Bab 104) Semua Terasa Berbeda Bukan cuma Fahri, tetapi Hanum pun merasa berat untuk kembali ke rumah orang tuanya. Dia seperti prajurit yang kalah perang. Dia merasa gagal menaklukkan keluarga suaminya. Ya sudahlah, setidaknya jalan yang mereka ambil lebih baik. Dia tidak mungkin mentolerir perlakuan keluarga suaminya kepada Adzkar. Dia mengkhawatirkan dampak psikologis bayi itu. Hanum bersyukur, saat ini kondisi Adzkar baik-baik saja setelah sempat mengalami demam tiga hari yang lalu. Matanya nanar menatap pemandangan kiri dan kanan jalan. Farhan sengaja mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Memang tak perlu terburu-buru, karena tak ada yang mereka kejar. Mereka sudah keluar dari batas desa dan selebihnya ia harus menikmati perjalanan ini. Fahri menyeka sisa air mata yang membuat wajah istrinya lembab, lalu mengecup kening wanita itu. "Sabar.... Masih banyak waktu untuk meluluhkan hati Mama," bisiknya. Dia sangat memahami apa yang istrinya pikirkan sekarang. "Entah sam
Bab 105) Kedatangan Haji SofyanSudah tiga minggu ini Hanum menempati rumahnya. Mereka hanya tinggal bertiga, berempat dengan seorang asisten rumah tangga, yaitu bibi Diah yang masih merupakan kerabat jauh bibi Arni.Rumah ini ukurannya jelas lebih mungil ketimbang rumah orang tuanya. Ada tiga buah kamar tidur, ruang tamu, dapur, tempat cuci dan kamar mandi di belakang. Setiap kamar tidur dilengkapi dengan kamar mandi sendiri. Sebenarnya ini adalah rumah hadiah pernikahan dari papanya. Namun karena waktu itu ia harus mengiringi sang suami, tinggal di tempat suaminya, rumah ini urung ditempati. Perlu satu minggu untuk membereskan rumah ini agar siap huni, sehingga seminggu itu pula dia harus tinggal di rumah orang tuanya.Waktu tiga minggu itu tak terasa. Hanum merasakan hidupnya begitu damai. Tak ada lagi yang berteriak, apalagi omongan nyinyir yang diterimanya. Tak ada yang memaksa ia harus mengeluarkan uang untuk menyelesaikan kesusahan-kesusahan yang diderita oleh keluarga sang su
Bab 106) Kedatangan Haji Sofyan (2)"Sepertinya kita harus membawa mereka ke tempat Papa." Lelaki itu mendesah. Sungguh ia merasa tidak enak. Selalu saja mertuanya yang terlibat demi menyelesaikan urusannya.Hanum mengangguk. "Ya, siapa tahu Papa punya solusi." Dia membiarkan sang suami menggandengnya kembali menuju ruang tamu, menemui sepasang suami istri tamunya yang masih setia menunggu.Mereka berjalan beriringan menuju rumah Rizal yang tidak berapa jauh dari tempat tinggal Hanum. Sementara itu, sayup-sayup terdengar suara orang mengaji pertanda waktu magrib akan segera tiba.Rizal menyambut kedatangan mereka dengan senyum. Dia menyalami haji Sofyan dan mereka segera masuk ke dalam rumah."Sebaiknya kita siap-siap untuk shalat magrib dulu, baru setelah itu kita ngobrol," ujar lelaki setengah baya itu ramah. Dia lantas masuk ke dalam kamar dan berganti pakaian*****"Saya benar-benar memohon agar Pak Rizal mengizinkan Fahri dan Hanum kembali ke kampung. Kasihanilah kami. Kami sang
Bab 107) Kerinduan Seorang IbuMatahari bergulir ke arah barat. Dari menara mushola, sayup-sayup terdengar suara orang mengaji, terasa menyentuh kalbu. Ismah dan Mila sudah siap dengan mukena dan sajadahnya masing-masing. Wanita tua itu mengunci pintu rumah, memasang sandalnya, lantas melangkah beriringan menyusuri halaman dan ketika sampai di jalan, mereka bergabung dengan para tetangga yang lain. Setiap kamis sore, begitulah pemandangan yang terlihat. Para warga kampung ini berkumpul di mushola, karena setelah maghrib, Fahri akan mengisi pengajian melalui channel YT miliknya.Sudah banyak orang berkumpul di mushola, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, bahkan anak-anak. Keadaan di mushola terlihat lebih baik karena sekarang ada Rahman yang bertugas merawat mushola ini. Rahman, pemuda yang baru saja lulus dari sekolah menengah atas dan sedang tidak memiliki pekerjaan. Dulu saat masih SD, Rahman sempat mengaji dengan Fahri, sehingga dia memiliki sedikit bekal untuk mengurus mushol
Bab 108) Rencana Untuk Zainab"Memangnya Kakak sanggup tidak pulang sampai bertahun-tahun?" Sepasang mata indah itu mengerjap."Apa sih yang tidak sanggup jika Itu demi kebaikan kita bersama? Aku selalu berharap mereka segera sadar dan bisa menerimamu apa adanya, bukan karena apa-apanya." Lagi-lagi tangannya terulur. Kali ini dia menarik kain penutup kepala sang istri. Hanum membantu dengan menguraikan rambutnya.Aroma yang berasal dari helaian nan panjang itu membius indera penciumnya. Fahri mencium kepala itu, mencecap bau harum yang senantiasa di sukainya."Selalu ada yang harus dikorbankan, Sayang. Yang penting kita sepakat bahwa tidak ada maksud lain di hati, selain untuk kebaikan bersama. Akan ada masanya kita berkumpul kembali dengan mereka.""Sebenarnya aku tidak bermaksud menolak permintaan Kak Zainab, tetapi menurutku membantu itu tidak mesti harus ngasih uang. Ibaratnya nih Kak, aku tuh ingin memberikan umpan dan pancing, bukan ikan. Gimana menurut Kakak?""Aku sih setuju-s
Bab 109) Ikatan Batin"Dari segi pencapaian emang iya, tapi apa kamu nggak mikir akibatnya, jika usaha ini maju? Peluang untuk diketuai pemilik brand aslinya akan lebih besar," tukas Zidan. Ini untuk kesekian kalinya ia mengingatkan Yasmin."Kamu pikir aku tidak pernah berpikir kesana?" sahut Yasmin berapi-api."Kalau kamu sudah tahu, kenapa kamu masih terus kukuh dengan usaha seperti ini? Yasmin, kamu bisa kok bikin brand sendiri, nggak perlu mencuri brand orang lain....""Aku akan tetap menjalankan usaha ini apapun resikonya," tegas Yasmin."Kamu bisa dituntut dan masuk penjara, Yasmin....""Itu kalau ada orang yang melapor kepada perusahaan pemilik brand yang bersangkutan. Jika tidak ada yang melapor, mereka juga tidak akan tahu," ketusnya."Sadar, Yasmin! Ingat Tania. Seandainya terjadi sesuatu yang buruk, bagaimana dengan nasib Tania? Selama ini keluargamu juga tidak peduli dengan Tania." Zidan mengambil alih Tania dari gendongan Yasmin."Sudahlah, Zidan. Sebaiknya kita pulang sa
Bab 110) Pilihan "Ngawur gimana? Mama ini ngomong yang benar. Kamu kan sudah lama menjanda dan sudah seharusnya memikirkan pendamping. Nah, kesempatan punya ipar orang kaya. Dia pasti punya banyak kerabat yang juga kaya. Siapa tahu ada yang cocok sama kamu, jadi hidup kamu lebih terjamin," papar ibunya. Zainab tersenyum masam. "Kenapa malah membicarakan soal jodoh? Yang aku pikirkan sekarang bagaimana caranya agar hidupku bebas dari hutang. Aku capek, Ma. setiap awal bulan harus putar otak, bagaimana caranya sisa uang pensiunan Ayah Zaid bisa cukup. Aku juga ingin hidup enak, Ma. Selama ini hanya derita saja yang aku rasakan," keluhnya. "Nah, justru itu. Kalau kamu punya suami orang kaya, pasti hidupmu akan enak. Nggak perlu lagi mikir uang belanja, nggak perlu lagi putar otak setiap awal bulan. Masa depan Zaid juga lebih terjamin. Iya, kan?" Ismah menatap putrinya prihatin. Dia merasa idenya tidaklah buruk. Sebenarnya dulu pun ia sangat tidak setuju dengan pernikahan Zainab dengan
Bab 111) Diam-diam MenghanyutkanHari masih gerimis tatkala Zainab pamit pulang ke rumahnya. Dia teringat Zaid yang sendirian di rumah, sementara ia belum memasak. Zainab terpaksa harus menyudahi pembicaraan, meskipun sebenarnya ia masih ingin berlama-lama di rumah ibunya.Apa yang dikatakan ibunya memang benar. Sudah lama ia menjanda, merasakan hidup dalam kesendirian, tapi untuk menikah lagi? Rasanya akan sulit. Umurnya sudah tak lagi muda dan ia memiliki seorang anak, Zaid yang kini berusia 10 tahun.Siapa juga lelaki seumuran yang mau menikah dengannya? Dia sungguh trauma dengan pernikahan sebelumnya. Menikah dengan lelaki tua tanpa sempat merasakan bahagianya memiliki suami, malah dia harus merawat sang suami yang sakit terus-menerus, bahkan bertahun-tahun ayah Zaid hanya bisa terbaring di tempat tidur.Dia yang mengurus semuanya. Ibunya acap kali menyaksikan sendiri ketika ia menangis malam-malam saking lelahnya, lelah lahir dan batin. Anak-anak tirinya sama sekali tidak pernah
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.
Bab 219) Jatuh Tertimpa Tangga"Bi Nab tuh!" seru Adzkar dengan bahasa bocah."Bibi Zainab terjatuh?!" pekik Hanum kaget. Kepala mungil itu mengangguk.Hanum buru-buru mengucap istighfar kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sembari menggendong Adzkar, ia segera berlari kecil menuju rumah sebelah.Sudah lebih dari 3 bulan Zainab menderita stroke. Sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Dia tidak bisa melakukan apapun. Separuh tubuhnya dari tengah sampai ke bawah mati rasa. Hanum, Mila dan Husnalah yang akhirnya merawat wanita itu. Untuk meringankan pekerjaannya, terpaksa Hanum membawa serta bibi Diah untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mungkin menghandle semuanya sendirian. Mengurus rumah, mengasuh Adzkar, merawat Zainab, sekaligus mengerjakan pekerjaannya di Najmi Store. Bahkan kini, pekerjaan Hanum bertambah, yaitu menjadi konten kreator di sebuah aplikasi. Bermula dari keisengannya mengunggah video-video Adzkar yang tengah belajar menghafal Al-Qur'an. Tern
Bab 218) Peringatan Terakhir Merasa tak ada lagi respon dari istrinya, Fahri memilih melangkah menuju kamar mandi. Dia melepas seluruh pakaiannya, melemparkannya ke keranjang cucian, lalu mengguyur tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sembari mengguyur tubuhnya, bayangan raut wajah istrinya yang datar menari-nari di benak Fahri. Dia tahu, sulit bagi Hanum untuk mempercayainya lagi setelah selama bertahun-tahun, janji hanya tinggal janji. Namun dia tak bisa menampik, kenyataan bahwa dia memang tidak bisa terlalu tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, karena waktu itu masih ada ibunya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ajaran yang melekat kuat di alam bawah sadarnya, membuatnya tunduk dengan mutlak. Sejauh yang bisa ia lakukan hanya sekedar mencari jalan tengah, meski pada akhirnya Hanum juga yang harus mengalah dan berkorban. Kini sudah saatnya ia bertindak. Ibunya sudah meninggal dunia. Apalagi yang mesti ia perhatikan? Darah memang lebih kental daripada air, tetapi jika air l
Bab 217) Kita Lihat Saja NantiMila menatap nanar saat mobil yang membawa kakak madunya pergi dari rumah ini. Sampai di titik akhir, Mila tetap menolak. Dia takkan pernah sudi menerima tawaran Herlita untuk menjadi asisten pribadinya. Bekerja merupakan hal yang berat bagi Mila dan itu bukan tujuan hidupnya. Selamanya dia bercita-cita untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, sementara urusan pekerjaan dan nafkah itu urusan laki-laki, urusan suami. Sudah cukup ia menyaksikan mendiang ibunya harus pontang panting kerja di sawah sambil mengurus rumah, suami, anak-anak, bahkan mertua.Bekerja itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Mila. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lelahnya ibunya saat pulang dari sawah. Setelah pulang dari sawah pun tetap tidak bisa beristirahat, karena harus mengurus rumah, anak-anak dan mertua.Dia tidak mau nasib buruk ibunya menimpa dirinya pula. Dia harus mencari suami orang kaya, agar hidupnya terjamin. Dan sekarang keinginan itu tercapai, walaupun keny