar, ia segera berlari kecil menuju rumah sebelah.Sudah lebih dari 3 bulan Zainab menderita stroke. Sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Dia tidak bisa melakukan apapun. Separuh tubuhnya dari tengah sampai ke bawah mati rasa. Hanum, Mila dan Husnalah yang akhirnya merawat wanita itu. Untuk meringankan pekerjaannya, terpaksa Hanum membawa serta bibi Diah untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mungkin menghandle semuanya sendirian. Mengurus rumah, mengasuh Adzkar, merawat Zainab, sekaligus mengerjakan pekerjaannya di Najmi Store. Bahkan kini, pekerjaan Hanum bertambah, yaitu menjadi konten kreator di sebuah aplikasi. Bermula dari keisengannya mengunggah video-video Adzkar yang tengah belajar menghafal Al-Qur'an. Tern
Bab 218) Peringatan Terakhir Merasa tak ada lagi respon dari istrinya, Fahri memilih melangkah menuju kamar mandi. Dia melepas seluruh pakaiannya, melemparkannya ke keranjang cucian, lalu mengguyur tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sembari mengguyur tubuhnya, bayangan raut wajah istrinya yang datar menari-nari di benak Fahri. Dia tahu, sulit bagi Hanum untuk mempercayainya lagi setelah selama bertahun-tahun, janji hanya tinggal janji. Namun dia tak bisa menampik, kenyataan bahwa dia memang tidak bisa terlalu tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, karena waktu itu masih ada ibunya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ajaran yang melekat kuat di alam bawah sadarnya, membuatnya tunduk dengan mutlak. Sejauh yang bisa ia lakukan hanya sekedar mencari jalan tengah, meski pada akhirnya Hanum juga yang harus mengalah dan berkorban. Kini sudah saatnya ia bertindak. Ibunya sudah meninggal dunia. Apalagi yang mesti ia perhatikan? Darah memang lebih kental daripada air, tetapi jika air l
Bab 217) Kita Lihat Saja NantiMila menatap nanar saat mobil yang membawa kakak madunya pergi dari rumah ini. Sampai di titik akhir, Mila tetap menolak. Dia takkan pernah sudi menerima tawaran Herlita untuk menjadi asisten pribadinya. Bekerja merupakan hal yang berat bagi Mila dan itu bukan tujuan hidupnya. Selamanya dia bercita-cita untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, sementara urusan pekerjaan dan nafkah itu urusan laki-laki, urusan suami. Sudah cukup ia menyaksikan mendiang ibunya harus pontang panting kerja di sawah sambil mengurus rumah, suami, anak-anak, bahkan mertua.Bekerja itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Mila. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lelahnya ibunya saat pulang dari sawah. Setelah pulang dari sawah pun tetap tidak bisa beristirahat, karena harus mengurus rumah, anak-anak dan mertua.Dia tidak mau nasib buruk ibunya menimpa dirinya pula. Dia harus mencari suami orang kaya, agar hidupnya terjamin. Dan sekarang keinginan itu tercapai, walaupun keny