Bab 85) Perkara Kalung"Benarkah apa yang Mila katakan itu, Hanum?" tanya Fahri menatap istrinya."Aku memang tidak mengatakan menolak, tetapi juga tidak mengatakan iya," ujar Hanum santai."Nah, dengar itu, Mila." Fahri menatap tajam adiknya. "Sudahlah, kalian tidak perlu berdebat lebih panjang. Lagi pula ngapain Mama dan Mila ke kamar ini, hanya untuk minta ini dan itu pada Hanum?" Fahri berdecak kesal."Mama hanya ingin menengok cucu Mama. Sejak tadi Hanum tidak keluar kamar, jadi Mama susul saja," jawab ibunya."Ya, itu karena Hanum tengah sibuk menidurkan Adzkar. Jadi Mama harus ngerti. Adzkar akan sangat rewel kalau sedang mengantuk," jelas lelaki itu. Dia berdiri dengan tangan terlipat di perutnya."Iya, Mama juga tahu. Jadi Mama yang menyusul ke sini. Sedangkan Mila mungkin karena dia menyusul Mama," ujar Ismah."Iya, Kak," timpal Mila berusaha meyakinkan sang kakak.Fahri berdehem. "Baiklah. Kalau begitu, sebaiknya kita segera keluar. Waktu makan malam sudah tiba. Mama dan M
Bab 86) Jadilah Wanita Yang Cerdas"Ternyata kamu sama saja, Zainab!" keluh Ismah mendengar rencana putri sulungnya."Tapi aku beda dengan Mama. Aku tidak mau menekan Hanum. Lebih baik kita mengalah untuk sementara ini, Ma. Kita jangan lagi menekan Hanum untuk memenuhi keinginan kita," papar Zainab."Ya, rencana Mama juga begitu, Zainab. Kalau kita nggak mau mengalah, nanti Hanum tidak akan mau pulang ke tempat kita. Bisa berabe urusannya. Sebab Mila ingin punya kalung cantik seperti yang dikenakan oleh Hanum saat ini," sahut Ismah."Kalung yang mana?' tanya Zainab penasaran.Ya, tentu saja Zainab tidak tahu, karena saat Hanum keluar dari kamarnya untuk makan malam dan mengantar mereka ke ruangan, tempat tidur mereka sekarang ini, Hanum mengenakan jilbab sehingga tak lagi memperlihatkan kalung yang melingkari lehernya yang jenjang."Kalungnya cantik sekali, Kak. Kata Kak Hanum, itu kalung terbuat dari emas dan liontinnya itu yang sebenarnya sangat istimewa. Liontin berbentuk hati deng
Bab 87) Rencana ZainabHanum memijat pelipisnya lalu sebuah tepukan hangat mendarat di pundak."Kamu kenapa, Sayang?" Suara sang suami membuyarkan lamunannya.Wanita muda itu menoleh. Fahri mendaratkan tubuhnya di sisi sang istri. "Wajahmu terlihat murung. Apakah ada sesuatu yang membuatmu merasa tidak enak? Apakah itu karena Mama dan saudara-saudaraku?" usiknya."Tidak, Kak. Aku hanya berpikir, setelah masa pemulihan pasca operasi ini usai, kita harus segera pulang ke rumah," sahut Hanum beralasan."Apapun itu, selama membuat kamu nyaman, lakukanlah." Tangannya terulur menepuk pundak istrinya sekilas."Terima kasih atas perhatianmu....""Jangan bersedih ya." Fahri menangkup wajah mulus itu, lalu mendekatkan wajahnya, mengecup kening istrinya dengan lembut. Dia melirik sang putra yang baru saja menghabiskan sebotol susu. Fahri mencabut dot dari mulut putranya kemudian segera beranjak membawa botol dan menaruhnya kembali di meja di sudut ruang.Hanum tersenyum tipis mendapati gerak-ge
Bab 88) Usaha Baru Yasmin"Aku pasti akan pulang secepatnya. Kakak jangan khawatir," sahut Hanum sembari mengulum senyum. Dia sudah bisa menebak maksud perkataan kakak iparnya.Pelukan Zainab pun terurai. Senyumnya merekah laksana mentari yang baru menampakkan diri pagi ini. Hatinya berbunga harapan. Dengan langkah-langkah ringan, ia berjalan menuju mobil. Ismah dan Mila sudah masuk lebih dulu. Zainab melambaikan tangan kepada Hanum, Fahri dan kedua orang tua Hanum.Mobilpun meluncur perlahan keluar dari halaman rumah yang cukup luas ini. Farhan mengendarai mobilnya dengan santai. Hari ini adalah hari Minggu. Dia masih punya cukup banyak waktu untuk menikmati perjalanan. Tiga wanita penumpangnya juga terlihat begitu bahagia. Entah apa yang mereka pikirkan. Apakah bahagia karena bisa jalan-jalan gratis, lantaran semua kebutuhan perjalanan ini ditanggung oleh Bunda Nia? Atau lantaran mengetahui bahwa ternyata menantu dan ipar yang selama ini mereka rendahkan ternyata adalah anak orang
Bab 89) Usaha Baru Yasmin (2)"Aku hanya memberi masukan, Yasmin. Aku hanya ingin kamu tidak mendapat masalah di kemudian hari. Sudah cukup masalah yang menimpamu selama ini." Suara Zidan merendah. Dia meraih Tania dari gendongan wanita itu.Yasmin dan Zidan memang sudah bercerai, tetapi Zidan menepati janji untuk tetap memperhatikan Tania. Zidan kasihan dengan bayi perempuan yang tidak memiliki bapak itu. Entah siapa bapak biologisnya. Yasmin tidak pernah bercerita apapun. Ya, karena Yasmin juga tidak tahu siapa sebenarnya ayah biologis Tania.Tania Aurelia Salsabila, begitulah nama yang disematkan Yasmin untuk putrinya. Tentu saja nama Zidan ada di belakang nama putrinya."Putriku butuh masa depan. Kalau bukan aku yang memperjuangkan, lalu siapa lagi? Aku tahu pekerjaan ini berisiko,. Setiap bisnis itu berisiko, Zidan, tetapi dari semua peluang yang ada, hanya ini yang paling menguntungkan. Aku tidak perlu susah-susah menjual pakaian-pakaian ini, hanya perlu menawarkan kepada teman-
Bab 90) PulangHakikatnya Zidan bukan siapa-siapa. Dia hanya seseorang yang kebetulan bersedia menjadi suaminya dan ayah pura-pura untuk Tania. Selebihnya dialah yang berhak untuk memutuskan semuanya. Apapun yang terjadi pada hidupnya dan Tania, dialah yang menanggungnya.Yasmin melirik Zidan yang tengah duduk di salah satu sofa di sudut ruangan dengan mamangku Tania. Bayi berumur dua bulan itu nampak anteng. Sesekali terlihat Zidan menggerakkan bibir, mengajak Tania untuk berbicara. Tania merespon dengan mata dan senyum bibirnya. Sungguh pemandangan yang menggemaskan. Andai saja yang melakukan itu adalah Fahri, tentu ia merasa sangat bahagia.Mengingat itu, Yasmin langsung menutup laptop. Jemarinya memijat pelipisnya.Apa kabar lelaki itu sekarang? Ah, tentunya dia sedang berbahagia dengan istri dan anaknya. Selisih usia Tania dan anak Fahri hanya sedikit, mungkin cuma beda satu bulan. Yasmin tidak bisa menghitung persis. Namun sebuah postingan dari Zainab sebulan yang lalu mengataka
bab 91) Pulang (2)Mobil terus meluncur menyusuri jalan provinsi yang selalu ramai dilintasi kendaraan bermotor. Hanum terlihat begitu menikmati perjalanan, karena mobil yang mereka gunakan ini adalah mobil milik Rizal, papanya. Mobil berharga lebih dari 300 juta ini sangat nyaman ia tumpangi. Adzkar sama sekali tidak rewel di pangkuannya. Bayi berumur hampir dua bulan itu kerjanya hanya tidur dan menangis saat bangun tidur untuk meminta susu. Hampir dua bulan waktu berlalu dan ASI Hanum belum juga lancar, bahkan cenderung kering. Hanum sudah mencoba segala cara, termasuk membeli alat pompa ASI, minum susu ibu menyusui dan suplemen serta menjaga pola makan. Namun hasilnya tetap sama. Hanya beberapa tetes cairan yang keluar saat ia memompa payudaranya. Perjalanan melintasi beberapa wilayah kabupaten, hingga akhirnya mobil yang dikemudikan oleh paman Andi memasuki halaman rumah. Dari rumah mertuanya, Zainab berlari kecil menyongsong mobil yang kini sudah terparkir."Selamat datang ke
Bab 92) Tetangga Yang Luar BiasaTangan wanita tua itu mengepal. Dia benar-benar jengkel dengan Ida, wanita yang menjadi tetangga sebelah rumahnya itu. Sungguh memalukan melontarkan kata-kata itu di hadapan putri kiai Hasan yang kini tengah duduk di sampingnya. Filza Nuraini, ibunda Hanum ini merupakan putri ketiga dari kiai Hasan, seseorang yang pernah menjadi gurunya di masa muda."Sudah, Bun. Nggak apa-apa. Mungkin para wanita di sini tidak ada yang mengalami masalah seperti Hanum. Jadi memang nggak perlu beli susu. Sementara si Hanum, kalau nggak beli susu formula, lah si Adzkar minum apa? Nggak mungkin kan kita biarkan kelaparan?" Senyum Filza lagi-lagi merekah. Dia sudah terlatih menghadapi para tetangga yang istimewa, karena dia sendiri sudah sering mendengar cerita Hanum soal orang-orang yang menjadi tetangganya.Filza menyentuh lembut tangan keriput itu sehingga akhirnya kapalan itu terbuka."Iya, Bu. Semua ibu melahirkan di sini tidak pernah ada sejarahnya ASI sampai kering.
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.
Bab 219) Jatuh Tertimpa Tangga"Bi Nab tuh!" seru Adzkar dengan bahasa bocah."Bibi Zainab terjatuh?!" pekik Hanum kaget. Kepala mungil itu mengangguk.Hanum buru-buru mengucap istighfar kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sembari menggendong Adzkar, ia segera berlari kecil menuju rumah sebelah.Sudah lebih dari 3 bulan Zainab menderita stroke. Sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Dia tidak bisa melakukan apapun. Separuh tubuhnya dari tengah sampai ke bawah mati rasa. Hanum, Mila dan Husnalah yang akhirnya merawat wanita itu. Untuk meringankan pekerjaannya, terpaksa Hanum membawa serta bibi Diah untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mungkin menghandle semuanya sendirian. Mengurus rumah, mengasuh Adzkar, merawat Zainab, sekaligus mengerjakan pekerjaannya di Najmi Store. Bahkan kini, pekerjaan Hanum bertambah, yaitu menjadi konten kreator di sebuah aplikasi. Bermula dari keisengannya mengunggah video-video Adzkar yang tengah belajar menghafal Al-Qur'an. Tern
Bab 218) Peringatan Terakhir Merasa tak ada lagi respon dari istrinya, Fahri memilih melangkah menuju kamar mandi. Dia melepas seluruh pakaiannya, melemparkannya ke keranjang cucian, lalu mengguyur tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sembari mengguyur tubuhnya, bayangan raut wajah istrinya yang datar menari-nari di benak Fahri. Dia tahu, sulit bagi Hanum untuk mempercayainya lagi setelah selama bertahun-tahun, janji hanya tinggal janji. Namun dia tak bisa menampik, kenyataan bahwa dia memang tidak bisa terlalu tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, karena waktu itu masih ada ibunya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ajaran yang melekat kuat di alam bawah sadarnya, membuatnya tunduk dengan mutlak. Sejauh yang bisa ia lakukan hanya sekedar mencari jalan tengah, meski pada akhirnya Hanum juga yang harus mengalah dan berkorban. Kini sudah saatnya ia bertindak. Ibunya sudah meninggal dunia. Apalagi yang mesti ia perhatikan? Darah memang lebih kental daripada air, tetapi jika air l
Bab 217) Kita Lihat Saja NantiMila menatap nanar saat mobil yang membawa kakak madunya pergi dari rumah ini. Sampai di titik akhir, Mila tetap menolak. Dia takkan pernah sudi menerima tawaran Herlita untuk menjadi asisten pribadinya. Bekerja merupakan hal yang berat bagi Mila dan itu bukan tujuan hidupnya. Selamanya dia bercita-cita untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, sementara urusan pekerjaan dan nafkah itu urusan laki-laki, urusan suami. Sudah cukup ia menyaksikan mendiang ibunya harus pontang panting kerja di sawah sambil mengurus rumah, suami, anak-anak, bahkan mertua.Bekerja itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Mila. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lelahnya ibunya saat pulang dari sawah. Setelah pulang dari sawah pun tetap tidak bisa beristirahat, karena harus mengurus rumah, anak-anak dan mertua.Dia tidak mau nasib buruk ibunya menimpa dirinya pula. Dia harus mencari suami orang kaya, agar hidupnya terjamin. Dan sekarang keinginan itu tercapai, walaupun keny