Bab 96) Bukan Hal BaruHanum melenggang santai keluar dari rumah Zainab. Tak ada rasa khawatir sedikitpun. Dia sudah mempercayakan sepenuhnya urusan dua orang wanita berbeda generasi itu kepada sang suami. Biarkan saja Fahri yang menghadapinya, toh lelaki itu berstatus adik dan anak mereka, pasti omongannya lebih bisa didengarkan, meskipun sebenarnya Hanum sendiri kurang yakin.Omongan Fahri saja seringkali dimentahkan oleh ibu dan kakaknya, apalagi omongannya yang hanya sekedar menantu dan ipar. Ditambah lagi sekarang dia kembali mendapatkan cacat dalam pemikiran mereka. Dia dianggap pelit. Ah, dia yang pelit atau mereka yang serakah sih? Ini bukan hal yang baru. Dari awal mereka sudah serakah, merampok hak nafkahnya sebagai seorang istri. Waktu itu dia masih bisa sabar, bahkan ketika uang hasil jualan kue putri sembunyi dirampas oleh ibu mertuanya, dia masih diam dan hanya menangis. Namun kini penghasilan yang didapatnya dari toko, toko yang sudah ia miliki semenjak belum menika
bab 97) Kecolongan"Tidak perlu aku jawab, Sayang. Nyatanya baju ini ada di rumah kita." Fahri memejamkan matanya sejenak, lalu menatap ragu istrinya.Dia merutuki kelalaiannya, tidak menyimpan baju itu ke tempat yang aman. Seharusnya Hanum tidak perlu tahu jika Ibu dan adiknya tidak mau menerima pemberiannya."Aku sudah tahu, Kak. Aku hanya ingin memastikan saja sebenarnya. Baju ini bukan benar-benar baju murahan. Harganya di atas 300 ribu, hanya memang berasal dari tokoku, bukan dari butik Mama," ujar Hanum tenang. "Tapi kalau yang diinginkan oleh Mama dan Mila adalah baju kelas butik dengan harga jutaan, maaf ya. Kalian sudah keterlaluan," tegas wanita muda itu. Dia kembali memasukkan benda itu ke dalam kresek hitam."Aku minta maaf, Sayang....""Bukan salahmu, Kak. Aku hanya tidak habis pikir, sampai segitunya keluarga Kakak tidak menghargai, apalagi bersyukur dengan pemberian seseorang, pemberian yang mungkin tidak sesuai dengan keinginan. Apakah segala sesuatu itu harus diukur
Bab 98) Jebakan BatmanHanum meringis sesaat. Namun ia tidak peduli. Dia masih berusaha untuk meraih Adzkar yang masih berada di dalam dekapan Zainab. Adzkar menangis semakin kencang, tapi wanita yang tengah mendekapnya itu tak sedikitpun berusaha untuk menenangkan."Kembalikan Adzkar padaku, Kak," pekik Hanum.Bukannya menenangkan bayi yang tengah menangis keras, Zainab justru memanfaatkan tangisan Adzkar untuk menaikkan emosi adik iparnya."Katakan apa yang kalian inginkan dan kembalikan Adzkar padaku!""Aku tidak akan mengembalikan Adzkar sebelum kamu memenuhi permintaanku!" tukas Zainab."Apa permintaanmu?" Tangannya masih terulur ingin meraih putranya. Namun Zainab selalu berhasil menghindar."Apakah kamu pura-pura lupa? Bukankah aku sudah mengatakannya berulang kali, bahkan dengan sukarela menunggu selama seminggu, sampai akhirnya permintaanku kamu tolak dan sekarang aku menagih itu kembali!" Suara Zainab menggelegar, mengalahkan suara tsngis Adzkar.Mulut Hanum seketika terngan
Bab 99) Gagal Lagi"Cepatlah, Mila. Kakak sudah tak sabar ingin mendapatkan uang itu," desak Zainab ketika gadis itu baru saja memarkir kendaraan matic-nya di halaman kantor bank, satu-satunya bank yang ada di daerah tempat tinggal mereka. "Sabarlah, Kak. Tuh, nggak lihat apa, masih banyak orang di depan kita. Tunggu antrian, Kak," ujar Mila ketus. Duh, kakaknya benar-benar tidak sabaran. "Tapi kita harus cepat...." Zainab mengingatkan. Dia sangat ingin mengambil uang itu sesegera mungkin, lalu segera masuk ke kantor bank dan melunasi semua cicilan agar dia bebas dari hutang. "Aku tahu, Kak, tapi kita tidak mungkin menyerobot antrian," ucap Mila. Gadis itu menatap orang-orang yang berdiri di depan bilik ATM. Sial, mereka benar-benar harus menunggu. Selang 15 menit menunggu, akhirnya tiba giliran mereka. Mila segera memasukkan kartu berwarna biru itu, kemudian memencet nomor PIN yang barusan disebutkan oleh Hanum. "Kok gagal? Bagaimana bisa?" pekik Mila saat ia mencoba bertransaksi
Bab 100) Tak Ingin Kecolongan Lagi Hanum menatap kedua wanita tak tahu diri ini bergantian. Tangannya tetap memegang gagang pintu. Kali ini ia tak ingin kecolongan lagi. "Kalian pikir aku akan membiarkan begitu saja semua uangku kalian rampas?!" ujar Hanum dingin. Tatapan setajam mata pisaunya seakan ingin mengoyak tubuh dua wanita ini. "Kakak sudah menjadi istri kakakku dan apa yang Kakak miliki seharusnya menjadi hak kakakku, sedangkan aku adalah adiknya," balas Mila tak mau kalah. "Oh, ya? Benarkah begitu? Jika apa yang aku miliki saat ini juga menjadi hak kakakmu, apakah dia sudah menjalankan tugasnya sebagai seorang suami? Ya, aku tahu dia sudah menjalankan tugasnya, tetapi adiknya yang tidak tahu diuntung ini justru merampas sesuatu yang menjadi hak seorang istri. Kamu masih belum lupa, bagaimana caramu mengambil uang yang seharusnya untukku dengan mengatasnamakan uang saku dan uang kouta?" Hanum semakin erat memegang gagang pintu. Dia mewaspadai setiap pergerakan dua wanita
Bab 101) Ini Yang TerakhirFahri mengangkat tubuh mungil putranya, menciumnya dengan lembut. Benar, tubuh mungil itu terasa panas di dalam dekapannya. Hanum bergegas mengambil termometer dan mulai mengecek suhu tubuh Adzkar.Tak ada sepatah kata pun terucap dari bibir lelaki itu selain menyerahkan Adzkar kepada istrinya. Fahri bergegas keluar kamar dengan tangan menggenggam ponsel yang barusan bergetar. Ada notifikasi masuk berasal dari aplikasi hijau bergambar telepon."Ini yang terakhir kalinya aku mengingatkan Mama, Kak Zainab dan Mila untuk tidak lagi mengganggu Hanum dan putra kami," ujar Fahri setelah ketiga wanita berbeda generasi itu berkumpul di rumah ibunya."Aku nekat melakukan itu karena dia tidak mau memenuhi permintaanku, Fahri. Aturan di keluarga kita, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, bukannya membiarkan saja anggota keluarga yang lain kesusahan seperti ini. Aku ini janda dengan anak yatim. Masa iya dia tidak mau membantu melunasi cicilan utangku di bank? Apa
Bab 102) Kehilangan HarapanFahri langsung berbalik setelah mengucapkan kata-kata itu, meninggalkan Ismah, Zainab dan Mila yang hanya bisa saling berpandangan."Bagaimana ini, Ma?" Mila merengut.Gadis itu sangat cemas, karena selama ini orang yang paling diandalkannya hanyalah Fahri. Fahri-lah yang paling royal dan selalu memberinya uang untuk memenuhi semua kebutuhannya, apalagi dulu sebelum ia menikah. Kalau saudara yang lain, boro-boro. Mereka sibuk dengan keluarganya masing-masing. Tak ada jatah untuknya."Mama juga lagi mikir, Mila." Ismah memijat kepalanya. Ini bukan yang pertama kali Fahri mengatakan hal itu, tetapi sepertinya kali ini ia tidak sedang bermain-main. Bagaimana kalau ancaman Fahri benar-benar menjadi kenyataan?Dia tidak bisa tinggal berjauhan dengan putranya. Jangankan berjauhan, tinggal beda rumah saja terasa begitu berat. Semakin lama ia semakin kehilangan pengaruh di diri putranya, padahal ia yang melahirkan dan membesarkan anak itu.Kenapa semuanya berubah
Bab 103) Tentang Harga Diri Wanita tua itu hanya diam. Dia masih menatap kesibukan yang terjadi di depan rumah putranya. Perlahan tapi pasti, beberapa tas segera dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Namun mata wanita itu seketika terbeliak saat melihat anak dan menantunya justru mendatangi rumahnya. Wanita tua itu segera berdiri diiringi oleh Mila. Keduanya melangkah ke teras. Sementara itu, dari dalam nampak Zainab melangkah tergopoh-gopoh keluar saat melihat Fahri dan Hanum muncul di depan teras. "Mau apa lagi kalian ke sini?!" Mata wanita tua itu memerah menatap dingin menantunya. Pagi ini penampilan Hanum begitu cantik dengan mengenakan pakaian berwarna hijau lumut dengan kerudung warna putih, kerudung model pashmina yang nampak pas menutup kepalanya. Mila pun diam-diam mengagumi penampilan kakak iparnya. Kulit tubuh Hanum memang kuning langsat, sangat bersih. Berbeda dengan kulit tubuhnya yang sawo matang. Kulit Hanum sangat terawat, apalagi dibungkus oleh pakaian mahal seper
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.
Bab 219) Jatuh Tertimpa Tangga"Bi Nab tuh!" seru Adzkar dengan bahasa bocah."Bibi Zainab terjatuh?!" pekik Hanum kaget. Kepala mungil itu mengangguk.Hanum buru-buru mengucap istighfar kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sembari menggendong Adzkar, ia segera berlari kecil menuju rumah sebelah.Sudah lebih dari 3 bulan Zainab menderita stroke. Sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Dia tidak bisa melakukan apapun. Separuh tubuhnya dari tengah sampai ke bawah mati rasa. Hanum, Mila dan Husnalah yang akhirnya merawat wanita itu. Untuk meringankan pekerjaannya, terpaksa Hanum membawa serta bibi Diah untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mungkin menghandle semuanya sendirian. Mengurus rumah, mengasuh Adzkar, merawat Zainab, sekaligus mengerjakan pekerjaannya di Najmi Store. Bahkan kini, pekerjaan Hanum bertambah, yaitu menjadi konten kreator di sebuah aplikasi. Bermula dari keisengannya mengunggah video-video Adzkar yang tengah belajar menghafal Al-Qur'an. Tern
Bab 218) Peringatan Terakhir Merasa tak ada lagi respon dari istrinya, Fahri memilih melangkah menuju kamar mandi. Dia melepas seluruh pakaiannya, melemparkannya ke keranjang cucian, lalu mengguyur tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sembari mengguyur tubuhnya, bayangan raut wajah istrinya yang datar menari-nari di benak Fahri. Dia tahu, sulit bagi Hanum untuk mempercayainya lagi setelah selama bertahun-tahun, janji hanya tinggal janji. Namun dia tak bisa menampik, kenyataan bahwa dia memang tidak bisa terlalu tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, karena waktu itu masih ada ibunya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ajaran yang melekat kuat di alam bawah sadarnya, membuatnya tunduk dengan mutlak. Sejauh yang bisa ia lakukan hanya sekedar mencari jalan tengah, meski pada akhirnya Hanum juga yang harus mengalah dan berkorban. Kini sudah saatnya ia bertindak. Ibunya sudah meninggal dunia. Apalagi yang mesti ia perhatikan? Darah memang lebih kental daripada air, tetapi jika air l
Bab 217) Kita Lihat Saja NantiMila menatap nanar saat mobil yang membawa kakak madunya pergi dari rumah ini. Sampai di titik akhir, Mila tetap menolak. Dia takkan pernah sudi menerima tawaran Herlita untuk menjadi asisten pribadinya. Bekerja merupakan hal yang berat bagi Mila dan itu bukan tujuan hidupnya. Selamanya dia bercita-cita untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, sementara urusan pekerjaan dan nafkah itu urusan laki-laki, urusan suami. Sudah cukup ia menyaksikan mendiang ibunya harus pontang panting kerja di sawah sambil mengurus rumah, suami, anak-anak, bahkan mertua.Bekerja itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Mila. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lelahnya ibunya saat pulang dari sawah. Setelah pulang dari sawah pun tetap tidak bisa beristirahat, karena harus mengurus rumah, anak-anak dan mertua.Dia tidak mau nasib buruk ibunya menimpa dirinya pula. Dia harus mencari suami orang kaya, agar hidupnya terjamin. Dan sekarang keinginan itu tercapai, walaupun keny