Bab 80) Belanja Di MinimarketBaru saja Fahri menyelesaikan makan siangnya, tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi dari dalam kamar mereka. Hanum langsung melangkah menuju kamar, disusul oleh Fahri setelah ia membersihkan tangannya."Lho Sayang, ASI kamu masih belum juga keluar?" Lelaki itu mengamati pucuk payudara istrinya. Sementara bayi mereka menangis kian kencang lantaran tidak mendapatkan setetes pun cairan favoritnya dari payudara ibunya."Iya, Kak. Masih juga belum lancar. Kemarin sore aku memerah menggunakan pompa asi sampai berjam-jam, tetap saja cairan yang keluar sangat sedikit," sahut Hanum seraya menatap Bibi Arni yang dengan cekatan menyiapkan susu formula.Hanya berselang beberapa menit, wanita setengah baya itu menyerahkan sebotol kecil susu formula kepada Hanum. Tangis bayi kecil itu seketika berhenti, berganti dengan suara kecapan dot di bibir mungilnya."Dia terlihat sangat lahap," ujar Fahri."Namanya juga anak laki-laki, pasti kuat minum susu." Wanita itu tertaw
Bab 81) Tantangan Dari Bunda NiaTerdengar helaan nafas berat di seberang sana. "Sejak kapan aku membohongimu, Fahri?""Aku hanya ingin memastikan saja, Kak. Kemarin Kak Zainab dan Mila sudah berani membohongiku.""Tapi kali ini memang benar, Fahri. Aku yang menjadi jaminannya," ujar Faiz bernada serius."Terus aku harus apa?" uji Fahri seraya meletakkan dua bungkusan besar itu di stang kendaraannya."Aku hanya ingin memberitahumu. Aku tidak menyuruhmu pulang. Kondisi Mama baik-baik saja. Dia memang jatuh dari kamar mandi dan kakinya keseleo, tapi hanya cedera ringan. Jadi kalau Kak Zainab atau siapapun yang memberitahu hal yang berlebihan tentang Mama, jangan percaya ya," jelas Faiz."Oh begitu ya?" Sedetik kemudian ia langsung mengerti maksud sang kakak. "Baguslah kalau begitu. Berarti tidak ada hal yang perlu aku cemaskan, kan?""Ya, kamu tidak perlu mencemaskan apapun. Rawatlah anak dan istrimu sebaik mungkin. Setelah mereka pulih, segeralah pulang. Jangan sampai meliburkan TPA te
Bab 82) Apakah Benar Ini Rumah Hanum?Tangan wanita tua itu terulur mengusap bahu Ismah. "Tidak selamanya apa yang kita inginkan harus tercapai, Bu. Keinginan kita sebagai orang tua tidak sama dengan keinginan anak-anak," tuturnya.Bunda Nia mendesah. Sebenarnya ia bisa saja membuka jati diri Hanum, tapi ia ingin agar wanita di hadapannya ini mengetahui sendiri siapa sebenarnya menantunya. Sebab jika pun ia menceritakan soal Hanum, Ismah tidak akan percaya. Mata hatinya telah di butakan oleh pesona Yasmin yang dianggapnya kaya dan nantinya akan mengangkat derajat hidupnya.Momen Hanum yang melahirkan adalah kesempatan emas bagi bunda Nia untuk memaksa Ismah mengunjungi menantunya."Tapi anak-anak harus tunduk kepada kita, karena kita adalah orang tuanya." Suara Ismah kembali terdengar."Seharusnya memang begitu, tetapi anak-anak juga manusia, Bu. Mereka bukan robot yang harus selalu tunduk dengan keinginan kita. Ya sudah, jikalau Bu Ismah mau menengok cucu barunya, nanti saya akan bil
Bab 83) Sebuah KejutanIsmah menatap penampilan sepasang suami istri yang berdiri di hadapannya dengan mata tak berkedip. Dia melongo, tak menyangka jika sepasang suami istri yang saat menikahkan putrinya berpakaian begitu sederhana, kini mengenakan pakaian yang bagus, padahal saat ini mereka berada di rumah, bukan sedang menghadiri acara tertentu."Apakah aku sedang bermimpi? Apa yang sebenarnya mereka inginkan dari akad nikah sederhana waktu itu, sehingga mereka rela memiskinkan penampilannya sendiri?" gumam Ismah dalam hati, meski tangannya tetap menyambut uluran tangan besan perempuannya ini. Dia masih tak percaya dengan kenyataan yang terjadi. Ini merupakan sebuah kejutan."Apa kabar, Bu ismah? Maaf jika penyambutan kami tidak berkenan di hati Ibu dan keluarga, karena kami tidak tahu Bu Ismah dan keluarga akan berkunjung ke sini." Filza dan Rizal duduk berdampingan menghadap wanita tua dan anak-anak perempuannya itu."Ini penyambutan yang sangat bagus, Bu Filza. Kami tidak menyan
Bab 84) Saling Membantu, Bukan Saling Memanfaatkan"Nanti kalau sekolahmu libur, kamu bisa menginap di sini selama beberapa hari, Mila," ujar Hanum menengahi."Nah, benar itu," timpal Ismah. Wajahnya sumringah. Jika Mila bisa menginap beberapa hari di rumah ini, berarti ia bisa ikut dan menikmati kenyamanan di rumah ini. Kapan lagi bisa leha-leha seperti besan perempuannya, yang rumahnya di urus sama pembantu? Sekali-sekali lah ia bisa bertingkah seperti nyonya. Membayangkan itu, Ismah tersenyum sendiri.Namun, wajah Mila seketika cemberut. Ujian akhir sekolah masih beberapa bulan lagi. Kesempatannya untuk menikmati kenyamanan rumah ala hotel ini masih cukup lama. Dia harus menunggu beberapa bulan lagi. Uh, menyebalkan!"Ya, tapi lama. Bisa lumutan aku menunggu liburan sekolah," gerutu Mila."Ish.... Nggak boleh begitu. Yang penting kamu rajin belajar, biar jadi juara. Kamu punya cita-cita apa, Mila? Rencananya mau melanjutkan sekolah ke mana?" sergah Hanum.Gadis itu menggeleng. "Ti
Bab 85) Perkara Kalung"Benarkah apa yang Mila katakan itu, Hanum?" tanya Fahri menatap istrinya."Aku memang tidak mengatakan menolak, tetapi juga tidak mengatakan iya," ujar Hanum santai."Nah, dengar itu, Mila." Fahri menatap tajam adiknya. "Sudahlah, kalian tidak perlu berdebat lebih panjang. Lagi pula ngapain Mama dan Mila ke kamar ini, hanya untuk minta ini dan itu pada Hanum?" Fahri berdecak kesal."Mama hanya ingin menengok cucu Mama. Sejak tadi Hanum tidak keluar kamar, jadi Mama susul saja," jawab ibunya."Ya, itu karena Hanum tengah sibuk menidurkan Adzkar. Jadi Mama harus ngerti. Adzkar akan sangat rewel kalau sedang mengantuk," jelas lelaki itu. Dia berdiri dengan tangan terlipat di perutnya."Iya, Mama juga tahu. Jadi Mama yang menyusul ke sini. Sedangkan Mila mungkin karena dia menyusul Mama," ujar Ismah."Iya, Kak," timpal Mila berusaha meyakinkan sang kakak.Fahri berdehem. "Baiklah. Kalau begitu, sebaiknya kita segera keluar. Waktu makan malam sudah tiba. Mama dan M
Bab 86) Jadilah Wanita Yang Cerdas"Ternyata kamu sama saja, Zainab!" keluh Ismah mendengar rencana putri sulungnya."Tapi aku beda dengan Mama. Aku tidak mau menekan Hanum. Lebih baik kita mengalah untuk sementara ini, Ma. Kita jangan lagi menekan Hanum untuk memenuhi keinginan kita," papar Zainab."Ya, rencana Mama juga begitu, Zainab. Kalau kita nggak mau mengalah, nanti Hanum tidak akan mau pulang ke tempat kita. Bisa berabe urusannya. Sebab Mila ingin punya kalung cantik seperti yang dikenakan oleh Hanum saat ini," sahut Ismah."Kalung yang mana?' tanya Zainab penasaran.Ya, tentu saja Zainab tidak tahu, karena saat Hanum keluar dari kamarnya untuk makan malam dan mengantar mereka ke ruangan, tempat tidur mereka sekarang ini, Hanum mengenakan jilbab sehingga tak lagi memperlihatkan kalung yang melingkari lehernya yang jenjang."Kalungnya cantik sekali, Kak. Kata Kak Hanum, itu kalung terbuat dari emas dan liontinnya itu yang sebenarnya sangat istimewa. Liontin berbentuk hati deng
Bab 87) Rencana ZainabHanum memijat pelipisnya lalu sebuah tepukan hangat mendarat di pundak."Kamu kenapa, Sayang?" Suara sang suami membuyarkan lamunannya.Wanita muda itu menoleh. Fahri mendaratkan tubuhnya di sisi sang istri. "Wajahmu terlihat murung. Apakah ada sesuatu yang membuatmu merasa tidak enak? Apakah itu karena Mama dan saudara-saudaraku?" usiknya."Tidak, Kak. Aku hanya berpikir, setelah masa pemulihan pasca operasi ini usai, kita harus segera pulang ke rumah," sahut Hanum beralasan."Apapun itu, selama membuat kamu nyaman, lakukanlah." Tangannya terulur menepuk pundak istrinya sekilas."Terima kasih atas perhatianmu....""Jangan bersedih ya." Fahri menangkup wajah mulus itu, lalu mendekatkan wajahnya, mengecup kening istrinya dengan lembut. Dia melirik sang putra yang baru saja menghabiskan sebotol susu. Fahri mencabut dot dari mulut putranya kemudian segera beranjak membawa botol dan menaruhnya kembali di meja di sudut ruang.Hanum tersenyum tipis mendapati gerak-ge
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.
Bab 219) Jatuh Tertimpa Tangga"Bi Nab tuh!" seru Adzkar dengan bahasa bocah."Bibi Zainab terjatuh?!" pekik Hanum kaget. Kepala mungil itu mengangguk.Hanum buru-buru mengucap istighfar kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sembari menggendong Adzkar, ia segera berlari kecil menuju rumah sebelah.Sudah lebih dari 3 bulan Zainab menderita stroke. Sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Dia tidak bisa melakukan apapun. Separuh tubuhnya dari tengah sampai ke bawah mati rasa. Hanum, Mila dan Husnalah yang akhirnya merawat wanita itu. Untuk meringankan pekerjaannya, terpaksa Hanum membawa serta bibi Diah untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mungkin menghandle semuanya sendirian. Mengurus rumah, mengasuh Adzkar, merawat Zainab, sekaligus mengerjakan pekerjaannya di Najmi Store. Bahkan kini, pekerjaan Hanum bertambah, yaitu menjadi konten kreator di sebuah aplikasi. Bermula dari keisengannya mengunggah video-video Adzkar yang tengah belajar menghafal Al-Qur'an. Tern
Bab 218) Peringatan Terakhir Merasa tak ada lagi respon dari istrinya, Fahri memilih melangkah menuju kamar mandi. Dia melepas seluruh pakaiannya, melemparkannya ke keranjang cucian, lalu mengguyur tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sembari mengguyur tubuhnya, bayangan raut wajah istrinya yang datar menari-nari di benak Fahri. Dia tahu, sulit bagi Hanum untuk mempercayainya lagi setelah selama bertahun-tahun, janji hanya tinggal janji. Namun dia tak bisa menampik, kenyataan bahwa dia memang tidak bisa terlalu tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, karena waktu itu masih ada ibunya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ajaran yang melekat kuat di alam bawah sadarnya, membuatnya tunduk dengan mutlak. Sejauh yang bisa ia lakukan hanya sekedar mencari jalan tengah, meski pada akhirnya Hanum juga yang harus mengalah dan berkorban. Kini sudah saatnya ia bertindak. Ibunya sudah meninggal dunia. Apalagi yang mesti ia perhatikan? Darah memang lebih kental daripada air, tetapi jika air l
Bab 217) Kita Lihat Saja NantiMila menatap nanar saat mobil yang membawa kakak madunya pergi dari rumah ini. Sampai di titik akhir, Mila tetap menolak. Dia takkan pernah sudi menerima tawaran Herlita untuk menjadi asisten pribadinya. Bekerja merupakan hal yang berat bagi Mila dan itu bukan tujuan hidupnya. Selamanya dia bercita-cita untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, sementara urusan pekerjaan dan nafkah itu urusan laki-laki, urusan suami. Sudah cukup ia menyaksikan mendiang ibunya harus pontang panting kerja di sawah sambil mengurus rumah, suami, anak-anak, bahkan mertua.Bekerja itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Mila. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lelahnya ibunya saat pulang dari sawah. Setelah pulang dari sawah pun tetap tidak bisa beristirahat, karena harus mengurus rumah, anak-anak dan mertua.Dia tidak mau nasib buruk ibunya menimpa dirinya pula. Dia harus mencari suami orang kaya, agar hidupnya terjamin. Dan sekarang keinginan itu tercapai, walaupun keny